Google

Sunday, October 17, 2010

ngah darwis: PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN dari berbagai sumber

SEJARAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2006
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lahirnya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang memakan waktu cukup panjang ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana. Berbeda dengan beberapa negara lain, inisiatif untuk membentuk Undang-Undang perlindungan bagi saksi dan korban bukan datang dari aparat hukum, polisi, jaksa, atau pun Pengadilan yang selalu berinteraksi dengan saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana. Di samping itu, minimnya perhatian yang serius oleh aparat penegak hukum terhadap saksi-korban membuat RUU ini harus selalu didesakkan hampir setiap tahun sejak 2001 hingga 2005 agar masuk dalam rencana Prolegnas.
Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi.
Selanjutnya, tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR.
Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun 2003. Dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang dekat dengan mereka. Awal 2005 Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) yang disusun oleh Bappenas menjadwalkan pembahasan RUU Perlindungan Saksi pada triwulan kedua 2005. Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe 2004-2009, telah menyetujui Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang diprioritaskan untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi. Sepuluh fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU Perlindungan Saksi memiliki peran strategis dalam upaya penegakan hukum dan memciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi.
Akhirnya Juni 2005 RUU Perlindungan Saksi dan Korban disampaikan dalam surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden. Lalu, tanggal 30 Agustus 2005 Presiden mengeluarkan surat penunjukan wakil untuk membahas RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menugaskan Menteri Hukum dan HAM mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut. Januari 2006 pemerintah yang diwakili Departemen Hukum dan HAM menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah, tentang RUU Perlindungan Saksi dan Korban kepada DPR RI. Awal Februari 2006 komisi III DPR RI membentuk Panitia Kerja yang terdiri dari 22 orang untuk membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bulan Juli 2006, Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi UU Perlindungan Saksi dan Korban. Sepuluh fraksi di DPR RI mendukung keberadaan UU tersebut.
Pada tanggal 11 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana. Tujuan Undang-undang ini adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.
“Tanpa kesaksian dari korban atas tindakan kekerasan yang dialaminya, hukum dan keadilan tidak dapat ditegakkan. Tanpa sistem periindungan yang efektif bagi pihak yang mau bersaksi, tidak akan ada korban kekerasan yang mengungkapkan kejahatan yang diaiaminya kepada penegak hukum.”

SIAPAKAH ITU SAKSI DAN KORBAN?
Menurut UU No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, saksi adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.
Hal ini senada dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saksi dinyatakan sebagai orang yang hendak memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan atau ia alami sendiri.
Korban dinyatakan sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan pengertian keluarga korban adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus, atau mempunyai hubungan darah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga, atau mempunyai hubungan perkawinan dengan korban dan atau orang-orang menjadi tanggungan korban.

MENGAPA SAKSI HARUS DILINDUNGI SECARA HUKUM?
Keterangan yang diberikan korban/saksi memainkan peran kunci bagi keberhasilan suatu tuntutan peradilan, sehingga para pelaku kejahatan sering mencoba melakukan upaya-upaya khusus, termasuk memberi janji-janji muluk ataupun intimidasi langsung, guna mencegah korban memberikan kesaksiannya. Perlindungan bagi saksi dan korban harus didasarkan pada undang-undang agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara nasional.
Istilah perlindungan adalah bentuk perbuatan untuk memberikan tempat bernaung atau berlindung bagi seseorang yang membutuhkan sehingga merasa aman terhadap ancaman sekitarnya. Pengertian perlindungan ini hampir sama pengertiannya dengan pengertian perlindungan dalam PP No. 2 tahun 2002 yang menyatakan bahwa perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajin dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Secara spesifik/ tujuan dari pemberian perlindungan khusus bagi saksi dan korban adalah untuk:
1. Mendorong korban/saksi kekerasan untuk berperan serta dalam proses investigasi dan penuntutan hukum melalui adanya peraturan/prosedur yang menciptakan rasa aman secara fisik dan psikologis.
2. Mengurangi trauma yang dialami korban/saksi
3. Melindungi korban/saksi dari kekerasan, serangan pembalasan ataupun stigmatisasi.
4. Menghasilkan penghukuman bagi yang bersalah melakukan kejahatan.
Semua upaya ini dilakukan tanpa mengurangi peluang yang wajar bagi pihak tertuduh untuk melakukan pembelaan diri.

DASAR HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI/KORBAN
• UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM untuk saksi dan korban pelanggaran HAM Pasal 34 (1) ”setiap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror dan kekerasan dari pihak manapun. Ayat (2)”perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma
• UU No. 31/1999 ttg Tindak Pidana Korupsi untuk saksi kasus korupsi.
• UU N0.30/2002 ttg Komisi PemberantasanUndang-undang Korupsi ”KPK wajib untuk memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana
• PP NO.2/2002 Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM bearat. ”setiap korban dan saksi dalam pelanggaran berhak mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum dan keamanan dalam bentuk perlindungan atas keamanan pribadi korban dan saksi dari ancaman fisik dan mental, perlindungan terhadap identitas korban dan saksi serta pemberian keteranagn sat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa tatap muka dengan terdakwa
• UU No.13/2006 Undang-undang No. 13/2006 telah mengatur Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban secara khusus dan tidak berada di bawa Kepolisian. Dari 46 pasal yang ada dalam undang-undang tersebut sebanyak 17 pasal (40 %) mengatur tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

BAGAIMANA PERLINDUNGAN SAKSI/KORBAN DIBERIKAN?
Perlindungan bagi saksi/korban yang bersifat menyeluruh harus mencakup lima tahapan yang dilalui saksi/korban, yaitu: tahap pertolongan pertama (gawat darurat) (ketika peristiwa baru saja terjadi), tahap investigasi, tahap pra persidangan, tahap persidangan serta tahap pasca persidangan (setelah putusan akhir). Perlindungan bagi saksi/korban merupakan tanggung jawab perangkat penegak hukum/ pemerintah maupun masyarakat.
Prinsip-prinsip perlindungan bagi saksi/korban mencakup:
1. Keamanan saksi/korban harus menjadi pertimbangan utama dalam memutuskan langkah yang akan diambil oleh pihak yang menangani kasus,
2. Korban adalah pengambil keputusan akhir menyangkut tingkat dan lingkup keterlibatannya dalam keseiuruhan proses penanganan kasusnya.
3. Korban wajib mendapatkan informasi yang benar dan lengkap agar dapat membuat pilihan terbaik bagi dirinya.
4. Tidak dibenarkan untuk mempersalahkan saksi/korban atas kejahatan yang dialaminya.
5. Sistem perlindungan dan dukungan bagi saksi/korban harus bersifat komprehensif atau menyeluruh.
6. Langkah-langkah perlindungan dan dukungan bagi saksi/korban harus sating terkoordinasi satu sama lainnya, baik yang dijalankan oleh penegak hukum, organisasi masyarakat, institusi kesehatan maupun lembaga publik lainnya,
7. Perlindungan saksi juga berlaku bagi saksi yang meringankan guna menjamin prinsip keadilan bagi pihak tertuduh.
Unsur-unsur sistem perlindungan saksi/korban yang komprehensif:
1. Adanya mekanisme perlindungan bagi saksi/korban dalam lembaga peradilan.
2. Adanya pembaruan peraturan-perundangan, termasuk tentang prosedur persidangan dan aturan pembuktian baru yang kondusif untuk penegakan HAM. termasuk hak-hak korban kejahatan.
3. Adanya protokol-protokol yang dirumuskan dan disepakati bersama oleh lembaga peradiian dan organisasi masyarakat pendamping korban untuk menjamin koordinasi upaya perlindungan dan pemberdayaan.
4. Adanya pelatihan bagi polisi, jaksa, hakim dan panitera pengadilan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan menjalankan sistem perlindungan bagi saksi/korban dengan baik.
5. Adanya kemudahan bagi korban untuk memperoleh layanan pendampingan, termasuk konseiing trauma, untuk pemulihan dan pemberdayaan korban kendatipun mereka memilih untuk tidak menempuh jalur hukum.
Dengan demikian, sistem perlindungan saksi/korban yang komprehensif mensyaratkan keterlibatan tiga pihak yang berbeda, yaitu:
1. Negara, terutama lembaga penegak hukum
2. Lembaga penyedia Iayanan masyarakat,
3. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal korban/saksi
Pemberian hak-hak kepada saksi dan korban dapat berupa:
• Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu perkara pidana;
• Hak untuk memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
• Hak untuk mendapatkan nasihat hukum;
• Hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan;
• Hak untuk mendapatkan penterjemah;
• Hak untuk bebas dari pertanyaan yang menjerat;
• Hak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
• Hak untuk mendapatkan informasi mengenai keputusan pengadilan;
• Hak untuk mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
• Hak untuk mendapatkan identitas baru;
• Hak untuk mendapatkan tempat kediaman baru (relokasi); dan/atau
• Hak untuk memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.



LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Setahun LPSK telah hadir untuk berkiprah dalam dunia penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Pada fase-fase awal berdirinya LPSK, terdapat banyak tantangan dan hambatan baik yang bersifat administratif maupun substantif. Usaha-usaha untuk menyusun fondasi kelembagaan telah dimulai dengan menyusun Rencana Strategis LPSK. Dokumen tersebut menjabarkan aspek konseptual dalam perencanaan strategis organisasi, aspek strategi kebijakan organisasi dalam jangka waktu lima tahun, serta aspek strategi implementasi dalam pelaksanaan program. Bahwa proses-proses tersebut telah diperhitungkan sebagai strategi pengembangan kelembagaan yang menjadi prioritas kebijakan LPSK, khususnya ditahun-tahun awal ini. Melalui Rencana Strategis LPSK telah menetapkan visi dan misi dalam rentang waktu lima tahun pertamanya yakni:
Visi
Terwujudnya perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana

Misi
Dalam rangka mewujudkan visi di atas, Lembaga Saksi dan Korban memiliki misi sebagai berikut :
1. Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan pidana.
2. Mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban
3. Memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hak-hak saksi dan korban
4. Mewujudkan dan mengembangkan jejaring dengan para pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhan hak saksi dan korban
5. Mewujudkan kondisi yang kondusif serta partisipasi masyarakat dalam perlindungan saksi dan korban

Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, LPSK telah menyusun struktur organisasi yang dibagi kedalam lima bidang yang mengacu pada tugas pokok dan kewenangan lembaga maupun yang mencerminkan orientasi pada fungsi. Kelima bidang tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bidang Perlindungan
2. Bidang Kompensasi, Restitusi, dan Pemberian Bantuan bagi Korban
3. Bidang Hukum, Diseminasi, dan Hubungan Masyarakat.
4. Bidang Pengawasan, Penelitian-Pengembangan, dan Pelaporan
5. Bidang Kerjasama dan Pendidikan Latihan

Sejak awal berdirinya LPSK telah masuk permohonan-permohonan untuk pemberian perlindungan. Sehari-harinya, saat ini dipergunakan SOP sementara sembari menemukan pola prosedur yang memadai melalui pengalaman-pengalaman praktik pemberian pelayanan perlindungan di tahun pertama ini. Dalam melaksanakan dua tugas tersebut secara paralel (pemberian layanan dan pembentukan SOP), pada praktiknya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dalam pelaksanaannya. LPSK juga melakukan monitoring pelaksanaan persidangan pada kasus-kasus yang dianggap penting dimana posisi saksi dan korban dalam proses peradilan pidana ditengarai memiliki posisi yang cukup rentan dari ancaman dan tekanan.



Selama tahun pertama LPSK bekerja telah menerima 61 permohonan. Dari 61 permohonan tersebut, 3 diantaranya merupakan permohonan kompensasi/ restitusi. 5 permohonan telah masuk dalam program perlindungan saksi, dan lainnya sekitar 6 permohonan sedang dalam proses penelahaan, investigasi/ monitoring. 5 permohonan sedang menunggu kelengkapan berkas. 28 permohonan ditindaklanjuti dengan pengiriman surat kepada lembaga/ instansi lainnya yang berwenang. Sedangkan 14 permohonan dinyatakan tidak dapat masuk kedalam program perlindungan saksi.

No comments: