Google

Saturday, October 23, 2010

ngah darwis: skema proses persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri



Proses pemeriksaan gugutan perdata di Pengadilan negeri dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Hakim memeriksa perkara dengan pembacaan gugatan. Gugatan berisi minimal identitas para pihak baik penggugat maupun tergugat, posita yaitu peristiwa yang relevan terhadap perkara dan petitum atau tuntutan penggugat.
2. Hakim mengajuan proses perdamaian pada para pihak jika terjadi perdamaian dilanjutkan dengan penandatangan akta van dading dimuka pengadilan dan hakim menetapkan putusan perdamaian yang bersipat inkracht van gewijsde. Putusan perkara dengan damai hanya dapat dilakukan upaya Peninjau kembali (PK) di Mahkamah Agung.
3. Jika tidak terjadi perdamaian hakim melanjutkan pemeriksaan perkara dengan melaksanakan jawaban. Jawaban ini dilakukan oleh tergugat. Memiliki 3 kemungkinan yaitu pertama, mengakui gugatan penggugat yang otomati akan menyelesaikan perkara perdata. Kedua, membantah gugatan penggugat dan dalil-dalil yang diberikan oleh penggugat. Perkara dilanjutkan pada proses selanjutnya, dan ketiga, referte yaitu tidak membantah dan tidak mengakui diserahkan kepada hakim untuk menentukan dan proses lebih lanjut, ini biasanya jawaban yang berikan oleh orang awam. Pada jawaban ini pihak tergugat yang tidak mengakui dapat juga melakukan eksepsi dan veeweerten principale. Eksepsi atas alasan diluar pokok perkara meliputi formalitas perkara baik pada kompetensi absolute maupun relative serta kecacatan surat gugutan dan lain sebagainya. Sedangkan veeweerten principale atas pokok perkara. Apabila eksepsi diterima maka gugatan tidak diterima. Dan penggugat dapat mengajukan gugatan baru. Dalam gugatan dapat juga dilakukan gugatan rekonpensi yaitu gugatan balik yang diajukan oleh tergugat kepada penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan.
4. Replik yaitu dokumen tertulis yang berisi tanggapan penggugat atas jawaban tergugat sekaligus bertahan pada gugutan awal.
5. Duplik yaitu tanggapan tergugat atas replik penggugat sekaligus mempertahankan jawaban.
6. Perkara dilanjutkan dengan pemeriksaan pembuktian. Pembuktian yang adalah : surat, saksi, pengakuan, persangkaan dan sumpah. Juga ada tambahan pembuktian yaitu pemeriksaan lapangan dan saksi ahli. Dalam perkara perdata pembuktian yang ingin dibuktikan adalah peristiwanya, beban pembuktian diberikan padak siapa yang mendalil adanya hak dan siapa yang membantah adanya hak yang dikenal dengan asas pembuktian. Baik pada penggugat maupun tergugat.
7. Kesimpulan adalah konklusi yang diberikan oleh penggugat dan tergugat. Setelah itu hakim akan membuat kesimpulan yang dinamakan putusan.
8. Putusan hakim pertama terbagi dua yaitu menerima gugatan atau tidak menerima gugatan. Terhadap menerima gugatan terhadap eksepsi yang ditolak, sedangkan tidak menerima gugatan terhadap eksepsi yang diterima. Terhadap yang gugatan penggugat yang tidak diterima dapat membuat surat gugatan baru atau upaya hukum lanjutan yaitu banding.
9. Terhadap gugatan yang diterima hakim akan mengeluarkan putusan mengabulkan guggatan atau menolak gugatan. Menolak gugatan berarti gugatan tidak bias dibuktikan oleh penggugat, sedangkan mengabulkan gugatan berarti penggugat dapat membuktikan perkara. Untuk gugatan yang ditolak dapat dilakukan upaya lanjutan banding. Yaitu 14 hari setelah putusan Pengadilan Negeri.
10. Terhadap perkara yang dikabulkan hakim. Hakim dapat mengabulkan seluruh gugatan penggugat atau sebahagian gugatan penggugat.
11. Upaya hukum terhadap gugatan yang dikabulkan dapat dilakukan upaya hukum biasa yiatu verzet untuk perkara verstek, (tergugat tidak datang dipersidangan) atau banding di PTN setelah 14 hari putusan Pengadilan Negeri, atau kasasi di MA setelah 14 hari putusan Pengadilan Tinggi Negeri. Perbedaan banding dan kasasi adalah tentang kewajiban memori banding atau kasasi. Untuk banding tidak diwajibkan untuk memori banding sedangkan kasasi diwajibkan memori kasasi apabila tidak diajukan kasasi ditolak.
12. PK upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang inkracht van gewijsde. Dan tidak menghalangi eksekusi
13. Derden verzet yaitu perlawanan pihak ketiga dalam suatu perkara.
baca selengkapnya..

ngah darwis: pengajuan gugutan perdata di Pengadilan negeri



Pejabat dilingkungan PN
 HAKIM
 PANITERA (Griffter)
 WAKIL PANITERA
 PANITERA MUDA
 PANITERA PENGGANTI
 JURU SITA
 JURU SITA PENGGANTI

Tata cara pengajuan gugatan perdata sebagai berikut:
1. Surat gugatan ditujukan ke Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi absolute dan kompentensi relative yang dimiliki.
2. Surat diserahkan kepada panitera muda bidang perdata, sebagai mana diketahu bahwa panitera muda terbagi kepada panitera muda bidang pidana, bidang perdata dan bidang hukum
3. Membayar preskot biaya/ongkos perkara
4. Untuk masyarakat miskin dapat mengajukan permohonan ijin prodeo atau bebas biaya perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri, setelah disetujui Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk hakim tunggal dan penetapan bebas biaya perkara di Pengadilan Negeri
5. Panitera selanjutnya mendaftarkan perkara dalam buku register perkara dan memberi nomor perkara, baik yang membayar ongkos perkara dan perkara prodeo untuk masyarakat miskin.
6. Ketua pengadilan menetapkan majelis hakim untuk perkara tersebut
7. Majelis hakim akan menetapkan hari persidangan perkara
8. Juru sita akan memanggil para pihak secara patut
9. Hari persidangan.
baca selengkapnya..

Friday, October 22, 2010

ngah darwis: Parlemen Indonesia

Pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk tetap berlanjutnya demokrasi langsung (direct democracy) sebagaimana pelaksanaannya yang berlaku pada zaman Yunani Kuno, pada kenyataannya sulit untuk dipertahankan lagi. Faktor-faktor seperti luasnya wilayah satu negara, populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya penanganan terhadap masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi adalah merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung seperti pada era globalisasi sekarang ini .
Sebagai ganti dari gagasan dan pandangan Rousseau ini lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect democracy) yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang terkenal dengan nama “Parlemen”. Lembaga perwakilan atau parlemen ini tidak sama baik sebutan maupun jenisnya, misalnya saja di Indonesia disebut “Dewan Perwakilan Rakyat”. Baik Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat pada dasarnya adalah lembaga perwakilan dari rakyat.
Kelahiran Parlemen ini pada dasarnya bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi akan tetapi sebagai kelicikan sistem feodal. Sebagaimana yang dikemukakan A.F Pollard dalam bukunya “The Evolution of Parliament”. Repretentation was not the off spring at democratic theory but an incident at the feodal system .
Formula dari pendapat Pollard tersebut dapat kita contohkan pada Parlemen Inggris yang boleh dianggap sebagi parlemen yang tertua di dunia.
Seperti diketahui bahwa pada abad pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah Raja-raja/Kaum Bangsawan yang sangat feodalistis (monarchi feodal). Dalam bentuk kerajaan feodal kekuatan berada pada kaum feodal, dimana kaum feodal ini tidak saja menguasai tanah-tanah dalam satu wilayah tapi juga menguasai orang-orang yang ada dalam wilayah kekuasaannya dan para feodal ini bergelar Lord. Apabila satu saat Raja misalnya menginginkan adanya penambahan tentara, atau penambahan pajak maka Raja akan mengirimkan utusan/wakilnya menemui para Lord untuk menyampaikan keinginan dan maksudnya itu. Akan tetapi praktek semacam ini, menurut anggapan raja tidak layak. Oleh karena itu, timbul pemikiran dari raja lebih baik para Lord itu yang dipanggil ke pusat pemerintahan /kerajaan agar supaya apabila raja menginginkan sesuatu dari para Lord tersebut tidak perlu lagi mengirim utusan ke tempat mereka, cukup hanya dengan mengambil para Lord yang memang sudah berada di pusat/dekat dengan raja. Konsekuensinya adalah raja membentuk satu lembaga/badan yang terdiri dari para Lord dan di tambah dengan para pemuka gereja/pendeta-pendeta yang pada gilirannya lembaga/badan itu menjadi tempat bagi raja untuk meminta nasehat, petunjuk dan terutama adalah dalam hal pemungutan pajak. Secara pelan tapi pasti tugas lembaga itu makin bertambah dan selanjutnya lembaga itu menjadi permanen, lembaga yang permanen itu disebut “Curia Regis” dan kemudian menjadi House of Lords seperti yang ada sekarang ini.
Melihat kekuasan lembaga ini yang semakin besar, maka raja ingin mengurangi hak-hak mereka, akibatnya timbul pertikaian antara raja dengan kaum ningrat. Dengan bantuan rakyat dan kaum menengah (borjuis/bourgeois) kepada kaum ningrat akhirnya raja mengalah, akibatnya hak-hak raja dibatasi oleh House of Lords. Karena rakyat dan kaum menengah yang senantiasa menjadi korban dari beban pajak, maka kaum menengah dan rakyat meminta kepada House of Lords agar wakil mereka juga harus diminta nasehat dan pendapatnya manakala House of Lords akan membicarakan permasalahan-permasalahan yang menyangkut pajak dan anggaran belanja. Akibat lain kemenangan dari kaum ningrat yang didukung oleh rakyat dan kaum menengah itu, maka kedudukan kaum menengah dan rakyat semakin menjadi kuat dan harus diperhitungkan. Akhirnya muncul lembaga baru yang anggotanya terdiri dari kaum menengah dan rakyat yakni yang disebut Magnum Consillium. Karena terdiri dari rakyat biasa maka lembaga ini disebut House of Commons.
Selanjutnya kedua lembaga tersebut yakni House of Lords dan House of Commons disebut Parliamentum atau Parlemen yang kemudian dianggap sebagai lembaga perwakilan pertama dalam pengertian modern. Seperti sudah disebut bahwa House of Lords adalah kaum bangsawan (Lord) dan pemuka gereja/agama (pendeta-pendeta). Keanggotaan mereka dalam House of Lords adalah bersifat permanen. Sebaliknya keanggotaan kaum menengah dan rakyat yang ada dalam House of Commons adalah merupakan pilihan rakyat di daerah pemilihan mereka masing-masing. Agar supaya para wakil yang duduk dalam House of Commons itu dapat kembali terpilih maka mereka harus berusaha untuk terpilih melalui kampanye pemilihan. Untuk berkampanye maka para anggota yang sehaluan/se ide/se asas menyatukan orang-orangnya dalam satu panitia untuk mengkampanyekan mereka di daerah masing-masing agar dapat terpilih kembali sebagai anggota House of Commons. Sitem dan model yang diberlakukan ini melahirkan sistem pemilahan umum yang pertama yaitu “sistem distrik”, sedangkan yang disebut panitia berkembang menjadi “partai politik”seperti yang dikenal sekarang ini.
Menyadari bahwa keberadaan mereka dalam House of Commons adalah hasil dari pilihan rakyat maka lembaga ini (House of Commons) menginginkan kekuasan yang lebih besar lagi. Menurut Maurice Duverger, para Commons dapat mengajukan usul kepada Lords agar seorang menteri atau hulubalang kerajaan dapat dihukum karena telah membuat kesalahan dalam menjalankan tugasnya.
Perkembangan selanjutnya adalah bahwa House of Commons memperluas kekuasaan dan haknya untuk membebaskan menteri yang mereka tidak sukai dari kedudukannya walaupun menteri itu tidak melakukan kejahatan ataupun kesalahan. Kekuasaan yang dimiliki House of Commons tersebut dapat dilakukan melalui “mosi tidak percaya” yang dapat mengakibatkan jatuhnya atau mundurnya kabinet. Ini yang dikenal dengan sebutan Kabinet Parlementer.
Menurut Maurice Duverger, parlemen semakin penting, karena tidak mau meluluskan secara permanen pemungutan pajak oleh pemerintah, sehingga raja terpaksa memanggilnya bersidang apabila setiap kali ada urusan dalam masalah keuangan, karenanya maka parlemen ini sering bersidang. Selain itu Menurut Maurice, dengan cerdik parlemen memperluas pengaruh dan jangkauan kekuasannya sebagai badan legislatif, yakni dengan merebut kekuasaan keuangan ; dijadikan kebiasaan untuk mengajukan kepada raja petisi-petisi (bill) sebelum ia meluluskan suatu bantuan/subsidi . Dengan demikian House of Commons telah memiliki alat pemaksa dan penekan yang tepat terhadap raja.
baca selengkapnya..

ngah darwis: Reformasi Hukum Indonesia

Bagaimana hukum di Indonesia Kenyataan yang berkembang saat ini kebanyakan orang akan merespon bahwa hukum di Indonesia itu berpihak kepada yang mempunyai kekuasaan, dan mempunyai uang banyak. Seperti contoh, orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran milik negara dapat berkeliaran dengan bebasnya dan di dalam lembaga pemasyarakatan memperoleh fasilitas layaknya hotel. Itulah sekelumit jawaban yang menunjukan penegakan hukum di Indonesia belum dijalankan secara adil atau belum adanya equality before the law. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi hukum.
Pernyataan Wakil Presiden Boediono, bahwa reformasi penegakan hukum merupakan prioritas kerja Kabinet Indonesia Bersatu, bagai oase katarsis di tengah ‘kegaduhan' proses penegakan hukum atas kasus Bibit Chandra dan Antasari Azhar. Dalam kesempatan berbicara pada peringatan Ulang Tahun ke 10 The Habibie Center (11 November 2009), Wapres Boediono menegaskan, "Banyak tugas yang harus dilakukan, tapi menurut saya yang penting harus kita lakukan adalah reformasi penegakan hukum. Ini merupakan kunci utama, agar kualitas demokrasi kita menjadi lebih baik dan kuat." Kita sepakat dengan pernyataan tersebut. Reformasi penegakan hukum merupakan salah satu pilar penting dalam menguatkan konsolidasi demokrasi.
Tanpa penegakan hukum yang benar, adil, dan profesional, konsolidasi demokrasi akan terganggu. Dan, tentu berkorelasi positif dengan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Meskipun demikian, tentu, proses reformasi penegakan hukum berbasis keadilan akan memakan waktu dan memerlukan kesabaran.
Prioritas reformasi penegakan hukum merupakan pilihan terbaik yang mesti ditempuh oleh pemerintah. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjamin terus berlangsungnya pemberantasan korupsi, dan sikap untuk mengganyang mafia penegakan hukum, kita yakini sebagai sikap dasar penyelenggaraan pemerintahan lima tahun ke depan. Oleh karena itu, seluruh tindakan penegakan hukum yang dilakukan secara benar, bersih, adil, dan tanpa rekayasa menjadi kepedulian kolektif bangsa. Sebagai bagian dari rakyat yang merindukan tegaknya hukum secara berkeadilan, kita memberikan apresiasi dan dukungan kuat terhadap pemerintahan SBY - Boediono. Kita percaya, reformasi penegakan hukum akan terus bergulir selama lima tahun ke depan. Kita juga percaya, bahwa dengan reformasi penegakan hukum dan sikap tegas untuk mengganyang mafia hukum, kita dapat menyelamatkan bangsa ini dari berbagai kerumitan masa depan.
Perjuangan menegakkan hukum dan keadilan memang tidak mudah. Banyak onak dan duri yang harus dihindari. Namun bila hal itu dilaksanakan secara bersungguh-sungguh, konsisten dan konsekuen, kita sangat yakin, ikhtiar itu akan membawa hasil yang optimal. Yaitu, tegaknya Indonesia sebagai negara hukum.
baca selengkapnya..

Thursday, October 21, 2010

ngah darwi: legislatif

Era reformasi Indonesia baru bergulir pada 1998 dengan runtuhnya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Dengan reformasi ini telah membuka pintu demokrasi, yang berkeinginan mewujudkan Indonesia baru, yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, walaupun pada akhirnya proses demokrasi belum berjalan dengan baik Indonesia. Namun, banyak pihak telah berupaya membangun demokrasi, baik dengan mengusung kegiatan pemberdayaan masyarakat (public empowerment) maupun dengan menyelenggarakan pelatihan bagi aparatur pemerintah mengenai tata pemerintahan yang baik (good governance), pendidikan politik bagi pemilih pemula dan generasi muda serta dengan perjuangkan pembentukan dasar hukum dan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dalam proses formulasi kebijakan publik dan perencanaan pembangunan yang lebih baik.
Reformasi hukum (legal reform) di Indonesia masih jauh dari tatanan ideal. Sebagai alat pengaturan formal, sesungguhnya hukum dapat dimanfaatkan untuk melakukan pembenahan secara sistemik, mulai dari perombakan institusi (institutional reform), perombakan sistem, sampai dengan perombakan kualitas manusia Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka hukum sudah ditempatkan pada salah satu fungsi yang sesungguhnya, yakni sebagai alat transformasi menuju arah yang lebih baik.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai lembaga yang membentuk hukum, pada masa setelah reformasi (periode 1999-2004) telah tercatat mengesahkan 172 undang-undang dalam lima tahun. Angka ini melampaui “rekor” yang telah dicetak oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1945-1950 yang mengesahkan 135 undang-undang. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSKH) Indonesia menilai kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) buruk. Dari target 284 rancangan undang-undang (RUU) hanya 60% yang diselesaikan.
Dari jumlah itu diprediksi hanya 170 undang-undang. DPR sebelumnya, periode 1999-2004 berhasil menyelesaikan 172 RUU. PSKH mencatat dari 155 RUU yang telah diselesaikan 92 RUU yang memerlukan
pembahasan sederhana yaitu 60 pemekaran wilayah, 15 pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sehingga hanya 63 RUU atau 40% dari 155 RUU yang menempuh pembahasan normal.
Masyarakat sering menjadikan kuantitas undang-undang yang diproduksi, sebagai tolok ukur keberhasilan kinerja legislatif. Padahal tidak sedikit aturan yang disahkan tidak dapat diimplementasikan akibat dari kurangnya perhatian dari segi substansi dan proses pembuatannya. Jika dipandang secara menyeluruh, permasalahan yang mengakibatkan buruknya kualitas peraturan yang diproduksi oleh legislatif terletak pada empat masalah utama. Pertama, lemahnya kapasitas anggota DPR dan pemerintah dalam hal merancang peraturan (legislatif drafting), kedua cepat atau lambat proses legislasi yang dihasilkan ini terkait juga dengan kepentingan politik. Ketiga, pihak pemerintah sendiri yang memperlambat produk legislasi.
baca selengkapnya..