Google

Wednesday, October 7, 2009

hukum ditangan kejaksaan

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, lebih jauh di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Namun kenyataan di lapangan saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap praktisi hukum (Hakim, jaksa, dan advocat) sedang mengalami dekadensi yang hebat, hal ini tercermin dari pola penyelesaian masalah yang dilakukan masyarakat yang cendrung main hakim sendiri, tambahan lagi belum lama ini seorang jaksa yang menangani kasus BLBI tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus penyuapan.

Pola penyelesaian masalah dengan kekerasan menjadi pilihan utama di tengah ketidakpercayaan terhadap aparatur penegak hukum. Pola penyelesaian tersebut sangatlah dipengaruhi oleh pandangan bahwa penyelesaian melalui mekanisme peradilan penuh dengan permainan, ketidakadilan dan ketidakpastian yang bertameng kepastian hukum. Oleh karenanya raut wajah penegakan hukum (law enforcement) yang kian suram ini harus segera dicerahkan dengan melakukan pengawasan yang efektif baik intenal maupun eksternal.

Salah satu element penegakan hukum adalah lembaga Kejaksaan Repubik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang dipilih oleh Presiden. Pada pasal 8 ayat (1) UU No. 5 tahun 1991, dinyatakan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Pengertian jabatan fungsional adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaaan yang fungsinya memungkikan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Mengingat jaksa mempunyai kualifikasi sebagai pejabat fungsional, maka bagi seorang yang diangkat sebagai jaksa harus memenuhi syarat yang lebih dari sebagai pegawai negeri. Jaksa Agung disela penerimaan anugerah MURI untuk Penyelengggaraan Kantin Jujur beberapa waktu yang lalu, menyatakan bahwa beliau telah mememerintahkan Kajari untuk takut berbuat korupsi serta jadi teladan bagi penegakan hukum dan menanamkan budaya malu untuk berbuat salah.

Sebagai pejabat fungsional, maka seorang Jaksa dituntut mampu menunjukkan kualitas yang lebih baik dari seorang pegawai negeri pada umumnya. Bila mana tampilan kualitas yang lebih baik tidak mampu ditunjukkan, maka seorang jaksa dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana ditetapkan dalam pasal 12 huruf d jo pasal 13 huruf b UU No. 5 tahun 1991. Pemberhentian ini dilakukan oleh Jaksa Agung, yaitu dengan cara:

Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatan fungsional Jaksa karena ternyata ia tidak cakap menjalankan tugasnya, misalnya karena ia banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya. Jaksa diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan fungsional jaksa, apa bila ia terus-menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan tugasnya, yaitu apabila ia dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, tidak menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa suatu alasan yang sah. Jaksa Agung telah tertanggal 3 Juni 2008 telah melakukan pecopotan 25 Kajari dari 365 Kajari se Indonesia disebabkan tidak mencapai target program 5-3-1 dalam penanganan kasus korupsi. 5 kasus untuk Kajati, 3 kasus untuk Kajari dan 1 untuk cabang Kajari.

Dalam kerangka pengawasan di lingkup kejaksaan, prihal lembaga yang mengawasi diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 86 tahun 1999 tentang susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan RI, dalam Keppres tersebut disebutkan tentang Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 23 Keppres 86 tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut : ”Jaksa Agung Muda Pegawasan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.”

Tugas dan wewenang Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan dinyatakan dalam pasal 24 Keppres 86 tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut : Dalam melaksanakan tugas serta wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, Jaksa Agung Muda Pengawasan menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan kebijakan teknis pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
b. Perencanaan, pelaksanaan, dari pengendalian pengamatan, penelitian, pengujian, penilaian, pemberian bimbingan, penertiban atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan terutama mengenai administrasi umum, administrasi di bidang kepegawaian, keuangan, perlengkapan, proyek pembangunan, intelijen, tindak pidana umum, tindak pidana khusus, perdata, dan tata usaha negara dilingkungan Kejaksaan serta Pengadministrasiannya;
c. Pelaksanaan pengusutan, pemeriksaan atas laporan, pengaduan, penyimpangan, penyalagunaan jabatan atau wewenang dan mengusulkan penindakan terhadap pegawai Kejaksanaan yang terbukti melakukan perbuatan tercela atau terbukti melakukan tindak pidana;
d. Pemantauan dalam rangka tindak lanjut pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
e. Pembinaan dan peningkatan kemampuan, keterampilan serta integritas kepribadian aparat pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
f. Pembinaan kerja sama dan pelaksanaan koordinasi dengan aparat pengawasan fungsional instansi lain mengenai pelksanaan pengawasan pada umumnya;
g. Pengawasan teknis atas pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang Kejaksaan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;
h. Pemberian saran pertimbangan kepada Jaksa Agung dan pelaksanaan tugas-tugas lain sesuai denga petunjuk Jaksa Agung.

Pelaksanaan fungsi penuntutan yang dijalankan oleh lembaga kejaksaan memengang peranan yang penting dalam menyelesaikan perkara. Dalam hal ini, Jaksa menjadi pihak yang menentukan dalam membawa alur perkara yang masuk ke pengadilan dimana pengajuan dakwaaan, terdakwa dan barang bukti serta alat bukti berada ditangan kejaksaan. Kejaksaan memiliki peran yang besar dalam mencipta alur perkara ke arah pembuktian yang kuat atau lemah dan bermuara pada tingkat kesalahan serta pemidanaan seorang terdakwa.

Pembuatan surat dakwaan memang telah ditetapkan dalam Surat Edaran Jaksa Agung No: SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, sedangkan untuk pembuatan surat tuntutan telah digariskan dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE.001/J.A/4/1995 tentang pedoman Tuntutan Pidana. Apabila merujuk pada SE tersebut diatas selayaknya produk penuntutan yang dihasilkan adalah produk yang sudah melalui proses yang baik. Namun pada faktanya masih banyak surat dakwaan yang lemah dan bolongnya, yang mengakibatkan tersangka akhirnya bebas demi hukum.

Guna mewujudkan lembaga kejaksaan yang akuntabel dan berintegritas tinggi melalui kapasitas kemampuan dalam menghasilkan produk penuntutan agar pelaksanaan fungsi penuntutan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan hukum (legal justice) dan keadilan masyarakat (sosial justice) dalam pelaksanaannya, selain mekanisme pengantian personel kejaksaan tinggi negeri, kejaksaan negeri dan kejaksaan negeri pembantu perlu dilakukan perbaikan sistem pengawasan yang melibatkan masyarakat sehingga masyarakat mengetahui kinerja garda terdepan penegakan hukum di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya.



No comments: