Google

Wednesday, October 7, 2009

politik kelembagaan syariat

A. Pendahuluan
Formalisasi syariat Islam merupakan isu yang selalu mengalami pasang-surut dalam konstelasi perpolitikan Indonesia. Tampaknya penerapan syariat Islam memang telah menjadi bagian dari perjalanan sejarah bangsa ini. Semenjak Islam masuk ke wilayah nusantara, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan syariat Islam di daerah kekuasaan mereka masing-masing. Setelah penjajahan Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam masih ada yang berusaha menegakkan syariat Islam walaupun secara berangsur-angsur hukum Barat ataupun hukum adat sudah diberlakukan. Namun setiap pergerakan nasional yang bersifat Islam acapkali menempatkan penegakan syariat Islam sebagai agenda dan cita-cita luhur yang mesti diperjuangkan.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, keinginan agar syariat Islam diberlakukan masih belum berhenti. Perjuangan penegakan syariat Islam pada masa ini tidak hanya dilakukan dengan pendekatan politik, tetapi juga dengan perjuangan bersenjata sebagaimana dilakukan DI/TII dan PRRI. Para wakil Islam di Majelis Konstituante (1956-1959) yang terdiri dari Partai Masyumi dan Partai NU juga memperjuangkan agar rumusan Piagam Jakarta dimasukkan kembali ke dalam pembukaan UUD 1945. Usulan ini mendapatkan perlawanan dari kelompok nasionalis, sehingga perdebatan yang digambarkan sangat sengit pun tidak dapat dielakkan. Upaya memasukkan Piagam Jakarta berbuntut pada pembubaran Majelis Konstituante melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah dua kutub yang berbeda pandangan tidak berhasil menemukan kesepakatan.
Memasuki paruh terakhir kekuasaan Soeharto, beberapa ketentuan syariat Islam mulai diakomodasi negara secara selektif. Namun demikian, hal ini masih belum memuaskan beberapa pihak terutama partai-partai yang berasas Islam dan sejumlah organisasi massa Islam di era reformasi. Tidak mengherankan, pada saat Soeharto berhasil dijatuhkan, mereka mendesakkan agar negara menerapkan syariat Islam.
Sejauh menyangkut perjuangan melalui politik formal, tuntutan penerapan syariat Islam mulai mencuat ketika pada Sidang Tahunan Majlis Permusyawaratan Rakyat (ST MPR) tahun 1999 mengagendakan amandemen UUD 1945, dan terus mengemuka dalam hingga pelaksanaan ST MPR tahun 2002. Tuntutan penerapan syariat Islam antara lain mengambil bentuk saat amandemen pasal 29 UUD 1945, dimotori sejumlah partai politik Islam. Tak terelakkan, muncul perdebatan di parlemen utamanya antara kelompok yang menolak dan mendukung amandemen pasal 29 UUD 1945.
Kelompok pertama pada prinsipnya menginginkan agar pasal 29 ayat (1) tidak diamandemen dan tetap pada rumusan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Alasan mereka, selama ini terbukti telah berhasil memberikan panduan pranata kehidupan beragama di Indonesia. Ini merupakan pandangan mayoritas yang berkembang di dalam MPR. Kelompok ini diwakili Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Utusan Golongan, Fraksi Utusan Daerah, Fraksi TNI/Polri, Fraksi KKI dan Fraksi PDKB.
Kelompok kedua, yang pendukung amandemen pasal 29 adalah partai-partai Islam atau berasas Islam, meski ini bukan merupakan sikap politik semua partai Islam. Namun menariknya, tidak ada kesatuan pandangan antara partai-partai Islam atau berasas Islam ini menyangkut bagaimana rumusan baru untuk pasal 29 tersebut. Pada satu kutub, Fraksi Reformasi yang terdiri dari PAN dan PK/PKS mengusulkan rumusan alternatif, yakni “negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya”. Usulan ini diidentifikasi sebagai rumusan “Piagam Madinah” mengingat semangat yang melatari rumusan tersebut adalah naskah Piagam Madinah yang dipraktikkan Nabi Muhammad ketika berada di Madinah.
Sementara dikutub lainnya, Fraksi PPP dan PBB mengusulkan rumusan Piagam Jakarta. Fraksi PPP dan Fraksi PBB, dua partai berasas Islam terbesar, mendesakkan agar tujuh kata yang dikenal sebagai rumusan Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Mereka mengusulkan agar rumusan berbunyi “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diakomodasi dalam pasal tersebut.
Menarik dicermati bahwa PPP, PBB dan PK/PKS merupakan tiga partai yang sama-sama menjadikan Islam sebagai asas perjuangan partai. Ketiga partai ini tampaknya tidak memperlihatkan kesatuan strategi dan argumentasi, meskipun ideologi partai mereka sama-sama menempatkan agenda Islamisasi melalui negara merupakan suatu panggilan hidup. Untuk itu, tulisan berikut akan membandingkan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PBB (Partai Bulan Bintang) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera, metamorfosa dari PK [Partai Keadilan, red.]) dalam mengkonseptualisakan ideologi partai dan bagaimana mereka mengartikulsikannya dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ST MPR) 1999-2002 terkait amandemen pasal 29 UU 1945 utamanya tuntutan penerapan syari’at Islam.

B. Tinjauan Singkat Atas Ideologi PPP, PBB dan PKS
Menjadikan Islam sebagai asas partai, PPP dibentuk pada 5 Januari 1973 dari hasil fusi dari empat partai Islam yang melibatkan NU, Parmusi, PSII dan Perti. AD/ART PPP menyebutkan partai ini bertujuan “membangun negara Republik Indonesia berdasarkan landasan Pancasila dan UUD 1945, menciptakan kemakmuran rakyat yang dirahmati Tuhan YME”. Namun, pada saat pemerintahan Orde Baru memberlakukan asas tunggal Pancasila awal 1984-an, PPP tidak memiliki pilihan kecuali mengganti asas perjuangan mereka dengan Pancasila. Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, PPP secara resmi kembali menggunakan asas Islam melalui Muktamar di Jakarta, 29 November sampai dengan 02 Desember 1998.
Berkebalikan dengan PPP yang muncul pada saat cengkraman politik Orde Baru terhadap peran-peran elit kepemimpinan politik Muslim sedang menggurita, PBB dan PK/PKS muncul saat suasana dimana kebebasan berekspresi dan berideologi mendapatkan tempat yang luas. PBB didirikan pada tanggal 17 Juli 1998, dengan tujuan “mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT”. Rumusan ini pada muktamar II PBB disempurnakan menjadi “mewujudkan masyarakat yang beriman, bertakwa, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.”
Adapun PK, dideklarasikan pada 20 Juli 1998, atau tiga hari lebih muda dari usia PBB. PK/PKS merupakan transformasi dari gerakan dakwah kampus yang telah berlangsung selama lebih dari seperempat abad terakhir. Berbeda dengan nasib PBB yang pada pemilu 1999 berhasil memenuhi batas minimal electoral treshold sebesar 2%, perolehan suara PK tidak dapat memenuhi batas minimal yang ditetapkan. Maka sesuai dengan UU No 12 Tahun 2003, “para pimpinan Partai Keadilan memutuskan untuk mendirikan sebuah partai baru yang akan menjadi wadah bagi kiprah politik dakwah warga Keadilan, yaitu Partai Keadilan Sejahtera” (PKS). Tujuannya jelas, agar partai ini dapat mengikuti pemilu 2004. Menurut Untung Wahono, kehadiran merupakan konsekuensi logis dari undang-undang partai politik tentang batas electoral treshold tersebut.
Pararel dengan PBB, PK/PKS muncul sebagai sebentuk respon atas konstelasi politik yang sedang merangkak menuju demokratisasi pasca kekuasaan Soeharto berhasil ditumbangkan. Di tengah situasi demikian, beberapa elit kepemimpinan Muslim terutama mereka yang terlibat dalam kelahiran partai ini memandang partai sebagai media perjuangan yang telah mempertimbangkan rasionalitas politik. Anggaran Dasar PK/PKS menyebut pendirian partai ini untuk “mewujudkan bangsa dan Negara Indonesia yang adil dan Makmur, yang diridlai Allah SWT” “dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila.”
Satu hal yang mempertautkan PPP, PBB dan PK/PKS adalah kenyataan bahwa partai ini menjadikan Islam sebagai asas perjuangan politik mereka. Ini tidak mengejutkan. Sebab, untuk sementara orang, Islam, sebagai instrumen ilâhiyyah untuk memahami dunia, seringkali dipandang lebih dari sekedar agama. Hampir tidak lagi diperdebatkan bahwa umat Islam mempercayai watak holistis dan kesempurnaan Islam. Beberapa kalangan menyatakan bahwa Islam itu dipandang sebagai kesatuan “agama dan negara”. Tampaknya kesimpulan seperti ini dilandasi pandangan yang sudah diterima luas bahwa Islam mencakup lebih dari sekedar sistem teologi dan moral.
Manifestasi pemikiran ini terlihat dalam kehadiran partai-partai politik Islam yang menjadikan Islam sebagai asas partai. Hingga penerapan kebijakan penerapan asas Tunggal Pancasila 1984-an oleh pemerintahan Orde Baru, hampir semua partai Islam dalam sejarah kepartaian di Indonesia menerapkan Islam sebagai asas partai. Partai Masyumi, PSII, Partai NU dan PPP untuk sekedar menyebutkan beberapa nama, merupakan partai politik Islam yang menerapkan Islam sebagai asas partai. Namun kebijakan depolitisasi Islam dan dipertegas dengan penerapan asas tunggal Pancasila; telah menyumbangkan andil besar terhadap memudarnya Islam politik dari panggung politik nasional.
Tidak mengherankan, ketika iklim demokrasi terbuka, dimana kebebasan mendirikan partai politik tanpa ada pembatasan corak ideologi partai, muncullah partai-partai Islam sebagaimana disaksikan lebih dari setengah dekede terahir. Bagi PPP, PBB dan PKS, penerapan Islam sebagai asas partai tidak dapat disanksikan tidak hanya memberikan pengaruh luas pada corak artikulasi politik mereka, melainkan pula panggung politik nasional. Betapapun, suatu yang penting dicatat, penerapan Islam sebagai asas partai tidak serta merta menjadikan partai ini sektarian, atau mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Singkatnya, dijadikannya Islam sebagai asas perjuangan partai oleh PPP, PBB dan PK atau PKS bertolak dari keyakinan bahwa Islam sebagai sistema kehidupan yang komperehensif sehingga perlu dihadirkan ke dalam medan politik. Penggunaan asas Islam ini menurut mereka tidak berarti mempertentangkan Islam dan Pancasila. Karena itu mereka menghindari orientasi mendirikan negara Islam. Betapapun tidak bermaksud merubah ideologi negara Pancasila, partai-partai berasas Islam selalu berusaha menghadirkan Islam Penggunaan asas Islam ini dalam komunitas politik; serta bertolak dari alasan untuk memuliakan dan mengaktualisasasikan Islam dalam semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebab itu, tidak mengherankan apabila saat momentum amandemen pasal 29 muncul, PPP, PBB dan PK/PKS memanfaatkan momentum ini untuk memperjuangkan visi politik mereka, meskipun sesungguhnya tidak ditemukan tafsir tunggal diantara mereka, utamanya terkait dengan bagaimana Islam ditempatkan dalam konteks kenegaraan. Setidaknya hal ini tergambar dari program politik-keagamaan PPP, PK/PKS dan PBB yang memperlihatkan aksentuasi sedikit berbeda. PPP misalnya, tidak menawarkan rumusan yang secara eksplisit menggunakan kata “Islam”. Kesimpulan hampir serupa didapatkan pula ketika mencermati program politik PK/PKS. Hal ini berbeda dengan PBB yang secara tegas menawarkan formulasi pelaksanaan “trias politika [lembaga legislatif, ekskutif dan yudikatif, red.] yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam”. Sayangnya, tidak ditemukan paparan lebih detail mengenai apa yang dimaksudkan sistem “trias politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam” sebagaimana diagendakan PBB tersebut.
Bahwa basis sosial pendukung PK/PKS adalah komunitas yang memperlihatkan aksentuasi terhadap terbentuknya tatanan “masyarakat Islami” tampaknya merupakan pandangan yang sudah diterima luas. Namun minat yang kuat ini, tidak selalu ekuivalen dengan penggambaran program politik mereka, terutama yang menyangkut agenda mewujudkan “masyarakat Islami”. Rumusan program politik PKS yang hemat penulis relatif lebih dekat dengan orientasi keislaman hanya terlihat pada agenda umum partai, yakni (1) “membangun watak bangsa (caracter building) sebagai modal dasar utama pembanguan nasional melalui kegiatan dakwah amar ma’ruf nahi munkar” dengan didasarkan pada penghayatan terhadap “nilai-nilai religius” dan, (2) gagasan “menempatkan ulama, cendikiawan dan aparat pemerintahan dalam sebuah sistem negara kesatuan yang kokoh”.
Rumusan program politik PKS yang longgar ini tampaknya tidak sulit dipahami. Menurut pengamat politik Indonesia, Greg Barton, PKS amat memahami perlunya pendekatan graduasi (bertahap) dalam mewujudkan tatanan “masyarakat Islami”. Karena itu, PK/PKS cukup berhati-hati dalam mentransformasikan agenda-agenda Islami ke dalam program politik-keagamaan mereka dengan menghindari penggunaan “idiom-idiom politik” yang memperlihatkan keinginan kuat untuk melakukan perubahan melalui pendekatan struktural secara frontal. Pilihan PKS untuk menghindari Islamisasi berdasarkan pendekatan struktural ini agaknya tidak dapat dipisahkan dari geneologi PKS sebagai gerakan dakwah yang banyak memanfaatkan pelajaran dari induk semangnya, gerakan Ikhwân al-Muslimîn di Mesir. Leonard Binder menyebut strategi Islamisasi yang dilakukan gerakan Ikhwan Muslimin sebagaimana direpresentasikan dalam pemikiran Sayyed Qutb, bertolak dari lingkaran individu, bukan negara melalui politik-formal. Ungkapan Mursyid ‘Am Ikhwan al-Muslimin kedua, Syeikh Hasan al-Hudaibi ketika menyatakan “kun dawlatan fî nafsika takun fi balâdika”, mengindikasikan kuatnya arus pendekatan individual dan kulural dalam strategi Islamisasi komunitas ini.
Agenda politik PKS yang menghindari Islamisasi dengan menggunakan pendekatan-pendekatan struktural secara menonjol, demikian Barton berpandangan, sekaligus membedakan corak pendekatan Islamisasi PKS, sebut saja misalnya, dengan PBB. PBB hemat saya lebih memperlihatkan pendekatan struktural dalam melakukan agenda-agenda Islamisasi. Pidato politik Yusril Ihza Mahendara yang disampaikan di hadapan Majelis Mujahidin Indonesia bahwa target politik PBB adalah “penerapan syari’at Islam secara total” memperlihatkan orientasi penggunaan pendekatan structural, cukup menonjol. Sahar L. Hasan beralasan, sikap PBB yang demikian ini merupakan konsekuensi logis dari eksistensi PBB yang merupakan partai politik. Mengingat PBB adalah partai politik, maka artikulasi politik merka dilakukan melalui proses legislasi ataupun melalui pendekatan kekuasaan. Sebanding dengan PBB, PPP tampaknya memperlihatkan kecenderungan serupa. Menurut Lukman Hakim Saefuddin, digunakannya pendekatan struktural dalam kadar dominan ini mengingat PPP adalah partai politik, bukan lembaga dakwah ataupun majlis taklim. Karena itu perjuangan politik PPP dilakukan melalui proses-proses politik atau pun pendekatan politik kekuasaan.
PBB memposisikan “syari’at sebagai sumber hukum tertinggi”, dan mengagendakan agar “al-Qur’an dan as-Sunnah” dapat dijadikan “sumber nilai dan norma dalam hukum nasional”. Betapapuan perlu dicatat, sikap PBB dalam menempatkan al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber nilai dan norma dilakukan dengan memberikan keluasaan “berijtihad menggali ajaran-ajaran Islam bagi memecahkan masalah-maslaah baru yang timbul setiap saat”. Karena itu, adaptasi hukum Islam ke dalam hukum nasional menurut PBB dilakukan dengan mempertimbangkan “keadaan dan tempat”. PBB sebagaimana dikatakan sahar L. Hasan, akan tetap berusaha memperjuangan hal ini dengan “di Parlemen dengan cara-cara demokratis”.
Sejauh menyangkut pendekatan dalam memperjuangkan agenda Islamisasi, tampaknya PPP memiliki kecenderungan serupa dengan PBB. PPP menyatakan “akan terus mendorong proses dan upaya reaktualisasi dan revitalisasi ajaran agama dalam proses transformasi sosial budaya” agar “perkembangan sosial budaya Indonesia diwarnai nilai-nilai agama”. PPP, dalam suatu kesempatan berbeda menyebutkan agenda politik mereka di bidang hukum tidak hanya “mempertahankan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama, khusunya Islam”, tetapi adalah “menyempurnakan dan memperbaiki peraturan yang akan mengatur perikehidupan” sehingga sesuai dengan “nilai-nilai ajaran Islam”.
Kecenderungan PBB dan PPP yang merancang “Islamisasi” hukum dengan menggunakan pendekatan struktural, sepintas memperlihatkan perbedaan strategi yang diterapkan PKS. PKS cenderung berhati-hati dan menghindari rumusan program hukum yang berorientasi Islam legal-formalistik dan memilih menggunakan rumusan-rumusan yang lebih bersifat umum. Ini setidaknya terlihat dalam program hukum PK/PKS. Meskipun rumusan program hukum PK/PKS menyatakan partai ini ingin “memperjuangkan secara struktural pemberlakuan hukum Islam yang masyarakat telah siap menerimanya” namun partai ini berhasil mengemas rumusan-rumusan demikian dalam bahwa yang lebih bersifat umum. Hal ini sesungguhnya memperlihatkan minat PKS untuk menggunakan pendekatan struktural secara bertahap dalam menerapkan hukum-hukum Islam.
Perbedaan aksentusi antara PPP, PBB dan PK/PKS sejauh menyangkut strategi bagaimana Islam ditempatkan dalam konteks kenegaraan antara lain terlihat dalam lanskap ketiga partai ini dalam ST MPR tahun 1999-2002. Di tengah derasnya arus penolakan terhadap mandemen pasal 29 UUD 1945, termasuk dari partai-partai Islam dan ormas-ormas Islam di negeri ini, PPP, PBB dan PKS memperlihatkan kegigihan mereka memperjuangkan syariat Islam. Betapapun, tidak ditemukan keseragaman diantara mereka menyangkut strategi mewujudkan agenda serupa.

C. Strategi dan Argumentasi PPP, PBB dan PKS
Amandemen pasal 29 UUD 1945 agaknya merupakan topik paling krusial dalam konstelasi-politik amandemen UUD 1945 pada masa awal reformasi. Meskipun selama empat kali pelaksanaan ST MPR berlangsung, 1999-2002, tema penerapan syariat Islam selalu mencuat, namun perdebatan yang paling menonjol terjadi pada ST MPR tahun 2000 dan 2002. Pembahasan menyangkut strategi dan argumentasi PPP, PBB dan PKS utamanya akan difokuskan pada sikap dan argumentasi politik mereka berdasarkan risalah ST MPR di kedua tahun tersebut.
Seperti disebutkan dimuka, Fraksi PPP dan Fraksi PBB, dua partai berasas Islam terbesar, mendesakkan agar tujuh kata yang dikenal sebagai rumusan Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Mereka mengusulkan agar rumusan berbunyi “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diakomodasi dalam pasal tersebut. Tak pelak, usulan ini memantik reaksi partai-partai lain termasuk dari PKB yang note bone berbasis massa Muslim. Mereka pada prinsipnya menginginkan agar pasal 29 ayat (1) tidak diamandemen dan tetap pada rumusan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Alasan mereka, selama ini terbukti telah berhasil memberikan panduan pranata kehidupan beragama di Indonesia. Ini merupakan pandangan mayoritas yang berkembang di dalam MPR. Kelompok ini diwakili Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Utusan Golongan, Fraksi Utusan Daerah, Fraksi TNI/Polri, Fraksi KKI dan Fraksi PDKB. Sementara itu, pada ujung kutub lainnya, Fraksi Reformasi yang terdiri dari PAN dan PK/PKS mengusulkan rumusan alternatif, yakni “negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya”. Usulan ini diidentifikasi sebagai rumusan “Piagam Madinah” mengingat semangat yang melatari rumusan tersebut adalah naskah Piagam Madinah yang dipraktikkan Nabi Muhammad ketika berada di Madinah.
Menurut wakil dari Fraksi PPP, Zainudin Isman, perjuangan untuk menegakkan syariat Islam melalui undang-undang dilakukan mengingat beberapa alasan. Pertama, krisis moral yang melanda bangsa Indonesia telah mendekati titik terendah, yaitu krisis kepercayaan. Fraksi PPP menilai krisis tersebut hanya dapat diselesaikan apabila pelaksanaan syariat Islam yang sangat mengedepankan moral dan akhlak menjadi kewajiban dari negara. Kedua, sikap Fraksi PPP untuk menerapkan syariat Islam hendaknya tidak dilihat sebagai usaha untuk mendirikan negara theokrasi, tetapi dilihat sebagai usaha untuk memperkukuh nasionalisme. Ketiga, penerapan syariat Islam dalam pandangan PPP justru merupakan usaha untuk memperteguh nasionalisme Islam di tanah air sehingga mengindarkan sifat-sifat universal Islam yang seolah-olah tidak mengenal nasionalisme.
Lukman Hakim Saefuddin yang juga Juru Bicara Fraksi PPP, pada kesempatan lain menegaskan, usulan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta sedikitnya dilatari lima alasan. Pertama, sejak dua tahun terakhir (periode 2000-2002, red.) makin meningkat keinginan untuk memisahkan agama dari negara. Padahal sejalan dengan prinsip pasal 29 UUD 1945, “Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dengan negara walaupaun antara keduanya tetap dibedakan”.
Kedua, kehadiran era globalisasi yang mengakibatkan terjadinya internasionalisasi nilai-nilai dalam wilayah kehidupan bernegara, bermasyarakat maupun beragama jika tidak diantisipasi sejak dini “bukan mustahil akan melucuti nilai-nilai kemanusian” bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia dalam pandangan PPP sedang menghadapi bahaya pelucutan nilai-nilai religius mereka. Untuk itu umat beragama baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, maupun Budha “tidak boleh berdiam diri” dalam menghadapi gejala-gejala tersebut.
Ketiga, secara historis, tujuh kata Piagam Jakarta itu merupakan kompromi yang sebaik-baiknya antara golongan Islam dengan golongan kebangsaan. PPP sangat menyayangkan ketika kompromi tersebut secara tiba-tiba dimentahkan. “Untuk menghormati para pendiri Republik”, demikian Saifuddin beralasan, “Fraksi PPP terpanggil untuk mendudukkan kembali perjanjian luhur tersebut.” Keempat, konsideren dekrit 5 Juli 1959 yang menyatakan memberlakukan kembali UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” dan merupakan “rangkaian yang tak terpisahkan” dengan undang-undang tersebut. PPP menambahkan, setelah 41 tahun UUD 1945 berjalan tanpa jiwa, maka era reformasi merupakan momentum tepat untuk memberikan jiwa kepada konstitusi tersebut. Kelima, bagaimanapun usulan agar Piagam Jakarta dicantumkan tidak dapat dimaknai sebagai keinginan mengutak-atik pembukaan UUD 1945 yang sudah disepakati untuk tidak diamandemen.
PPP menepis pandangan masuknya tujuh kata tersebut berarti menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Tujuh kata Piagam Jakarta menurut Islam hanya mengandung makna bahwa hukum Islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk Islam sebagaimana pernah dipraktekkan dalam politik hukum Hindia Belanda sebelum tahun 1928. Tambahan tujuh kata dalam Pasal 29 UUD 1945 ayat (1) dalam pandangan PPP tidak dimaksudkan untuk menjadikan negara ini sebagai negara agama sebagaimana tidak untuk dijadikan negara sekuler melainkan semata-mata dimaksudkan untuk memberikan legitimasi yang tegas terhadap penciptaan public law (hukum publik) yang ditujukan kepada pemeluk Islam. PPP akan tetap mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dan dengan usulan tersebut “sama sekali tidak terbentuk Negara Islam”.
Selanjutnya, PPP juga menampik pandangan yang menilai pencantuman frase “kewajiban menjalankan syariat” sebagai bencana bagi bangsa Indonesia. Endin Soefihara melihat bencana bagi bangsa ini justru muncul karena adanya penafsiran-penafsiran yang “miring” terhadap makna Piagam Jakarta. Bagi Fraksi PPP, Piagam Jakarta dalam sejarah Indonesia “telah menduduki tempat yang luhur dari pada soal yuridis formal”. Rumusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dalam pandangan PPP mengandung makna yang “sangat mendalam” dan “menjiwai setiap pejuang Muslim”. Sebab itu, Fraksi PPP melihat perjuangan agar “setiap Muslim melaksanakan syariat Islam merupakan panggilan hidup”. Pencantuman kalimat tersebut menurut, Chozin Chumaidy, Juru bicara Fraksi PPP dalam ST MPR 2002, justru akan mendorong umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya secara kâffah (menyeluruh).
Palarel dengan Fraksi PPP, Fraksi PBB “mengusulkan agar negara mengatur ummat Islam dengan syariat Islam”. Hamdan Zoelva mengemukakan tiga alasan PBB mengusulkan perubahan pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dengan memasukkan ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta. Pertama, usulan pencantuman kembali Piagam Jakarta merupakan bentuk konsistensi dan wujud pelaksanaan amanah pendahulu negeri ini, ketika UUD 1945 diberlakukan kembali melalui dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Sebab, dalam diktum dekrit Presiden tersebut ditegaskan bahwa posisi Piagam Jakarta tidak hanya menjiwai tetapi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari UUD 1945. Karena itu, demikian Fraksi PBB beralasan, penambahan tujuh kata dalam pasal 29 ayat (1) bagi Fraksi PBB merupakan penjabaran dari maksud pemberlakuan UUD 1945 tersebut.
Kedua, ajaran Islam manapun dan khususnya syariat agama Islam mengajarkan dan memerintahkan kebaikan. Islam mengajarkan akhlak yang mulia, larangan berbuat kejahatan dan kerusakan di muka bumi, penghormatan kepada penganut agama dan bangsa lain (tasyâmuh) dan segala hal mengenai kebaikan. Untuk itu, bangsa Indonesia yang mayoritas (87 persen) penduduknya Muslim, akan lebih baik jika benar-benar memahami dan menjalankan ajaran agamanya. Jadi, penambahan tujuh kata tersebut, demikian Fraksi PBB berargumen, merupakan salah satu solusi untuk memecahkan dekadensi moral bangsa.
Ketiga, syariat Islam tidak akan diberlakukan kepada mereka yang tidak memeluk agama Islam. Karena pemberlakukan syariat Islam ini tidak dimaksudkan untuk menyingkirkan serta memarjinalkan ajaran dan penganut agama-agama lain. Namun sebaliknya, Fraksi PBB memberikan jaminan agar penganut agama lain dapat secara bebas menjalankan ajaran agama mereka masing-masing. Jaminan seperti ini menurut Fraksi PBB dikarenakan memang syariat Islam memberikan ruang kepada pemeluk agama lain untuk mengekspresikan pandangan-pandangan teologis mereka sendiri.
Zoelva dalam kesempatan lain menegaskan usulan mengembalikan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 diniatkan untuk memunculkan kembali wacana yang selama ini membeku. Sebangun dengan Fralsi PPP, Fraksi PBB menolak anggapan pemberlakuan Piagam Jakarta akan menimbulkan luka bagi penganut agama lain. Pemberlakukan syariat Islam, demikian Zoelva berusaha meyakinkan, tidak akan mengganggu kebebasan bagi agama lain karena Islam adalah rahmatan lil ‘âlamîn.
Paralel dengan Fraksi PPP, Fraksi PBB memandang penegakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya seharusnya mendapat perlindungan dari negara, sebab “memang ada dari bagian-bagian syariat Islam itu yang tidak dapat dilaksanakan secara pribadi melainkan dituntut peranan negara untuk melaksanakannya”. Seorang Muslim tidak hanya berkewajiban melaksanakan syariat Islam dalam hubungannya dengan ibadah dalam arti sempit semata, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan termasuk aspek hukum, baik pidana maupun perdata serta aspek muamalah lainnya, termasuk masalah hal dan haram dalam makanan, minuman maupun transaksi bisnis. Pemberlakuan syariat Islam melalui negara ini demikian Fraksi PBB beralasan, didasari pandangan adanya hubungan integratif antara agama dan negara.
Untuk itu Fraksi PBB meminta agar umat Islam secara proporsional mendapatkan kesempatan untuk mengatur hidup dan kehidupannya dengan ajaran agamanya tanpa merugikan pihak lain atau non-Muslim. Lebih dari 40 tahun umat Islam yang mayoritas di negeri ini dimarjinalkan. Sebab, apabila tuntutan penerapan syariat Islam dapat diakomodasi maka ketentraman, kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.
Pandangan-pandangan yang dikemukan Fraksi PPP dan Fraksi PBB di atas apabila diringkaskan menunjukkan alasan kedua partai ini untuk memperjuangkan kembali Piagam Jakarta adalah untuk mengokohkan nasionalisme, mengatasi krisis sosial, hanya diberlakukan untuk umat Islam, sesuai dengan Dekrit Presiden 1959, dan tidak bermaksud untuk mendirikan negara Islam. Pemberlakuan Piagam Jakarta dalam pandangan mereka tidak berbanding lurus dengan usaha untuk menggantikan ideologi negara ataupun mendirikan negara Islam. Sebaliknya, tuntutan pemberlakuan syariat Islam merupakan konsekuensi logis dari pemberlakuan Dekrit Presiden 1959 yang belum pernah terealisasikan. Menarik disimak, meskipun masih sulit diterima, PPP dan PBB juga menilai pemberlakukan syariat Islam berbanding lurus dengan kondisi kemanan dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Namun, sebagaimana telah dikatakan, gagasan formalisasi syariat Islam mendapat reaksi keras dari sebagian besar fraksi di MPR. Terlepas dari perbedaan rumusan argumen penolakan tersebut, fraksi-fraksi bersikap berseberangan dengan Fraksi PPP dan Fraksi PBB ini adalah Fraksi Golkar (182 kursi), Fraksi PDIP (185 kursi), Fraksi Utusan Golongan (73 kursi), Fraksi PKB (58 kursi), Fraksi TNI/Polri (38 kursi), Fraksi KKI (14 kursi), dan Frasi PDKB (5 kursi). Pada prinsipnya fraksi-fraksi tersebut mengusulkan agar pasal 29 UUD 1945 tidak diamandemen dan dibiarkan seperti naskah semula. Alasan penolakan mereka terhadap amandemen secara umum dapat diringkaskan mengingat rumusan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” selama ini dinilai telah terbukti berhasil mengakomodasi kepentingan agama-agama dan elemen-elemen masyarakat Indonesia.
Demikian pula Fraksi Reformasi sendiri (48 kursi) yang terdiri dari unsur PK/PKS dan PAN, serta Fraksi Daulatul Ummah (9 kursi) juga tidak menampakkan minat untuk mendukung usulan Fraksi PPP dan Fraksi PBB. Namun demikian, hal ini tidak berarti Fraksi ini setuju dengan rumusan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana yang menjadi pandangan mayoritas fraksi di parlemen. Fraksi Reformasi justru mengusulkan opsi tersendiri sebagaimana telah dikemukakan di atas. Tentu saja penolakan mereka sangat menyulitkan PPP dan PBB untuk memuluskan agenda kedua partai ini mengingat total jumlah kursi yang dimiliki fraksi-fraksi tersebut jauh lebih besar dari kekuatan yang dimiliki fraksi PPP (69 kursi) dan PBB (14 kursi).
Ketua Fraksi Daulatul Ummah, Ahmad Satori dalam wawancaranya dengan Lili Romli menilai memperjuangkan kembali Piagam Jakarta sebagai suatu set back, langkah kemunduran. “Padahal”, demikian FDU menyatakan, “kita sudah sepakat bahwa Pancasila merupakan suatu dasar negara, di mana dalam Pancasila tersebut nilai-nilai Islam telah tercakup di dalamnya”. Namun menariknya, dalam ST MPR 2002 FDU tampaknya mendukung gagasan memasukkan tujuh kata tersebut. Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan sikap FDU yang menyesalkan penolakan mayoritas anggota MPR terhadap gagasan Fraksi PPP dan Fraksi PBB untuk memasukkan Piagam Jakarta ke dalam amandemen pasal 29 UUD 1945.
Penolakan Fraksi Reformasi, terutama PK/PKS untuk memperjuangkan agar tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan kembali ke dalam amandemen pasal 29 UUD 1945 menarik untuk dicermati. Tidak saja karena posisi PK/PKS sebagai partai yang menjadikan Islam sebagai asas perjuangan mereka lebih dari itu karena PK/PKS dinilai sebagai partai yang memperlihatkan orientasi keislaman amat menonjol. Berbeda dengan Fraksi PPP dan Fraksi PBB, PK/PKS justru lebih memilih untuk mengusulkan alternatif lain, seperti telah disebutkan. Alternatif ini dipandang sebagai “rumusan kompromis”, mengingat rumusan ini merupakan jalan tengah antara kelompok yang menolak amendemen, dengan kelompok yang menginginkan untuk memasukkan rumusan Piagam Jakarta dalam pasal 29 UUD 1945.
Pilihan PK/PKS untuk tidak mendukung Piagam Jakarta dan mengusulkan rumusan alternatif ini menurut Mutamimul Ula dilatari beberapa alasan. Pertama, PK/PKS lebih mengutamakan substansi dari perjuangan penegakan syariat Islam dari pada persoalan redaksional. PK/PKS memandang persoalan ini tidak sekadar masalah redaksi Piagam Jakarta an sich, lebih dari itu adalah “bagaimana negara dan masyarakat ini memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai Islam”. Kedua, mengingat yang diutamakan substansi penegakan syariat, maka redaksinya dapat diungkapkan secara bermacam-macam sesuai dengan ijtihad kebahasaan. Ketiga, jika yang diutamakan adalah substansi yaitu keseluruhan ajaran Islam maka gerakan untuk menegakkan syariat itu bisa dengan berbagai cara. Ula menambahkan, penerapan syariat Islam dapat dilakukan dengan beberapa pilihan strategis, yakni gerakan individual, gerakan sosial dan pendidikan, gerakan sosial politik, gerakan legislasi, dan gerakan konstitualisme.
Meskipun demikian, mengingat posisi PK/PKS sebagai partai yang menjadikan Islam sebagai asas perjuangan, pilihan untuk tidak mendukung gagasan Piagam Jakarta memetik tudingan bernada kurang simpatik terutama dari para pendukung syariat Islam. PK/PKS menerima kiriman surat kaleng, email, telepon maupun tabligh yang isinya menyayangkan sikap partai ini. Meresponi anggapan tersebut, DPP PK/PKS menyampaikan klarifikasi resmi (bayânat) alasan partai ini tidak mendukung pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam amandemen pasal 29 UUD 1945. Pertama, PK/PKS sebagai partai Islam sejak awal berdirinya berasaskan Islam tidak pernah merubah pendiriannya dalam memperjuangkan agenda-agenda yang berorientasi Islam. Dalam sejarah perjuangannya bersama partai Islam lainnya, PK/PKS merupakan partai yang memperjuangkan penghapusan asas tunggal Pancasila, memasukkan nilai-nilai agama dalam HAM, dan mengegolkan zakat sebagai komponen pajak. Kedua, pemahaman PK/PKS terhadap Piagam Jakarta merujuk kepada Piagam Madinah, suatu Piagam yang telah terbukti berhasil melaksanakan syarî'ah Islâmiyyah dalam masyarakat madani yang plural sekaligus memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak warga non-Muslim. Ketiga, ketika ST MPR berlangsung, dalam berbagai kesempatan Presiden PK/PKS kembali menegaskan tentang komitmennya terhadap penegakan syariat Islamiyah yang rahmatan lil ‘âlamîn melalui amandemen Pasal 29 UUD 1945. Keempat, PK/PKS mengajak semua pihak dalam menyikapi amandemen Pasal 29 UUD 1945 dengan merujuk pada kaidah Islamiyah dan nilai-nilai agama, menggunakan hati yang bersih, pikiran yang jernih sehingga tidak mudah melupakan perjalanan partai-partai dalam berkerjasama untuk kemashlahatan ummat Islam dan bangsa Indonesia, mengedepankan sikap tabayyûn serta menghindari penyebaran fitnah.
Pilihan politik demikian tetap dipertahankan PK/PKS dalam ST MPR 2002. Bersama PAN, partai ini kembali menegaskan pendirian politik mereka dalam mengegolkan rumusan “Piagam Madinah”. Dus, sebagaimana terjadi sebelumnya, pilihan demikian tentu saja memantik kritik dari pendukung gagasan Piagam Jakarta. Maka, dalam klarifikasi yang disampaikan secara resmi, mereka menjelasan kembali alasan mereka memperjuangkan rumusan “Piagam Madinah”. Pertama, PK/PKS melihat rumusan tersebut lebih memberikan rasa keadilan dan mengakomodir aspirasi semua agama. Dengan demikian diharapkan tidak menimbulkan terjadinya diskriminasi dan semangat disintegrasi sebagaimana dikhawatirkan sementara kalangan. Di satu pihak, rumusan ini akan melecut semangat keberagamaan, sementara di pihak lain tidak ada kelompok yang merasa dianak-tirikan. Kedua, rumusan tersebut dinilai mengakomodasi aspirasi yang terkandung dalam Piagam Jakarta dengan tetap memperhatikan fakta sejarah tentang Piagam Madinah sehingga diharapkan rumusan tersebut dapat diterjemahkan dalam konteks keindonesiaan. Rumusan ini dalam pandangan PK/PKS dinilai mampu memunculkan semangat masyarakat Madinah yang taat beragama, pluralis, berkeadilan dan integratif sebagaimana diperlihatkan sejarah sampai dengan terjadinya peperangan khandaq. Ketiga, gagasan untuk memperjuangkan Piagam Jakarta di parlemen bukan hanya tidak signifikan karena hanya didukung PPP dan PBB tetapi juga tidak mendapatkan dukungan dari dua organisasi Islam terbesar, yakni NU dan Muhammadiyah.
Piagam Madinah menurut Hidayat Nurwahid terbukti telah berhasil mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat yang rahmatan lil ‘âlamîn. PK/PKS sendiri, demikian Nurwahid melanjutkan, telah membuktikan secara langsung bagaimana partai ini bekerja-sama dengan bermacam-macam kelompok dalam Forum Indonesia Damai (FID) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya aksi balas-dendam sebagai akibat dari peristiwa pengeboman di gereja. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana kerja-sama itu dapat direalisaikan tanpa menggadaikan nilai-nilai agama, melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip al-birri wa al-taqwâ (kebaikan dan ketakwaan).
Sementara itu Untung Wahono, mengungkapkan sesungguhnya Piagam Jakarta tersebut bukan cermin dari “negara Islam” yang diimajinasikan PK. Piagam Jakarta menurut Wahono merupakan suatu bentuk kompromi, dimana ummat Islam mengalami kekalahan ketika hendak membentuk negara Islam. Karena itu Wahono melihat perjuangan untuk memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam konstitusi sudah tidak menemukan momentum. Pembahasan tentang hal-hal yang menyangkut hubungan antara syariat Islam dan konstitusi dalam pandangan PK/PKS bukan menjadi agenda pokok. “Konsolidasi kekuatan ummat”, demikian Wahono melanjutkan, “jauh lebih penting dibandingkan melemparkan sebuah isu yang tidak didukung oleh sebuah kekuatan yang signifikan di MPR”.
Terlepas dari motif-motif teologis di balik agenda penerapan Piagam Madinah, pertimbangan taktis yang dikemukakan Wahono bukan tanpa argumentasi rasional. Perjuangan untuk memasukkan teks-teks Islam ke dalam konstitusi membutuhkan dukungan secara signifikan dari anggota MPR, sementara kelompok pendukung Piagam Jakarta jumlahnya tidak lebih dari 20 persen. Pengalaman historis sebagaimana diperlihatkan dalam perdebatan antara para wakil Islam dengan wakil nasionalis dalam Konstituante menunjukkan wakil Islam yang berjumlah 43 persen mengalami kesulitan,—untuk menghindari mengatakan gagal— dalam untuk memperjuangkan memasukkan rumusan tersebut Islam ke dalam naskah konstitusi.
‘Kegagalan’ ini terulang kembali di era reformasi. Perdebatan antara kelompok yang menginginkan tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan dalam amandemen pasal 29 UUD 1945 dengan kelompok yang menolak amandemen ini berakhir dengan kesepakatan mayoritas anggota majelis tanpa melibatkan Fraksi PBB untuk mengembalikan rumusan pasal 29 UUD 1945 tetap sebagaimana naskah semula. Menyikapi realitas kegagalan ini, Fraksi PBB sebagaimana yang disampaikan Nadjih Ahjad mengungkapan sikapnya dalam bahasa yang cukup dramatis.
“Hari ini kami para anggota Fraksi PBB yang terdiri atas anggota partai Bulan Bintang dan Partai Sarikat Islam Indonesia merasakan beban yang berat, karena harus mengambil suatu sikap yang mungkin membuat para anggota majelis kurang nyaman. Kami mengambil sikap yang lekat dengan keyakinan kami. Pada dasarnya untuk pasal 29 ayat (1) kami tetap berketetapan untuk memilih opsi […] “negara berdasar atas Ketuhanan Yang maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kami tidak berniat sedikitpun untuk surut dari pendirian itu. Kalau sekarang beberapa fraksi atau kebanyakan fraksi menolak opsi itu […] maka ibarat orang yang berjuang menempuh jalan yang penuh dengan onak dan duri, pada saat ini kami berada di hadapan sebuah tembok besar yang tidak mungkin ditembus. […] kami tidak berniat untuk surut kebelakang, walaupun tidak kuasa melampaui tembok itu, kami hanya menunggu sampai saat tiba. Saatnya tiba kami meneruskan perjalanan. […] Kalau saudara-saudara tetap menolak usulan kami […], maka mohon dicatat secukupnya bahwa kami dari anggota-anggota FBB tidak ikut mengambil keputusan itu.”

]Berbeda dengan Fraksi PBB, pada detik-detik terakhir pengesahan rancangan putusan MPR hasil sidang tahunan MPR tahun 2002 Fraksi PPP “menyerahkan sepenuhnya kepada majelis untuk mengambil putusan terbaik sesuai dengan dinamika kehidupan politik dewasa ini”. Lukman Hakin Saifuddin menyatakan,

“PPP saat itu memang menghadapi tembok yang begitu besar. PPP kemudian menyadari dukungan terhadap Piagam Jakarta masih belum mencapai setengah. Sementara persyaratan untuk mengubah UUD itu minimal mendapat dukungan dari 2/3 anggota yang hadir. […] Kalau PPP memaksakan diri, kan harus divoting. Kalau voting, kita pasti kalah. Kalau kalah, maka generasi yang akan datang sudah tidak lagi bisa memperjuangkan hal ini [Piagam Jakarta, red] lagi […] sehingga upaya untuk mengangkat persoalan ini menjadi tertutup. Ini adalah bagian dari strategi kita dalam menghadapi tembok yang begitu besar. PPP tidak mungkin membenturkan kepalanya sendiri ke tembok. […] PPP berasumsi, suatu saat nanti, kita tidak tahu, generasi kita, anak-anak kita, entah tahun kapan, mereka masih punya peluang untuk memperjuangkan hal itu kembali.”

Sebanding dengan sikap Fraksi PPP, Fraksi Reformasi, tempat para wakil dari PK/PKS berada juga mengambil sikap serupa, yakni “menyadari realitas aspirasi politik yang berkembang di majelis ini wajib dihormati dankami tidak ingin menghambat penyelesaian keputusan secara elegan dan demokratis. […] Fraksi Reformasi […] menyerahkan keputusan kepada majelis untuk kembali kepada rumusan yang asli”. Meskipun tetap menginginkan agar gagasan syariat Islam dapat dimasukkan dalam amandemen UUD 1945, namun Fraksi Reformasi menghormati keputusan anggota majelis yang menolak gagasan tersebut.
Menariknya, meskipun sikap resmi fraksi reformasi “menyerahkan keputusan kepada majelis”, namun pada detik-detik terakhir pengambilan pengesahan keputusan, Mutamimul Ula mewakili semua anggota fraksi dari unsur PK menyatakan “tidak ikut dalam pengambilan keputusan pada pasal tersebut”. Menurut Mutammimul ‘Ula, alasan yang mendasari sikap PKS ini untuk menunjukkan bahwa “kita menyadari, belum punya dukungan, tetapi kita ingin tunjukkan bahwa kita serius memperjuangkan rumusan itu”.
Pilihan Fraksi PBB, PK/PKS dan beberapa anggota parleman yang mendukung gagasan syariat Islam untuk menyatakan abstain menggambarkan kesepakatan untuk kembali kepada rumusan semula tidak berlangsung mudah. Kesulitan muncul karena masing-masing kelompok bersikukuh dengan pendirian masing-masing. Di satu pihak —prinsip-prinsip demokrasi— meniscayakan para pendukung gagasan penerapan syariat menerima pandangan mayoritas anggota parlemen yang menolak amandemen, sementara di pihak lain sikap demikian bertentangan dengan pandangan-pandangan teologis mereka tentang syariat Islam. Kenyataan lebih dipersulit karena pengambilan keputusan dengan mekanisme voting juga tidak dapat diterima mayoritas anggota parlemen, terutama para pendukung gagasan syariat Islam. Menurut Kaban, penolakan PBB terhadap pengambilan keputusan secara voting,
“Karena memang kita melihat bahwa pada saat perumusan tujuh kata itu kan pada awalnya tidak dilaksanakan voting, dan penyelenggaraan penegakan syariat Islam di Indonesia itu menurut kita tidak layak apabila diputuskan secara voting. Karena itu menyangkut pelaksanaan hukum Allah. Pelaksanaan hukum Allah itu harus dilaksanakan dengan kesadaran, dengan penuh ketulusan yang sebelumnya harus melewati proses pendidikan kepada publik, sehingga mereka tahu persis apa yang akan mereka laksanakan. Karena itu kan sebagaimana dikatakan Allah, “walâ taqfu mâ laisa laka bihi ‘ilmun”. ‘Jangan memaksakan sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan di dalamnya’. (Qs. Al-Isrâ’, 17:36). Jangan sampai terkesan bahwa tidak berlakunya syariat Islam itu adalah karena faktor voting. Sebab, apabila diselenggarakan secara voting, maka nanti timbul pro dan kontra. Bagaimanapun mayoritas anggota parlemen di Indonesia ini adalah Muslim. Nah, kalau secara politik di parlemen di adakan voting, maka timbul kelompok yang setuju dan tidak setuju. Itu mempunyai implikasi sangat luas, dan kita tidak menginginkan implikasi itu menimbulkan gejolak, misalnya, orang-orang yang tidak setuju syariat Islam itu lalu dikafirkan, atau dianggap murtad. Padahal, proses tarbiyyah yang kita lakukan belum final. Ini juga menyangkut misalnya, keputusan-keputusan politik yang sifatnya sangat sesaat, karena bisa saja suatu saat, bila ada kesempatan, perjuangan kita akan diterima masyarakat.”

Walapun PPP dan PBB memperlihatkan orientasi serupa dalam memperjuangkan agenda penerapan syariat Islam, namun dua partai ini memperlihatkan respon berbeda dalam menyikapi realitas politik yang tidak mendukung gagasan mereka untuk memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam amandemen pasal 29 UUD 1945. PPP menyerahkan keputusan tersebut kepada Majelis dan mengikuti apapun hasil keputusan Majlis, sementara PBB mengatakan bahwa meskipun pada saat sekarang perjuangan mereka belum berhasil, mereka tetap mengagendakan perjuangan syariat Islam pada momentum lainnya.
Perbedaan sikap PPP dan PBB dalam menyikapi hal tersebut tampaknya dapat ditelusuri dengan memeriksa karakter teologi politik kedua partai ini setidaknya sebagaimana direpresentasikan pada figur Hamzah dan Yusril. Hamzah sebagaimana sudah dipaparkan di atas berasal dari unsur NU, sementara Yusril merupakan penerus garis teologi politik Masyumi. Sejauh menyangkut strategi perjuang politik, NU dikenal memiliki pemikiran politik yang elastis. Bahkan elastisitas ini acapkali memunculkan kesan oportunis bagi NU. Adagium umum yang berlaku di NU misalnya ungkapan “mâ la yudraku kulluhu la yutraku ba’duhu” atau “sesuatu yang tidak dapat didapatkan secara keseluruhan jangan ditinggalkan sebagiannya” dalam kadar tertentu dapat memahami sikap PPP yang pada masa kepemimpinan Haz didominasi NU. Sementara Yusril yang note bone memiliki geneologi politik dengan Masyumi. Masyumi dalam studi yang dilakukan Greg Fealy dikenal sebagai organisasi yang konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai tertentu, dan bahkan pada tahap tertentu dikesankan sebagai organisasi yang kaku dan statis. Bertolak dari perspektif ini dapat dimengerti apabila pada saat-saat terakhir pengesahan hasil-hasil sidang, PPP menyerahkan kepada keputusan Majlis, sementara PBB konsisten pada keputusannya, sementara PBB menegaskan akan tetap memperjuangkan syariat Islam dalam kesempatan lain meskipun realitas politik tidak mendukungnya.

D. Penutup
Bertolak dari pembahasan di atas, studi ini menemukan perbedaan dan persamaan terlihat pula dalam respon PPP, PBB dan PKS terhadap agenda fomalisasi syariat Islam melalui negara. Secara umum, PPP, PBB dan PKS memandang penegakan syariat melalui negara merupakan panggilan hidup bagi setiap Muslim. Meski begitu, PPP, PBB dan PKS berbeda pandangan terutama dalam menyangkut bagaimana strategi merealisasikan agenda-agenda Islamisasi melalui negera tersebut dilakukan. PPP dan PBB memperjuangkan dengan memasukkan rumusan Piagam Jakarta ke dalam batang tubuh UUD 1945; sementara PK/PKS (baca: bersama PAN) mengusulkan rumusan Piagam Madinah. Tatkala kedua usulan tersebut tidak mendapat respon positif dari mayoritas anggota parlemen, sikap politik PPP, PBB dan PK/PKS lagi-lagi saling bersilangan. PPP dapat memahami pandangan mayoritas anggota majelis dan menerima keputusan untuk tidak mengamandemen pasal 29 UUD 1945; sementara PBB dan PKS menyatakan abstain dari pengambilan keputusan.
Suatu hal yang dapat dipetik dari fenomena di atas adalah kenyataan sulitnya menyatukan pandangan dan strategi sejauh menyangkut bagaimana Islam ditempatkan dalam konteks kenegaraan. Tidak saja antara kelompok yang menolak positifikasi syariat Islam dalam konteks kenegaraan, perbedaan juga terjadi antara pendukungnya. Perbedaan tersebut tidak hanya terjadi menyangkut bagaimana strategi perjuangan itu dilakukan, melainkan pula terkait dengan syariat yang apa saja yang dapat dipositifikasikan. Tidak ada definisi tunggal tentang syariat Islam. Ini sesungguhnya problem klasik dalam diskursus agama (syariat) dan politik. Sebab, memang tidak tidak ada tafsir tunggal menyangkut ajaran Islam. Tafsir atas ajaran Islam tampkanya seluas dan sebanyak jumlah penganut Islam, karenanya, menjadikan suatu tafsir tentu sebagai paling otoritatif atas tafsir lainnya, terlebih dengan memposisikan negara sebagai eksekutor kebenaran tafsir tertentu; sesungguhnya merupakan problem terbesar yang selalu muncul dalam pelataran Islam dan demokrasi.[][]



DAFTAR PUSTAKA


I. Dokumentasi PPP, PBB dan PK/PKS
AD/ART PBB 1998, (Jakarta: DPP PBB, 1998)
AD/ART PBB PBB 2000 , (Jakarta: DPP PBB, 2000)
AD/ART PBB PPP 1973, (Jakarta: Sekretariat DPP PPP, 1973)
AD/ART PBB PPP 1977, (Jakarta: Sekretariat DPP PPP, 1977)
Bayanat Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PK, 2002)
CD Partai Keadilan Sejahtera, (Jakarta: DPP PKS, t.t.[2004?])
Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang, (Jakarta: DPP PBB, 1999)
Ketetapan-ketetapan Muktamar IV PPP, (Jakarta: DPP PPP, 1999)
Ketetapan-ketetapan Muktamar V, (Jakarta; Panitia Muktamar V PPP, 2003)
Memperjuangkan Syariat Islam: Kumpulan Pidato Fraksi Bulan Bintang Pada ST MPR RI Tahun 2000-2002, (Jakarta: DPP PBB, 2003)
Politik Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Perjuangan dan Sikap Fraksi PPP pada ST MPR RI Tahun 2000, (Jakarta: DPP PPP, 2000)
Politik Dakwah Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PK, 2000)
PPP 30 Tahun Bersama Ummat, (Jakarta: Panitia Muktamar V PPP, 2003)
Program Umum Perjuangan PBB (Jakarta: DPP PBB, 2001)
Risalah Rapat ST MPR 2000, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2000)
Risalah Rapat ST MPR 2002, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002)
Sekilas Partai Keadilan Sejahtera, (Jakarta: DPP PKS, 2003)
Sekilas Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PK, 1998)
Sikap Kami: Kumpulan Seruan, Pernyataan Politik, Bayanat dan Pidato Politik Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PK, 2001)
Tafsir Asas PBB, (Jakarta: DPP PBB, 2002)

II. Buku-buku
Amir, Zaenal Abidin, Peta Politik Islam Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003)
Azra, Azyumardi, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat, (Jakarta: Kompas, 2002)
Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Pendudukan Jepang, Daniel Dhakikie (terj.), (Jakarta: Pustaka jaya, 1980)
Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesia: 1945-1972, (Jakarta: Grafiti Press, 1985)
Burhanuddin, Nandang, Penegakan Syariat Islam Menurut Partai Keadilan, (Jakarta: al-Jannah, 2004)
Damanik, Ali Said, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, cet. II (Jakarta: Teraju, 2003)
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998)
_______, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001)
Eickelman, Dale F. dan James Piscatori, Politik Muslim: Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat Muslim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998)
Fealy, Greg, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, penerjemah: Farid Wajidi dan Adelina Bachtar, (Yogyakarta: LkiS, 2003)
Furkon, Aay Muhammad, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Teraju, 2004)
Halim, Sudarnoto Abdul, The Partai Persatuan Pembangunan: The Political Journey of Islam Under Indonesia’s New Order (1973-1987), (Montreal: Tesis MA McGill University, 1993)
Haris, Syamsudin, PPP dan Politik Orde Baru, (Jakarta: Grasindo, 1991)
Hassan, Sahar L. (dkk), Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi, (Jakarta: Dema Insani Press, 1998)
Haz, Hamzah, Pidato Peringatan Harlah ke-26 PPP di Jakarta, 05/01/1999
Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Negara: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan Bagi Keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era 1970-an dan 1980-an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
Liddle, R. William, Islam, Politik, Modernisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997)
Lubis, Satria Hadi, Yang Nyata Dari PK Sejahtera, (Jakarta: Miskat Publication, 2003)
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985)
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masumi Indonesia dan Partai Jama’at Islami Pakistan, (Jakarta: Paramadina, 1999)
Mardjono, Hartono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Radi, Umaidi, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi Tentang Kekuatan Politik Islam Tingkat Nasional, (Jakarta: Integritas Press, 1984)
Salim, Arskal, Partai Islam dan Relasi Agama-Negara, (Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta, 1999)
Shihab, Habib Ridzieq, Dialog Piagam Jakarta: Kumpulan Jawaban, (Jakarta: Pustaka Ibnu Sidah, 2000)
Syamsuddin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2001)
Wahono, Untung, Penegakan Syariat Islam dan Koalisi Partai: Menjawab Tuduhan Terhadap PKS, (Jakarta: Pustaka Trabiyatuna, 2003)
Zada, Khamami, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002)

III. Artikel dan Makalah
Ali, Fachry dan Iqbal A. Saimina, “Merosotnya Aliran dalam Partai Persatuan Pembangunan”, dalam Prisma, Vol. X (12)
Azra, Azyumardi, “Islam Politik Pada Masa Pasca Soeharto”, dalam A.M. Fatwa, Satu Islam Multi Partai: Membangun Integritas Di Tengah Pluralitas, (Bandung: Mizan, 2000)
Effendy, Bahtiar, “Dari Gerakan Tarbiyah Menjadi Partai Politik: Diversifikasi Makna dan Dakwah Islam”, dalam Said Ali Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, cet. II (Jakarta: Teraju, 2003)
Fatah, Eep Saifullah, “Masa Depan Politik Islam: Dari Pusaran Menuju Arus Balik” dalam Abu Zahra (ed.), Politik demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Fatwa, A.M., “Satu Islam, Banyak Partai” dalam Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Kuntowijoyo, “Enam Alasan Untuk Tidak Mendirikan Partai Islam”, dalam Republika, 18/07/1998
Liddle, R. William, “Islam, Nasionalisme dan Empati” dalam Kompas, 22/07/2004
_______, “Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Massa Orde Baru”, dalam Mark Woodward (ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutaakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999)
Madjid, Nurcholis, “Partai Keadilan Nanti Muncul Sebagai Partai Penting”, dalam Hairus Salim (ed.), Tujuh Mesin Pendulang Suara: Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999, (Yogyakarta: LKiS, 1999)
Mahendra, Yusril Ihza, “Partai Alternatif Era Reformasi”, dalam Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi, Sahar L. Hasan et.al. (ed.), (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
_______, “Dengan Prinsip Ummatan Wasatan Kita Perjuangkan Sistem, Bukan Orang,” Sahar L. Hassan (ed.), Memilih Partai Islam: Visi Misi dan Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Mardjono, Hartono, “Memorandum Syari’at untuk anggota DPR/MPR, pemimpin Negara dan Tokoh Masyarakat,”, Risalah tidak diterbitkan.
Muzani, Saiful, “The Devaluation of Aliran Politics, View from the Third Congress of the PPP,” Studi Islamika, Vol. 1, No. 3, 1994
Noer, Deliar, “Mengapa Partai Islam”, dalam Hassan et.al., (ed.) Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Rais, Amin, “Dalam Istilah Politiknya Disebut Political Stand Still”, dalam Hairus Salim (ed.) dalam Tujuh Mesin Pendulang Suara: Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999, (Yogyakarta: LkiS, 1999)
Thaha, Idris, “Mendamaikan Islam dan Negara”, dalam Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat, (Jakarta: Kompas, 2002)
Tornquist, Olle, “Pemilu 2004: Kegagalan Gerakan Demokrasi”, dalam Kompas, 31/01/2004
Ula, Mutamimul, “Persoalannya Bukan Teks Piagam Jakarta an sich”, Suara Keadilan, Edisi 08/01/2000
_______, “Perspektif Penerapan Syariat Islam”, dalam Penerapan Syariat Islam di Indonesia Antara Peluang dan Tantangan, (Jakarta: Globalmedia, 2003)

IV. Media Massa
Buletin Bulan Bintang, Edisi 3 Tahun II 01/09/2000
Media Indonesia, 19/02/2004
Suara Keadilan, Vol. I, 09/09/2000

V. Thesis dan Disertasi
Romli, Lili, Partai Islam Era Reformasi dan Piagam Jakarta dalam Sidang Tahunan 2000, Tesis Master di Universitas Indonesia, Jakarta, 2001

VI. Wawancara
Badjeber, Zain, (Anggota Majelis Pertimbangan Partai DPP PPP/Anggota DPR RI) (Jakarta: Hotel Santika, 28/08/2004)
Chumaidy, Chozin, Wakil Sekretaris Umum/Anggota DPR RI, (Jakarta: DPP PPP, 11/08/2004)
Hasan, Sahar L., Wakil Ketua DPP PBB (Jakarta: Kantor DPP PBB, 19-20/08/2004)
Kaban, MS., Sekretaris Jenderal PBB/Anggota DPR RI, (Jakarta: DPR RI, 23/08/2004)
Matta, Anis, Sekretaris Jenderal DPP PKS/Anggota DPR RI, (Jakarta: Yayasan al-Manar, 20/08/2004)
Nurwahid, Hidayat, Ketua Umum DPP PKS/Anggota DPR RI, (Jakarta: DPP PKS, 11/08/2004)
Saefuddin, Lukman Hakim, Sekretaris DPP PPP/Anggota DPR RI (Jakarta: DPR RI, 12/08/2004)
Soefihara, Endin AJ., Ketua DPP PPP/Anggota DPR RI, (Jakarta: DPR RI, 13/08/2004)
Ula, Mutammimul, Ketua Departemen Hukum dan HAM DPP PKS/Anggota DPR RI, (Jakarta: Wisma DPR RI, 17/08/2004)
Wahono, Untung, Ketua Departemen Politik dan Hankam DPP PKS/Anggota DPR RI, (Jakarta: Kantor DPP PKS, 17/08/2004)




Tentang Penulis

Muhammad Ansor adalah mahasiswa pascasarjana (doktoral) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, program studi Pemikiran Islam. Lahir di Topang, Bengkalis pada 13 Juli 1976. Selain sebagai peneliti JSPDL dan The Riau Institute, aktif pula sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Majlis Sinergi Kalam (Masika) ICMI (2006-2011).
Karyanya antara lain Menakar Jiwa Suci: Perjalanan Sufistik Ibn Arabi, (penerjemah karya Ibn Arabi), (Jakarta: Hikmah, 2003); Catur Ilahi: Taktik dan Strategi Memenangkan Pergulatan Hidup, (penerjemah karya Ibn Arabi) (Jakarta: Hikmah, 2003); Rethingking Paradigma Kepemimpinan Riau, (co. editor), (Jakarta: KMPRJ, 2003), dan Politik Pelembagaan Syariat: Strategi dan Argumentasi PPP, PBB dan PKS di Sidang Tahunan MPR 1999-2000, dimuat dalam Jurnal Ulumuna, IAIN Mataram, Volume IX, Edisi 16, Juli-Desember 2005.



No comments: