Google

Wednesday, October 7, 2009

BELAJAR TRNSPARANSI DARI MASJID

Fahriza, Msi *
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang disingkat dengan APBD merupakan sumber keuangan (modal) dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan daerah selama satu tahun pelaksanaan (Permendagri 13 tahun 2006 Pasal 1 ayat (9). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah perwujudan dari hak masyarakat dan kewajiban bagi pemerintah. Dikatakan sebagai hak karena APBD merupakan uang masyarakat yang dikumpulkan selama satu tahun yang diambil dari berbagai sumber pendapatan, mulai dari pajak, retribusi, sampai kepada pengelolaan Sumber Daya Alam daerah (temasuk Dana Bagi Hasil). Oleh karena itu, masyarakat berhak menggunakan, menuntut, mengawasi serta memanfaatkan dana tersebut untuk kesejahteraan dan kemakmuran secara adil dan merata, tentu saja dalam koridor hukum dan peraturan yang berlaku.
Dan pemerintah, mempunyai kewajiban untuk menyalurkan dana masyarakat itu (yang disebut dengan APBD) dalam bentuk program-program atau kegiatan yang menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat yng adil dan merata. Melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan yang menyentuh langsung pada hajat hidup orang banyak, baik berupa pembangunan fisik maupun mental. Dengan demikian, pemerintah atau birokrasi berfungsi sebagai yang oleh Max Webber disebut sebagai pelayan masyarakat. Untuk itu suatu kewajaran jika kemudian diberikan semacam penghargaan yang besar bagi pemerintah (birokrasi) berupa intensif dan tunjangan lainnya.
Dua alenia di atas merupakan gambaran ideal (filosofi) dari suatu pengelolaan keuangan daerah yang baik dan benar. Permasalahan yang sering timbul justru malah sebaliknya. Masyarakat dianggap sebagai pihak yang tidak mengetahui banyak, dan pemerintah merupakan pihak yang paing mengetahui. Alhasil, APBD dianggap sebagai barang yang sangat langka bagi masyarakat umum dan barang yang lazim bagi pemerintah. Kondisi ini bertambah kronis lagi dengan adanya ”koalisi samar namun pasti” dengan legislatif yang notabene-nya merupakan pengejawantahan hati nurani dan suara masyarakat. Sangat wajar jika kemudian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-udang Nomor 25 Tahun 2004, Permendagri 13 dan 26 Tahun 2006, maupun peraturan lainnya yang menyuarakan transparansi dan akuntabilitas anggaran tidak kuasa menahan gempuran ketertutupan tersebut.
Transparansi dan Akuntabilitas Masjid
Masjid adalah sebuah rumah ibadah yang dipergunakan oleh umat Islam dalam menjalankan ibadah. Mayoritas Masjid dibangun dan didanai oleh pihak ketiga atau warga masyarakat (sebagian lagi Masjid didanai dari bantuan pemerintah ataupun pihak luar negeri). Tulisan ini tidak melihat pada aliran atau sumber dana pembangunan Masjid, malainkan pada sistem yang diterapkan dalam menggunakan dana tersebut, yaitu; proses usulan pembangunan, proses pengumpulan dana, proses pelaporan atau pertanggungjawaban dana dan hasil yang dicapai (fisik).
Di Masjid kita mengenal adanya pengurus Masjid yang melakukan musyawarah untuk menentukan prioritas pembangunan (Masjid) dengan mengundang warga masyarakat. Dalam proses musyawarah inilah terjadi saling tawar dan adu argumen sampai terdapat kesepakatan pendapat mengenai prioritas pembangunan (Masjid) yang harus didahulukan. Manfaat dan kegunaan menjadi pertimbangan penting dalam menentukan prioritas utama pembangunan.
Proses pengumpulan dana dilakukan secara bertahap, kontiniyu dan memiliki batasan waktu. Secara bertahap, dalam artian disesuaikan dengan usulan pembangunan (Masjid) yang menjadi prioritas utama. Proses pengumpulan dana ini dilakukan setiap saat dan waktu (disesuaikan dengan moment dan kesempatan yang ada). Tidak jarang dalam proses ini dilakukan dalam setiap wirid, pengajian, peringatan Hari Besar Islam, shalat Jum’at bahkan pada saat I’dl (Fitri dan Adha). Penggalangan dana akan terus dilakukan sampai terpenuhinya seluruh kebutuhan pembangunan tersebut.
Dana yang terkumpul kemudian akan diumumkan kepada publik (masyarakat) baik dalam bentuk tulisan maupun pengumuman langsung melalui mikrofon (biasanya dilakukan sekali dalam seminggu sebelum shalat jum’at dilakukan atau sebelum shalat tarawih di bulan Ramadhan). Setiap pengeluaran yang berhubungan (pembangunan maupun tidak) akan diumumkan kepada masyarakat, tidak satupun dana tersebut terbuang atau tidak diumumkan kepada masyarakat. Bahkan biaya konsumsi untuk rapat pun diumumkan kepada publik.
Hasil yang dicapai, berupa fisik akan diperlihatkan kepada masyarakat. Mulai dari harga semen, pasir, kerikil, batu, sampai kepada kualitas bangunan pun dapat terlihat hasilnya dengan jelas. Jika masyarakat merasa ada kejanggalan, masyarakat berhak mempertanyakan kepada pengurus, mengapa bisa terjadi. Artiya, setiap proses yang dilakukan tersebut selalu dapat di up-grade perkembangannya oleh warga. Bahkan Bestek (model dan kualitas bangunan) juga ditampilkan secara transparan kepada masyarakat. Sangat wajar jika kemudian dalam setiap proses yang terdapat kecurigaan dan sak wasangka segera dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik.

Realitas APBD
Jika dihubungkan antara pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Riau dengan manajemen pengelolaan Masjid (berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas), identik tapi tidak sama. Pengelolaan APBD memakai hukum positif yang pasti dan kuat secara normatif dengan sanksi- sanksi yang juga bersifat pasti. Sedangkan pengelolaan anggaran Masjid memakai hukum kepercayaan atau trust sebagai ukuran kebenaran dan sanksinya bersifat relatif. Akan tetapi keduanya sama-sama bersifat mengikat setiap orang.
Pengelolaan anggaran APBD memakai proses Musyrenbang sebagai sarana utama untuk menentukan prioritas dan program pembangunan (SEB Mendagri-BAPPENAS Tahun 2005). Walaupun kualitas dan kuantitas pelaksanaannya masih menjadi tanda tanya besar. Mekanisme yang ditempuh sangat panjang dan lama dan berpeluang besar bagi gugurnya (hilang) usulan yang telah diteapkan dari bawah tersebut. Hal yang sama juga dilakukan dalam menentukan skala dan prioritas pembangunan yang akan dilakukan terhadap Masjid, dengan jalur dan struktur yang lebih ringkas.
Pengawasan pelaksanaan atau implementasi APBD dilakukan oleh badan atau instansi tertentu yang telah ditunjuk dan ditetapkan secara hukum. Instansi ini juga berhak untuk melaporkan jika terdapat penyimpangan-penyimpangan di lapangan. Walaupun demikian, peran pengawasan yang dilakukan oleh instansi tersebut juga masih menjadi tanda tanya besar. Beberapa temuan (bahkan kasat mata) ditemukan, akan tetapi laporan yang sampai kepada aparat penegak hukum justru sebaliknya. Berbeda dengan APBD, pengawasan yang dilakukan di tingkat Masjid dilakukan langsung oleh masyarakat tanpa ada batasan. Setiap saat dan setiap waktu, masyarakat yang memang menjadi subyek pembangunan tersebut langsung dapat menilai dan mengikuti progress pembangunan yang dilakukan.
Pada pertanggungjawaban, APBD yang telah dijalankan selama satu tahun, anggaran akan dilaporkan kepada lembaga tertentu yang telah ditentukan oleh negara (dahulu DPRD sekarang Mendagri dengan persetujuan DPRD). Persoalan kemudian timbul, ketika lembaga yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan masyarakat (penyalur aspirasi masyarakat) justru melakukan koalisi informal (namun pasti) dengan pemerintah. Tentu saja hal ini menyebabkan mulusnya laporan pertanggungjawaban yang dilakukan.
Begitu juga dengan kondisi fisik bangunan, secara eksplisit terlihat bagus dan mewah. Namun sangat jarang diketahui (umumnya) harga yang harus dikeluarkan untuk setiap bangunan fisik yang telah jadi tersebut. Bestek, yang berisikan tentang jumlah dana yang dikeluarkan bagi pembangunan, harga satuan bahan baku, model atau skematik serta jangka waktu pengerjaan menjadi barang yang langka dan sulit untuk didapatkan. Tidak demikian halnya dengan sistem yang diterapkan di Masjid, setiap saat dan setiap waktu, perkembangan pembangunan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat dan masyarakat dapat memperkirakan bahkan menjadi saksi akan daya tahan bangunan fisik tersebut.
Persoalan memilih prioritas pembangunan, proses pelaksanaan dan sistem pertanggungjawaban anggaran menjadi kendala utama dalam mewujudkan anggaran yang transparan dan terbuka. Dengan kekuatan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Modal yang dimiliki pemerintah, tidak sulit untuk menerapkan manajemen pengelolaan anggaran yang diterapkan oleh Masjid. Persoalannya adalah kemauan politik (political will) pemerintah dalam menerapkan sistem dan mekanisme transparansi dan akuntabilitas anggaran. Persoalan aturan hukum dan perundang-undangan sudah sangat layak dan beragam, persoalan institusi pengawasan juga sudah sangat representatif apalagi media yang digunakan untuk melakukan sosialisasi dan progress report pembangunan. Masyarakat tidak akan menuntut banyak jika arahan pembangunan, manfaat dan kegunaan pembangunan, serta mekanisme pengeluaran dan pemasukan jelas. Bukan sekedar formalitas belaka, tetapi riil dan aplikatif.
* Sekretaris Badan Pekerja (BP) FITRA Riau



No comments: