Google

Saturday, October 23, 2010

ngah darwis: skema proses persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri



Proses pemeriksaan gugutan perdata di Pengadilan negeri dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Hakim memeriksa perkara dengan pembacaan gugatan. Gugatan berisi minimal identitas para pihak baik penggugat maupun tergugat, posita yaitu peristiwa yang relevan terhadap perkara dan petitum atau tuntutan penggugat.
2. Hakim mengajuan proses perdamaian pada para pihak jika terjadi perdamaian dilanjutkan dengan penandatangan akta van dading dimuka pengadilan dan hakim menetapkan putusan perdamaian yang bersipat inkracht van gewijsde. Putusan perkara dengan damai hanya dapat dilakukan upaya Peninjau kembali (PK) di Mahkamah Agung.
3. Jika tidak terjadi perdamaian hakim melanjutkan pemeriksaan perkara dengan melaksanakan jawaban. Jawaban ini dilakukan oleh tergugat. Memiliki 3 kemungkinan yaitu pertama, mengakui gugatan penggugat yang otomati akan menyelesaikan perkara perdata. Kedua, membantah gugatan penggugat dan dalil-dalil yang diberikan oleh penggugat. Perkara dilanjutkan pada proses selanjutnya, dan ketiga, referte yaitu tidak membantah dan tidak mengakui diserahkan kepada hakim untuk menentukan dan proses lebih lanjut, ini biasanya jawaban yang berikan oleh orang awam. Pada jawaban ini pihak tergugat yang tidak mengakui dapat juga melakukan eksepsi dan veeweerten principale. Eksepsi atas alasan diluar pokok perkara meliputi formalitas perkara baik pada kompetensi absolute maupun relative serta kecacatan surat gugutan dan lain sebagainya. Sedangkan veeweerten principale atas pokok perkara. Apabila eksepsi diterima maka gugatan tidak diterima. Dan penggugat dapat mengajukan gugatan baru. Dalam gugatan dapat juga dilakukan gugatan rekonpensi yaitu gugatan balik yang diajukan oleh tergugat kepada penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan.
4. Replik yaitu dokumen tertulis yang berisi tanggapan penggugat atas jawaban tergugat sekaligus bertahan pada gugutan awal.
5. Duplik yaitu tanggapan tergugat atas replik penggugat sekaligus mempertahankan jawaban.
6. Perkara dilanjutkan dengan pemeriksaan pembuktian. Pembuktian yang adalah : surat, saksi, pengakuan, persangkaan dan sumpah. Juga ada tambahan pembuktian yaitu pemeriksaan lapangan dan saksi ahli. Dalam perkara perdata pembuktian yang ingin dibuktikan adalah peristiwanya, beban pembuktian diberikan padak siapa yang mendalil adanya hak dan siapa yang membantah adanya hak yang dikenal dengan asas pembuktian. Baik pada penggugat maupun tergugat.
7. Kesimpulan adalah konklusi yang diberikan oleh penggugat dan tergugat. Setelah itu hakim akan membuat kesimpulan yang dinamakan putusan.
8. Putusan hakim pertama terbagi dua yaitu menerima gugatan atau tidak menerima gugatan. Terhadap menerima gugatan terhadap eksepsi yang ditolak, sedangkan tidak menerima gugatan terhadap eksepsi yang diterima. Terhadap yang gugatan penggugat yang tidak diterima dapat membuat surat gugatan baru atau upaya hukum lanjutan yaitu banding.
9. Terhadap gugatan yang diterima hakim akan mengeluarkan putusan mengabulkan guggatan atau menolak gugatan. Menolak gugatan berarti gugatan tidak bias dibuktikan oleh penggugat, sedangkan mengabulkan gugatan berarti penggugat dapat membuktikan perkara. Untuk gugatan yang ditolak dapat dilakukan upaya lanjutan banding. Yaitu 14 hari setelah putusan Pengadilan Negeri.
10. Terhadap perkara yang dikabulkan hakim. Hakim dapat mengabulkan seluruh gugatan penggugat atau sebahagian gugatan penggugat.
11. Upaya hukum terhadap gugatan yang dikabulkan dapat dilakukan upaya hukum biasa yiatu verzet untuk perkara verstek, (tergugat tidak datang dipersidangan) atau banding di PTN setelah 14 hari putusan Pengadilan Negeri, atau kasasi di MA setelah 14 hari putusan Pengadilan Tinggi Negeri. Perbedaan banding dan kasasi adalah tentang kewajiban memori banding atau kasasi. Untuk banding tidak diwajibkan untuk memori banding sedangkan kasasi diwajibkan memori kasasi apabila tidak diajukan kasasi ditolak.
12. PK upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang inkracht van gewijsde. Dan tidak menghalangi eksekusi
13. Derden verzet yaitu perlawanan pihak ketiga dalam suatu perkara.
baca selengkapnya..

ngah darwis: pengajuan gugutan perdata di Pengadilan negeri



Pejabat dilingkungan PN
 HAKIM
 PANITERA (Griffter)
 WAKIL PANITERA
 PANITERA MUDA
 PANITERA PENGGANTI
 JURU SITA
 JURU SITA PENGGANTI

Tata cara pengajuan gugatan perdata sebagai berikut:
1. Surat gugatan ditujukan ke Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi absolute dan kompentensi relative yang dimiliki.
2. Surat diserahkan kepada panitera muda bidang perdata, sebagai mana diketahu bahwa panitera muda terbagi kepada panitera muda bidang pidana, bidang perdata dan bidang hukum
3. Membayar preskot biaya/ongkos perkara
4. Untuk masyarakat miskin dapat mengajukan permohonan ijin prodeo atau bebas biaya perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri, setelah disetujui Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk hakim tunggal dan penetapan bebas biaya perkara di Pengadilan Negeri
5. Panitera selanjutnya mendaftarkan perkara dalam buku register perkara dan memberi nomor perkara, baik yang membayar ongkos perkara dan perkara prodeo untuk masyarakat miskin.
6. Ketua pengadilan menetapkan majelis hakim untuk perkara tersebut
7. Majelis hakim akan menetapkan hari persidangan perkara
8. Juru sita akan memanggil para pihak secara patut
9. Hari persidangan.
baca selengkapnya..

Friday, October 22, 2010

ngah darwis: Parlemen Indonesia

Pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk tetap berlanjutnya demokrasi langsung (direct democracy) sebagaimana pelaksanaannya yang berlaku pada zaman Yunani Kuno, pada kenyataannya sulit untuk dipertahankan lagi. Faktor-faktor seperti luasnya wilayah satu negara, populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya penanganan terhadap masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi adalah merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung seperti pada era globalisasi sekarang ini .
Sebagai ganti dari gagasan dan pandangan Rousseau ini lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect democracy) yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang terkenal dengan nama “Parlemen”. Lembaga perwakilan atau parlemen ini tidak sama baik sebutan maupun jenisnya, misalnya saja di Indonesia disebut “Dewan Perwakilan Rakyat”. Baik Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat pada dasarnya adalah lembaga perwakilan dari rakyat.
Kelahiran Parlemen ini pada dasarnya bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi akan tetapi sebagai kelicikan sistem feodal. Sebagaimana yang dikemukakan A.F Pollard dalam bukunya “The Evolution of Parliament”. Repretentation was not the off spring at democratic theory but an incident at the feodal system .
Formula dari pendapat Pollard tersebut dapat kita contohkan pada Parlemen Inggris yang boleh dianggap sebagi parlemen yang tertua di dunia.
Seperti diketahui bahwa pada abad pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah Raja-raja/Kaum Bangsawan yang sangat feodalistis (monarchi feodal). Dalam bentuk kerajaan feodal kekuatan berada pada kaum feodal, dimana kaum feodal ini tidak saja menguasai tanah-tanah dalam satu wilayah tapi juga menguasai orang-orang yang ada dalam wilayah kekuasaannya dan para feodal ini bergelar Lord. Apabila satu saat Raja misalnya menginginkan adanya penambahan tentara, atau penambahan pajak maka Raja akan mengirimkan utusan/wakilnya menemui para Lord untuk menyampaikan keinginan dan maksudnya itu. Akan tetapi praktek semacam ini, menurut anggapan raja tidak layak. Oleh karena itu, timbul pemikiran dari raja lebih baik para Lord itu yang dipanggil ke pusat pemerintahan /kerajaan agar supaya apabila raja menginginkan sesuatu dari para Lord tersebut tidak perlu lagi mengirim utusan ke tempat mereka, cukup hanya dengan mengambil para Lord yang memang sudah berada di pusat/dekat dengan raja. Konsekuensinya adalah raja membentuk satu lembaga/badan yang terdiri dari para Lord dan di tambah dengan para pemuka gereja/pendeta-pendeta yang pada gilirannya lembaga/badan itu menjadi tempat bagi raja untuk meminta nasehat, petunjuk dan terutama adalah dalam hal pemungutan pajak. Secara pelan tapi pasti tugas lembaga itu makin bertambah dan selanjutnya lembaga itu menjadi permanen, lembaga yang permanen itu disebut “Curia Regis” dan kemudian menjadi House of Lords seperti yang ada sekarang ini.
Melihat kekuasan lembaga ini yang semakin besar, maka raja ingin mengurangi hak-hak mereka, akibatnya timbul pertikaian antara raja dengan kaum ningrat. Dengan bantuan rakyat dan kaum menengah (borjuis/bourgeois) kepada kaum ningrat akhirnya raja mengalah, akibatnya hak-hak raja dibatasi oleh House of Lords. Karena rakyat dan kaum menengah yang senantiasa menjadi korban dari beban pajak, maka kaum menengah dan rakyat meminta kepada House of Lords agar wakil mereka juga harus diminta nasehat dan pendapatnya manakala House of Lords akan membicarakan permasalahan-permasalahan yang menyangkut pajak dan anggaran belanja. Akibat lain kemenangan dari kaum ningrat yang didukung oleh rakyat dan kaum menengah itu, maka kedudukan kaum menengah dan rakyat semakin menjadi kuat dan harus diperhitungkan. Akhirnya muncul lembaga baru yang anggotanya terdiri dari kaum menengah dan rakyat yakni yang disebut Magnum Consillium. Karena terdiri dari rakyat biasa maka lembaga ini disebut House of Commons.
Selanjutnya kedua lembaga tersebut yakni House of Lords dan House of Commons disebut Parliamentum atau Parlemen yang kemudian dianggap sebagai lembaga perwakilan pertama dalam pengertian modern. Seperti sudah disebut bahwa House of Lords adalah kaum bangsawan (Lord) dan pemuka gereja/agama (pendeta-pendeta). Keanggotaan mereka dalam House of Lords adalah bersifat permanen. Sebaliknya keanggotaan kaum menengah dan rakyat yang ada dalam House of Commons adalah merupakan pilihan rakyat di daerah pemilihan mereka masing-masing. Agar supaya para wakil yang duduk dalam House of Commons itu dapat kembali terpilih maka mereka harus berusaha untuk terpilih melalui kampanye pemilihan. Untuk berkampanye maka para anggota yang sehaluan/se ide/se asas menyatukan orang-orangnya dalam satu panitia untuk mengkampanyekan mereka di daerah masing-masing agar dapat terpilih kembali sebagai anggota House of Commons. Sitem dan model yang diberlakukan ini melahirkan sistem pemilahan umum yang pertama yaitu “sistem distrik”, sedangkan yang disebut panitia berkembang menjadi “partai politik”seperti yang dikenal sekarang ini.
Menyadari bahwa keberadaan mereka dalam House of Commons adalah hasil dari pilihan rakyat maka lembaga ini (House of Commons) menginginkan kekuasan yang lebih besar lagi. Menurut Maurice Duverger, para Commons dapat mengajukan usul kepada Lords agar seorang menteri atau hulubalang kerajaan dapat dihukum karena telah membuat kesalahan dalam menjalankan tugasnya.
Perkembangan selanjutnya adalah bahwa House of Commons memperluas kekuasaan dan haknya untuk membebaskan menteri yang mereka tidak sukai dari kedudukannya walaupun menteri itu tidak melakukan kejahatan ataupun kesalahan. Kekuasaan yang dimiliki House of Commons tersebut dapat dilakukan melalui “mosi tidak percaya” yang dapat mengakibatkan jatuhnya atau mundurnya kabinet. Ini yang dikenal dengan sebutan Kabinet Parlementer.
Menurut Maurice Duverger, parlemen semakin penting, karena tidak mau meluluskan secara permanen pemungutan pajak oleh pemerintah, sehingga raja terpaksa memanggilnya bersidang apabila setiap kali ada urusan dalam masalah keuangan, karenanya maka parlemen ini sering bersidang. Selain itu Menurut Maurice, dengan cerdik parlemen memperluas pengaruh dan jangkauan kekuasannya sebagai badan legislatif, yakni dengan merebut kekuasaan keuangan ; dijadikan kebiasaan untuk mengajukan kepada raja petisi-petisi (bill) sebelum ia meluluskan suatu bantuan/subsidi . Dengan demikian House of Commons telah memiliki alat pemaksa dan penekan yang tepat terhadap raja.
baca selengkapnya..

ngah darwis: Reformasi Hukum Indonesia

Bagaimana hukum di Indonesia Kenyataan yang berkembang saat ini kebanyakan orang akan merespon bahwa hukum di Indonesia itu berpihak kepada yang mempunyai kekuasaan, dan mempunyai uang banyak. Seperti contoh, orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran milik negara dapat berkeliaran dengan bebasnya dan di dalam lembaga pemasyarakatan memperoleh fasilitas layaknya hotel. Itulah sekelumit jawaban yang menunjukan penegakan hukum di Indonesia belum dijalankan secara adil atau belum adanya equality before the law. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi hukum.
Pernyataan Wakil Presiden Boediono, bahwa reformasi penegakan hukum merupakan prioritas kerja Kabinet Indonesia Bersatu, bagai oase katarsis di tengah ‘kegaduhan' proses penegakan hukum atas kasus Bibit Chandra dan Antasari Azhar. Dalam kesempatan berbicara pada peringatan Ulang Tahun ke 10 The Habibie Center (11 November 2009), Wapres Boediono menegaskan, "Banyak tugas yang harus dilakukan, tapi menurut saya yang penting harus kita lakukan adalah reformasi penegakan hukum. Ini merupakan kunci utama, agar kualitas demokrasi kita menjadi lebih baik dan kuat." Kita sepakat dengan pernyataan tersebut. Reformasi penegakan hukum merupakan salah satu pilar penting dalam menguatkan konsolidasi demokrasi.
Tanpa penegakan hukum yang benar, adil, dan profesional, konsolidasi demokrasi akan terganggu. Dan, tentu berkorelasi positif dengan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Meskipun demikian, tentu, proses reformasi penegakan hukum berbasis keadilan akan memakan waktu dan memerlukan kesabaran.
Prioritas reformasi penegakan hukum merupakan pilihan terbaik yang mesti ditempuh oleh pemerintah. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjamin terus berlangsungnya pemberantasan korupsi, dan sikap untuk mengganyang mafia penegakan hukum, kita yakini sebagai sikap dasar penyelenggaraan pemerintahan lima tahun ke depan. Oleh karena itu, seluruh tindakan penegakan hukum yang dilakukan secara benar, bersih, adil, dan tanpa rekayasa menjadi kepedulian kolektif bangsa. Sebagai bagian dari rakyat yang merindukan tegaknya hukum secara berkeadilan, kita memberikan apresiasi dan dukungan kuat terhadap pemerintahan SBY - Boediono. Kita percaya, reformasi penegakan hukum akan terus bergulir selama lima tahun ke depan. Kita juga percaya, bahwa dengan reformasi penegakan hukum dan sikap tegas untuk mengganyang mafia hukum, kita dapat menyelamatkan bangsa ini dari berbagai kerumitan masa depan.
Perjuangan menegakkan hukum dan keadilan memang tidak mudah. Banyak onak dan duri yang harus dihindari. Namun bila hal itu dilaksanakan secara bersungguh-sungguh, konsisten dan konsekuen, kita sangat yakin, ikhtiar itu akan membawa hasil yang optimal. Yaitu, tegaknya Indonesia sebagai negara hukum.
baca selengkapnya..

Thursday, October 21, 2010

ngah darwi: legislatif

Era reformasi Indonesia baru bergulir pada 1998 dengan runtuhnya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Dengan reformasi ini telah membuka pintu demokrasi, yang berkeinginan mewujudkan Indonesia baru, yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, walaupun pada akhirnya proses demokrasi belum berjalan dengan baik Indonesia. Namun, banyak pihak telah berupaya membangun demokrasi, baik dengan mengusung kegiatan pemberdayaan masyarakat (public empowerment) maupun dengan menyelenggarakan pelatihan bagi aparatur pemerintah mengenai tata pemerintahan yang baik (good governance), pendidikan politik bagi pemilih pemula dan generasi muda serta dengan perjuangkan pembentukan dasar hukum dan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dalam proses formulasi kebijakan publik dan perencanaan pembangunan yang lebih baik.
Reformasi hukum (legal reform) di Indonesia masih jauh dari tatanan ideal. Sebagai alat pengaturan formal, sesungguhnya hukum dapat dimanfaatkan untuk melakukan pembenahan secara sistemik, mulai dari perombakan institusi (institutional reform), perombakan sistem, sampai dengan perombakan kualitas manusia Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka hukum sudah ditempatkan pada salah satu fungsi yang sesungguhnya, yakni sebagai alat transformasi menuju arah yang lebih baik.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai lembaga yang membentuk hukum, pada masa setelah reformasi (periode 1999-2004) telah tercatat mengesahkan 172 undang-undang dalam lima tahun. Angka ini melampaui “rekor” yang telah dicetak oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1945-1950 yang mengesahkan 135 undang-undang. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSKH) Indonesia menilai kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) buruk. Dari target 284 rancangan undang-undang (RUU) hanya 60% yang diselesaikan.
Dari jumlah itu diprediksi hanya 170 undang-undang. DPR sebelumnya, periode 1999-2004 berhasil menyelesaikan 172 RUU. PSKH mencatat dari 155 RUU yang telah diselesaikan 92 RUU yang memerlukan
pembahasan sederhana yaitu 60 pemekaran wilayah, 15 pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sehingga hanya 63 RUU atau 40% dari 155 RUU yang menempuh pembahasan normal.
Masyarakat sering menjadikan kuantitas undang-undang yang diproduksi, sebagai tolok ukur keberhasilan kinerja legislatif. Padahal tidak sedikit aturan yang disahkan tidak dapat diimplementasikan akibat dari kurangnya perhatian dari segi substansi dan proses pembuatannya. Jika dipandang secara menyeluruh, permasalahan yang mengakibatkan buruknya kualitas peraturan yang diproduksi oleh legislatif terletak pada empat masalah utama. Pertama, lemahnya kapasitas anggota DPR dan pemerintah dalam hal merancang peraturan (legislatif drafting), kedua cepat atau lambat proses legislasi yang dihasilkan ini terkait juga dengan kepentingan politik. Ketiga, pihak pemerintah sendiri yang memperlambat produk legislasi.
baca selengkapnya..

ngah darwis: HAK ASASI MANUSIA SECARA KONSTITUSIONAL DALAM UUD 1945

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

HAK ASASI MANUSIA SECARA KONSTITUSIONAL DALAM UUD 1945

1 PASAL 27 AYAT 1
2 PASAL 27 AYAT 2
3 PASAL 27 AYAT 3
4 PASAL 28
5 PASAL 28A
6 PASAL 28B AYAT 2
7 PASAL 28C AYAT 1
8 PASAL 28C AYAT 2
9 PASAL 28D AYAT 1
10 PASAL 28D AYAT 2
11 PASAL 28D AYAT 3
12 PASAL 28D AYAT 4
13 PASAL 28E AYAT 1
14 PASAL 28E AYAT 2
15 PASAL 28E AYAT 3
16 PASAL 28F
17 PASAL 28G AYAT 1
18 PASAL 28G AYAT 2
19 PASAL 28H AYAT 1
20 PASAL 28H AYAT 2
21 PASAL 28H AYAT 3
22 PASAL 28H AYAT 4
23 PASAL 28I AYAT 1
24 PASAL 28I AYAT 2
25 PASAL 28I AYAT 3
26 PASAL 28I AYAT 4
27 PASAL 28J AYAT 1
28 PASAL 29 AYAT 2
29 PASAL 30 AYAT 1
30 PASAL 31 AYAT 1
31 PASAL 31 AYAT 2
32 PASAL 31 AYAT 4
33 PASAL 32 AYAT 1
34 PASAL 32 AYAT 2
35 PASAL 34 AYAT 1
36 PASAL 34 AYAT 2
37 PASAL 34 AYAT 4

KLASIFIKASI dalam UU 39/1999 tentang HAM
1. Hak untuk Hidup
2. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
3. Hak Mengembangkan Diri
4. Hak Memperoleh Keadilan
5. Hak Atas Kebebasan Pribadi
6. Hak atas Rasa Aman
7. Hak atas Kesejahteraan
8. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
9. Hak Wanita
10. Hak Anak
baca selengkapnya..

Sunday, October 17, 2010

Ngah darwis: Silabus Hukum Antar Tata Hukum

I. Tujuan
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami hakikat tata hukum dan permasalahannya serta akibatnya dalam pelaksanaan hukum di Indonesia.
II. Materi
Pendahuluan
• Sistem hukum Indonesia
• Keanekaragama sistem hukum Indonesia
Pengertian, Istilah dan ruang lingkup HATAH
• Conflict of law
• Hukum perselisihan
• Hukum pertikaian
• Hukum antar tata hukum
• Ruang lingkup HATAH
Landasan Teori HATAH
• Logemann
• Hans kalsen
Pembagian HATAH
• Hatah intern
• Hatah ekstern
Hukum Antar Waktu
• Perumusan
• Skema
• Persoalan
Hukum Antar Tempat
• Perumusan
• Skema
• Persoalan
Antar Golongan
• Perumusan
• Skema
• Persoalan
Titik pertalian
• Pasal 131 dan 163 IS
• Titik taut primer
• Titik taut skunder
Kewarganegaran Domisili
• Prinsip domisili
• Prinsip domisili indonesia
Perkawinan campuran dan pemeliharaan anak
• Rumusan Perkawian campuran
• Penyelesaian Pemeliharan anak
Renvoi dan Kualifikasi
• Alasan renvoi
• Renvoi di beberapa negara
• Adminstratif renvoi di indonesia
• Kualifikasi menurut lex fori
• Kualifikasi menurut let causae
• Kualifikasi otonom
• Kualifikasi primer dan skunder
Pilihan hukum
• Prinsip pilihan hukum
• Macam-macam pilihan hukum
• Alasan pro dan kontra pilihan hukum
Ketertiban Umum
• Rumusan ketertiban umum
• Ketertiban umum internasional
• Perubahan ketertiban umum
Penyelundupan Hukum dan perbuatan melawan hukum
• Hungan dengan ketertiban umum
• Contoh penyeludupan hukum
• Perbuatan melawan hukum dalam HATAH
UJIAN AKHIR SEMESTER

III. Referensi
1. Sudargo Gautama, Hukum Antar Tata Hukum (Kumpulan Karangan), Bandung: Alumni, 1996
2. Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan Suatu Pengantar, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993
3. Sudargo Gautama, Bunga Rampai Hukum Antar Tata Hukum, Bandung: Alumni, 1993
4. Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jakarta: Binacipta, 1987
5. Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku 1, Bandung: Alumni, 1992
6. Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku 2, Bandung: Eresco, 1986.
7. Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum antar Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991
8. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Antar Golongan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1976.
baca selengkapnya..

ngah darwis: PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN dari berbagai sumber

SEJARAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2006
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lahirnya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang memakan waktu cukup panjang ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana. Berbeda dengan beberapa negara lain, inisiatif untuk membentuk Undang-Undang perlindungan bagi saksi dan korban bukan datang dari aparat hukum, polisi, jaksa, atau pun Pengadilan yang selalu berinteraksi dengan saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana. Di samping itu, minimnya perhatian yang serius oleh aparat penegak hukum terhadap saksi-korban membuat RUU ini harus selalu didesakkan hampir setiap tahun sejak 2001 hingga 2005 agar masuk dalam rencana Prolegnas.
Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi.
Selanjutnya, tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR.
Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun 2003. Dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang dekat dengan mereka. Awal 2005 Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) yang disusun oleh Bappenas menjadwalkan pembahasan RUU Perlindungan Saksi pada triwulan kedua 2005. Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe 2004-2009, telah menyetujui Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang diprioritaskan untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi. Sepuluh fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU Perlindungan Saksi memiliki peran strategis dalam upaya penegakan hukum dan memciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi.
Akhirnya Juni 2005 RUU Perlindungan Saksi dan Korban disampaikan dalam surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden. Lalu, tanggal 30 Agustus 2005 Presiden mengeluarkan surat penunjukan wakil untuk membahas RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menugaskan Menteri Hukum dan HAM mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut. Januari 2006 pemerintah yang diwakili Departemen Hukum dan HAM menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah, tentang RUU Perlindungan Saksi dan Korban kepada DPR RI. Awal Februari 2006 komisi III DPR RI membentuk Panitia Kerja yang terdiri dari 22 orang untuk membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bulan Juli 2006, Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi UU Perlindungan Saksi dan Korban. Sepuluh fraksi di DPR RI mendukung keberadaan UU tersebut.
Pada tanggal 11 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana. Tujuan Undang-undang ini adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.
“Tanpa kesaksian dari korban atas tindakan kekerasan yang dialaminya, hukum dan keadilan tidak dapat ditegakkan. Tanpa sistem periindungan yang efektif bagi pihak yang mau bersaksi, tidak akan ada korban kekerasan yang mengungkapkan kejahatan yang diaiaminya kepada penegak hukum.”

SIAPAKAH ITU SAKSI DAN KORBAN?
Menurut UU No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, saksi adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.
Hal ini senada dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saksi dinyatakan sebagai orang yang hendak memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan atau ia alami sendiri.
Korban dinyatakan sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan pengertian keluarga korban adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus, atau mempunyai hubungan darah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga, atau mempunyai hubungan perkawinan dengan korban dan atau orang-orang menjadi tanggungan korban.

MENGAPA SAKSI HARUS DILINDUNGI SECARA HUKUM?
Keterangan yang diberikan korban/saksi memainkan peran kunci bagi keberhasilan suatu tuntutan peradilan, sehingga para pelaku kejahatan sering mencoba melakukan upaya-upaya khusus, termasuk memberi janji-janji muluk ataupun intimidasi langsung, guna mencegah korban memberikan kesaksiannya. Perlindungan bagi saksi dan korban harus didasarkan pada undang-undang agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara nasional.
Istilah perlindungan adalah bentuk perbuatan untuk memberikan tempat bernaung atau berlindung bagi seseorang yang membutuhkan sehingga merasa aman terhadap ancaman sekitarnya. Pengertian perlindungan ini hampir sama pengertiannya dengan pengertian perlindungan dalam PP No. 2 tahun 2002 yang menyatakan bahwa perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajin dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Secara spesifik/ tujuan dari pemberian perlindungan khusus bagi saksi dan korban adalah untuk:
1. Mendorong korban/saksi kekerasan untuk berperan serta dalam proses investigasi dan penuntutan hukum melalui adanya peraturan/prosedur yang menciptakan rasa aman secara fisik dan psikologis.
2. Mengurangi trauma yang dialami korban/saksi
3. Melindungi korban/saksi dari kekerasan, serangan pembalasan ataupun stigmatisasi.
4. Menghasilkan penghukuman bagi yang bersalah melakukan kejahatan.
Semua upaya ini dilakukan tanpa mengurangi peluang yang wajar bagi pihak tertuduh untuk melakukan pembelaan diri.

DASAR HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI/KORBAN
• UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM untuk saksi dan korban pelanggaran HAM Pasal 34 (1) ”setiap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror dan kekerasan dari pihak manapun. Ayat (2)”perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma
• UU No. 31/1999 ttg Tindak Pidana Korupsi untuk saksi kasus korupsi.
• UU N0.30/2002 ttg Komisi PemberantasanUndang-undang Korupsi ”KPK wajib untuk memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana
• PP NO.2/2002 Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM bearat. ”setiap korban dan saksi dalam pelanggaran berhak mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum dan keamanan dalam bentuk perlindungan atas keamanan pribadi korban dan saksi dari ancaman fisik dan mental, perlindungan terhadap identitas korban dan saksi serta pemberian keteranagn sat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa tatap muka dengan terdakwa
• UU No.13/2006 Undang-undang No. 13/2006 telah mengatur Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban secara khusus dan tidak berada di bawa Kepolisian. Dari 46 pasal yang ada dalam undang-undang tersebut sebanyak 17 pasal (40 %) mengatur tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

BAGAIMANA PERLINDUNGAN SAKSI/KORBAN DIBERIKAN?
Perlindungan bagi saksi/korban yang bersifat menyeluruh harus mencakup lima tahapan yang dilalui saksi/korban, yaitu: tahap pertolongan pertama (gawat darurat) (ketika peristiwa baru saja terjadi), tahap investigasi, tahap pra persidangan, tahap persidangan serta tahap pasca persidangan (setelah putusan akhir). Perlindungan bagi saksi/korban merupakan tanggung jawab perangkat penegak hukum/ pemerintah maupun masyarakat.
Prinsip-prinsip perlindungan bagi saksi/korban mencakup:
1. Keamanan saksi/korban harus menjadi pertimbangan utama dalam memutuskan langkah yang akan diambil oleh pihak yang menangani kasus,
2. Korban adalah pengambil keputusan akhir menyangkut tingkat dan lingkup keterlibatannya dalam keseiuruhan proses penanganan kasusnya.
3. Korban wajib mendapatkan informasi yang benar dan lengkap agar dapat membuat pilihan terbaik bagi dirinya.
4. Tidak dibenarkan untuk mempersalahkan saksi/korban atas kejahatan yang dialaminya.
5. Sistem perlindungan dan dukungan bagi saksi/korban harus bersifat komprehensif atau menyeluruh.
6. Langkah-langkah perlindungan dan dukungan bagi saksi/korban harus sating terkoordinasi satu sama lainnya, baik yang dijalankan oleh penegak hukum, organisasi masyarakat, institusi kesehatan maupun lembaga publik lainnya,
7. Perlindungan saksi juga berlaku bagi saksi yang meringankan guna menjamin prinsip keadilan bagi pihak tertuduh.
Unsur-unsur sistem perlindungan saksi/korban yang komprehensif:
1. Adanya mekanisme perlindungan bagi saksi/korban dalam lembaga peradilan.
2. Adanya pembaruan peraturan-perundangan, termasuk tentang prosedur persidangan dan aturan pembuktian baru yang kondusif untuk penegakan HAM. termasuk hak-hak korban kejahatan.
3. Adanya protokol-protokol yang dirumuskan dan disepakati bersama oleh lembaga peradiian dan organisasi masyarakat pendamping korban untuk menjamin koordinasi upaya perlindungan dan pemberdayaan.
4. Adanya pelatihan bagi polisi, jaksa, hakim dan panitera pengadilan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan menjalankan sistem perlindungan bagi saksi/korban dengan baik.
5. Adanya kemudahan bagi korban untuk memperoleh layanan pendampingan, termasuk konseiing trauma, untuk pemulihan dan pemberdayaan korban kendatipun mereka memilih untuk tidak menempuh jalur hukum.
Dengan demikian, sistem perlindungan saksi/korban yang komprehensif mensyaratkan keterlibatan tiga pihak yang berbeda, yaitu:
1. Negara, terutama lembaga penegak hukum
2. Lembaga penyedia Iayanan masyarakat,
3. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal korban/saksi
Pemberian hak-hak kepada saksi dan korban dapat berupa:
• Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu perkara pidana;
• Hak untuk memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
• Hak untuk mendapatkan nasihat hukum;
• Hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan;
• Hak untuk mendapatkan penterjemah;
• Hak untuk bebas dari pertanyaan yang menjerat;
• Hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
• Hak untuk mendapatkan informasi mengenai keputusan pengadilan;
• Hak untuk mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
• Hak untuk mendapatkan identitas baru;
• Hak untuk mendapatkan tempat kediaman baru (relokasi); dan/atau
• Hak untuk memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.



LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Setahun LPSK telah hadir untuk berkiprah dalam dunia penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Pada fase-fase awal berdirinya LPSK, terdapat banyak tantangan dan hambatan baik yang bersifat administratif maupun substantif. Usaha-usaha untuk menyusun fondasi kelembagaan telah dimulai dengan menyusun Rencana Strategis LPSK. Dokumen tersebut menjabarkan aspek konseptual dalam perencanaan strategis organisasi, aspek strategi kebijakan organisasi dalam jangka waktu lima tahun, serta aspek strategi implementasi dalam pelaksanaan program. Bahwa proses-proses tersebut telah diperhitungkan sebagai strategi pengembangan kelembagaan yang menjadi prioritas kebijakan LPSK, khususnya ditahun-tahun awal ini. Melalui Rencana Strategis LPSK telah menetapkan visi dan misi dalam rentang waktu lima tahun pertamanya yakni:
Visi
Terwujudnya perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana

Misi
Dalam rangka mewujudkan visi di atas, Lembaga Saksi dan Korban memiliki misi sebagai berikut :
1. Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan pidana.
2. Mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban
3. Memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hak-hak saksi dan korban
4. Mewujudkan dan mengembangkan jejaring dengan para pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhan hak saksi dan korban
5. Mewujudkan kondisi yang kondusif serta partisipasi masyarakat dalam perlindungan saksi dan korban

Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, LPSK telah menyusun struktur organisasi yang dibagi kedalam lima bidang yang mengacu pada tugas pokok dan kewenangan lembaga maupun yang mencerminkan orientasi pada fungsi. Kelima bidang tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bidang Perlindungan
2. Bidang Kompensasi, Restitusi, dan Pemberian Bantuan bagi Korban
3. Bidang Hukum, Diseminasi, dan Hubungan Masyarakat.
4. Bidang Pengawasan, Penelitian-Pengembangan, dan Pelaporan
5. Bidang Kerjasama dan Pendidikan Latihan

Sejak awal berdirinya LPSK telah masuk permohonan-permohonan untuk pemberian perlindungan. Sehari-harinya, saat ini dipergunakan SOP sementara sembari menemukan pola prosedur yang memadai melalui pengalaman-pengalaman praktik pemberian pelayanan perlindungan di tahun pertama ini. Dalam melaksanakan dua tugas tersebut secara paralel (pemberian layanan dan pembentukan SOP), pada praktiknya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dalam pelaksanaannya. LPSK juga melakukan monitoring pelaksanaan persidangan pada kasus-kasus yang dianggap penting dimana posisi saksi dan korban dalam proses peradilan pidana ditengarai memiliki posisi yang cukup rentan dari ancaman dan tekanan.



Selama tahun pertama LPSK bekerja telah menerima 61 permohonan. Dari 61 permohonan tersebut, 3 diantaranya merupakan permohonan kompensasi/ restitusi. 5 permohonan telah masuk dalam program perlindungan saksi, dan lainnya sekitar 6 permohonan sedang dalam proses penelahaan, investigasi/ monitoring. 5 permohonan sedang menunggu kelengkapan berkas. 28 permohonan ditindaklanjuti dengan pengiriman surat kepada lembaga/ instansi lainnya yang berwenang. Sedangkan 14 permohonan dinyatakan tidak dapat masuk kedalam program perlindungan saksi.
baca selengkapnya..

Friday, October 15, 2010

ngah darwis: Korupsi dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN
Di negara yang demokratis, penyelenggaraan Pemilu diupayakan untuk mandiri dari proses politik dan pemerintahan. Hal ini disebabkan karena di satu pihak, tidak diinginkan adanya intervensi dari proses politik dan pemerintahan terhadap hasil Pemilu. Di lain pihak, proses pemerintahan diharapkan berjalan tanpa dipengaruhi oleh atau dimanfaatkan untuk kepentingan pemenangan Pemilu. Hal inilah yang menjadi dasar pemisahan antara rezim Pemilu dengan rezim Pemerintahan.
Oleh karena itu salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan Pemilu di negara demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah. Hal ini telah terjamin dalam UUD 1945 Pasal 22 (5) yang menggariskan bahwa : Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Namun dalam UUD 1945 sendiri, pemisahan antara rezim Pemilu dengan rezim Pemerintahan belum sempurna. Hal ini tampak dari penempatan pengaturan Pemilu Presiden yang dalam UUD 1945 berada dalam bab kekuasaan pemerintahan.
Pemilihan umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan satu-satunya komisi negara yang mempunyai legalitas dan tanggung jawab sangat tinggi tinggi terhadap proses pemilu. KPU bukan sebuah lembaga yang berada dibawah struktur pemerintah daerah tetapi mitra kerja sama. Undang-undang secara implisit menghendaki kehadiran KPU sebagai lembaga yang independen dan dipercaya publik. Tugas membangun KPU sebagai lembaga yang dipercaya publik merupakan tugas yang sangat berat. Untuk itu KPU harus dibangun oleh orang-orang yang secara personal integritas dan moralitasnya sudah terbangun dan dipercaya oleh publik. Selain itu, perlu dibangun hubungan transparansi antara KPU dan masyarakat untuk mengontrol proses kerja KPU.
Keputusan KPU No. 68 tahun 2003 tangal 25 Maret 2003 secara tegas merumuskan arah kebijakan dalam proses rekrukmen Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten/kota untuk mewujudkan KPU yang dipercaya publik. KPU pusat menterjemahkan anggota KPU sebagai pekerja professional yang mengerti tentang kerja-kerja teknis dan menejemen pelaksanaan pemilihan umum.

Untuk itu pada kesempatan ini penulis, ingin memberikan pemaparan terkait hal tersebut diatas, agar dapat menjadi tambahan pengetahuan dibidang pemilihan umum, dengan tujuan, apakah yang menjadi dasar pelaksanaan pemilu di Indonesia dan penerapan kedaulatan ditangan rakyat adalah bentuk demokrasi Indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pemilihan Umum Di Indonesia
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil presiden diberbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Pemilu dalam kata lain adalah suksesi berasal dari bahasa Inggris succession yang berarti the raight, act, or process by which on person succeds to the office, rank, estate or the like, of another. Suksesi kepemimpinan nasional berarti penyegaran atau pergantian unsur-unsur kepemimpinan.
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga tahun 2010 di Indonesia telah dilaksanakan pemilihan umum sebanyak sepuluh kali, yaitu dimulai tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009.
Pemilu 1955. Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Sebelumnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Pemilu 1971, Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga partai politik. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer.
Pemilu 1999, Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Pemilihan Umum 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009. Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dan diikuti oleh 24 partai politik. Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.
Pemilu 2009 diikuti oleh semua Parpol yang memiliki kursi di DPR dan Parpol baru yang berstatus badan hukum dari Dephukham yang lolos verifikasi KPU, yang keseluruhannya berjumlah 44 Partai Politik, termasuk 6 Partai Politik Lokal di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Jumlah ini lebih besar bila dibandingkan dengan peserta Pemilu tahun 2004 yang berjumlah 24 Partai Politik. Dari 38 partai politik nasional, hanya 9 partai yang memenuhi Parliamentary Threshold yang dilaksanakan berdasarkan ketetapan dalam Bab XIII Pasal 204 -212, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, ambang batas perolehan suara 2,5 persen. Sementara 29 partai lainnya harus tersingkir. Berikut perolehan 9 partai politik tersebut secara lengkap. Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI P, PKS, PAN , PPP , PKB, Gerindra dan Hanura.

B. Undang-Undang Pemilihan Umum
Selain tercantum dalam UUD 1945, masalah mengenai pemilihan umum juga diuraikan secara sistematis dalam suatu undang-undang yang disusun secara bersama oleh DPR dan Presiden. Undang-undang tentang Pemilihan Umum yang berlaku saat ini adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 karena undang-undang lama tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat. Dijelaskan dalam Undang-undang (UU) No. 12 Tahun 2003 bahwa perubahan yang terjadi pada UUD 1945 Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut UUD.
Berdasarkan perubahan tersebut, seluruh anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih melalui pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Melalui pemilu tersebut akan lahir lembaga perwakilan dan pemerintahan yang demokratis.
Tujuan dari diselenggarakannya pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Dalam Pasal 1 UU No. 12 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pemilihan umum (pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Peserta pemilu adalah partai politik untuk calon anggota legislatif danperseorangan untuk calon anggota DPD yang telah memenuhi persyaratan sesuai UU No. 12 Tahun 2003. Sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia memberikan hak yang sama bagi semua warganya yang memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Menurut Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2003, untuk dapat didaftar sebagai pemilih dan menggunakan hak memilihnya dalam pemilu, seorang Warga Negara Indonesia (WNI) harus sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah kawin, tidak sedang terganggu jiwanya, dan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, menurut Pasal 60 UU No. 12 Tahun 2003, seorang WNI harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.
3. Berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia.
5. Berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat.
6. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
7. Bukan bekas anggota Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya.
8. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
9. Tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
10. Sehat jasmani dan rohani
11. Terdaftar sebagai pemilih.
Mengenai peserta pemilu dari partai politik diuraikan dengan jelas dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2003. Sedangkan tata cara tentang peserta pemilu dari perseorangan diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 UU No.12 Tahun 2003. Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, DPR bersama Presiden juga menyusun UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik sebagai pengganti UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perubahan ketatanegaraan.
Dalam Penjelasan atas UU No. 31 Tahun 2002 diuraikan bahwa pembentukan, pemeliharaan, dan pengembangan partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Partai politik merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem politk demokrasi.
Partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana pendidikan politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik. Melalui pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut, partai politik diharapkan dapat meningkatkan kesadaran politik masyarakat serta merekatkan berbagai golongan dalam masyarakat demi mendukung persatuan nasional, mewujudkan keadilan, menegakkan hukum, menghormati hak asasi manusia, dan menjamin terciptanya stabilitas keamanan. Pasal 1 UU No. 31 Tahun 2002 mendefinisikan partai politik sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.
Secara umum, tujuan partai politik adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, dan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.

C. Penyelenggara Pemilihan Umum
Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Komisi ini memiliki tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pemilu, dan dalam menjalankan tugasnya, KPU menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR.
Menurut UU No. 12 Tahun 2003 Pasal l5 dinyatakan bahwa: (1) Pemilu diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. (2) KPU bertanggungjawab atas penyelenggaraan Pemilu. (3) Dalam melaksanakan tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan DPR. Dan Menurut UU No 3 tahun 1999 dirubah UU No 4 tahun 2000 tentang pemilu Pasal 8 bahwa Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen dan non-partisan .
Pada Pasal l6 UU No. 12 Tahun 2003
(1) Jumlah anggota :
a. KPU sebanyak-banyaknya 11 orang;
b. KPU Provinsi sebanyak 5 orang;
c. KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 orang.
(2) Keanggotaan KPU terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, dibantu seorang wakil ketua merangkap anggota, dan para anggota.
(3) Ketua dan wakil ketua KPU dipilih dari dan oleh anggota.
(4) Setiap anggota KPU mempunyai hak suara yang sama.

Pasal 17 UU No. 12 Tahun 2003
(1) Struktur organisasi penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
(2) KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mempunyai sekretariat.
(4) Pola organisasi dan tata kerja KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) ,dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usul KPU sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam pelaksanaan Pemilu, KPU Kabupaten/Kota membentuk PPK dan PPS.
(6) Dalam melaksanakan pemungutan suara di TPS, PPS membentuk KPPS.
(7) Tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir 2 (dua) bulan setelah hari pemungutan suara.
(8) Tugas PPS dan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir 1 (satu) bulan setelah hari pemungutan suara.
(9) Dalam pelaksanaan Pemilu diluar negeri, KPU membentuk PPLN dan selanjutnya PPLN membentuk KPPSLN.
(10) Tugas PPLN dan KPPSLN sebagaimana dimaksud pada ayat (9) berakhir 1 (satu) bulan setelah hari pemungutan suara.
(11) Untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu, KPU membentuk Pengawas Pemilu.
Menurut Pasal 25 UU No. 12 Tahun 2003, tugas dan wewenang KPU adalah:
(1) Merencanakan penyelenggaraan KPU.
(2) Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan pemilu.
(3) Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilu.
(4) Menetapkan peserta pemilu
(5) Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi, dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
(6) Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara.
(7) Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
(8) Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilu.
(9) Melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Menurut Pasal 26 UU No. 12 Tahun 2003, Komisi Pemilihan Umum berkewajiban :
(1) Memperlakukan peserta Pemilu secara adil dan setara guna menyukseskan Pemilu;
(2) Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan;
(3) Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan;
(4) Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
(5) Melaporkan penyelenggaraan Pemilu Kepada Presiden selambat lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah pengucapan sumpah/janji anggota DPR dan DPD:
(6) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN; dan
(7) Melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.
Asas penyelenggara pemilu menurut UU No. 22 tahun 2007, Pasal 2 yaitu:
1. Mandiri;
2. Jujur;
3. Adil;
4. Kepastian hukum;
5. Tertib penyelenggara pemilu;
6. Kepentingan umum;
7. Keterbukaan;
8. Proporsionalitas;
9. Profesionalitas;
10. Akuntabilitas;
11. Efisiensi; dan
12. Efektivitas.
D. Pemilihan Umum Demokrasi Kedaulatan Rakyat
Demokrasi secara klasik bermanka pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, demokrasi adalah konsep yang popular, bahkan dipandang sebagai jalan yang paling mungkin untuk menciptakan suatu tatanana pemerintahan yang menjanjikan keadilan.
Demokrasi menempatkan rakyat pada posisi yang terhormat pemilik kedaulatan, pejabat hanyalah orang suruhan rakyat. Atau mendapat mandat dari rakyat. Pelaksanaan demokrasi memerlukan dua syarat penting dan mendasar yaitu : pertama, syarat internal bagi kalangan masyarakat, demokrasi hanya dapat tercapai secara wajar dan benar, bila rakyat berada dalam kesadaran politik yang mandiri, sedangkan yang kedua, syarat eksternal, berupa kondisi yang mendukung posisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan, kondisi itu dapat berupa: jaminan pengakuan atas hak – hak dasar bagi rakyat dan badan-badan formal yang menyalurkan aspirasi masyarakat, badan yang bebas dari interpensi dari pihak manapun.
Dalam UUD 1945 pasca amandemen sistem politik Indonesia berdasarkan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD dan Negara Indonesia adalah negara hukum, dengan demikan tatanan dan kelembagaan politik, baik pada wilayah suprastruktur maupun infrastruktur harus dijalankan berdasarkan atuaran hukum yang demokratis.
Pemilu adalah institusi pokok pemerintahan perwakilan yang demokrasi, karena dalam demokrasi, wewenang pemerintah hanya diperoleh atas persetujuan dari mereka yang diperintah . Pemilihan umum merupakan amanat dari UUD 1945 sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Negara Republik Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik dan menjalankan pemerintahan dalam bentuk demokrasi. Dalam pokok pikiran ketiga Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 terkandung bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dijelaskan bahwa kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini bertugas mempersiapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan negara. MPR juga mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakilnya (Wakil Presiden). MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, sedangkan Presiden bertugas menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR. Di sini, peran Presiden adalah sebagai mandataris MPR, maksudnya Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 hasil Amandemen keempat tahun 2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini juga tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 hasil Amandemen kedua tahun 2000 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.” serta Pasal 22C UUD 1945 hasil Amandemen ketiga tahun 2001 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.” Dalam Pasal 6A UUD 1945 yang merupakan hasil Amandemen ketiga tahun 2001 dijelaskan mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lengkapnya berbunyi:
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(4) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Negara Republik Indonesia mengatur masalah pemilihan umum dalam Bab VIIB tentang Pemilihan Umum Pasal 22E sebagai hasil Amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001. Secara lengkap, bunyi Pasal 22E tersebut adalah:
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.


BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan Uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat penulis simpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Sejak proklamasi kemerdekaan hingga tahun 2010 di Indonesia telah dilaksanakan pemilihan umum sebanyak sepuluh kali, yaitu dimulai tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009.
2. Pemilihan Umum adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil presiden diberbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.
3. Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Komisi ini memiliki tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pemilu, dan dalam menjalankan tugasnya, KPU menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR.
4. Pemilihan umum merupakan amanat dari UUD 1945 sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
baca selengkapnya..

ngah darwis: donasi darah

BAB I
PENDAHULUAN

Syari’at Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam kajian ilmu ushul fiqh, yang dimaksud dengan hukum Islam ialah khitab (firman) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, atau dengan redaksi lain, hukum Islam ialah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokonya untuk mengatur hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta.
Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Hukum Islam tersebut digali dari dalil-dalilnya yang terperinci, yaitu al-Qur’an, sunnah dan lainnya yang diratifikasikan kepada kedua sumber asasi tersebut.
Al-Qur’an dan Sunnah, secara jelas maupun samar-samar sesungguhnya mengandung keseluruhan hukum Islam. Hanya saja yang samar-samar inilah yang perlu digali lebih lanjut dengan menggunakan kemampuan ijtihad. Dan ini terus dilakukan oleh para ahli hukum Islam sepanjang sejarah. Secara umum dapat dikatakan bahwa agar ijtihad tidak menyimpang dari garis yang telah ditentukan, para mujtahid telah membuat semacam aturan dalam bentuk norma atau kaidah yang dikenal dengan sebutan ushul fiqh.
Disini pula digunakan dalam memahami hukum Islam dalam bidang kesehatan, seperti diketahu bahwa Islam merupakan agama yang mencintai kebersihan, dengan menyatakan bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman. Ini merupakan bukti keseriusan Islam akan pentingnya arti kesehatan bagi manusia. Dalam Islam dikenal maqosid al syariah yang memberi arti bahwa ajaran agama Islam bertujuan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda umat manusia di dunia ini.
Pada masa kontemporer saat ini, dimana teknologi canggih dengan informasi yang cepat berkembang dan persoalan umat terus berkembang lantas bagaimanakah hukum donor darah bagi kaum muslim, Islam melarang untuk melakukan pengobatan dengan yang haram, sedangkan darah dikategorikan sebagai najis. Lantas apakah haram melakukan donor darah dalam pandangan Islam, dan bagaimanakan praktek jual beli darah?. Jika dibenarkan apakah yang menjadi dasar pembenaran atau kebolehan donor darah dalam Islam ini yang akan dibahas dalam makalah ini.





BAB II
PEMBAHASAN


Pembahasan donasi darah serta pembahasan lainnya dalam bidang kesehatan telah lama menjadi kajian hukum Islam dan pembahasan para ulama mujtahid, hal ini disebabkan Islam merupakan ajaran yang universial dan berlaku untuk semua zaman walaupun telah mengalamai perubahan dan perkembangan masalah yang dihadapi manusia. Dengan bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah serta ijtihad bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap donor darah akan dibahas dalam kajian makalah ini.
A. Pengertian Donasi Darah
Secara bahasa donasi diartikan dengan derma, hadiah, sokongan tetap, uang perkumpulan penderma . Sedangkan darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme, dan juga sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Istilah medis yang berkaitan dengan darah diawali dengan kata hemo- atau hemato- yang berasal dari bahsa yunani haima yang berarti darah.
Donor darah atau transfusi darah adalah penginjeksian darah dari seseorang (donor) ke dalam sistem peredaran darah seseorang yang lain (resipien). Transfusi darah adalah proses pekerjaan pemindahan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit, yang bertujuan untuk:
1. Menambah jumlah darah yang beredar dalam badan orang yang sakit yang darahnya berkurang karena sesuatu sebab, misalnya pendarahan, operasi, kecelakaan dan sebab lainnya.
2. Menambah kemampuan darah dalam badan si sakit untuk menambah/membawa zat asam.
B. Hukum Tentang Darah Dalam Islam
Kajian tentang darah dalam buku fiqh masuk pada pembahasan bab thaharah tentang najis. Sesuai dengan firman Allah ayat al-Baqarah ayat 173.
        •               •   

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Berdasarkan ayat diatas jelas tentang keharaman memakan darah, dan memakan yang dilarang dalam ayat tersebut. Namun disambung juga dalam ayat tersebut apabila dalam keadaan terpaksa tiada dosa baginya. Inilah yang dinamakan Ruskhsah dalam Islam yakni keringan jika terdapat keterpaksaan dan ketidaktahuan sesuatu masalah. Keadaan terpaksa ini dalam buku halal dan haram dijelaskan dengan makna tidak sengaja dan tidak melewati batas. Dalam artian tidak sengaja mencari kelezatan terhadap yang diharamkan, dan tidak melewati batas ukuran keterpaksaan itu sendiri.
C. Hukum Penjualan Darah
Dalam Islam menjual sesuatu yang haram hukumnya adalah haram. Hal ini ditimbulkan dari konsep ”apa pun kebiasaan yang berlaku, jika membawa kepada perbuatan maksiat adalah dilarang dalam Islam”. Ini didasari oleh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang menyatakan:
ان الله ورسوله حرما بيع الخمر الميتة وخنزير الاصنام
Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya telah mengharamkan jual beli arak, bangkai, babi dan patung.

Disambung dengan hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud bahwa:
ان الله اذا حرم شيا حرم ثمنه
Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Ia mengharamkan pula harganya.

Berdasarkan Hadits di atas Imam Abu Hanifah dan Zahiri membolehkan menjual-belikan benda najis yang ada manfaatnya, seperti kotoran hewan seperti serbuk. Secara analogis mazhab ini membolehkan jual beli darah karena besar manfaatnya bagi manusia untuk keperluan donor darah untuk keperluan operasi dan sebagainya. Namun Imam Syafi’i mengharamkan jual beli benda najis termasuk darah, ayat Al-Qur’an menyatakan secara tegas bahwa darah termasuk benda yang diharamkan. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”.
Benda yang diharamkan tidak boleh untuk dijual belikan. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu, maka mengharamkan juga harganya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud). Memperhatikan dua silang pendapat diatas, maka jual beli darah adalah sesuatu yang tidak pantas dan tidak etis. Sebab jika hal ini diperbolehkan, maka darah dijadikan ajang bisnis oleh manusia. Berkaitan jual beli darah nampaknya sangat bertentangan dengan tujuan luhur dari donor darah, yaitu menyelamatkan jiwa manusia dari kebinasaan.
Kembali kepada pengertian istilah donor darah, maka orang yang menyumbangkan darahnya itu semata-mata untuk menolong orang lain yang memerlukannya. Berarti niat pendonor hanya untuk kerja kemanusiaan, ia tidak mengharapkan imbalan berupa materi dari resepien. Ini mungkin bisa terjadi jika resepien mendapatkan darah dari donor yang bersifat langsung diberikan oleh donor tanpa melalui pihak ketiga. Namun permasalahan yang ditemukan dilapangan si resepien yang membutuhkan darah seperti di rumah sakit, ia tidak mendapatkannya secara cuma-cuma. Tapi ia harus membeli darah dengan cukup mahal.
Namun sebenarnya itu bukan berarti ia untuk membeli melainkan mengantikan biaya operasional terkait dengan menjaga kondisi darah tetap baik, serta penyediaan peralatan yang cukup canggih dan peralatan medis lainnya. Inilah sebenarnya biaya yang dikeluarkan dalam memperoleh donor darah.

D. Mashalah Mursalah
Hukum Islam bersumber pada dua sumber utama yaitu al-Quran dan Sunnah. Ketika tidak ada hukum mengenai sesuatu yang belum diatur dalam Al-quran dan Sunnah digunakan ijtihad yang dilakukan oleh para ulama. Metode ijtihad itu antara lain: ijma’, qiyas, istihsan, istishab, maslahah mursalah, ‘urf, fatwa sahabat, sad dzari’ah, syaru’ man qablana.
Salah satu metode ijtihad adalah mashalah mursalah adalah penetapan hukum berdasarkan mashalat (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan secara umum atau secara khusus. Kemasalahatan manusia meliputi lima jaminan dasar yaitu: keselamatan keyakinan agama, keselamatan jiwa, keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunana, dan keselamatan harta benda.
Kelima jaminan dasar ini merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar umat manusia dapat hidup aman dan sejahtera. Dalam penerapan mashalah mursalah imam malik mengajukan tiga syarat dalam penerapan mashalah mursalah yaitu:
1. Adanya persesuaian dengan tujuan-tujuan syariat, jadi tidak boleh bertentangan dengan dalil yang qathi
2. Mashalah itu harus masuk akal.
3. Penggunan mashalah mursalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang mesti terjadi.
E. Donor Darah
Hukum dalam pengobatan, hendaknya dengan menggunakan sesuatu yang diperbolehkan menurut syari’at. Namun, jika tidak ada cara lain untuk menambahkan daya tahan dan mengobati orang sakit kecuali dengan yang haram dan ini menjadi satu-satunya usaha menyelamatkan orang sakit atau lemah, sementara para ahli memiliki dugaan kuat bahwa dengan yang haram akan memberikan manfaat bagi pasien, maka dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk mengobati dengan yang haram. Bagaimankah posisi donor darah dalam pengobatan?. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Surat Al-Baqarah : 173
        •               •   
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak meginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”

Surat Al-An’am : 119
   •        •
Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”

Surat Al-Madinah ayat 2 :
          
Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”

Surat Al-Baqarah ayat 195 :
        •   
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Demikian juga sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ.......
Barang siapa melepaskan seorang muslim dari sesuatu kesukaran, maka Allah SWT akan melepaskannya pula dari sesuatu kesukaran di hari Kiamat......” (H.R. Bukhari-Muslim dari Ibnu Majah).

Demikian juga hadits dari Ibnu ‘Umar RA Rasulullah SAW sabda:
....أحب الناس إلى الله أنفعهم للناس.....

...Manusia yang paling disukai Allah ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia...” (HR. Thabrani)

Demikian juga sabda Nabi SAW yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah RA.
...وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ...

Sesungguhnya Allah akan selalu menolong hamba-nya selama hamba itu mau menolong saudaranya”

Sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah ini, dapat pula dilihat dalam kaidah hukum Islam berikut:
الاصل فى الاشياء الاباحة
Prinsip dasar segala sesuatu itu boleh (mubah).
الاصل فى المنافع الاباحة وفى المضار التحريم

Prinsip dasar pada masalah-masalah yang mendatangkan manfaat adalah boleh dan dalam masalah-masalah yang mengandung mudharat kerugian adalah haram.

الضروات تبيح المخظورات
Segala keadaan yang memaksa, menghalalkan segala yang haram.
جميع المحرمات تباح بالضرورة
Segala yang diharamkan dibolehkan lantaran dharurat.
Berdasarkan kaidah serta ayat dan hadist diatas, maka hukum donor darah itu diperbolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik Al-Qur'an maupun hadits. Islam wajib membantu sesama manusia yang memerlukan bantuannya dalam hal-hal yang positif, termasuk dalam melakukan donor darah (transfusi/pemindahan) darah kepada penderita suatu penyakit atau kepada orang yang tertimpa musibah kecelakaan yang membutuhkan tambahan darah untuk keperluan pengobatan. Agama Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan komersial.
Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya donor darah itu berkaitan dengan masalah kesehatan, yang temasuk dalam jaminan dasar dalam Islam yaitu keselamatan jiwa.
Namun demikian tidak berarti, bahwa kebolehan itu dapat dilakukan tanpa syarat, bebas lepas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan, tetapi karena ada hal-hal yang dapat membahayakan resipien maupun pendonor, maka akhirnya menjadi terlarang. Ayat al Baqarah 195 mengingatkan, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan akibatnya, yang kemungkinan berakibat fatal bagi si pendonor, meskipun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Ini berarti donor darah diperbolehkan, bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia, tanpa berakibat buruk bagi pendonor.
Persyaratan medis juga harus dipenuhi dalam donor darah, bahaya penularan penyakit harus dihindari dengan sterilisasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita HIV/AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal.
Dilihat dari urgensinya, donor darah dalam hukum Islam tidak lepas dari unsur kemashlahatan yang bersifat dharury (kebutuhan), yaitu menyelamatkan jiwa manusia dalam keadaan darurat. Sebab jika tidak menggunakan sesuatu yang diharamkan, yaitu darah (benda najis), maka seseorang akan meninggal. Dalam hal ini, orang sakit yang kekurangan darah harus dibantu dengan donor darah.
الضرر لا يزال بالضرر
“Mudharat tidak dapat dihilangkan oleh mudharat yang lain” . Kaidah ini memberikan ketentuan hukum bahwa donor darah diperbolehkan jika dengan mendonorkan darahnya itu tidak membahayakan pihak pendonor. Tapi jika membawa bahaya atau mengancam keselamatan pihak donor, maka haram bagi seseorang untuk mendonorkan darahnya. Oleh karena itu, perlu ketelitian dari pihak medis. Kaidah Ushul Fiqh mengatakan:
الضرورات تقدر بقدرها
“Sesuatu keadaan darurat, diukur sekadar darurat saja”.
Dalam hal ini donor darah yang diberikan hanya sebatas untuk keperluan menolong resepien yang membutuhkannya. Maka selain itu, mengalirkan darah diluar alasan darurat, seperti marus yang untuk diminum, maka menjual dan meminumnya hukumnya haram.
BAB III
PENUTUP

Menyumbangkan darahnya kepada seseorang yang membutuhkan adalah pekerjaan kemanusiaan yang sangat mulia. Karena dengan mendonorkan sebagian darahnya berarti seseorang telah memberikan pertolongan kepada orang lain, sehingga seseorang selamat dari ancaman yang membawa kepada kematian. Donor darah diperbolehkan jika dengan mendonorkan darahnya itu tidak membahayakan pihak pendonor. Tapi jika membawa bahaya atau mengancam keselamatan pihak donor, maka haram bagi seseorang untuk mendonorkan darahnya. Dalam hal ini donor darah yang diberikan hanya sebatas untuk keperluan menolong resepien yang membutuhkannya. Orang yang menyumbangkan darahnya itu semata-mata untuk menolong orang lain yang memerlukannya. Berarti niat pendonor hanya untuk kerja kemanusiaan, ia tidak mengharapkan imbalan berupa materi dari resepien, ini dalam hukum Islam diperbolehkan tapi jika darahnya itu diperjual belikan hukumnya haram.

baca selengkapnya..

ngah darwis: Generasi baru


perjalanan seorang hamba, sangat ditentukan dari sikap dan tingkah lakunya dalam mencari dan menerima apa yang diberikan oleh Allah kepadanya. Tanda syukur manusia dapat ditandai dengan apakah dia mampu menghasilkan yang terbaik bagi dirinya dan orang lain. filsafat ini adalah akar dari keingin maju manusia dalam menghadapi kehidupan ini. Manusia harus sadar bahwa dengan segala kelebihan dan kekurangnya harus mampu memberikan yang terbaik buat manusia yang lain. Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain inilah generasi muda harapan bangsa. Ditengah kemelutnya negeri ini generasi muda dengan mengatakan inilah aku yang jadi impian bukan generasi muda yang mengatakan inilah bapak ku. Perjalan hidup ini harus didik oleh orang tua yang mampu serta didukung oleh keinginan generasi muda. Bukan berarti pemuda itu harus tumbuh dengan sendirinya tanpa bimbingan. Mari kita wujudkan bangsa yang besar dengan menciptakan generasi muda yang tangguh dan tak kenal lelah dalam mencapai impian dan mimpinya baca selengkapnya..