Google

Thursday, October 21, 2010

ngah darwi: legislatif

Era reformasi Indonesia baru bergulir pada 1998 dengan runtuhnya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Dengan reformasi ini telah membuka pintu demokrasi, yang berkeinginan mewujudkan Indonesia baru, yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, walaupun pada akhirnya proses demokrasi belum berjalan dengan baik Indonesia. Namun, banyak pihak telah berupaya membangun demokrasi, baik dengan mengusung kegiatan pemberdayaan masyarakat (public empowerment) maupun dengan menyelenggarakan pelatihan bagi aparatur pemerintah mengenai tata pemerintahan yang baik (good governance), pendidikan politik bagi pemilih pemula dan generasi muda serta dengan perjuangkan pembentukan dasar hukum dan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dalam proses formulasi kebijakan publik dan perencanaan pembangunan yang lebih baik.
Reformasi hukum (legal reform) di Indonesia masih jauh dari tatanan ideal. Sebagai alat pengaturan formal, sesungguhnya hukum dapat dimanfaatkan untuk melakukan pembenahan secara sistemik, mulai dari perombakan institusi (institutional reform), perombakan sistem, sampai dengan perombakan kualitas manusia Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka hukum sudah ditempatkan pada salah satu fungsi yang sesungguhnya, yakni sebagai alat transformasi menuju arah yang lebih baik.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai lembaga yang membentuk hukum, pada masa setelah reformasi (periode 1999-2004) telah tercatat mengesahkan 172 undang-undang dalam lima tahun. Angka ini melampaui “rekor” yang telah dicetak oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1945-1950 yang mengesahkan 135 undang-undang. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSKH) Indonesia menilai kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) buruk. Dari target 284 rancangan undang-undang (RUU) hanya 60% yang diselesaikan.
Dari jumlah itu diprediksi hanya 170 undang-undang. DPR sebelumnya, periode 1999-2004 berhasil menyelesaikan 172 RUU. PSKH mencatat dari 155 RUU yang telah diselesaikan 92 RUU yang memerlukan
pembahasan sederhana yaitu 60 pemekaran wilayah, 15 pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sehingga hanya 63 RUU atau 40% dari 155 RUU yang menempuh pembahasan normal.
Masyarakat sering menjadikan kuantitas undang-undang yang diproduksi, sebagai tolok ukur keberhasilan kinerja legislatif. Padahal tidak sedikit aturan yang disahkan tidak dapat diimplementasikan akibat dari kurangnya perhatian dari segi substansi dan proses pembuatannya. Jika dipandang secara menyeluruh, permasalahan yang mengakibatkan buruknya kualitas peraturan yang diproduksi oleh legislatif terletak pada empat masalah utama. Pertama, lemahnya kapasitas anggota DPR dan pemerintah dalam hal merancang peraturan (legislatif drafting), kedua cepat atau lambat proses legislasi yang dihasilkan ini terkait juga dengan kepentingan politik. Ketiga, pihak pemerintah sendiri yang memperlambat produk legislasi.

No comments: