Google

Wednesday, October 7, 2009

FATAMORGANITAS PERJUANGAN*

Era reformasi menjadi landasan penting bagi bangsa Indonesia sebagai tonggak sejarah lahirnya bentuk pemerintahan yang bercirikan demokrasi, dari untuk dan oleh rakyat. Karena itulah bebagai daerah, tidak terkecuali Riau menuntut hak-hak mereka yang selama 32 tahun telah di zalimi oleh pusat. Daerah-daerah kaya akan Sumber Daya Alam menuntut adanya pembagian lebih dari produksi SDA tersebut (khususnya Migas). Dan salah satu bentuk ancaman yang sering dilontarkan adalah tuntutan untuk berpisah dari NKRI sebagai efek bola salju jika tuntutan pembagain SDA tersebut tidak terpenuhi. Riau sebagai salah satu provinsi yang memiliki SDA, terutama Migas yang melimpah (bahkan penyumbang devisa tertinggi negara dari sektor Migas), melakukan berbagai upaya untuk ”membebaskan diri” dari hegomoni dan dominasi pusat. Akan tetapi, sejauh ini tuntutan tersebut bisa dikatakan belum berhasil.
Dimulai dari kongres Rakyat Riau II dan diakhiri dengan tuntutan Otonomi Khusus, Riau masih belum berhasil menuntut lebih dari pusat (selain DBH Migas yang hanya 15,5% saja yang dihitung dari nilai pendapatan bersih negara). Bahkan perjuangan yang terakhir boleh dikatakan gagal sama sekali karena Presiden SBY dan Mendagri sendiri dengan sangat tegas dan jelas menyatakan bahwa tidak ada lagi Otonomi Khusus bagi Provinsi-provinsi kaya lainnya selain Papua dan NAD. Pernyataan inilah yang menjadikan perjuangan Otsus bisa dikatakan mundur sebelum maju. Pertanyaan selanjutnya, mengapa perjuangan tersebut tidak berhasil (kecuali DBH 15% Migas) dan dianggap semu? Dapat dilihat dari perspektif tekstual dan kontekstual.
Secara tekstual atau secara teoritis, Karl Marx (1818-1883) sebagai ilmuan sosial mengatakan bahwa ada tiga hal yang dijadikan sebagai syarat jika perjuangan tersebut ingin berhasil, yaitu; 1) idiologi, 2) kominikasi politik yang bebas, dan 3) adanya tokoh perjuangan (Sunyoto Usman, Sosiologi, Sejarah Teori dan Metodologi, 2004, Cired, Yogyakarta). Pabila ketiga syarat tersebut terpenuhi, kesadaran (counciousness) murni akan terbentuk yang akan memicu terjadinya gelombang perjuangan secara menyeluruh, melibatkan semua lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat awam, kelas menengah, dan elit politik.
Jika tiga syarat tersebut dimasukkan ke dalam konteks perjuangan yang dilakukan Riau, terlihat bahwa ketiga syarat tersebut tidak berjalan dengan baik dan sempurna. Idiologi yang dikembangkan juga masih kabur dan cenderung bersifat aksidental sesaat yang tidak mengurat mengakar dalam benak dan kehidupan masyarakat Riau. Idiologi seharusnya tertanam secara baik dan menyeluruh tanpa membedakan latar belakang sosio kultural. Artinya, idiologi menuntut penyamaan persepsi tentang sebuah perjuangan dari seluruh elemen masyarakat tanpa pandang bulu sehingga kesan egaliterian muncul ke permukaan sebagai simbol kesatuan.
Komunikasi politik yang baik dan jujur merupakan syarat mutlak kedua. Komunikasi yang baik dan jujur dilakukan secara bebas dan tidak terbatas pada pihak-pihak dan elemen tertentu dari beragam lapisan masyarakat. Komunikasi politik bertujuan menanamkan idiologi kepada seluruh elemen masyarakat. Dan komunikasi tidak akan berguna dengan baik jika idiologi yang dikembangkan juga masih kabur. Begitu juga dengan tokoh. Seorang tokoh perjuangan dituntut untuk rela berjuang demi kepentingan masyarakatnya (secara luas) dan rela berkorban demi masyarakatnya tersebut tanpa mengharapkan pamrih apapun kecuali dukungan akan perjuangannya. Ketiga hal ini saling berhubungan satu dengan lain, jika salah satu tidak dapat terpenuhi sudah barang tentu perjuanganpun menjadi terhambat. Singkatnya, ketiga hal tersebut merupakan syarat utama bagi terciptanya trust (kepercayaan) masyarakat terhadap perjuangan yang dilakukan dan trust merupakan senjata ampuh bagi sebuah perjuangan.
Secara kontekstual, Riau sendiri masih perlu berbenah diri. Banyak hal yang harus dilakukan guna memperlihatkan kesungguhan perjuangan yang dilakukan. Salah satunya melalui Otonomi Daerah, bagaimana mewujudkan pemerintahan yang lebih memihak kepada masyarakat umum, menyentuh langsung ke hal yang paling mendasar dari masyarakat, yaitu peningkatan, pengembangan sekaligus perlindungan ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat, bukan bagi kelompok atau golongan tertentu. Bagaimana pemerintah, dengan sumber dana yang cukup berlimpah, mengurangi angka kemiskinan yang masih tidak bergerak dari angka 20%. Bagaimana pemerintah mengatasi masalah kesehatan, dimana busung lapar dan gizi buruk masih terdapat di Riau.
Bagaimana mungkin, masyarakat akan merasa dibela dan perjuangan akan mendapat dukungan dari masyarakat jika untuk kemiskinan dan kesehatan saja kita belum mampu memberikan yang terbaik bagi masyarakat kita sendiri. Belum lagi permasalahan pembangunan (infrastruktur) yang cenderung mengikuti trend tanpa melihat terlebih dahulu pada kebutuhan yang benar-benar riil bagi masyarakat. Hal inilah kemudian yang dinamakan fatamorganitas perjuangan, orang luar menganggap dan melihat perjuangan yang dilakukan betul-betul nyata dan riil, akan tetapi begitu masuk menjadi bagian dari perjuangan itu sendiri, ternyata perjuangan yang dilakukan tersebut masih perlu dipertanyakan lagi (semu).



* Fahriza, Msi
FITRA Riau



No comments: