Google

Wednesday, April 4, 2007

hai

hai lagi baca selengkapnya..

Thursday, March 29, 2007

Pluralisme Sosial Masyarakat Bagansiapi-api


oleh
muhammad darwis
muhammad ansor
tabrani
Pendahuluan
Pemaparan berikut akan membahas potret pluralisme sosial masyarakat Bagansiapi-api. Pemaparan sebagian besar didasarkan pada hasil wawancara dengan sejumlah aktivis di pelbagai sektor, dengan maksud untuk memetakan pluralisme sosial Ibu Kota Rokan Hilir tersebut. Pemilihan Bagansiapi-api sebagai unit kajian untuk menganalisa karasteristik pluralitas sosial masyarakat Kabupaten Rokan Hilir selain kedudukannya sebagai pusat pemerintahan, pula didasarkan tingkat kosmopolitanisme kota ini dibanding dengan daerah-daerah lain di kabupaten tersebut. Tanpa bermaksud melakukan reduksi kiranya tidak berlebihan mengatakan dinamika sosial di Kabupaten Rokan Hilir untuk sebagian cukup terepresentasi dengan melihat dinamika sosial di Bagansiapi-api.Terkait kepentingan tersebut, kami akan membagi pluralitas sosial di Bagansiapi-api ke dalam beberapa segmen dengan klasifikasi yang relatif dan spesifik. Beberapa segmen dimaksud adalah: konflik dan integrasi antara etnis Melayu dan etnis Tionghoa, organisasi massa Islam dengan fokus utama Nahdlatul Ulama, corak gerakan mahasiswa, gerakan politik dan etnisitas di ruang publik, serta fenomena sosial lainnya di Bagansiapi-api dan Rokan Hilir. Meski unit analisa tulisan ini Bagansiapi-api, tidak semua tema pembahasan akan dilihat dalam konteks Bagansiapi-api semata. Sedikitnya ada dua tema yang akan dianalisa sebagai fenomena Kabupaten Rokan Hilir, bukan Bagansiapi-api, yaitu saat menganalisa topik tentang pluralitas gerakan mahasiswa dan fenomena politik etnisitas.Untuk mempermudah pembahasan, masing-masing segmen akan dianalisa berdasarkan beberapa hal berikut: pertama, kesamaan atau pandangan umum dalam masing-masing segmen dalam melihat realitas pluralitas sosial di Bagansiapi-api; kedua, perbedaan pada masing-masing segmen; dan ketiga, interaksi pelbagai kelompok di masing-masing segmen. Tetapi sebelum lebih jauh membahas pokok persoalan, pada bagian ini akan dikemukakan beberapa hal meliputi, kerangka teoritis yang digunakan penulis, tinjauan sepintas tentang Bagansiapi-api pada era kolonial, post-kolonial hingga masa pasca reformasi dengan dilihat dari perspektif pluralitas sosial masyarakat daerah tersebut.Sekilas Tentang Bagansiapi-api
Menurut beberapa informan yang kami temui, nama Bagansiapi-api berasal dari gabungan kata “Bagan” dan kata “Api-api”. Frase pertama berarti “tempat menyimpan dan menjemur ikan”, sementara frase kedua merupakan kosa kata daerah-daerah Bagansiapi-api yang artinya “kunang-kunang”, nama untuk binatang kecil yang berterbangan pada malam hari, dan di sayapnya terdapat cahaya berkerlipan sehingga terlihat seperti percikan-percikan api. Astrie Andriyani mengisahkan bahwa asal-muasal penggunaan kata “Bagansiapi-api” sebagai nama daerah ini, karena saat malam hari tiba, di tempat-tempat “penyimpanan dan penjemuran ikan” milik masyarakat pribumi di daerah tersebut banyak dikerumuni kunang-kunang. (Lihat, Andriyani, 2001:19). Masyarakat China di Bagansiapi-api biasa menyebut Bagan dengan “Bangliau” (Wang Liao) yang artinya “Jaring Kosong”. Banyak orang dari daerah lain di sekitar Bagansiapi-api menyebut daerah itu sebagai tempat “Bagan” dan tempat “Siapi-api”, yang belakangan menjadi satu frase tersendiri: “Bagansiapi-api”. (Lihat, Andriyani, 2001:19-20). Tanpa bermaksud menafikan argumentasi lain mengenai asal-usul penamaan Bagansiapi-api, tampaknya informasi ini relatif bisa diterima untuk menjelaskan latar belakang penyebutan daerah ini dengan nama Bagansiapi-api.Bagansiapi-api merupakan salah satu kota kecil di sudut wilayah pulau Sumatera. Kota ini dikembangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda, —setidaknya dilihat dari perhatian intensif yang diberikan pemerintah kolonial terhadap pembangunan kota ini. Perhatian intensif dari pemerintah kolonial Belanda terhadap pembangunan Bagansiapi-api mengingat kekayaan sumber daya alam daerah ini terutama hasil lautnya. Pada masa kolonial Hindia Belanda kota ini mengalami perkembangan pesat sehingga pernah tercatat sebagai pusat penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Seorang sejarawan, Sudarno Mahyudin melaporkan bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Bagansiapi-api duduk seorang kontroleur atau yang lazim disapa kontrolir dan menjadikan kota ini sebagai suatu wilayah administratif bernama Kewedanaan. Status administratif tersebut tetap dipertahankan pada masa kolonial Jepang, meskipun saat itu posisi kontrolir diganti dengan Gun Co yang dijabat oleh seorang Melayu bernama Mokhtar. (Lihat, Mahyudin, 2006:1-6).Menurut laporan perjalanan rombongan pendamai tentang peristiwa kerusuhan di Bagansiapi-api yang ditulis oleh Mokhtar, Bagansiapi-api pada tahun 1945 berpenduduk kurang lebih 30.000 jiwa, yang terdiri dari kira-kira 80 persen keturunan China. Pada zaman penjajahan Belanda dahulu atau sebelum tahun 1942, di kota ini tumbuh organisasi-organisasi rakyat Indonesia seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah. Sedangkan pada pihak China ada pula mempunyai organisasi sosial dan ekonomi yang mendapat tunjangan dari pemerintah Hindia Belanda (Lihat, Mahyudin, 2005). Laporan tentang keragaman 0rganisasi-organisasi sosial tersebut merupakan fakta historis yang menunjukkan pluralitas sosial masyarakat dan memperlihatkan arti strategis Bagansiapi-api pada era kolonial dan berlangsung hingga masa post-kolonial atau setelah kemerdekaan.Sejak era reformasi, Bagansiapi-api, atau oleh penduduknya sering disebut dengan nama Bagan (saja) merupakan salah satu kota kecil yang saat sekarang menjadi Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Status ini disandang menyusul pemekaran Kabupaten Bengkalis pada tahun 2000 menjadi beberapa kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Rokan Hilir. Berdasarkan informasi seorang informan di lapangan, upaya untuk menjadi kabupaten sendiri sesungguhnya sudah dilakukan semenjak tahun 1963, tetapi usaha tersebut selalu mengalami kegagalan. Keinginan ini semakin terpendam ketika pemerintahan Orde Baru dengan sistem pemerintahan yang sentralistik mengambil alih kekuasaan selama lebih dari tiga dasawarsa. Maka segera setelah pemerintahan Orde Baru berakhir, dan pemerintahan di era reformasi tampaknya akomodatif dengan gagasan otonomi daerah dan memberikan apresiasi kepada daerah-daerah tertentu untuk memekarkan diri, momentum tersebut disambut dengan seksama oleh para elite masyarakat di Rokan Hilir untuk memekarkan diri dari Bengkalis dan membentuk kabupaten sendiri dengan Ibu Kota di Bagansiapi-api.Usaha untuk memisahkan diri dari Kabupaten Bengkalis dengan membentuk Kabupaten Rokan Hilir pada era reformasi hampir tidak menemukan hambatan politis yang berarti. Hal ini antara lain lantaran gagasan otonomi daerah pada masa itu cukup mendapat dukungan dari pemerintah Indonesia pada masa reformasi. Namun di internal masyarakat Rokan Hilir, persoalan muncul pada saat pembicaraan tentang letak ibu kota kabupaten yang akan dibentuk. Beberapa elite masyarakat di Rokan Hilir bersilang sengketa menyangkut letak pusat pemerintahan kabupaten baru tersebut, apakah berkedudukan di Bagansiapi-api atau Ujung Tanjung. Setelah melewati perdebatan intensif, akhirnya dalam suatu Musyawarah Besar (Mubes) Masyarakat Rokan Hilir yang diselenggarakan 19 Juni 1999 di sepakati bahwa Bagansiapi-api “untuk sementara dan pertama kali” ditetapkan sebagai Ibu Kota Rokan Hilir (Lihat, Laporan Mubes, 19 Juni 1999). Selanjutnya, nama Bagansiapi-api pula yang muncul sebagai Ibu Kota saat UU tentang pembentukan Kabupaten Rokan Hilir mendapat pengesahan dari pemerintah pusat di Jakarta.Menjadi Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir, keragaman sosial masyarakat Bagansiapi-api pada kadar tertentu merepresentasikan pluralitas sosial masyarakat Rokan Hilir secara keseluruhan. Mendiami empat kelurahan yang menyebar di Kelurahan Bagan Barat, Bagan Kota, Bagan Hulu, dan Bagan Timur; masyarakat Bagansiapi-api selain memiliki populasi sangat padat, pula memiliki keragaman sosial yang ko-eksisten atau saling mengakui keberadaan masing-masing antara satu komunitas etnis dengan komunitas etnis lainnya. Mereka berasal dari latar-belakang yang heterogen seperti dalam hal etnisitas, pendidikan, agama dan mata-pencaharian.Berdasarkan laporan Kecamatan Bangko, populasi masyarakat Bagansiapi-api di empat kelurahan seluas 141.85 KM2 tersebut mencapai 37.880 jiwa, terdiri dari 19.518 jiwa laki-laki dan 18.362 jiwa selebihnya perempuan. Kelurahan terpadat adalah Kelurahan Bagan Timur dengan populasi mencapai 13.000.688 jiwa, disusul secara berurutan Kelurahan Bagan Hulu dengan populasi 10.585 jiwa, Kelurahan Bagan Timur dengan populasi 7.610 jiwa, dan terakhir Kelurahan Bagan Kota dengan populasi sebesar 5.997 jiwa. Apabila data ini lebih diklasifikasi menurut umur, terungkap bahwa sebanyak 4.770 jiwa atau 12 persen berumur 0-5 tahun, 3.716 jiwa atau 10 persen berumur 6-12 tahun, 4.813 jiwa atau 13 persen berumur 13-16 tahun, 6.023 jiwa atau 16 persen berumur 17-19 tahun, 7.512 jiwa atau 20 persen berumur 20-25 tahun, 4.234 jiwa atau 11 persen berumur 26-39 tahun, 2.432 jiwa atau 6 persen berumur 40-55 tahun, 2.256 jiwa berumur 56-60 tahun, dan selebihnya atau sekitar 2.124 jiwa atau 6 persen berumur 60 tahun atau lebih. (Kantor Camat Bangko, 2006).Klasifikasi atau tingkat pendidikan masyarakat Bagansiapi-api di empat kelurahan juga memperlihatkan keragaman. Berdasarkan data dari kantor kelurahan di empat kelurahan yakni Kelurahan Bagan Barat, Bagan Timur, Bagan Kota dan Bagan Hulu, pada 2006 tercatat bahwa sebanyak 18.021 orang atau 53 persen berpendidikan SD atau yang sederajat, sebanyak 7.639 orang atau 22.40 persen berpendidikan SLTP atau sederajat mencapai 5.926 orang atau 17.38 persen berpendidikan SLTA atau sederajat, sebanyak 1.234 orang atau 3.61 persen mengaku berpendidikan diploma, selanjutnya hanya 849 orang atau 2.49 persen menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana atau di atasnya dan selebihnya, yakni 432 orang atau 1.27 persen mengaku tidak pernah bersekolah.Pula, mata pencaharian penduduk di empat kelurahan di Bagansiapi-api memperlihatkan keragaman. Berdasarkan laporan kantor kelurahan di empat kelurahan yakni Kelurahan Bagan Barat, Bagan Timur, Bagan Kota dan Bagan Hulu, pada 2006 terungkap bahwa mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah menjadi buruh, yakni sebesar 13.980 orang atau 36.90 persen, selanjutnya ditempati penduduk dengan mata pencaharian sebagai nelayan sebesar 8.894 orang atau 23.48 persen, sebanyak 2.252 orang atau 21.78 persen mengaku bekerja di sektor Swasta, sebanyak 5.109 orang atau 13 persen mengaku sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan terakhir sebanyak 584 orang atau 1.54 persen mengaku sebagai TNI/Polri. Besarnya jumlah PNS yang berdomisili di Bagansiapi-api, yakni 13 persen dari total populasi kiranya tidak cukup mengejutkan mengingat status kota ini sebagai ibu kota kabupaten. Selanjutnya, dilihat dari komposisi keagamaan masyarakat Bagansiapi-api di empat kelurahan yakni Kelurahan Bagan Barat, Bagan Timur, Bagan Kota dan Bagan Hulu, terdiri dari: pemeluk Islam sebanyak 27.780 orang atau 73.34 persen, disusul pemeluk Budha sebanyak 7.392 orang atau 19.51 persen, selanjutnya pemeluk Kristen Katolik sebanyak 1.655 orang atau 4.37 persen, kemudian pemeluk Kristen Protestan sebanyak 925 orang atau 2.44 persen, dan paling sedikit adalah pemeluk Hindu, yakni sebanyak 128 orang atau 0.34 persen dari total populasi penduduk Bagansiapi-api.Prosentase populasi pemeluk agama di empat kelurahan tersebut memperlihatkan perbedaan antara satu kelurahan dengan kelurahan lain. Berdasarkan pencatatan di empat kelurahan tersebut pada 2006, kami menemukan bahwa penduduk beragama Islam menempati prosentase terbesar di semua kelurahan di Bagansiapi-api dengan rincian sebagaimana berikut: Bagan Hulu sebanyak 9.712 orang atau 92 persen, Bagan Timur sebanyak 6.053 orang atau 80 persen, Bagan Barat sebanyak 8.568 orang atau 63 persen, dan Bagan Kota sebanyak 3.448 orang atau 57 persen dari populasi penduduk di kelurahan bersangkutan.Adapun prosentase populasi pemeluk agama Budha terbanyak ditemukan di Kelurahan Bagan Kota, yakni sebesar 2.427 atau 40 persen, disusul Bagan Barat, yakni sebesar 3.915 orang atau 29 persen, sementara di Kelurahan Bagan Timur, pemeluk Budha tercatat sebanyak 938 orang atau sebanyak 12 persen, dan hanya 112 orang atau 1 persen masyarakat Bagan Hulu yang mengaku beragama Budha. Demikian pula pemeluk Kristen Katolik dan Protestan. Di antara empat kelurahan tersebut pemeluk Kristen Katolik paling besar ditemukan di Kelurahan Bagan Barat, yakni sebesar 852 orang atau 6 persen, sementara pemeluk Kristen Protestan terbanyak ditemukan Kelurahan Bagan Hulu, yakni tercatat sebanyak 372 orang atau sebesar 3 persen. Sementara itu, pemeluk Hindu tergolong paling sedikit, bahkan di Kelurahan Bagan Kota dan Bagan Hulu tidak ditemukan seorang pun yang mengaku beragama Hindu.Menarik dikemukakan, meskipun etnis Tionghoa di Bagansiapi-api mencapai sekitar 40 persen dari total populasi, tidak seorang pun yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Rokan Hilir sebagai pemeluk selain lima agama resmi negara. Hal ini cukup mengejutkan, setidaknya apabila dibandingkan temuan Andriyani yang mengungkapkan bahwa masyarakat China di Bagansiapi-api umumnya menganut Tridarma. Agama Tridarma agama dengan tiga aliran yaitu Budhisme, Konghucuisme dan Daoisme. Lebih lanjut Andriyani menyatakan bahwa orang-orang China di wilayah perkotaan Bagansiapi-api dalam menjalankan ajaran agama Tridarma berkonsep pada ajaran ketuhanan Budha, berkonsep pada Konghucuisme sebagai filsafat dan Daoisme dalam melaksanakan upacara keagamaan mereka. Orang China di Bagansiapi-api yang menganut agama Budha murni memang ditemukan, meski jumlah mereka sedikit dan tidak sebesar pencatatan yang dilakukan negara (Andriyani, 2001:35).
baca selengkapnya..

Demokrasi memerlukan transparansi


oleh
muhammad darwis
Proses gelombang demokrasi meluas ke seluruh dunia ketiga dimulai sejak tahun 1970-an, pada saat itu juga dimulai mempertanyakan legitimasi pemerintahan yang tidak demokratis. Proses pencetusan demokrasi di Indonesia baru didengungkan pada pertengahan tahun 1997 dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh pengusahanya, HM. Soeharto.Sistem demokrasi menciptakan pemerintahan yang memiliki derajat legitimatisi, kemampuan keterbukaan (baca: tranparansi), fleksibilitas, adil, dapat dipercaya, serta memiliki kapasitas pengelolaan pemerintahan secara damai, dengan mengedepankan pola negosisasi, kompromi dan kerjasama dengan semua element terutama masyarakat.Era demokrasi, memberikan keberanian kepada publik untuk menyajikan ”sumbangsih” kepada pemerintah melalui partisipasi baik bersifat pasif maupun aktif. Partisipatif masyarakat ini mendorong tercetusnya keperluan akses untuk mendapatkan informasi-informasi publik yang telah lama terpendam dalam kekuasaan pemerintahan atau lebih dikenal dengan Rahasia Negara pada masa orde baru.Kewajiban akan pentingnya pola tranparansi merupakan suatu proses penunjang pelaksanaan sistem demokrasi, ini dinilai dari kepentingan masyarakat umum untuk menjadi media kontrol sosial dalam penyelenggaraan pemerintahan dan menciptakan pemerintahan yang dapat dipercaya, dan jangan dipandang sebagai bentuk kebablasan demokrasi menurut beberapa kalangan pejabat negara ini. Tranparansi diterjemahkan pada proses keterbukaan sistem pemerintahan sehingga dapat diamati dan diawasi dalam bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam menciptakan good governance dan clean government sebagai kontrol sosial agar pemerintahan tidak kebablasan dalam penyelenggaraannya dengan maraknya sistem korupsi, kolusi dan nepoteisem.Selain dibangun dengan pola tranparansi, pemerintahan yang demokrasi juga memerlukan pola lainnya yaitu akuntabilitas dan partisipasi. Akuntabilitas merupakan aspek pertanggungjawaban pemerintah kepada hukum dan masyarakat atau kepada element penjaga demokrasi yang menempatkan pada posisi memberi komentar, kritik dan saran demi tercipta demokrasi yang dinamis. Sedangkan partisipasi dapat diartikan secara mutlak masyarakat melalui suara dalam pemilihan umum, maupun secara perwakilan oleh kelompok-kelompok dan asosiasi yang berkembang di masyarakat sebagai bentuk masyarakat yang madani. Tranparansi versus Rahasia Negera dalam era demokrasi merupakan hal yang menarik untuk mendapat kajian dan perhatian lebih luas baik ditingkatan lokal Riau maupun ditingkatan nasional, baik dengan cara mempertentangkan secara nyata antar keduanya, ataupun dapat pula diadakan sebuah bentuk pengecualian (spesialisasi) demi tidak tercemarnya sebuah proses demokrasi yang diimpikan.Rahasia Negara juga merupakan kebutuhan pemerintah yang didengungkan oleh penyelenggaraan pemerintahan terutama pada bidang Hankam. Kerahasiaan pada bidang Hankam diperuntukan demi terciptanya kerahasiaan akan kebijakan dan strategi keamanan nasional.Inilah mungkin Indonesia, dengan sipat ketimuran pemerintah tidak berani menunjukan “kesombangan” sebagai suatu bangsa yang merdeka dihadapan negara asing akan kekuatan yang kita miliki sehingga tercipta saling menghargai antara sesama negara. Atau pentingnya Rahasia Negara ini pada bidang Hankam diperuntukan untuk menutupi kekurangan bangsa ini akan kekuatan Hankam dari negara asing. Jika ini terjadi amat disesalkan karena pentingnya kerahasiaan negara dalam bidang kebijakan dan strategi Hankam terjadi karena untuk menutupi ketidakmampuan yang dimiliki.Pertentangan antara pola tranparansi yang dikumandangkan oleh sistem demokrasi dengan kepentingan Rahasia Negara dapat diambilkan benang merah antara keduanya yaitu keduanya tercipta dalam rangka mengkritisi kepercayaan masyarakat kepada penyelenggaraan negara. Tranparansi memberikan kepercayaan kepada penyelenggara negara dengan mengharapkan pertanggungjawaban atas langkah yang telah diperbuat sedangkan Rahasia Negara memberikan kepercayaan secara penuh tanpa meminta pertanggungjawaban. Pada penciptaan demokrasi lokal, fenomena tentang pentingnya pola tranparansi juga terjadi di propinsi Riau, dalam rangka menciptakan tata kelola pemerintahan yang bertanggung jawab, dengan melibatkan masyarakat atau kelompok masyarakat yang senantiasa mengawasi penyelenggaran pemerintahan. pentingnya tranparansi adalah demi terciptanya kesejahteraan masyarakat Riau.Keinginan akan pelaksanaan pola tranparansi di Kota Pekanbaru, telah menghasilkan suatu Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Tranparansi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, yang dipelopori oleh rekan-rekan JIMAT (Jaringan Masyarakat Untuk Tranparansi) dan TII-Riau yang bertujuan untuk menciptakan sistem demokrasi dengan melibatkan masyarakat dengan memenuhi kebutuhan informasi publik.Rancangan ini telah dimasukan ke lembaga legislatif kota Pekabaru (DPRD Kota Pekanbaru) sebagai hak inisiatif dewan dalam memprakarsai sebuah bentuk Peraturan Daerah.Mari kita kawal dan pantau semoga Ranperda ini dapat direaliasikan menjadi salah satu pendoman penyelenggaraan pemerintahan di Kota Pekanbaru, Amin.
baca selengkapnya..

2007 DAN GERAKAN HIDUP SEHAT TANPA KORUPSI

oleh
Nurcahyadi
Tak berselang lama kita akan memasuki tahun 2007, setelah selama satu tahun menjalani dinamika berbagai kehidupan ditahun 2006. dan akhir tahun selalu dijadikan momen untuk melakukan refleksi dan evaluasi atas apa yang telah dilakukan selama satu tahun kebelakang. Walaupun seharusnya refleksi atau evaluasi itu haruslah dilakukan setiap waktu, karena sedetik, sehari apalagi setahun, waktu yang telah terlewati tidak akan pernah bisa kembali. Dan Nabi Muhammad SAW bersabda; merugilah orang-orang yang menyia-nyiakan waktu. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Sungguh sebuah nasehat yang mengandung nilai yang amat dalam didalam menjalani kehidupan sehari-hari terlebih lagi didalam hidup berbangsa dan bernegara. Dalam konteks sebuah negara seluruh elemen masyarakat dari berbagai tingkatan sosial dan golongan tentunya harus mau dan mampu memberikan kontribusi positif dalam tiap derap langkah kehidupan bernegara yang saat ini masih dihadapi dan akan selalu menghadapi berbagai persoalan yang sangat kompleks kedepan. Yang solusi jawaban dari berbagai persoalan tersebut tergantung bagaimana kita mampu merumuskan, mengidentifikasi dan yang sangat penting adalah keseriusan dan komitmen didalam mencari jalan keluar yang terbaik dari berbagai persoalan.Salah satu persoalan berat dan kritis yang dihadapi oleh bangsa dan daerah ini adalah menyebarnya penyakit yang bernama ’virus korupsi’, dan tak satu orangpun memungkiri dan membantahnya. Era reformasi yang telah berjalan delapan tahun lebih, belum mampu mengatasi menyebarnya virus korupsi yang justeru dari tahun ketahun semakin meluas menusuk keberbagai sendi dan tatanan kehidupan. Mulai dari lembaga eksekutif, legislatif sampai ke yudikatif. Yang merupakan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab didalam memberantas virus tersebut. Ternyata Sapu sebagai pembersih lantai yang kotor telah kotor lebih dahulu. Mulai dari dana buat program orang-orang yang miskin dan generasi muda yang bodoh, sampai dengan bantuan untuk pembangunan mesjid pun telah dirasuki oleh virus korupsi ini. Virus korupsi telah begitu endemik di negeri yang bernama Indonesia.Layaknya virus, semua orang pasti sangat mengkhawatirkan. Baik itu virus yang menerpa CPU yang ada di komputer atau lap top. Virus mematikan yang perkembang biakannya dari unggas yang disebut dengan virus flu burung (Avian Influenz). Virus HIV/AIDS yang menyerang kekebalan tubuh seseorang karena disebabkan kerap ’jajan’. Virus yang menyerang binatang ternak peliharaan yang disebut dengan antrax, dan banyak lagi virus mematikan lainnya. Dan terhadap virus ini telah menjadi sorotan dan perhatian serius bagi pemerintah didalam penanggulangannya. Terlebih akhir-akhir ini dengan semakin meluasnya penyebaran virus yang telah banyak memakan korban yaitu virus flu burung. Dan layaknya pemerintah segera melakukan rapat, koordinasi, sosialisasi dan kampanye. Baik itu dimedia cetak, elektronik, pemasangan spanduk, leaflet dan lain-lain. Memberikan ganti rugi sampai dengan penindakan dengan memberikan pengobatan gratis agar tidak jatuh korban nyawa. Untuk itu semua dialokasikan anggaran yang tidak sedikit dari uang rakyat pembayar pajak. Realistis memang jika bekerja dengan logika tanpa logistik tentunya para penyelenggara pemerintah tidak akan maksimal. Dan terakhir pemerintah menyampaikan himbauan di koran dan ditelevisi dengan jas dan dasi yang necis sambil berkata; kepada seluruh masyarakat agar selalu waspada dan selalu menjaga kebersihan lingkungan mulai dari keluarga sampai dengan lingkungan yang lebih luas. INGAT!!! bahwa kebersihan adalah sebahagian dari iman.Lain halnya dengan virus korupsi, yang tidak kalah mematikan dengan membunuh secara perlahan ( killing the soflty) harapan jutaan orang-orang miskin yang memiliki hak yang sama untuk hidup lebih layak. Penanggulangan seakan dicuaikan dan terkesan dijadikan anak tiri dari persoalan bangsa. Mungkin rapat-rapat dan kordinasi didalam membahas penanggulangannya sangat intens, tetapi ketika saat sosialisasi, kampanye diberbagai media cetak sangat minim. Apa lagi untuk hal pencegahan dan penanggulannya. Sepertinya untuk virus yang satu ini kita ( baca: pemerintah ) kuat di modul tetapi lemah di modal. Dan realistis hal ini terjadi karena kebijakan konsep, action dan anggaran sangat minim. Dan lebih realistis lagi hal ini terjadi jika kita katakan bahwa virus korupsi tersebut menyebar dan mengakar ditubuh para mayoritas pejabat dan penyelenggara negara. Yang nota bene memiliki kekuasaan dan kewenangan penuh untuk membasmi atau bahkan menyemai virus korupsi itu sendiri. Tidak heran ketika memperingati hari AIDS sedunia, Hari anti narkoba di meriahkan dengan berbagai spanduk, dialog, kampanye sampai dengan gerak jalan santai. Namun ketika hari anti korupsi sedunia tiba, jangankan gerak jalan, spanduk dan himbauan pun dari pemerintah yang berkata; marilah kita waspadai penyebaran virus korupsi mulai dari kebersihan lingkungan keluarga yang terkecil sampai lingkungan yang lebih luas; INGAT!!! Kebersihan adalah sebahagian dari iman pun tak terdengar. Hanya sebahagian kecil dari masyarakat yang merayakan hari anti korupsi sedunia tersebut.Jika ingin jujur sebenarnya dari berbagai virus yang kita hadapi saat ini, tidaklah terlalu sulit-sulit amat ( si amat aja ngak sulit ). Hanya metoda dan pendekatannya saja yang berbeda. Inti dari persoalan tersebut adalah bagaimana kita terutama pemerintah memiliki komitmen, kemauan, keinginan dan selalu istiqomah didalam memecahkan persoalan virus tersebut. Sama hal nya ketika Virus HIV dan flu burung menyerang negeri ini. Begitu sigap dan seriusnya para pucuk pimpinan negeri ini dan para pejabat senior bersikap dan bertindak. Seharusnya begitu juga sikap dan tindakan yang dilakukan oleh para pucuk pimpinan negeri ini dan para pejabat senior serta pegawai dibawahnya terhadap virus yang bernama korupsi. Toh dampak dari virus ini sama bahayanya, yaitu dapat menyebabkan kematian. Dan tidak ada perbedaan atas kematian dari virus tersebut. Apakah nyawa seorang manusia yang diakibatkan oleh virus korupsi tidak sama harganya dengan nyawa seorang manusia yang diakibatkan oleh virus flu burung atau virus lainnya?. Bahkan, bukankah virus korupsi ini merupakan penyebab lahirnya virus-virus lain?. Dana kesehatan yang dipotong, dana pendidikan yang disunat, dana program orang miskin yang disikat, dana pembuatan jalan umum yang dibabat, tentunya telah melahirkan berbagai macam virus.2007 sebagai tahun yang akan menggantikan perjalanan satu tahun di 2006, hendaknya dimaknai bagi kita semua terutama bagi kalangan pemerintah sebagai pemangku kekuasaan dan pemegang amanat rakyat sebagai tahun untuk bersama-sama kita bergandeng tangan, menyisingkan lengan baju, sungguh-sungguh, serius dan berkomitmen untuk memberantas berkembang biaknya virus korupsi. Tahun 2007 kita jadikan tahun Gerakan Hidup Sehat Tanpa Korupsi. Ditahun 2007 Genderang perang kita tabuh untuk melawan dan membasmi korupsi. Para pucuk pimpinan dan para pejabat senior negeri ini harus ( mulai ) bertindak dan bersikap tegas didalam memberantas virus ini. Tunjukkan kinerja dengan komitmen dan kebijakan yang strategis, konseptual dan aplikatif didalam pemberantasan virus korupsi. Yakin bahwa rakyat akan selalu bersama para pemimpin yang memiiki komitmen tersebut. Karena virus korupsi yang dibungkus dengan baju suap, uang pelicin, uang rokok, pungutan ilegal, nyata-nyata menyebabkan kemiskinan dan kebodohan secara struktural yang merupakan persoalan besar yang dihadapi negeri ini. Virus Korupsi nyata-nyata telah merenggut ribuan bahkan jutaan harapan hidup generasi muda bangsa. Nyata-nyata korupsi telah mengakibatkan kecilnya gaji para pegawai rendahan dan polisi berpangkat kopral. Nyata-nyata korupsi telah meluluh lantakan hutan yang menyebabkan banjir, longsor dan putusnya sarana transportasi umum. Nyata-nyata korupsi telah mengakibatkan hengkangnya para investor yang ingin menanamkan modalnya dinegeri ini. Dan nyata-nyata virus korupsi telah menghancurkan tatanan kehidupan sosial di negeri ini. Mari kita jadikan virus korupsi merupakan musuh bersama (Common Enemy).Rakyat ditahun 2007 harus melakukan konsolidasi dan sinergisitas didalam melakukan perlawanan terhadap virus korupsi. Sosialisasi dan kampanye yang konstruktif, berkesinambungan dan massif harus dilakukan. Generasi muda dinegeri ini harus diselamatkan dari virus korupsi dengan berbagai pendidikan, penyuluhan, pelatihan tentang bahaya laten virus korupsi. Disisi lain penegakan hukum didalam bidang korupsi harus terus ditegakkan. Para pelaku korupsi harus diberikan hukuman yang adil atas apa yang telah diperbuat sebagai wujud efek jera (Shock Therapy), sehingga virus korupsi dapat diminimalisir. Mari kita jadikan tahun 2007 sebagai Gerakan Hidup Sehat Tanpa Korupsi.
baca selengkapnya..

Partai Politik dan Civil Society


oleh
Darmadi Ahmad dan Muhammad ansor

Mayoritas masyarakat Bengkalis, yakni 59% menyatakan anjuran organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) tidak akan mempengaruhi preferensi politik mereka, 37% menyatakan akan mempertimbangkannya, dan 4% lainnya tidak menentukan sikapnya. Sebanding dengan itu, sebagian besar masyarakat atau setara dengan 65,1% menyatakan anjuran tokoh informal masyarakat tidak akan mempengaruhi preferensi politik mereka, 27% menyatakan terpengaruh, sementara 8,3% lainnya tidak menyatakan sikapnya. Survey juga menemukan 65% masyarakat memastikan tidak terpengaruh dengan preferensi politik anggota keluarga mereka, hanya 23% yang menyatakan terpengaruh, sementara 12% lainnya tidak menentukan sikapnya. Hal ini terangkum dari hasil survey tentang persepsi dan harapan masyarakat Bengkalis terhadap Pilkada yang diselenggaran JSPDL (Jaringan Studi Pemberdayaan Demokrasi Lokal) pada 10-17 Januari 2005. Sebanyak 781 responden yang menyebar di seluruh Kecamatan di Bengkalis dengan perkecualian Kecamatan Rupat dan Rupat Utara dimintai pendapatnya. Penentuan responden dilakukan melalui metode multi stage random sampling. Empat kelurahan/desa di setiap kecamatan dipilih, terdiri dari satu kelurahan/desa yang merupakan Ibu Kota Kecamatan, satu desa yang terdekat dengan Ibu Kota Kecamatan dan dua desa terjauh dari Ibu Kota Kecamatan. Temuan survey di atas selain memperlihatkan independensi pemilih dalam menentukan preferensi politik mereka, juga menjungkir-balikkan asumsi sebagian kalangan bahwa preferensi politik masyarakat dapat direduksi ke dalam pilihan beberapa elit anggota atau elemen masyarakat tertentu. Pada kenyataannya, alam demokrasi yang bergulir drastis lebih dari setengah dasarwarsa terakhir, melahirkan masyarakat yang kritis dan berkesadaran dalam menentukan preferensi politik mereka. Meskipun mayoritas masyarakat menyatakan tidak terpengaruh dengan anjuran dari ormas, tokoh-tokoh informal maupun anggota keluarga mereka, namun menariknya, lebih dari separuh responden atau sebanding dengan 51,6% menyatakan anjuran partai politik yang mereka pilih pada pemilu 2004 lalu akan mempengaruhi preferensi politik mereka. Sepadan dengan ini, sekitar 45% responden menyatakan tidak terpengaruh, dan hanya 3,3% responden yang tidak menjawab. Terkecuali terdapat perubahan persepsi yang cukup signifikan, temuan di atas menyiratkan bahwa Pilkada pada tahap tertentu merupakan angin segar bagi partai politik untuk mempertahankan perolehan suara mereka yang didapatkan pada Pemilu 2004 lalu. Menggunakan ungkapan berbeda, partai politik yang memiliki perolehan suara cukup besar secara teoritis lebih berpeluang memenangkan Pilkada, apabila dibandingkan dengan calon yang diusulkan partai politik yang memiliki perolehan suara lebih kecil. Tentu yang demikian merupakan warning dari partai-partai yang lebih kecil untuk bekerja lebih keras dalam memperebutkan simpati masyarakat. Fakta bahwa separuh anggota masyarakat akan mempertimbangkan calon usulan partai yang mereka pilih pada pemilu lalu, sesungguhnya tidak secara otomatis melempangkan aktivis partai untuk memenangkan perebutan kursi kepala daerah/wakil kepala daerah. Sebab, secara mengejutkan survey ini menemukan espektasi (harapan) masyarakat terhadap calon kepala daerah yang berlatar belakang aktivis partai politik masih sangat rendah. Masyarakat menaruh kepercayaan yang jauh dari angka signifikan kepada para aktivis partai politik untuk memimpin daerah mereka. Ini terungkap dari pernyataan 25% responden yang lebih suka memilih calon Bupati dari kalangan profesional. Jumlah ini hampir sebanding dengan responden yang menyukai calon Bupati dari kalangan agamawan atau atau tokoh agama (20,4%), disusul kalangan cerdik pandai/cendikiawan (15%), kalangan pejabat pemerintaah (9%), kalangan TNI/POLRI (7%), dan selanjutnya, 6% reponden lebih menyukai calon Bupati dari kalangan Pengusaha. Adalah menarik dicermati, responden yang menyukai calon Bupati dari aktivis partai politik hanya berkisar 2,4%, atau sebanding dengan minat 2% masyarakat yang menyukai untuk mencalonkan budayawaan, dan aktivis NGO (Non-Government Organization, LSM) yang berkisar 1,3%. Selanjutnya sekitar 1,8% responden memutuskan tidak memilih (golput) dari kalangan manapun yang disebutkan di atas, dan (9,5%) lainnya menyatakan tidak menyatakan sikapnya. Walaupun sekitar separuh responden menyatakan akan mengikuti anjuran partai politik yang mereka pilih pada 2004 lalu, namun sesungguhnya telah memiliki kualifikasi tersendiri menyangkut basis sosial seorang figur tertentu. Lalu masalahnya adalah bagaimana mengaktualisasikan espektasi ideal masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas, terutama apabila dipertalikan dengan aturan main pelaksanaan Pilkada yang memposisikan partai sebagai institusi super body, setidaknya dilihat dari kewenangan partai dalam menentukan siapa figur calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan berkompetisi dalam Pilkada. Sebab, pasal 36 ayat (2) PP No. 5/2005 menyatakan bahwa seorang calon kepala daerah harus bersaing melalui sebuah partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Betapapun memiliki otoritas, namun kewenangan partai politik bukan yang tak terbatas. Pasal 37 ayat (3) mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik sebelum menetapkan pasangan calon wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat untuk dilakukan penyaringan sebagai bakal calon. Demikian pula, pasal yang sama ayat (6) menambahkan bahwa “dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik wajib memperhatikan pendapat dan tanggapan yang berkembang di masyarakat”. Ruang konsitusi sebagaimana disebutkan pasal 37 ayat (3) dan (6) ini merupakan medium yang mutlak harus dimanfaatkan masyarakat agar aspektasi ideal masyarakat dapat terealisir. Sejalan itu, adalah menarik untuk mempertimbangkan beberapa tawaran alternatif berikut. Pertama, elemen strategis masyarakat harus memprakarsai pembentukan jaringan lokal untuk mengadvokasi isu Pilkada sehingga bisa dijadikan agenda komperehensif. Selain berfungsi sebagai jangkar informasi publik, jaringan ini juga akan memonitor dan mengawasi secara independen proses tahapan Pilkada, dan menyiapkan langkah-langkah antisipasi terhadap konflik sosial pasca-Pilkada. Kedua, memfasilitasi forum konsultasi politik lokal antara masyarakat dengan Partai Politik. Selain merumuskan agenda politik bersama, merumuskan kriteria kepemimpinan yang dibutuhkan, juga mendorong dan melakukan tekanan terhadap partai politik khususnya yang memenuhi persyaratan untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah, untuk memilih kanditat yang berkualitas. Ketiga, melakukan pendidikan politik yang bertumpu pada partisipasi politik yang beroperasi di bawah kesadaran yang kritis, bukan semata politik mobilisasi. Sebab, pendidikan politik sesungguhnya tidak melulu menekankan kesadaran kritis, melainkan kesadaran berpolitik rakyat. Singkatnya, masyarakat perlu memprakarsai pembentukan aliansi-aliansi strategis melalui penguatan institusi-institusi civil society dengan agenda melakukan pressure kepada partai politik untuk melakukan rekruitmen partai politik secara demoktatis dan transparan, bukan hanya “sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” sebagaimana dilukiskan dalam UU No 32/2004 dan PP No 5/2005, melainkan, yang lebih penting adalah sesuai dengan arus utama espektasi ideal masyarakat.***
Tulisan ini pernah dimuat Harian Riau Mandiri 2 Maret 2005
baca selengkapnya..

MEMBANGUN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMERINTAHAN


Oleh
Muhammad darvis
Kinerja pemerintah yang menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih sudah merupakan sesuatu yang direalisasikan. Hal ini penting untuk mendukung dan merealisasikan percepatan proses pembangunan yang merata dan berkeadilan. Segala persoalan yang timbul ditengah-tegah masyarakat yang kompleksitas harus mampu dicarikan segera solusi secara arif dan bijaksana. Untuk itu sebagai pelayan masyarakat (baca pemerintah) harus mampu meningkatkan performa, stamina dan kinerja yang mampu menjawab segala tuntutan yang kompleksitas tersebut. Karena jika tidak akan terjadi peningkatan nilai apatisme ditengah masyarakat sehingga akan menurunkan peran serta atau partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal yang harus dikhawatirkan juga adalah timbulnya gejolak dan gelombang anarkisme ditengah masyarakat. Karena secara sosial jika sebuah tuntutan dan harapan yang ada ditengah masyarakat akan menimbulkan keletihan dan kepanikan sosial yang berujung dengan tindakan-tindakan yang mengedapankan fisik dan emosional yang berdampak buruk kepada kelangsungan tatanan hidup bermasyarakat. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi, karena mencegah itu lebih baik daripada mengobati.Pada konteks hak dan kewajiban antara masyarakat dan pemerintah maka tidak ada kewajiban bagi masyarakat untuk menuntut dilayani, karena pelayanan bagi masyarakat adalah merupakan hak. Artinya pemerintah dalam hal ini para birokrat memposisikan dirinya untuk melayani masyarakat itu sendiri. Untuk itu bagi sebagian masyarakat kita yang mengambil profesi sebagai birokrat harus memahami dan menyadari posisi tersebut. Hal ini penting karena masyarakat telah menunaikan kewajibannya ( kadang dengan terpaksa dan dipaksa) dalam bentuk berbagai macam ketentuan seperti membayar pajak, retribusi, dan lain sebagainya. Pajak, retribusi dan segala bentuk kewajiban tersebut itulah yang dituntut dalam bentuk-bentuk kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan pelayanan publik yang maksimal Seperti jaminan akan rasa aman, kebebasan berekspresi, fasilitas umum yang memadai, jaminan untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik, tepat dan murah jaminan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan publik secara jelas, benar dan langsung. Yang menjadi catatan penting adalah bahwa segala bentuk dan jenis tuntutan tersebut harus mampu disampaikan dengan baik dan benar pula. Komunikasi yang jujur, transparan, berimbang dan produktif harus dikedepankan. Dan menjadi catatan penting pula bagi pemerintah, pada mayoritas masyarakat nilai-nilai musyawarah, jujur, keikut sertaan atau partisipasi masih tertanam didalam keseharian mereka. Biasanya gejolak dan tindakan-tindakan yang diluar kebiasaan itu muncul karena komunikasi yang tersumbat, respon balik yang tidak ada terhadap persoalan-persoalan yang muncul.Kenapa masyarakat menuntut haknya?. Selain dari tuntutan tentang segala yang berkaitan dengan jaminan baik dalam pendidikan, kesehatan, rasa aman dan lain sebagainya itu. Para pelayan masyarakat (baca: birokrat) harus mengakui dan memiliki kesadaran bahwa dari pungutan-pungutan dalam bentuk pajak, retribusi dan sumbangan lainnya tersebut yang dituangkan dalam bentuk anggaran pendapatan belanja daerah, disitu tercantum alokasi belanja aparatur. Alokasi yang memang diperuntukkan bagi mendukung dan mensupport segala bentuk tugas dan tanggung jawab para birokrat. Dan pada konteks riau yang setelah otonomi dilaksanakan alokasi anggaran bagi belanja aparatur selalu saja meningkat. Mulai dari gaji yang meningkat, honor yang meningkat, fasilitas yang baik, tunjangan kemahalan sampai ada yang disebut dengan gaji ketiga belas. Semua itu merupakan wujud kepedulian, keberpihakan yang jelas dan kepercayaan dari masyarakat pembayar pajak terhadap eksistensi dan masa depan para birokrat. Tapi sayang kenaikan dari anggaran belanja aparatur yang setiap tahun meningkat tidak mampu memberikan dampak positif terhadap moleknya performa kinerja birokrat terhadap peningkatan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran masyarakat pembayar pajak tersebut. Justru peningkatkan tersebut menimbulkan keresahan sosial ditengah masyarakat. Pembangunan hanya dicicipi oleh sebagaian golongan, marginalisasi pada masyarakat kota dan desa semakin lebar, kue pembangunan hanya di semai pada lokasi saja. Padahal jurang kemiskinan itu terdapat pada masyarakat pinggiran dan kampung-kampung. Belum lagi persoalan kebocoran anggaran yang hasilnya memang sangat-sangat dinikmati oleh segelintir orang saja. Kita memaklumi bahwa treatment untuk mencegah gerak korupsi salah satunya adalah peningkatan kesejahteraan bagi para birokrat yang berpenghasilan rendah. Walaupun tidak ada jaminan atas itu karena korupsi berkaitan dengan besar dan luasnya kekuasaan yang dimiliki dan moralitas yang terpatri didiri para birokrat itu sendiri. Karena justru korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan dan berpenghasilan relatif tinggi. Kita sepatutnya mengkhawatirkan masyarakat yang memiliki pandangan bahwa kemiskinan menyebabkan orang korupsi, yang sesungguhnya bahwa korupsi lah yang sebenarnya menyebabkan kemiskinan. Untuk itu bagi para birokrat harus segera merefleksikan diri bahwa peningkatan kesejahteraan berupa gaji dan bentuk lainnya bukan semata-mata untuk mencukupi kebutuhan individu semata tetapi jauh dari itu untuk memberikan pelayanan secara maksimal kepada publik.Pada kondisi kekinian timbul sikap mental yang mengkhawatirkan dikalangan penyelenggara pemerintah berupa sikap ’memiliki’ dan ’menguasai’ atas apa yang merupakan amanat dari masyarakat pembayar pajak. Dimana pada pikiran mereka kebijakan dan penggunaan anggaran adalah merupakan milik mereka sehingga orientasi keberpihakan kepada masyarakat semakin lemah, justru keberpihakan itu dibangun untuk mengakomodir kepentingan dan kroni-kroni mereka saja. bahwa mereka (baca birokrat) memposisikan pada sebuah ruang dan masyarakat pembayar pajak pada sisi ruang yang lain. SehinggaFenomena hidup bermasyarakat dan bernegara seperti itu tentunya harus ditiadakan setidaknya harus diminimalisir. Agar cita-cita dari pendiri dan penggagas negeri ini bisa terwujud. Untuk itu ada beberapa catatan yang harus dilakukan bagi pemerintah saat untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih antara lain bagi setiap penyelenggara pemerintahan terutama pucuk pimpinan harus memiliki integritas yang tinggi. Integritas adalah sebuah sikap untuk menjaga dan mempertahankan martabat, marwah dari amanah yang diembah. Integritas memiliki sikap yang jujur, tegas, tegar, dan pantang menyerah. Hal ini penting dimiliki bagi para pucuk pimpinan disaat kondisi moral bangsa ini runtuh. Dengan pemimpin yang memiliki integritas tinggi diharapkan mampu memberi contoh, sikap, tindakan dan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat banyak ditengah-tengah tuntutan, desakan, intervensi dan tiupan kepentingan yang justru cenderung untuk mencari kepentingan sesaat. Dengan moralitas dan integritas yang tinggi diharapkan juga nantinya dapat diturunkan kepada level yang lebih rendah. Buah mangga yang memiliki aroma yang harum jika jatuh dari pohonnya tentulah tidak jauh jatuhnya dari batangnya. Begitu pula jika seorang pucuk pimpinan disetiap tingkatan dapat berlaku baik, jujur,tegas dan tegar, kita yakin penyakit kronik dari persoalan daerah dan bangsa ini dapat diobati.Selain itu dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih tuntutan terhadap akuntabilitas merupakan sebuah keharus. Akuntabilitas ( pertanggungjawaban) dari setiap kebijakan yang dikeluarkan harus dijalankan. Tentunya disetiap tingkat memupuk integritas pertama: mendorong terciptanya pertanggungjawaban (akuntabilitas) pemerintahan.
baca selengkapnya..

Nasionalisme Anti Korupsi


oleh
Muhammad ansor
Terhitung mulai 1945, setiap Agustus Indonesia merayakan proklamasi kemerdekaan। Ini merupakan penanda bagi bangsa ini untuk memperingati detik-detik kebebasan mereka dari imperialisme bangsa asing.Kebebasan dari imperialisme bangsa asing memiliki arti penting lantaran merupakan bagian agenda rakyat melepaskan diri segala ketepurukan, ketertindasan dan seterusnya. Untuk itu, guna merebut kebebasan sehingga mampu menentukan nasib sendiri, rakyat berpadu-tangan. Imperialisme ditempatkan sebagai musuh bersama (common enemy), dan lantaran itu, ia diperangi.Malangnya, setelah 61 tahun bangsa ini menghirup kebebasan dari imperialisme, tetap saja rakyat masih diterpa keterpurukan dan ketertindasan. Tapi, beda dengan masa pra-kemerdekaan, kali ini akar penyebabnya bukan imperialisme asing, melainkan penjajahan oleh sesama bangsa sendiri. Imperialisme oleh bangsa sendiri dilakukan dengan mengkorupsi anggaran negara. Padahal anggaran negara semestinya digunakan untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan, ketertindasan dan keterpurukan.Maka dari pada itu, untuk kembali membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan dan ketertindasan, kiranya semua eleman bangsa perlu menempatkan korupsi sebagai musuh bersama. Hal ini penting, lantaran akibat imperialisme bangsa asing dengan imperialisme oleh bangsa sendiri melalui mengkorupsi anggaran negara lebih kurang serupa. Keduanya sama-sama merupakan kejahatan kemanusiaan dan mengakibatkan keterpurukan bangsa dan penindasan terhadap rakyat.Untuk itu pula, kini saatnya kita merevitalisasi nasionalisme anti-imperialisme asing menuju nasionalisme anti-korupsi. Mengacu pada konsep an imagined community Ben Anderson, nasionalisme anti-korupsi mungkin dibentuk dari adanya suatu khayalan kolektif akan suatu masyarakat yang mandiri dan bebas dari cengkeraman para koruptor. Gagasan itu hanya mungkin dilakukan dengan menempatkan koruptor sebagai musuh bersama sehingga ada alasan untuk diperangi.Jika pada masa pergerakan kemerdekaan semua elemen bangsa berpadu memerangi penjajah dengan mengangkat senjata, maka hal serupa perlu dilakukan pada masa sekarang guna memberantas korupsi. Tentu saja, kali ini kita tidak harus menggunakan bambu-runcing, tombak, senjata laras-panjang atau sejenisnya, guna mengusir para koruptor.Hemat saya ada beberapa yang mendesak dilakukan untuk membangkitkan nasionalisme anti-korupsi. Pertama, harus ada keberanian kolektif dari semua elemen bangsa untuk mengoreksi semua aturan hukum yang tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi. Sampai sejauh ini aturan hukum yang ada masih terdapat inkonsistensi, tumpang tindih antara satu sama lain.Problem di tingkat aturan hukum tidak dapat dikatakan sepenuhnya terjadi karena kealpaan pembentuk peraturan perundang-undangan. Alasannya, karena meluasnya praktik korupsi pada hampir semua institusi negara, aturan hukum harus direkayasa sedemikian rupa agar membentuk peraturan-perundang-undangan dapat terhindar dari kemungkinan menjadi pesakitan.Kedua, perlu perubahan paradigma aparat penegak hukum. Selama ini dalam banyak kasus, pengungkapan korupsi justru membuka ladang korupsi baru di lingkungan aparat penegak hukum.Ketiga, di tingkat masyarakat harus ada kesadaran kolektif baru bahwa praktik korupsi tidak kalah jahatnya dibandingkan dengan kejahatan penjajah. Kalau ini berhasil dilakukan, sanksi sosial akan lebih mudah dijatuhkan kepada para koruptor.Kiranya memang perlu ada political will dari pemerintah untuk menjadikan gerakan antikorupsi sebagai nasionalisme baru Indonesia, sehingga semua elemen bangsa menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Prinsipnya adalah bahwa kemerdekaan dari korupsi harus segera diperjuangkan.Untuk itu, para koruptor harus dienyahkan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Kalau tidak, bangsa ini akan ditenggelamkan para koruptor. Ini saya kira merupakan hal substantif dalam memaknai proklamasi kemerdekaan Indonesia ke-61. Merdeka!

baca selengkapnya..

Kelas Menengah Sakai


Oleh :
Muhammad ansor
Saya ingin jelaskan bahwa Sakai sudah maju. Sudah ada anak Sakai yang bekerja di perusahaan asing. Ada pula yang menjadi anggota dewan dan camat. Sakai tidak lagi terbelakang seperti dibayangkan banyak orang. Memang ada yang masih terbelakang, tetapi juga ada yang sudah modern. Suhardi, Ketua Umum IPSR, 15/10/2005.
PendahuluanTulisan berikut membahas gerakan civil society dalam komunitas Sakai dengan meneropong aktivisme anggota kelas menengah mereka. Pemaparan dibagi ke dalam tiga sub-pembahasan utama. Bagian pertama memaparkan diskursus kelas menengah dalam hubungannya dengan gerakan civil society. Berbagai pandangan tentang konsepsi kelas menengah yang dikembangkan di sini menekankan perlunya memotret gerakan kelas menengah di pedesaan atau komunitas yang dipersepsikan marjinal. Teoritisasi konsep kelas menengah diarahkan membangun argumentasi bahwa poin mendasar bagi kategorisasi kelas menengah adalah aktivisme di ruang publik dalam memperjuangkan hak-hak kelas atau kepentingan komunitas masing-masing. Bagian kedua, akan memaparkan profil perkumpulan yang memiliki peranan signifikan bagi pertumbuhan gerakan kelas menengah Sakai (selanjutnya disingkat: KMS), yakni Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Sakai (HPPMS), Ikatan Pemuda Sakai Riau (IPSR), dan Lembaga Adat Melayu Sakai Riau (LAMSR). Selanjutnya, di pembahasan bagian ketiga, penulis akan memaparkan bagaimana KMS, melalui perkumpulan-perkumpulan tersebut, merespon isu-isu sosial-politik yang terkait dengan kepentingan mereka. Sedikitnya tiga masalah akan dibahas guna memotret dinamika gerakan KMS secara detail, yakni respon mereka dalam menangkap peluang politik baru, peningkatan kualitas pendidikan dan lapangan pekerjaan, serta gerakan penguatan identitas kultural dan budaya Sakai. Sepintas terkesan bahwa mempersandingkan terminologi “kelas menengah”, “Sakai” dan “civil society” merupakan sebentuk penyimpangan atau menyalahi kelaziman. Terminologi “Sakai”, dalam persepsi pemikiran banyak orang terlanjur dipersepsikan sebagai komunitas terbelakang dan berbasis pedalaman. Sementara, kelas menengah merupakan kategorisasi sosial yang digunakan untuk menggambarkan strata sosial dalam masyarakat modern, bahkan dalam batas tertentu cenderung bersifat urban community (komunitas perkotaan). Kesan penyimpangan dari kelaziman bertambah ketika kedua kategorisasi tersebut dikombinasikan dengan terminologi gerakan civil society. Hal ini agaknya pula dikarenakan istilah civil society sudah terlanjur digunakan untuk menganalisa gerakan sosial di komunitas perkotaan atau modern. Maka dapat dimengerti apabila sementara orang akan menilai judul artikel di atas sebagai rumusan yang kurang lazim digunakan.Tetapi, pada saat melakukan penelitian mengenai Respon Orang Sakai, Talang Mamak dan Duano Terhadap Program Pemerintah Tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Propinsi Riau, penulis mendapatkan pembenaran bagi penggunaan rumusan judul di atas. Betapa tidak, sepanjang pengambilan data lapangan selama bulan Oktober 2005 yang sebagian besar menjadi bahan penulisan artikel berikut, penulis mendapati fenomena mencengangkan dan berbeda dari narasi dominan seperti ditemukan di hampir semua buku yang membicarakan konstruksi identitas komunitas Sakai.Masyarakat Sakai yang bagi banyak orang dipersepsikan marjinal, terpencil, tidak berpendidikan dan streotip-streotip sejenis, faktanya tidaklah bersifat monolitik. Suhardi, Ketua Umum IPSR, menggambarkan masyarakat Sakai “ada yang masih terbelakang, tetapi ada juga yang sudah modern” (Wawancara Suhardi, 14/10/2005) Tidak dapat menerima dengan konstruksi identitas yang dicangkokkan kepada komunitas mereka, sebagian orang Sakai, terutama seperti dimotori KMS mengartikulasikan penolakan mereka dengan membentuk perkumpulan-perkumpulan yang belakangan melahirkan gerakan masyarakat sipil. Tujuan mereka, mengkonstruksi citra baru Sakai yang modern dan mendekonstruksi narasi dominan yang dilekatkan pihak luar terhadap komunitas mereka. Secara nominal, populasi KMS memang diperkirakan hanya di bawah satu persen dari total anggota komunitas Sakai. Tetapi, posisi strategis ditambah kemampuan mereka tampil di ruang publik, menjadikan KSM memiliki posisi penting, tidak saja di internal komunitas Sakai sendiri, melainkan pula di hadapan pemerintah daerah atau pihak-pihak di luar mereka.Diskursus Tentang Kelas Menengah dan Civil societyMembaca gerakan kelas menengah bukan perkara mudah. Terlebih apabila dipertautkan dengan gerakan civil society. Terkait dengan kelas menengah, kesulitan muncul barangkali lantaran definisi tentang kelas menengah merupakan kategorisasi sosial yang dinamis dan tidak bermakna tunggal. Menurut Ariel Heryanto, kelas menengah merupakan kategorisasi sosial yang dipahami secara bervariasi, bahkan acapkali saling berlawanan. Heryanto menegaskan, beberapa pandangan yang saling berlawanan terlanjur dominan dalam kajian kelas menengah Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa kelas menengah dalam masyarakat ini (seharusnya) secara moral hebat dan progresif. Sejumlah pengamat lain menolak pandangan semacam itu dan secara esensial menganggap kelas ini konservatif dan sangat oportunis. (Heryanto, 2004:50-52)Terlepas dari pertentangan antara dua kutub pandangan tersebut, sesungguhnya terdapat keserupaan antara keduanya dalam mengidentifikasi siapa kelompok kelas menengah. Menurut Heryanto, yang lazim sama dalam semua ragam kelas menengah (tanpa kesamaan ini mereka tidak dapat disebut sebagai kelas menengah) adalah kiblat atau ikatan mereka pada gabungan beberapa hal berikut ini: tinggal di perkotaan; pekerjaan dan pendidikan modern; dan selera budaya, yang tampil secara mencolok, tetapi tidak semata-mata, dalam konsumsi gaya hidup. Hal lain yang mempersamakan kedua kutub tersebut adalah bahwa secara ekonomi, orang-orang dalam kelas menengah menduduki posisi yang jelas berbeda, dari mereka yang lazim disebut kelas pekerja. Mereka juga berbeda dari kelompok yang paling diuntungkan dalam tatanan sosial yang ada berkat kekuasaan ekonomi atau birokratis mereka yang besar. (Heryanto, 2004:54)Menurut Joel Kahn, memiliki gaji, kekayaan, pekerjaan, keterampilan, pengetahuan atau kepakaran tertentu, tidak secara otomatis membuat seseorang menjadi anggota kelas menengah. Namun hemat kami, demikian Kahn melanjutkan, apa yang membuat seseorang menjadi anggota kelas menengah adalah aspek penampilan penggunaan pengetahuan dan keterampilan semacam itu dalam lingkungan publik tertentu yang berwibawa secara moral bagi tindakan dan pelaku tindakan semacam itu (Lihat, Kahn, 1996:12-33). Seseorang dikelompokkan ke dalam kelas menengah bukan karena kategorisasi ekonomi semata. Paralel dengan Kahn, Heryanto mengingatkan bahwa dimensi ekonomi penting, namun tidak cukup sebagai satu-satunya tolok ukur sifat kelas menengah, terutama untuk unsur-unsur menengah yang secara politik lebih aktif (Heryanto, 2004:54-55).Pandangan Heryanto yang secara ketat mempersyaratkan kelas menengah mesti berbasis urban (perkotaan) hemat kami menafikan kemungkinam kehadiran kelompok kelas menengah berbasis pedesaan. Berbeda dengan Heryanto, Kuntowijoyo menyatakan kemungkinan kehadiran kelompok kelas menengah berbasis pedesaan, terutama dari para pemilik tanah dalam skala besar. Juga berbeda dengan Heryanto, Kuntowijoyo mengelompokkan kalangan birokrat dan pegawai pemerintah sebagai kelas menengah, terlepas dari artikulasi mereka di ruang publik. (Lihat, Kuntowijoyo, 1985:36) Sebab itu, kategorisasi kelas menengah sesungguhnya tidak memiliki pembedaan yang tegas apabila dilihat lokus geografis desa-kota dan pemerintah-non pemerintah. Mereka bisa saja hadir dari salah satu elemen dari kedua kutub tersebut, atau bahkan tidak dari keduanya.Paralel dengan hal tersebut, pemaparan berikut secara kategoris lebih cenderung sepandangan dengan konseptualisasi Kuntowijoyo dalam mengidentifikasi kelas menengah. Kelompok kelas menengah tidak mesti berbasis perkotaan, tetapi juga kadang-kadang muncul dari lingkungan pedesaan atau kelompok marjinal. Meminjam kerangka pemikiran Gramsci tentang konsepsi intelektual organik yang merupakan perwakilan (representasi) dari kelas (Gramsci, 1996:3-23), penulis hendak mengatakan bahwa kelompok kelas menengah pun merupakan representasi dari kelas atau komunitas mereka masing-masing. Kelompok kelas menengah di perkotaan sangat boleh jadi memiliki basis ekonomi, keterampilan, kompetensi intelektual, yang berbeda dengan konfigurasi kelas menengah di pedesaan.Singkatnya, kelas menengah tidak semata hadir dari kelompok wartawan, mahasiswa, dosen, intelektual publik, seniman, pengacara, atau aktivis partai politik atau organisasi-organisasi non-pemerintah yang tinggal di perkotaan, melainkan pula hadir dari lembaga-lembaga adat maupun aktivis sosial di kampung atau pedesaan. Alasannya, kategorisasi dan definisi kelas menengah yang bias urban community tersebut tidak banyak membantu dalam menjelaskan fenomena kelas menengah dalam kasus Sakai. Sehingga, acuan mendasar yang digunakan dalam mengidentifikasi kelas menengah Sakai seperti dimaksud tulisan berikut adalah aktivisme di ruang publik dalam memperjuangkan kepentingan kelompoknya, sehingga memungkinkan mereka menikmati status sosial yang lebih tinggi dari mayoritas anggota masyarakat lain dalam komunitas mereka. Aktivisme KMS tersebut diekspresikan melalui gerakan masyarakat sipil (civil society), baik melalui perkumpulan atau organisasi non-pemerintah, LSM, ikatan, paguyuban maupun instrumen gerakan sosial lain.Brief Review Perkumpulan KMSBerbasis pemukiman di wilayah administratif Kabupaten Bengkalis, Riau, tepatnya di dua Kecamatan yakni Mandau dan Pinggir, Sakai merupakan salah satu suku asli (indegeneous people) di Riau yang dengan populasi diperkirakan mencapai hampir lima ribu jiwa. Telah disinggung bahwa selama berabad-abad orang-orang Sakai dipersepsikan sebagai komunitas marjinal. Bahkan berdasarkan terminologi resmi negara, mereka dikelompokkan ke dalam salah satu Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Indonesia (SK Mensos RI, Jakarta, 1999:2). Parsudi Suparlan mencatat bahwa sebelum wilayah Daratan Riau berkembang karena adanya pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah, dan sebelum kota Duri yang sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Mandau itu berkembang karena meningkatnya kegiatan eksplorasi minyak di Riau oleh PT. CPI di permulaan tahun 1970-an, orang-orang Sakai hidup secara terpencar-pencar di wilayah tersebut (Suparlan, 1995:69-71).Informan yang kami wawancarai menceritakan bahwa wilayah yang sekarang dikenal sebagai Duri, ibu kota Mandau dahulu merupakan salah pusat pemukiman orang-orang Sakai. Namun, ketika Duri mulai dibangun dan dikembangkan, orang-orang Sakai yang menghuni wilayah-wilayah di sekitar kota tersebut diminta pergi dan diberi pesangon ala kadarnya sebagai kompensasi atas tanah dan pepohonan serta tanam-tanaman yang ada di ladang mereka. Tak pelak, orang-orang Sakai semakin tergusur. Mereka berpindah ke daerah yang lebih pedalaman, menjalani kehidupan secara marjinal dan terbelakang secara sosial, ekonomi dan politik (Wawancara Yatim, 12/10/2005).Hampir dipastikan tidak semua orang Sakai merelakan diri menjalani kehidupan dengan kondisi demikian. Meski tidak banyak dari mereka yang mampu melawan konstruksi sosial yang mengakibatkan kondisi mereka menjadi demikian. Sebab itu, adalah fenomena menarik ketika dewasa ini kita mulai menyaksikan kegairahan orang-orang Sakai memperjuangkan aspirasi mereka melepaskan diri dari telikungan keterbelakang, terlebih hal tersebut dilakukan melalui kerja-kerja organisasi dan gerakan sosial yang sistematis. (Acuan kekhususan waktu [dewasa ini] menjadi penting karena kita tidak ingin memotret KMS secara ahistoris dan abstrak). Mobilisator gerakan adalah kelompok kelas menengah mereka. Sekadar tambahan, dengan mendasarkan pada perbincangan teoritis sebelumnya, terminologi kelas menengah digunakan di sini untuk merujuk pada orang-orang Sakai yang akibat aktivisme mereka di ruang publik, menjadikan mereka memiliki status sosial lebih tinggi dibanding mayoritas anggota masyarakat. Jadi, status sosial tersebut didapatkan berkat aktivisme yang dilakukan di ruang publik terutama dalam memperjuangkan kepentingan kelas atau kelompok mereka, baik melalui organisasi sipil maupun gerakan individual.Terkait dengan gerakan KMS yang dilakukan melalui pembentukan perkumpulan atau organisasi, antara lain kita menyaksikan HPPMS, IPSR, dan LAMSR. Melalui organisasi-organisasi tersebut, mereka menyuarakan aspirasi sosial, politik, ekonomi maupun budaya kelompok mereka baik kepada pemerintah daerah, atau perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah mereka. Di luar perkumpulan yang telah disebutkan, disaksikan pula aktivisme anggota KMS di ruang publik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat mereka, tetapi dilakukan secara individul. Meski demikian, perlu segera disusulkan betapapun aktivisme kelompok kedua tersebut sesungguhnya tidak sepenuhnya individual. Sebab, biasanya mereka ditopang basis lembaga tertentu, tetapi bukan oleh perkumpulan yang berbasis primodialisme etnisitas atau kesukuan.Satu-satunya perkumpulan yang memediasi aktivisme pemuda pelajar, dan mahasiswa Sakai adalah HPPMS. Berpusat di Pekanbaru semenjak didirikan pada 28 Oktober 2000, HPPMS merupakan hasil pergumulan berbagai isu dan peristiwa dalam komunitas mereka, yang melahirkan keperihatinan dan kepedulian para pemuda, pelajar dan mahasiswa yang belakangan memupuk semangat solidaritas melalui pembentukan perkumpulan. Inisitif pembentukan perkumpulan, seperti disebutkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, lebih dari sekedar membangun silaturrahmi antara para anggotanya, melainkan yang lebih mendasar adalah menggalang solideritas anggota guna peningkatan sumber daya generasi muda dan pelestarian otentitias adat budaya Sakai.Inisiator pembentukan perkumpulan HPPMS adalah Sahrir, seorang pemuda asal desa Pematang Pudu, mahasiswa program Pascasarjana UNRI dan anggota DPRD Bengkalis. Sebelum terpilih menjadi anggota DPRD melalui pemilu 2004, Sahrir dikenal luas di Pekanbaru sebagai aktivis gerakan mahasiswa yang terlibat aktif dalam gerakan reformasi tahun 1998. Berkat aktivismenya dalam gerakan mahasiswa selama menempuh pendidikan sarjana di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Pekanbaru atas sponsor dari perusahaan swasta terbesar yang bergerak di bidang perminyakan berbasis di Riau; tidak mengejutkan apabila Sahrir memiliki jaringan luas di kalangan elit politik Riau dan utamanya Bengkalis sehingga memungkinkan dirinya bergabung dengan partai Golkar, yang kemudian menghantarkan dirinya menjadi anggota legislatif. Menjadi Ketua Umum HPPMS untuk periode pertama kali, Sahrir mencerminkan profil sedikit dari anggota masyarakat Sakai yang mengenyam berpendidikan hingga tingkat sarjana dan berhasil berkat kompetensi kecendikiawanan tersebut.HPPMS bukanlah organisasi mahasiswa dengan basis massa melimpah, setidaknya dikarenakan secara faktual anggota masyarakat Sakai yang hingga dewasa ini mengenyam pendidikan masih relatif sedikit. Berdasarkan wawancara Sahrir dengan reporter sebuah koran lokal di Riau, disebutkan bahwa sekitar 52 anak Sakai sekarang sedang menempuh studi di pelbagai Perguruan Tinggi di Pekanbaru (Dumai Pos, 3/10/2005:9-10). Para mahasiswa tersebut sebagian besar merupakan pegiat sekaligus lokomotif HPPMS. Betapapun perkumpulan ini melingkupi pemuda non-mahasiswa dan pelajar tingkat SMU atau di bawahnya, namun tidak banyak eksponen kedua kelompok ini yang aktif dalam kepengurusan HPPMS.Telah dijelaskan sebelumnya, misi dan cita-cita perkumpulan adalah menggalang solideritas kebangkitan masyarakat Sakai. Solideritas atas nama kebangkitan dinilai relevan mengingat konstruksi tentang Sakai selama ini sebagai komunitas terbelakang perlu dilawan dengan menciptakan konstruksi identitas tandingan: sebagai kelompok terdidik dan aktif dalam gerakan sosial. Sejauh pengamatan kami, aktivisme HPPMS masih sederhana: mencari dan mengelola dana beasiswa bagi anak-anak Sakai yang menempuh studi Perguruan Tinggi, memfasilitas pertemuan-pertemuan terutama yang menyangkut penguatan identitas budaya mereka.Telah disinggung, betapapun HPPMS mencantumkan kata “Pemuda” dalam identitas resmi perkumpulan, namun secara faktual sayap pemuda non-kampus tidak mendapat ruang memadai. Sebagian mereka dilibatkan terutama pada saat-saat pelaksanaan kegiatan tertentu, tetapi tidak pada saat-saat perancanaan. Sekretariat HPPMS yang berada di Pekanbaru juga menyulitkan kelompok Sakai pemuda di Duri untuk terlibat aktif dalam setiap aktivitas organisasi. Merasa tidak banyak tempat untuk terlibat dalam penentuan arus kegiatan organisasi, ditambah dengan persepsi bahwa aspirasi yang tidak tersalurkan melalui HPPMS, beberapa anggota dari sayap pemuda Sakai di Duri belakangan mendeklarasikan perkumpulan baru: IPSR.Didirikan pada 2001 dengan basis kegiatan di Duri, IPSR mulanya bergerak di bidang ketenaga-kerjaan. Visi dan misi IPSR difokuskan untuk memperjuangkan agar anak-anak Sakai dapat dipekerjakan di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Duri. “Memang belum banyak yang dapat kita lakukan”, demikian menurut Suhardi, “tapi dengan IPSR kita menjadi lebih diperhitungkan. Melalui oganisasi, keberadaan anak-anak Sakai diakui”. Selain di bidang ketenaga-kerjaan, IPSR kegiatan berfokus pada peningkatan SDM, dengan cara mencari bantuan beasiswa bagi anak-anak Sakai. Untuk kepentingan peningkatan SDM tersebut, IPSR sering memfasilitasi pelatihan-pelatihan bagi anak-anak Sakai, guna menyiapkan agar mampu menangkap kesempatan-kesempatan kerja di perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di sektor industri dan pertambangan yang beroperasi di lingkungan mereka. (Wawancara Suhardi, 15/10/2005).Lokomotif sekaligus Ketua Umum pertama IPSR adalah Suhardi. Seperti halnya Sahrir, Suhardi merupakan potret generasi muda Sakai yang sudah mengalami modernisasi. Menyelesaikan sarjana di Perguruan Tinggi Swasta di Jogyakarta, Suhardi kini bekerja sebagai karyawan tetap di kelompok perusahaan Pertamina pada bagian Enginering dan pada saat-saat tertentu diminta menjadi Humas Perusahaan (public relation) utamanya apabila berhubungan dengan masyarkat Sakai. Juga seperti halnya Sahrir, Suhardi pernah menjadi calon anggota legislatif pada pemilu 2004 dari wilayah pemilihan Kecamatan Pinggir meski dirinya tidak seberuntung Sahrir yang kini duduk dilegislatif. Suhardi kalah dalam pesta demokrasi 2004, karena, sebagaimana pengakuannya, “basis utama dukungan untuk saya ada di Mandau, tapi saya ditempatkan untuk pemilihan daerah Pinggir” (Wawancara Suhardi, 15/10/2005).Tetapi agaknya yang membedakan Suhardi dengan Sahrir adalah lingkungan keluarga Suhardi yang merupakan kelompok elite adat Sakai dan tuan tanah di Duri. Ini tampaknya menjadikannya tidak begitu sulit untuk mengenyam pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Kakek Suhardi, Ujang Ganti, merupakan Batin Tertinggi Sakai dengan gelar Batin Betuah, sementara bapaknya, Abdul Karim adalah mantan karyawan tetap Pertamina, yang kini menjadi kontraktor di Duri. Suhardi berasal dari lingkungan KMS yang tidak hanya berpengaruh di komunitas Sakai, melainkan pula terhadap pemerintah daerah Bengkalis. Keluarga Suhardi memiliki posisi berpengaruh di Duri, terlihat bagaimana pendapat mereka dipertimbangkan dalam penentuan jabatan-jabatan publik di Bengkalis, setidaknya di wilayah yang menyangkut kepentingan komunitas Sakai.Melalui IPSR, Suhardi telah mempelopori modernisasi dan mempraktikkan pola-pola masyarakat modern dalam menyuarakan kepentingan-kepentingan sosial-politik dan ekonomi mereka. Agaknya menarik dicatat, dalam menyalurkan aspirasi mereka, Suhardi tampaknya tidak begitu antusias menyampaikan aspirasi melalui aksi-aksi demontrasi di lapangan. Berdasarkan wawancara, Suhardi lebih cenderung memilih menyampaikan aspirasi masyarakat Sakai melalui pola-pola diplomasi dan diskusi. Tetapi, demikian Suhardi menuturkan, kalau pendekatan demikian sudah tidak dapat membuahkan hasil, maka “aksi-aksi lapangan melalui demonstrasi baru boleh digunakan” (Wawancara Suhardi, 15/10/2005)..Institusi civil society berikutnya adalah LAMSR. Didirikan pada tahun 1999, LAMSR merupakan lembaga adat dengan basis kegiatan di Duri yang merupakan rerpresentasi pimpinan adat masyarakat Sakai. Visi LAMSR adalah melakukan penguatan identitas kultural masyarakat adat Sakai guna membela dan mendapatkan hak-hak sosial-politik dan ekonomi komunitas yang ditujukan untuk mengurangi ‘keterbelakangan’ dan kemiskinan yang dialami masyarakat Sakai. Didirikannya kembali LAMSR setelah dalam waktu yang lama kelembagaan adat Sakai mengalami kevakuman memiliki tujuan utama untuk membantu komunitas Sakai menjadi modern agar mampu berpartisipasi dalam proses-proses modernisasi di satu pihak, sembari tetap mempertahankan otentititas identitas kultural mereka di pihak lain. Lokomotif yang sekaligus Ketua Umum LAMSR, Muhammad Yatim merupakan potret figur kharismatik yang selalu diterpa kegelisahan mendalam atas kondisi yang dialami masyarakat Sakai. Meskipun hanya sempat mengeyang pendidikan Sekolah Rakyat (SR), setingkat Sekolah Dasar (SD) pada masa sekarang, kecermelangan pikiran-pikiran Yatim menjadikannya sempat puluhan tahun berkerja di perusahaan internasional yang bergerak di bidang perminyakan, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil pensiun dini. Selain memiliki keluasan wawasan terhadap segala pernik menyangkut identitas kultural masyarakat adat Sakai, Yatim juga memiliki kemampuan retorika dan artikulasi lisan yang sistematis sehingga dirinya acapkali menjadi rujukan utama dalam setiap hal yang berkaitan dengan masyarakat Sakai.Selama wawancara terungkap gagasan menggebu-gebu Yatim atas sebuah proyek kebangkitan Sakai. “Alasan mengambil pensiun dini”, demikian dia mengisahkan, “adalah agar memiliki waktu lebih banyak untuk mencurahkan perhatian kepada masyarakat”. Yatim menuturkan, “pengalaman saya berkunjung di beberapa daerah di Indonesia, saya menyaksikan orang-orang lain maju, dan saya ingin berbuat sesuatu agar masyarakat saya dapat maju seperti mereka”. Atas alasan tersebutlah, bersama elite adat Sakai lainnya, Yatim mengambil inisiatif merevitalisasi lembaga adat Sakai dengan membentuk LAMSR.Dinamika gerakan civil society masyarakat adat Sakai sesungguhnya tidak hanya dihadirkan KMS di Duri. Masyarakat adat Sakai yang hidup di kampung juga memperlihatkan geliat menggembirakan. Hal ini tampak terutama pada saat mereka tidak lagi dapat bersabar dalam menghadapi penyerobotan lahan yang dilakukan pihak luar, mereka menggalang solideritas dengan aksi-aksi demonstrasi. Berdemontrasi di DPRD II atau bahkan DPRD I untuk menyampaikan aspirasi merupakan hal sering dilakukan. Demonstrasi sebagian besar dipicu kasus konflik pertanahan, menuntut pelibatan tenaga kerja tempatan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar desa mereka, atau kasus-kasus lain yang menyangkut pemenuhan kepentingan komunitas mereka. Pada bagian berikut akan dipaparkan bagaimana artikulasi gerakan civil society KMS dalam memperjuangkan kepentingan sosial-politik, pendidikan dan lapangan pekerjaan, serta penguatan identitas kultural mereka.Agenda dan Artikulasi Pemikiran KMSMenangkap Peluang Politik BaruPeluang politik baru terbuka bagi KMS untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam peristiwa politik lokal menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan diberlakukannya otonomi daerah. Melalui pembahasan berikut, kami hendak memperlihatkan bagaimana anggota KMS menanggapi situasi yang berkembang, dan, melalui perkumpulan-perkumpulan primordial atau instrumen civil society, mereka berusaha meningkatkan partisipasi dalam arena perpolitikan daerah. Ini membawa sebuah dimensi baru bagi konstruksi publik menyangkut identitas Sakai, sebuah konstruksi yang mencoba menyoroti Sakai sebagai kelompok berpendidikan, maju dan peka terhadap perkembangan politik. Untuk menganalisa masalah ini, kami akan menyoroti bagaimana para anggota KMS dan perkumpulan-perkumpulan sipil menangkap peluang untuk memperluas partisipasi politik mereka dalam arena politik lokal.Betapapun tidak secara tegas menyatakan sebagai gerakan politik, kehadiran organisasi masyarakat sipil (civil society) yang dimotori kelompok KMS tidak otomatis apolitis. Mereka acapkali menampilkan diri sebagai kelompok penekan (pressure group). Meskipun dalam skala relatif terbatas, apa yang mereka lakukan cukup mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik pemerintah di daerah. Terpilihnya Nurcahaya, perempuan Sakai menjadi camat pertama Kecamatan Pinggir pada 2004 memperlihatkan bagaimana para anggota KMS menangkap peluang dalam kontestasi politik guna meningkatkan partisipasi mereka di lingkungan pemerintahan daerah saat pergantian camat Mandau dan Pinggir. Negosisi-negosiasi antara perwakilan KMS, baik yang menggunakan bendera LAMSR, aliansi para Batin Sakai, perkumpulan pemuda, maupun dukungan terbuka yang disampaikan oleh beberapa anggota KMS melalui dukungan resmi yang disampaikan kepada Bupati atau stateman dukungan tokoh pemuda Sakai di koran-koran lokal; memperlihatkan bahwa terpilihnya representasi orang Sakai untuk menduduki jabatan publik tersebut, bukan tanpa melewati perjuangan keras.Nurcahaya menggambarkan kepada penulis bahwa proses terpilihnya dia sebagai camat Pinggir “melewati proses panjang dan berliku” (Wawancara Nurcahaya, 13/10/2005). Nurcahaya adalah mantan Lurah di desa berbasis Sakai yakni desa Balai Alam dan desa Gajah Sakti. Kariernya di pemerintahan dimulai ketika dia terpilih sebagai pegawai rendahan di lingkungan Kecamatan Mandau, beberapa saat setelah menyelesaikan pendidikan tingkat diploma di APDN. Karier Nurcahaya di pemerintahan menanjak perlahan, dia pernah menduduki semua jabatan kepala seksi di Kecamatan Mandau. Maka, tidak mengejutkan pada saat masa kepemimpinan Ridwan Yazid sebagai Camat Mandau akan berakhir, beberapa nama calon seperti Ridwan Yazid dan Khalid Yusuf menguat, tanpa terkecuali nama Nurcahaya.Menurut salah seorang informan, nama Nurcahaya dimunculkan sesaat setelah Bupati Bengkalis, Samsyurizal menelpon beberapa tokoh Batin Sakai agar merekomendasikan nama calon camat Mandau. Setelah melakukan rapat, para pimpinan adat Sakai bersepakat mengusulkan Nurcahaya. Tidak sekedar itu, aliansi para Batin Sakai dibawah pimpinan Muhammad Yatim juga menemui Bupati Syamsurizal guna menegaskan dukungan mereka kepada Nurcahaya. Masih menurut informan yang sama, Bupati dikabarkan menyambut positif rekomendasi para pimpinan adat Sakai tersebut. Namun, dukungan Bupati Syamsurizal terhadap Nurcahaya menghilang sesaat setelah aliansi masyarakat dari pendukung calon camat lain di Mandau juga menemui Bupati Syamsurizal dan menegaskan dukungan terhadap calon mereka. (Wawancara Yatim, 13/10/2005, dan Suhardi, 15/10/2005)Munculnya nama Nurcahaya sebagai calon Camat Mandau sempat memunculkan kontroversi di lingkungan masyarakat Mandau. Seperti terungkap di koran lokal, persoalan keperempuanan dan ke-Sakai-an menjadi alasan yang acapkali mengemuka guna menolak pencalonan Nurcahaya. Para pendukung Nurcahaya baik dari tokoh-tokoh adat maupun tokoh pemuda merespon statemen di koran, dengan mengemukakan alasan-alasan perlunya wakil dari orang Sakai memimpin Mandau. Namun saat optimisme merekomendasikan Nurcahaya sebagai Camat Mandau mulai memudar, para aktivis KMS bersepakat mengalihkan dukungan mereka kepada Nurcahaya dari sebagai calon camat untuk Mandau menjadi calon camat Pinggir, sebuah kecamatan yang baru dimekarkan dari Mandau. Setelah melewati negosiasi ketat, akhirnya Bupati Syamsurizal menetapkan Nurcahaya sebagai camat Pinggir. (Wawancara Yatim, 13/10/2005, dan Suhardi, 15/10/2005)Negosiasi-negosiasi politik sebagaimana dipaparkan di atas menggambarkan bahwa orang-orang Sakai sangat adaptif terhadap peluang-peluang politik baru. Hal ini, demikian dipaparkan Suhardi, merupakan gaya orang (kelas menengah, red.) Sakai dalam mendekonstruksi narasi dominan yang dicangkokkan pihak luar terhadap identitas komunitas mereka. Sakai tidak tampil sebagai komunitas yang silent (diam) dan menghindar dari kerumunan orang-orang luar sebagaimana dicitrakan banyak orang (Lihat, Tabrani, 2002:43-48), melainkan peka, bahkan dalam membaca momentum politik tertentu.Konstruksi tentang identitas KMS sebagai komunitas yang peka membaca peluang-peluang politik baru, diperkuat dengan terpilihnya dua anggota masyarakat Sakai: Sahrir dan Amril Mukminin, sebagai anggota legislatif Bengkalis pada pemilu 2004. Sahrir, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, adalah mantan aktivis mahasiswa di Pekanbaru pada masa gerakan reformasi tahun 1998. Pergaulannya yang luas dengan elit politik lokal di Pekanbaru dan Bengkalis, ditambah dengan basis massa yang solid, tidak mengejutkan ketika berhasil menghantarkannya sebagai anggota legislatif Bengkalis dari Partai Golkar. Demikian pula Amril Mukminin, mantan kepala Desa Muara Basung yang terpilih sebagai anggota legislatif Bengkalis dari partai yang sama. Terpilihnya Amirul Mukminin sebagai anggota legislatif, seperti diceritakan istrinya, Kasmiyati, tidak lepas dari aliansi longgar dan dukungan beberapa kepala desa berdarah Sakai di wilayah pemilihan Pinggir (Wawancara Kasmiyati, 13/10/2005). Pada masa pemerintahan Orde Baru, orang-orang Sakai sama sekali terpinggirkan dalam pemerintahan daerah. Mereka juga tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan hak-hak sosial-politik, budaya dan ekonomi mereka. Bersuara atau melakukan protes atas lepasnya lahan mereka yang diambil secara paksa oleh pihak luar, mengakibatkan mereka harus berurusan dengan kepolisian dan dipenjarakan dalam waktu relatif lama (Wawancara Yatim, 13/10/2005). Sekarang, di saat era keterbukaan dan kebebasan berpendapat mendapat tempat, mengadakan rapat-rapat dimana pesertanya dapat berbagi gagasan dan informasi menjadi cara yang efektif tidak hanya memperkuat rasa persatuan di antara sesama orang Sakai, tetapi juga untuk mengeksplorasi cara-cara mencapai keterwakilan yang lebih besar di lingkungan pemerintahan. Suhardi menceritakan kepada penulis bahwa guna meningkatkan keterwakilan orang-orang Sakai yang bergiat di institusi pemerintahan, perkumpulan yang dipimpinnya akan lebih intensif melakukan pendekatan dengan pemerintah supaya para sarjana Sakai mendapat perioritas dalam setiap momentum rekruitmen PNS di daerah (Suhardi, 12/10/2005)Suatu hal yang dapat dipetik dari pemaparan di atas adalah kebangkitan kesadaran KMS dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik atau posisi politik tertentu di daerah, bahkan sebagian di antaranya didapatkan berkat aktivisme mereka sebelumnya dalam gerakan civil society. Memiliki wakil sebagai Camat Pinggir dan dua orang lainnya sebagai anggota legislatif di Bengkalis membawa kemungkinan-kemungkinan baru bagi orang-orang Sakai untuk berpartisipasi dalam politik lokal dalam skala yang lebih signifikan dan menentukan. Tentu saja hal demikian akan membangkitkan harapan-harapan baru bagi KMS untuk memperbaiki kondisi masyarakat mereka.Pendidikan dan Lapangan PekerjaanPendidikan dan lapangan pekerjaan merupakan faktor-faktor yang kritis dan menentukan tingkat partisipasi orang-orang Sakai dalam politik lokal dan lapangan pekerjaan baik di institusi pemerintahan maupun sektor-sektor industri atau lainnya. Hampir semua informan menceritakan kepada peneliti betapa sulitnya orang-orang Sakai untuk melanjutkan pendidikan. Hal ini pada gilirannya ikut menentukan rendahnya tingkat partisipasi mereka dalam setiap lapangan pekerjaan.Berdasarkan wawancara dengan Ketua Umum IPSR, Suhardi, terungkap bahwa dua isu utama komunitas Sakai yang membutuhkan penyelesaian mendesak adalah persoalan pendidikan dan lapangan pekerjaan. Mengingat basis pendidikan merupakan modalitas bagi terwujudnya transformasi sosial-ekonomi, sementara tingkat pendidikan mayoritas anggota masyarakat Sakai masih rendah, IPSR mendesak pemerintah agar memberikan kuota khusus dari APBD atau APBN di setiap tahunnya untuk dialokasikan guna kepentingan pendidikan anak-anak Sakai hingga tingkat Perguruan Tinggi. IPSR juga meminta dispensasi Perguruan Tinggi Negeri setidaknya di Pekanbaru agar memberikan kuota khusus bagi beberapa orang anak-anak Sakai untuk diterima tanpa melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) (Wawancara Suhardi, 15/10/2005).Senada dengan Suhardi, Yatim berpandangan bahwa “Jika kita menunggu anak-anak kami untuk lulus SPMB, atau mendapatkan beasiswa berdasarkan prestasi, anak-anak Sakai tidak akan pernah mendapatkan tempat di Perguruan Tinggi Negeri”. Yatim dengan nada kritis mengatakan :Anak-anak kami yang di sekolah mulai dari SD sampai SMP, kalau main bola kaki saja pun tidak tahu bolanya. Kami cuma tahu bola ojol. Jadi, dalam hal ini, pemerintah memberikan dana bantuan beasiswa dengan memakai kriteria berprestasi. Padahal, kita berprestasi apa? Untuk olah raga saja pakai bola kaki dari ojol, karena tidak ada perlengkapan olah raga. Kalau fasilitas pendidikan di tempat sekolah anak-anak Sakai begini terus, sampai kapan pun anak Sakai tidak akan mendapatkan kesempatan beasiswa, bila pemerintah memakai kriteria berprestasi. (Wawancara Yatim, 12/10/2005)Alih-alih menyelesaikan pendidikan hingga sarjana, mayoritas anak-anak Sakai hanya menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar atau tidak sekolah. Selama melakukan pemantauan di lapangan, kami mendapati sebagian besar anak-anak di Desa Kuala Penaso tidak mampu menyelesaikan sekolah Dasar. Muhammad Afar, seorang informan yang sekaligus ketua RW di dusun tersebut menyatakan saat ini di dusun Jiat Kramat hanya ada dua orang anak Sakai yang sedang sekolah di tingkat menengah pertama (SLTP). Pemandangan tragis peneliti temukan di sebuah dusun pemukiman Sakai di pinggir jalan yang merupakan wilayah Kecamatan Pinggir. Anak-anak dari 12 kepala keluarga Sakai yang tinggal di situ, hanya dua orang yang saat ini bersekolah di tingkat dasar. Belasan anak usia SD lainnya, tidak bersekolah, meskipun lokasi pemukiman mereka hanya berjarak 200 meter dari jalan lintas Duri-Pekanbaru.Hingga saat sekarang, memang sudah ditemukan beberapa anggota KMS yang berhasil berkat pendidikan yang mereka tempuh hingga tingkat Perguruan Tinggi. Nurcahaya, Sahrir, dan Suhardi mewakili sedikit di antara mereka. Nurcahaya, Camat Pinggir menceritakan betapa sulitnya dia menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA, sebelum akhirnya terpilih sebagai peserta program Departemen Sosial tentang peningkatan SDM Sakai untuk dikuliahkan di APDN. Demikian pula Sahrir, anggota dewan di DPRD Bengkalis yang menyelesaikan pendidikan sarjananya karena program dari perusahaan swasta di Duri yang bergerak di bidang perminyakan. Hal serupa juga dialami Suhardi. Suhardi mendapatkan bantuan PT. CPI, lantaran orang tuanya, Abdul Karim merupakan sedikit diantara orang Sakai yang menjadi karyawan tetap di perusahaan tersebut. Di luar ketiga nama tersebut, perlu disebutkan pula nama Muhammad Aghar, orang Sakai yang sekarang sedang menempuh pendidikan tingkat doktoral di salah satu Perguruan Tinggi di Jerman, berkat fasilitasi peneliti asal Jerman, Hans Kalipke. Sekedar tambahan, perlu dikemukakan bahwa saat ini tercatat sekitar 52 anak Sakai sedang menempuh pendidikan di bangku perkuliahan. Hingga saat ini, mereka mewakili tidak lebih dari satu persen anak-anak Sakai yang berkesempatan merasakan pendidikan sampai tingkat Perguruan Tinggi.Realitas pendidikan SDM Sakai yang masih rendah tentu saja menyulitkan anak-anak Sakai untuk dapat mengakses lapangan pekerjaan di pemerintahan maupun sektor swasta. Nurcahaya mengungkapkan kepada peneliti bahwa dengan posisinya sebagai orang nomor satu di Kecamatan Pinggir sesungguhnya merupakan momentum strategis untuk memasukkan anak-anak Sakai bekerja di lembaga pemerintahan. Namun, demikian Nurcahaya menimpali, rendahnya tingkat pendidikan anak-anak Sakai menjadikannya sulit merekomendasikan mereka untuk menjadi pegawai negeri di instansi yang dipimpinannya. Dia mengaku hanya dapat memasukkan beberapa anak-anak Sakai untuk menjadi tenaga honorer pada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Alih-alih ada yang menjadi PNS di pemerintahan tingkat I ataupun tingkat II, Nurcahaya dengan potret pendidikan anak-anak Sakai yang demikian ini di merasa tidak dapat berbuat apa-apa (Wawancara, 13/10/2005).Mengekpresikan perasaan frustasi masyarakatnya, seorang aktivis pemuda Sakai di Kusumbo Ampai, Muhammad Naim mengatakan bahwa “sejak kecil saya ingin berubah, kami tidak ingin seperti orang tua kami, miskin dan tidak tahu baca-tulis. Kami ingin menjadi orang pintar dan berilmu”. Tapi, demikian Naim melanjutkan, “kami tidak melihat seorang pun yang sungguh-sungguh memberi perhatian terhadap persoalan orang-orang Sakai”. Lebih lanjut, dia merasa bahwa komunitas lain di luar mereka, termasuk di dalamnya orang-orang Melayu, “memandang orang-orang Sakai sebagai kelas yang rendah” (Naim, 11/10/2005).Pararel dengan Naim, Suhardi mempercayai bahwa persoalan-persoalan yang melanda masyarakat Sakai dapat diselesaikan dengan membentuk perkumpulan-perkumpulan guna melakukan gerakan yang sistematis dan terorganisasi. Perjuangan untuk kebangkitan Sakai hanya akan muncul dari kalangan orang-orang Sakai sendiri. “Kami tidak ingin masa depan anak-anak Sakai bernasib seperti mayoritas anak-anak segenerasi dengan kami atau generasi orang tua kami”, demikian kata Suhardi bersemangat (Suhardi, 15/10/2005). Seorang pengurus HPPMS di Pekanbaru yang kami temui dalam sebuah kesempatan seminar tentang Sakai beberapa waktu lalu mempercayai bahwa aktivisme mereka dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan perkumpulan HPPMS akan berdampak positif. “Dengan berorganisasi kami akan merubah cara pandang masyarakat kami, sehingga mereka akan mempertimbangkan pentingnya pendidikan. Sekarang, sudah mulai banyak anak-anak Sakai yang memandang pendidikan sebagai hal yang penting. Mereka juga aktif dalam kegiatan-kegiatan HPPMS” (Mahasiswa Sakai, 27/12/2005).Kegelisahan atas kondisi pendidikan anak-anak Sakai menjadi alasan mendasar bagi Yatim mengambil pensiun dini dari pekerjaan di Pertamina. Tujuannya, agar dia dapat memberikan perhatian lebih banyak terhadap kondisi orang-orang Sakai. Menurut Yatim keterbelakangan anak-anak Sakai dalam hal pendidikan dan peluang pekerjaan merupakan akibat dari minimnya perhatian dan keseriusan pemerintah terhadap program peningkatan kualitas SDM anak-anak Sakai. “Kalau pemerintah serius hendak memperhatian peningkatan SDM Sakai, maka berikan kepada setiap orang-orang Sakai lahan sawit atau sejenisnya masing-masing 3-4 hektar untuk setiap kepala keluarga”. Dengan modal perkebunan sawit tersebut, Yatim percaya bahwa kondisi ekonomi orang-orang Sakai dipastikan akan membaik sehingga mereka dapat memberi perhatian terhadap peningkatan kualitas SDM anak-anak mereka. “Berbekal pendidikan”, demikian Suhardi menambahkan, “otomatis anak-anak Sakai dapat memanfaatkan peluang-pelung pekerjaan baik di institusi pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan swasta atau sektor-sektor industri lainnya” (Suhardi, 15/10/2005).Penguatan Identitas KulturalKekuatan ekonomi kapitalis bukan satu-satunya yang menyerbu dan memarjinalkan orang-orang Sakai. Lainnya, adalah kekuatan politik baru bernama negara. Tempo dulu, orang Sakai memiliki perbatinan berikut wilayah sendiri-sendiri. Mereka hidup secara harmoni dan satu sama lain saling menghargai batas wilayah masing-masing (Wawancara Yatim, 12/10/2005). Harus diakui, masyarakat Sakai sangat kokoh dalam memegang adat istiadat dan tradisi leluhur mereka. Melalui kelembagaan adat pula mereka melestarikan kepemimpinan tradisional dalam satuan wilayah mereka masing-masing, yang kadangkala jauh memiliki wibawa dibandingkan dengan kepemimpinan formal-negara.Konsep satuan wilayah pemukiman demikian kemudian diporak-porandakan ketika pemerintah pusat melalui UU No. 5/1979 memberlakukan sistem pemerintahan desa. Batas-batas wilayah perbatinan yang pada masa sebelumnya ditetapkan secara alamiah berdasarkan batas sungai di pisah-pisah menjadi satuan wilayah desa, dan beberapa klan disatukan menjadi satuan wilayah kecamatan. Akibatnya, “kampung yang sebelumnya dipimpin seorang batin”, demikian Yatim menyatakan, “kini dipimpin seorang kepala desa yang tidak tahu-menahu masalah adat”. (Wawancara Yatim, 12/10/2005) Tak pelak, lembaga perbatinan yang sebelumnya memiliki otoritas tertinggi dalam mengatur persoalan adat dan sosial-politik dalam komunitas Sakai, menjadi kehilangan otoritas sama-sekali. Lembaga adat mengalami domestifikasi dan tidak lagi memiliki peranan dan kekuasaan dalam mengatur komunitas adat mereka sendiri.Penyeragaman (uniformity) yang dipompakan dari satu mesin birokrasi raksasa dari pemerintah pusat hingga ke tingkat desa telah menafikan keserba-ragaman (diversity). Padahal bagi komunitas Sakai, keserbaragaman justru yang selama ini menjadi salah satu pilar utama terbangunnya pola hubungan harmonis antara berbagai kelompok dalam komunitas mereka. Maka, setelah mengalami marjinalisasi sumbu-sumbu perekonomian meraka akibat kapitalisasi, sistem perbatinan dan adat mereka pun didomestifikasi. Apabila hal ini tidak dilakukan revitalisasi, tidak mustahil generasi muda Sakai akan mendapati bahwa sistem perbatinan yang mereka bangggakan tidak lebih dari sekadar legenda dan nyanyian sebelum tidur, tidak lagi menyejarah. (wawancara Suhardi, 15/10/2005)Atas alasan-alasan tersebut, KMS utamanya para aktivis adat seperti Yatim dan Bosniar berinisiatif merevitaslisasi kelembagaan adat Sakai melalui pembentukan LAMSR. Inisiatif ini mencerminkan penilaian kembali dan penegasan kembali yang mereka lakukan atas ‘tradisi’ mereka sendiri. Bagi KMS yang terlibat, ditegaskan dan dihidupkannya kembali hukum adat penting artinya bagi penegakan marwah orang-orang Sakai. Dihidupkannya kembali LAMSR juga dipandang kritis bagi hak-hak orang Sakai. Secara khusus para aktivis LAMSR yang diwawancarai menyatakan bahwa LAMSR akan mencegah terjadinya eksploitasi orang-orang Sakai orang pemerintah dan perusahaan kapitalis, yang sudah sering menyerobot tanah mereka atas nama pembangunan. Pegiat KMS yang terlibat dalam revitalisasi kelembagaan adat percaya bahwa mereka perlu menyatukan pandangan sehingga mereka akan memiliki satu suara yang lebih kuat untuk memperjuangkan hak-hak mereka.Kemampuan untuk berbicara atas nama orang Sakai adalah kekuasaan paling penting bagi LAMSR. Namun, kehadiran LAMSR berikut klaim sebagai lembagai adat tertinggi atas nama komunitas Sakai memang sempat memantik kontroversi dari beberapa pucuk pimpinan batin di Sakai. Abdul Karim, pemuka adat dari Batin Betuah, merupakan orang yang paling menampakkan pertentangan dengan pembentukan LAMSR. Menurutnya, pembentukan LAMSR tidak lepas dari kepentingan pribadi beberapa orang tertentu. Mereka mengklaim diri sebagai Batin, dan menguasai lahan-lahan masyarakat Sakai untuk dijual. Karim juga mengkritik pembangunan Balai Adat Sakai di Duri. Menurutnya, pembentukan Rumah Adat tersebut selain tidak pernah dikenal dalam sistem peradatan Sakai, juga mengundang pertanyaan karena dibangun di pinggir kota Duri, di wilayah yang sepi dan jauh dari basis tempat tinggal orang-orang Sakai (Wawancara Karim, 15/10/2005).Tapi terlepas dari kontroversi tersebut, keberadaan LAMSR sejauh pengamatan di lapangan memperlihatkan efektifitas utamanya dalam peranannya sebagai mediator antara kepentingan masyarakat adat Sakai dengan pemerintah maupun perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah wilayah perkampungan Sakai. Bertolak belakang dengan pandangan Abdul Karim, Yatim menilai LAMSR merupakan intitusi yang cukup representatif dalam menyuarakan aspirasi masyarakat Sakai, setelah institusi ini kehilangan peranan sama-sekali dalam waktu lama akibat diterapkannya sistem pemerintahan desa pada masa awal pemerintahan Soeharto.Terkait dengan persoalan bahwa kelembagaan adat pada masa Sakai klasik merupakan lembaga tertinggi yang kemudian hilang menyusul diberlakukannya UU No. 5/1979 tentang sistem pemerintahan desa; para elit adat tampaknya tidak berniat menegasikan eksistensi kepala desa dalam stuktur sosial mereka. Tidak sedikit kepala desa di wilayah pemukiman Sakai sekarang berasal dari komunitas Sakai. Sebab itu, menurut para Batin yang diwawancarai, yang lebih penting adalah bagaimana agar para Batin dan para kepala desa memiliki posisi setara dan membentuk kerjasama menuju tujuan-tujuan yang sama. Harapan orang-orang Sakai adalah bahwa kebanggaan menjadi orang Sakai akan pulih dengan memperkuat peran lembaga adat. Penanda identitas Sakai yang penting adalah memiliki Batin yang otoritatif, yang pada gilirannya dapat mewujudkan kebudayaan orang Sakai yang tertata dan bernilai tinggi serta otonomi bagi masyarakat Sakai.Agenda jangka pendek perkumpulan ini antara lain sebagaimana diceritakan Yatim adalah penguatan eksistensi LAMSR. Melalui LAMSR, Yatim sedang bergulat untuk mewujudkan program pembangunan rumah adat Sakai di Duri, dan mewujudkan terbentuknya desa Pariwisata Sakai, yang terletak di Kusumbo Ampai. Hal lain yang menurut LAMSR merupakan latar belakang bagi kehadiran kembali perkumpulan ini adalah tidak adanya pengakuan pemerintah atas tanah dan hak-hak tanah lainnya yang menjadi milik masyarakat Sakai. Sebab itu, berjuang untuk mendapatkan pengakuan pemerintah atas hak-hak pertanahan mereka yang sebelumnya dirampas secara paksa oleh pihak luar merupakan agenda utama LAMSR (Wawancara Yatim, 12/10/2005). Memang apa yang sedang dipikirkan Yatim masih menyisakan perdebatan di lingkungan elite perbatinan Sakai, tetapi betapapun hal tersebut merupakan gagasan besar yang penting tidak saja untuk didiskusikan melainkan didukung berbagai pihak sehingga dapat menghasilkan output berupa penguatan identitas kultural masyarakat adat Sakai di masa mendatang. Bertolak dari pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa KMS menginginkan agar komunitas mereka diperlakukan secara lebih terhormat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki adat istiadat yang kuat dan bernilai tinggi. Para informan dari KMS yang diwawancarai berniat melawan kategorisasi Sakai sebagai kelompok ‘primitif’ dan ‘terbelakang’ yang berkerja untuk menjustifikasi kurangnya partisipasi politik mereka dan marjinalisasi ekonomi yang mereka alami. Memiliki lembaga adat yang diakui, disamping memperbaiki tingkat pendidikan dan porsi orang-orang Sakai yang bekerja di pemerintahan dan lapangan kerja profesional lainnya, dipandang sebagai suatu yang substansial dalam menentang streotip-streotip negatif tersebut.Di sini kita temukan sebuah upaya dari kalangan KMS untuk mengkontrusi narasi tentang diri mereka sendiri. Memiliki sebuah lembaga adat tampaknya merupakan salah satu cara untuk menunjukkan bahwa KMS benar-benar memiliki struktur yang ‘modern’ untuk menghadapi pelbagai masalah mereka dewasa ini. Hukum tradisional mereka yang sudah ditemukan kembali itu tentu tidak sama persis dengan yang ada dulu. Hukum ini merupakan sebuah kreasi yang relatif baru, —sebuah respon terhadap modernisasi yang kerapkali mengabaikan adat istiadat lama mereka. Melalui usaha keras LAMSR, kami membayangkan citra Sakai di masa mendatang akan berbeda, dalam hal bahwa orang-orang Sakai akan hadir dalam varian yang ‘modern’ sekaligus setia terhadap otentitias kultural mereka. KesimpulanPemaparan di atas menggaris-bawahi bahwa gerakan kelas menengah tidak mesti ditampilkan aktor-aktor yang hebat sehingga menimbulkan getaran pada struktur politik-kebangsaan. Barangkali konfigurasi KMS tidak seratus persen taat pada konseptualisasi teoritikus sosial kebanyakan saat mendefinisikan terminologi kelas menengah. Hal ini sesungguhnya bukan sesuatu yang patut dirisaukan. Sebab, melansir pandangan Heryanto, tidak ada istilah semacam kelas menengah yang mungkin dapat menunjukkan suatu kenyataan yang statis dan memiliki batasan yang jelas dan nyata (Heryanto:54). Terkadang, gerakan kelas menengah, setidaknya seperti dipresentasikan komunitas Sakai, muncul dari kalangan berbasis ekonomi sederhana dan bergerak dilingkup yang terbatas, tetapi mengingat perjuangan mereka yang sepi pamrih dalam membela hak-hak komunitas, menjadikan kelompok tersebut menikmati status sosial yang relatif lebih tinggi dari mayoritas anggota masyarakat umumnya.Meski secara nominal merupakan kelompok terbatas, KMS telah melakukan hal-hal yang sepintas sederhana, tetapi menghadirkan akibat-akibat signifikan bagi konstruksi identitas masyarakat mereka secara luas. Menggalang pengumpulan dana beasiswa untuk anggota, menjadi fasilitator atas perayaan-perayaan adat, atau mengadakan pertemuan berkala sembari berdiskusi dengan tema-tema yang tidak berfokus seperti ditampilkan HPPMS; menyelenggarakan pelatihan-pelatihan guna membekali keterampilan anak-anak Sakai sehingga dapat dipekerjakan di perusahaan swasta seperti dilakukan IPSR; atau memperjuangkan penguatan peranan lembaga perbatinan sebagaimana dilakukan LAMSR, sesungguhnya merupakan aktivitas yang sepintas sederhana tetapi telah membidani kelahiran narasi baru tentang identitas Sakai.Tidak berhenti di situ, anggota KMS pun setia membaca peluang politik yang memungkinkan mereka berpartisipasi dalam proses-proses kebangsaan secara lebih signifikan. Tulisan di atas memperlihatkan, terpilihnya Nurcahaya sebagai camat Pinggir semenjak 2004, tidak lepas dari perjuangan anggota kelas menengah mereka, baik melalui lembaga adat atau perbatinan, organisasi pemuda, —dan dalam batas-batas tertentu mahasiswa Sakai— maupun partisipasi anggota komunitas secara individual. Demikian pula, naiknya Sahrir dan Amril Mukminin; dua anggota komunitas, sebagai anggota legislatif di Bengkalis memang disadari tidak melulu berkat dukungan dari orang-orang Sakai semata. Tetapi, kemampuan tampil di ruang publik dan meyakinkan masyarakat luas akan kompetensi orang Sakai menjadi pemimpin, merupakan bagian kecil dari agenda besar mereka dalam mendefinisikan kembali konstruksi identitas Sakai di hadapan publik.Apa yang menjadi agenda gerakan KMS agar dapat berpartisipasi dalam proses-proses kebangsaan dengan mendorong sebanyak mungkin pelibatan anggota mereka sebagai salah satu penentu kebijakan politik-kenegaraan, dengan menjadi camat, anggota legislatif, kepala desa ataupun sekedar menjadi pekerja di lembaga pemerintahan atau pun di sektor-sektor swasta, merupakan penanda bagi kehadiran babak baru konstruksi identitas Sakai. Jadi, betapapun secara kuantitatif aktivisme mereka memiliki spektrum terbatas, tidak disangsikan, resonansi akibat gerakan tersebut telah meruntuhkan narasi dominan perihal konstruk identitas Sakai sebagai komunitas yang monolitik: terbelakang, terpencil dan streotip-streotip sejenisnya. Adalah sulit memungkiri bahwa gerakan civil society sebagaimana dipelopori KMS telah memberikan konstribusi berharga bagi proses penciptaan kembali sebuah narasi tandingan tentang identitas Sakai yang telah mengalami modernisasi. [][]DAFTAR PUSTAKABudiman, Hikmat (ed.), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, (Jakarta: Tifa dan Interseksi Foundation, 2005)Dumai Pos, 3 Oktober 2005.Embong, Abdul Rahman, “The Culture and Practice of Pluralism in Postcolonial Malaysia”, dalam The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, Robert W. Hefner (ed.), (United States of America: University of Hawai’i Press, 2001), h. 59-85Fauzan, Muhammad Uzair, “Politik Representasi dan wacana Multikulturalisme dalam Praktek Program Komunitas Adat Terpencil Kasus Komunitas Sedulur Sikep Bombong-Bacem, dalam Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Budiman, Hikmat (ed.), (Jakarta: Tifa dan Interseksi Foundation, 2005), h. 67-106Foucault, Michel, Discipline and Punish: The Birt of the Prison, terj. Alan Sheridan, (New York: Pantheon, 1977)Ghee, Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (ed.), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993)Gilbert, Bart Moore, Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics, (New York and London: Verso, 2000)Gramsci, Antonio, Selection from the Prison Notebooks, (New Delhi: Orient Longman, 1996)Heryanto, Ariel, “Intelektual Publik, Media dan Demokratisasi: Politik Budaya Kelas-Menengah di Indonesia”, dalam Menggungat Otoritarianisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan antara Indonesia dan Malaysia, Ariel Heryanto dan Sumit K. mandal (ed.), (Jakarta: Kompas, 2004), h. 47-116.Http://www.katcenter.info/Kahn, Joel S., Culture, Multiculture, Postculture, (London: Sage Publication, 1995)____, “The Middle Class as a field of ethnological study” dalam Malaysia: Critical Perspektives: Essys in Honour of Syed Husin Ali, M.I. Said and Z. Emby (ed.), (Petaling Jaya: Malaysian Social Science Association, 1996), h. 12-33Kang, Yoonhee, Untaian Kata Leluhur: Marjinalitas, Emosi dan Kuasa Kata-kata Magi di Kalangan Orang Petalangan Riau, Seri Monograf Pusat Penelitian dan Kebudayaan UNRI, Pekanbaru, 2005.Kuntowidjoyo, “Muslim Kelas Menengah Indonesia dalam Mencari Identitas: 1910-1950”, dalam Jurnal Prisma, 11/1985, h. 35-51.Maunanti, Yekti, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, (Yogyakarta: LkiS, 2004).Nicholas, Colin, “Demi Orang Semai? Negara dan Masyarakat Semai di Semenanjung Malaysia”, dalam Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (ed.), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 109-141Picard, Michel, “Cultural Tourism, Nation-Building and Regional Culture: The Making of a Balinese Identity”, dalam Tourisme, Etnicity, and the State in Asian and Pacific Societes, Michel Picard and Robert E. Wood (ed.), (Honahulu: University of Hawai Press, 1997)Rab, Tabrani, Nasib Suku Asli di Riau, (Pekanbaru: Riau Cultural Institute, 2002)Said, Edward, Orientalism, (New York: Pinguin Book, 1978)Suparlan, Parsudi, Orang Sakai: di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995)Topatimasang, Roem (ed.), Orang-orang Kalah, (Yogyakarta: Insist, 2004)Vickers, Adrian, Bali: A paradise Created, (Australia: Pinguin Books, 1989)Walia, Shelley, Edward Said dan Penulisan Sejarah, (Yogyakarta: Jendela, 2003)Wawancara Abdul Karim (39), Pemuka Adat/Anak Batin Betuah, Duri, 15/10/2005.Wawancara Anita, (33), Pjs. Kepala Desa Kusumbo Ampai, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.Wawancara Bosniar, (37), Tokoh Adat dan Ketua Batin Penaso, Jiat Kramat, 12/10/2005.Wawancara Kasmiati, (32), Kasi PMD Kecamatan Pinggir, Pinggir, 13/10/2005.Wawancara Muhammad Yatim, (65), Ketua LAMSR, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.Wawancara Muhammad Afar (54), Ketua RW di Dusun Jiat Kramat, Jiat Kramat, 12/10/2005.Wawancara Muhammad Naim, (27), Tokoh Pemuda, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.Wawancara Nurcahaya (48), Tokoh Sakai dan Camat Pinggir, Pinggir, 13/10/2005.Wawancara Suhardi, (35), Ketua Umum Ikatan Pemuda Sakai Riau (IPSR), Duri, 14-15/10/2005.=====Muhammad Ansor adalah mahasiswa pascasarjana (doktoral) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, program studi Pemikiran Islam. Lahir di Topang, Bengkalis pada 13 Juli 1976. Selain sebagai peneliti JSPDL dan The Riau Institute, aktif pula sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Majlis Sinergi Kalam (Masika) ICMI (2006-2011).Karyanya antara lain Menakar Jiwa Suci: Perjalanan Sufistik Ibn Arabi, (penerjemah karya Ibn Arabi), (Jakarta: Hikmah, 2003); Catur Ilahi: Taktik dan Strategi Memenangkan Pergulatan Hidup, (penerjemah karya Ibn Arabi) (Jakarta: Hikmah, 2003); Rethingking Paradigma Kepemimpinan Riau, (co. editor), (Jakarta: KMPRJ, 2003), dan Politik Pelembagaan Syariat: Strategi dan Argumentasi PPP, PBB dan PKS di Sidang Tahunan MPR 1999-2000, dimuat dalam Jurnal Ulumuna, IAIN Mataram, Volume IX, Edisi 16, Juli-Desember 2005.
baca selengkapnya..