Google

Wednesday, October 7, 2009

hukum pidana korupsi dan pejabat daerah

Pada rapat dengar pendapat antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi III DPR, Ketua KPK, Taufiequrrachman Ruki menyampaikan isu yang cukup penting dalam penegakan hukum pidana. Dia mengungkapkan berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi di daerah terutama disebabkan oleh belum adanya izin Presiden untuk memeriksa kepala daerah atau anggota DPR sebagai saksi atau tersangka (Republika, 09/10/07).
Keharusan adanya izin pemeriksaan bagi pejabat daerah khususnya kepala daerah yang diduga terlibat perkara korupsi kenyataannya tidak hanya menjadi persoalan pelik bagi KPK. Sebelumnya, Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman, menyatakan keharusan izin dari presiden untuk memeriksa pejabat daerah khususnya kepala daerah yang tersangkut korupsi merupakan kendala bagi kejaksaan. Adanya Izin itu kenyataaanya justru mempersempit gerak kejaksaan mengusut dugaan korupsi.
Keperluan izin Presiden diperlukan sebelum pejabat negara (kepala daerah) MPR, DPR dan DPD yang diperiksa berkaitan diduga dengan suatu perkara pidana, serta izin Menteri Dalam Negeri untuk anggota DPRD propinsi serta izin dari gubernur untuk DPRD kabupaten/kota berlandaskan aturan yang termuat pada pasal 36 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta pasal 106 Undang-undang N0. 22 tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang berbunyi :
Pasal 36 Undang-Undang No. 32 tahun 2004.
(1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
b. atau disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
(5) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.
Dan pasal 106 Undang-Undang No. 22 tahun 2003.
(1) dalam hal anggota MPR, DPR dan DPD diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden
(2) dalam hal seorang anggota DPRD Propinsi diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, pemintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.
(3) Dalam hal seorang anggota DPRD kabupaten/kota diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri.

Berkaitan dengan izin pemeriksaan bagi kepala daerah, ICW mencatat selama hampir tiga tahun, pemerintahan telah memberikan izin pemeriksaaan terhadap 84 kepala daerah dan Anggota DPR RI/DPD. Rinciannya adalah 8 izin pemeriksaan untuk gubernur, 42 bupati, 8 wakil bupati, 10 wali kota, 2 wakil wali kota, 13 anggota DPR, dan satu anggota DPD. Pemberian izin pemeriksaan diberikan dalam kapasitasnya sebagai saksi ataupun tersangka perkara korupsi.
Selintas, jumlah pemberian izin kepada sejumlah kepala daerah dan anggota dewan, sudah dapat memperlihatkan adanya komitmen pemerintah dalam percepatan pemberantasan korupsi. Namun jika dicermati kembali, ternyata muncul beberapa persoalan yang terkait dengan proses perizinan tersebut. Keharusan adanya izin pemeriksaan bagi kepala daerah justru menghambat penuntasan perkara korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisan atau kejaksaan di daerah.
Dalam beberapa temuan yang dikeluarkan oleh ICW menunjukkan bahwa pemeriksaan perkara korupsi seringkali tertunda karena masih menunggu keluarnya izin dari presiden. Di samping itu, izin pemeriksaan kenyataannya bersifat parsial atau tidak menyeluruh. Dalam hal seorang kepala daerah diperiksa sebagai saksi, pihak penegak hukum di daerah harus mengajukan izin kepada presiden. Dan apabila statusnya meningkat sebagai tersangka maka penyidik harus meminta izin kembali. Izin pemeriksaan ternyata tidak bisa dilakukan satu paket misalnya izin diberikan mulai dari kepala daerah diperiksa menjadi saksi, tersangka, dan termasuk ketika akan menahan tersangka.
Komisi Hukum Nasional (KHN) merekomendasikan penghapusan izin Presiden untuk memeriksa pejabat negara yang menjadi tersangka kasus korupsi. Izim pemeriksaan berpotensi memperlambat proses penangan tindak pidana terutama korupsi.
Para praktisi hukum menyebutkan bahwa izin presiden dan Menteri Dalam Negeri merupakan wujud bahwa persamaan perlakuan di muka hukum belum terwujud. Sebab, aturan yang menimbulkan diskriminasi ini jelas berlawanan dengan asas hukum. Peraturan seperti ini, bahkan tidak mempunyai kepentingan hukum sama sekali, kecuali diskriminasi dan feodalisme.
Saat ini terdapat 36 kepala daerah yang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan di daerah yang penanganannya terhambat karena belum mendapatkan izin pemeriksaan dari presiden. Keperluan izin untuk para kepala dearah tidak hanya berkaitan dengan persoalan tindak pidana korupsi, juga meliputi tindak pidana lainnya, seperti ilegal loging, yang saat ini menjadi sorotan masyarakat Propinsi Riau. Keinginan Mabes polri untuk memeriksa gubernur dan lima bupati di Riau masih terkendala dengan keperluan izin pemeriksaan dari presiden.
Keperluan izin pemeriksaan dari presiden banyak menimbulkan berbagai padangan bahwa Pertama, mekanisme izin pemeriksaan yang hanya dikhususkan bagi pejabat negara telah mendistorsi prinsip nondiskriminasi dalam pelaksanaan hukum. Jika disepakati untuk menjunjung tinggi sistem negara hukum, regulasi seharusnya tidak diciptakan untuk menguntungkan salah satu pihak, apalagi melindungi kepentingan kekuasaan tertentu. Pejabat negara yang sedang beperkara tidak ada bedanya dengan rakyat jelata yang menghadapi kasus kriminal. Mereka bukanlah kelompok istimewa yang ketika berurusan dengan hukum harus melalui proses yang rumit dan berbelit-belit sehingga sulit disentuh. Justru sebaliknya, karena mereka adalah pelaksana mandat kekuasaan dari rakyat, pejabat negara yang diduga melanggar hukum harus menjadi prioritas untuk diperiksa. Bukan justru proses pemeriksaan itu dihalang-halangi dengan memberikan persyaratan adanya izin pemeriksaan.
Kedua, sampai saat ini tidak pernah mencuat sebuah argumentasi yang sangat kuat untuk tetap mempertahankan adanya mekanisme izin pemeriksaan bagi pejabat negara yang akan diperiksa. Baik DPR maupun pihak eksekutif yang telah membuat beberapa kebijakan menyangkut keharusan adanya izin pemeriksaan dari pejabat tertentu tidak pernah bisa menjelaskan urgensi dari persyaratan itu. Dengan demikian, patut dicurigai bahwa latar belakang dibuatnya kebijakan tersebut semata-mata hanya untuk melindungi kepentingan kelompok yang sedang berkuasa. Di sinilah sebenarnya pertanyaan apakah sistem demokratis yang tengah dikembangkan sudah menyentuh isu yang sensitif, khususnya pada warisan politik lama yang terkesan memberikan banyak kekebalan hukum bagi pejabat negara.
Ketiga, adanya izin pemeriksaan kerap disalahgunakan oleh aparat penegak hukum untuk tidak memproses perkara korupsi yang melibatkan pejabat negara. Tameng yang paling mudah digunakan aparat penegak hukum ketika masyarakat menagih kinerja penanganan perkara korupsi, khususnya kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara, adalah izin pemeriksaan belum keluar. Di satu sisi, masyarakat sulit melacak kebenaran alasan tersebut karena mekanisme permohonan izin sangat tertutup, hanya diketahui oleh aparat penegak hukum dan pihak yang memiliki otoritas untuk memberikan izin.
Keempat, izin pemeriksaan menciptakan kontradiksi dengan kebijakan percepatan pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah. Tidak dapat dimungkiri bahwa mekanisme izin pemeriksaan telah menghambat upaya aparat penegak hukum untuk melanjutkan proses pemeriksaan. Hal ini terjadi pada kasus Ali Mazi, Gubernur Sulawesi Tenggara yang tengah diperiksa Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus dugaan korupsi Hotel Hilton. Tidak hanya itu, di banyak daerah tempat kepala daerah atau DPRD-nya tengah berurusan dengan hukum dalam kasus korupsi, kemacetan menjadi fenomena jamak. Dan sebagiannya karena alasan belum keluarnya izin pemeriksaan dari otoritas terkait.
Pemberian hak istimewa kepada kepala daerah, anggota DPRD, DPR, MPR dan DPD yang diduga melakukan tindak pidana (terutama korupsi), dalam bentuk kewajiban menunggu ijin dari Gubernur atau Mendagri atau Presiden, jelas bertentangan dengan prinsip Equality before the Law sebagaimana di atur dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemberian hak istimewa tersebut juga tidak sejalan dengan tujuan dasar teori equality before the law, karena baik kepala daerah, anggota DPRD,DPR,DPD maupun anggota MPR adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan oleh karenanya bertugas melindungi orang-orang yang lemah, sehingga orang-orang yang kuat ini tidak membutuhkan perlakuan khusus lagi di depan hukum.
Prinsip persamaan di depan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga diatur pada butir 3a Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi “perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
Selain keperluan pemberian izin berpotensi memperlambat proses penanggan tindak pidana, juga berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan dalam penegakan hukum, yang pada akhirnya meruntuhkan cita-cita negara hukum Indonesia.
Konsep Indonesia sebagai negara hukum “tercemar”, akibat dari praktek hukum yang digunakan sebagai alat kekuasaan, serta pranata hukum yang tidak berdaya untuk mewujudkan jati dirinya sebagai institusi yang harus bersikap netral, otonom, dan adil dalam menyelesaikan berbagai perkara pidana hukum di Indonesia.
Aturan-aturan hukum yang memelihara pemerintah dalam menggunakan kekuasaannya masih terus dilakukan dalam “mencemarkan” dan “menghancurkan” cita-cita negara hukum Indoensia. Penegakan hukum terutama dalam perkara hukum pidana masih memiliki berbagai persoalan yang menciptakan sikap pesimis dalam penegakan hukum pada perkara pidana.
Pertanyaan yang muncul apakah benar keperluan izin dari presiden menghambat penegakan hukum serta mencemari kesetaraan dalam pandangan hukum ?.
Keperluan izin pemeriksaan diadakan dengan alasan bahwa keperluan izin ini dilakukan hanya untuk tertib adminitrasi, yang pada akhirnya dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Pasal 36 ayat 2 dinyatakan bahwa :
Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

Pemeriksaan tetap dapat dilakukan setelah 60 hari permohonan diberikan. Keberadaan izin pemeriksaan dari gubernur, menteri dalam negeri dan presiden hanya bersipat untuk mengatur agar pemeriksaan terhadap pejabat pemerintah tidak menganggu keamaan dan pembangunan di daerah.
Aturan izin pemeriksaan ini tidak menafikan pemeriksaan prinsip persamaan dalam hukum, Izin pemeriksaan bertujuan untuk mengantisipasi pada kasus perkara pidana yang belum memiliki bukti yang cukup (baru sebagai saksi) namun memiliki pengaruh yang cukup buruk bagi pembangunan dan pelayanan publik di daerah yang mengakibatkan perekonomian dan pembangunan terganggu.
Dalam kasus Riau, beredarnya isu pemeriksaan pejabat di daerah, mendapat tanggapan yang beragam sehingga mengakibatkan kredibilitas pemerintah terganggu.
Faktor keamanan dan kenyamanan dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat diperlukan apalagi pada sektro pembangunan dan peningkatan perekonomian masyarakat serta pelayanan publik membutuhkan kondisi yang kondusif pula di daerah, inilah yang “memaksa” diperlukannya izin pemeriksaan dari presiden bagi pejabat pemerintah yang diduga melakukan tindak pidana, karena sangat berhubungan dengan kepetingan masyarakat.
Selain memiliki aturan dalam pemeriksaan kepala daerah yang melakukan izin dari presiden, namun izin ini mendapatkan pengecualian pada kasus-kasus sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 yang berbunyi pasal 36 ayat 4:
Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
c. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
d. atau disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
Jadi aturan ini, tidak dapat dimasuk kepada salah satu yang menghancurkan cita-cita negara hukum dan menghambat penangan kasus tindak pidana. Dan pasal 36 ayat 4 ini tidak memuat unsur keperpihakan kepada kepala daerah.



No comments: