Google

Wednesday, October 7, 2009

kelas menengah sakai

Saya ingin jelaskan bahwa Sakai sudah maju. Sudah ada anak Sakai yang bekerja di perusahaan asing. Ada pula yang menjadi anggota dewan dan camat. Sakai tidak lagi terbelakang seperti dibayangkan banyak orang. Memang ada yang masih terbelakang, tetapi juga ada yang sudah modern.
Suhardi, Ketua Umum IPSR, 15/10/2005.
Pendahuluan
Tulisan berikut membahas gerakan civil society dalam komunitas Sakai dengan meneropong aktivisme anggota kelas menengah mereka. Pemaparan dibagi ke dalam tiga sub-pembahasan utama. Bagian pertama memaparkan diskursus kelas menengah dalam hubungannya dengan gerakan civil society. Berbagai pandangan tentang konsepsi kelas menengah yang dikembangkan di sini menekankan perlunya memotret gerakan kelas menengah di pedesaan atau komunitas yang dipersepsikan marjinal. Teoritisasi konsep kelas menengah diarahkan membangun argumentasi bahwa poin mendasar bagi kategorisasi kelas menengah adalah aktivisme di ruang publik dalam memperjuangkan hak-hak kelas atau kepentingan komunitas masing-masing. Bagian kedua, akan memaparkan profil perkumpulan yang memiliki peranan signifikan bagi pertumbuhan gerakan kelas menengah Sakai (selanjutnya disingkat: KMS), yakni Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Sakai (HPPMS), Ikatan Pemuda Sakai Riau (IPSR), dan Lembaga Adat Melayu Sakai Riau (LAMSR). Selanjutnya, di pembahasan bagian ketiga, penulis akan memaparkan bagaimana KMS, melalui perkumpulan-perkumpulan tersebut, merespon isu-isu sosial-politik yang terkait dengan kepentingan mereka. Sedikitnya tiga masalah akan dibahas guna memotret dinamika gerakan KMS secara detail, yakni respon mereka dalam menangkap peluang politik baru, peningkatan kualitas pendidikan dan lapangan pekerjaan, serta gerakan penguatan identitas kultural dan budaya Sakai.
Sepintas terkesan bahwa mempersandingkan terminologi “kelas menengah”, “Sakai” dan “civil society” merupakan sebentuk penyimpangan atau menyalahi kelaziman. Terminologi “Sakai”, dalam persepsi pemikiran banyak orang terlanjur dipersepsikan sebagai komunitas terbelakang dan berbasis pedalaman. Sementara, kelas menengah merupakan kategorisasi sosial yang digunakan untuk menggambarkan strata sosial dalam masyarakat modern, bahkan dalam batas tertentu cenderung bersifat urban community (komunitas perkotaan). Kesan penyimpangan dari kelaziman bertambah ketika kedua kategorisasi tersebut dikombinasikan dengan terminologi gerakan civil society. Hal ini agaknya pula dikarenakan istilah civil society sudah terlanjur digunakan untuk menganalisa gerakan sosial di komunitas perkotaan atau modern. Maka dapat dimengerti apabila sementara orang akan menilai judul artikel di atas sebagai rumusan yang kurang lazim digunakan.
Tetapi, pada saat melakukan penelitian mengenai Respon Orang Sakai, Talang Mamak dan Duano Terhadap Program Pemerintah Tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Propinsi Riau, penulis mendapatkan pembenaran bagi penggunaan rumusan judul di atas. Betapa tidak, sepanjang pengambilan data lapangan selama bulan Oktober 2005 yang sebagian besar menjadi bahan penulisan artikel berikut, penulis mendapati fenomena mencengangkan dan berbeda dari narasi dominan seperti ditemukan di hampir semua buku yang membicarakan konstruksi identitas komunitas Sakai.
Masyarakat Sakai yang bagi banyak orang dipersepsikan marjinal, terpencil, tidak berpendidikan dan streotip-streotip sejenis, faktanya tidaklah bersifat monolitik. Suhardi, Ketua Umum IPSR, menggambarkan masyarakat Sakai “ada yang masih terbelakang, tetapi ada juga yang sudah modern” (Wawancara Suhardi, 14/10/2005) Tidak dapat menerima dengan konstruksi identitas yang dicangkokkan kepada komunitas mereka, sebagian orang Sakai, terutama seperti dimotori KMS mengartikulasikan penolakan mereka dengan membentuk perkumpulan-perkumpulan yang belakangan melahirkan gerakan masyarakat sipil. Tujuan mereka, mengkonstruksi citra baru Sakai yang modern dan mendekonstruksi narasi dominan yang dilekatkan pihak luar terhadap komunitas mereka. Secara nominal, populasi KMS memang diperkirakan hanya di bawah satu persen dari total anggota komunitas Sakai. Tetapi, posisi strategis ditambah kemampuan mereka tampil di ruang publik, menjadikan KSM memiliki posisi penting, tidak saja di internal komunitas Sakai sendiri, melainkan pula di hadapan pemerintah daerah atau pihak-pihak di luar mereka.

Diskursus Tentang Kelas Menengah dan Civil society
Membaca gerakan kelas menengah bukan perkara mudah. Terlebih apabila dipertautkan dengan gerakan civil society. Terkait dengan kelas menengah, kesulitan muncul barangkali lantaran definisi tentang kelas menengah merupakan kategorisasi sosial yang dinamis dan tidak bermakna tunggal. Menurut Ariel Heryanto, kelas menengah merupakan kategorisasi sosial yang dipahami secara bervariasi, bahkan acapkali saling berlawanan. Heryanto menegaskan, beberapa pandangan yang saling berlawanan terlanjur dominan dalam kajian kelas menengah Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa kelas menengah dalam masyarakat ini (seharusnya) secara moral hebat dan progresif. Sejumlah pengamat lain menolak pandangan semacam itu dan secara esensial menganggap kelas ini konservatif dan sangat oportunis. (Heryanto, 2004:50-52)
Terlepas dari pertentangan antara dua kutub pandangan tersebut, sesungguhnya terdapat keserupaan antara keduanya dalam mengidentifikasi siapa kelompok kelas menengah. Menurut Heryanto, yang lazim sama dalam semua ragam kelas menengah (tanpa kesamaan ini mereka tidak dapat disebut sebagai kelas menengah) adalah kiblat atau ikatan mereka pada gabungan beberapa hal berikut ini: tinggal di perkotaan; pekerjaan dan pendidikan modern; dan selera budaya, yang tampil secara mencolok, tetapi tidak semata-mata, dalam konsumsi gaya hidup. Hal lain yang mempersamakan kedua kutub tersebut adalah bahwa secara ekonomi, orang-orang dalam kelas menengah menduduki posisi yang jelas berbeda, dari mereka yang lazim disebut kelas pekerja. Mereka juga berbeda dari kelompok yang paling diuntungkan dalam tatanan sosial yang ada berkat kekuasaan ekonomi atau birokratis mereka yang besar. (Heryanto, 2004:54)
Menurut Joel Kahn, memiliki gaji, kekayaan, pekerjaan, keterampilan, pengetahuan atau kepakaran tertentu, tidak secara otomatis membuat seseorang menjadi anggota kelas menengah. Namun hemat kami, demikian Kahn melanjutkan, apa yang membuat seseorang menjadi anggota kelas menengah adalah aspek penampilan penggunaan pengetahuan dan keterampilan semacam itu dalam lingkungan publik tertentu yang berwibawa secara moral bagi tindakan dan pelaku tindakan semacam itu (Lihat, Kahn, 1996:12-33). Seseorang dikelompokkan ke dalam kelas menengah bukan karena kategorisasi ekonomi semata. Paralel dengan Kahn, Heryanto mengingatkan bahwa dimensi ekonomi penting, namun tidak cukup sebagai satu-satunya tolok ukur sifat kelas menengah, terutama untuk unsur-unsur menengah yang secara politik lebih aktif (Heryanto, 2004:54-55).
Pandangan Heryanto yang secara ketat mempersyaratkan kelas menengah mesti berbasis urban (perkotaan) hemat kami menafikan kemungkinam kehadiran kelompok kelas menengah berbasis pedesaan. Berbeda dengan Heryanto, Kuntowijoyo menyatakan kemungkinan kehadiran kelompok kelas menengah berbasis pedesaan, terutama dari para pemilik tanah dalam skala besar. Juga berbeda dengan Heryanto, Kuntowijoyo mengelompokkan kalangan birokrat dan pegawai pemerintah sebagai kelas menengah, terlepas dari artikulasi mereka di ruang publik. (Lihat, Kuntowijoyo, 1985:36) Sebab itu, kategorisasi kelas menengah sesungguhnya tidak memiliki pembedaan yang tegas apabila dilihat lokus geografis desa-kota dan pemerintah-non pemerintah. Mereka bisa saja hadir dari salah satu elemen dari kedua kutub tersebut, atau bahkan tidak dari keduanya.
Paralel dengan hal tersebut, pemaparan berikut secara kategoris lebih cenderung sepandangan dengan konseptualisasi Kuntowijoyo dalam mengidentifikasi kelas menengah. Kelompok kelas menengah tidak mesti berbasis perkotaan, tetapi juga kadang-kadang muncul dari lingkungan pedesaan atau kelompok marjinal. Meminjam kerangka pemikiran Gramsci tentang konsepsi intelektual organik yang merupakan perwakilan (representasi) dari kelas (Gramsci, 1996:3-23), penulis hendak mengatakan bahwa kelompok kelas menengah pun merupakan representasi dari kelas atau komunitas mereka masing-masing. Kelompok kelas menengah di perkotaan sangat boleh jadi memiliki basis ekonomi, keterampilan, kompetensi intelektual, yang berbeda dengan konfigurasi kelas menengah di pedesaan.
Singkatnya, kelas menengah tidak semata hadir dari kelompok wartawan, mahasiswa, dosen, intelektual publik, seniman, pengacara, atau aktivis partai politik atau organisasi-organisasi non-pemerintah yang tinggal di perkotaan, melainkan pula hadir dari lembaga-lembaga adat maupun aktivis sosial di kampung atau pedesaan. Alasannya, kategorisasi dan definisi kelas menengah yang bias urban community tersebut tidak banyak membantu dalam menjelaskan fenomena kelas menengah dalam kasus Sakai. Sehingga, acuan mendasar yang digunakan dalam mengidentifikasi kelas menengah Sakai seperti dimaksud tulisan berikut adalah aktivisme di ruang publik dalam memperjuangkan kepentingan kelompoknya, sehingga memungkinkan mereka menikmati status sosial yang lebih tinggi dari mayoritas anggota masyarakat lain dalam komunitas mereka. Aktivisme KMS tersebut diekspresikan melalui gerakan masyarakat sipil (civil society), baik melalui perkumpulan atau organisasi non-pemerintah, LSM, ikatan, paguyuban maupun instrumen gerakan sosial lain.

Brief Review Perkumpulan KMS
Berbasis pemukiman di wilayah administratif Kabupaten Bengkalis, Riau, tepatnya di dua Kecamatan yakni Mandau dan Pinggir, Sakai merupakan salah satu suku asli (indegeneous people) di Riau yang dengan populasi diperkirakan mencapai hampir lima ribu jiwa. Telah disinggung bahwa selama berabad-abad orang-orang Sakai dipersepsikan sebagai komunitas marjinal. Bahkan berdasarkan terminologi resmi negara, mereka dikelompokkan ke dalam salah satu Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Indonesia (SK Mensos RI, Jakarta, 1999:2). Parsudi Suparlan mencatat bahwa sebelum wilayah Daratan Riau berkembang karena adanya pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah, dan sebelum kota Duri yang sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Mandau itu berkembang karena meningkatnya kegiatan eksplorasi minyak di Riau oleh PT. CPI di permulaan tahun 1970-an, orang-orang Sakai hidup secara terpencar-pencar di wilayah tersebut (Suparlan, 1995:69-71).
Informan yang kami wawancarai menceritakan bahwa wilayah yang sekarang dikenal sebagai Duri, ibu kota Mandau dahulu merupakan salah pusat pemukiman orang-orang Sakai. Namun, ketika Duri mulai dibangun dan dikembangkan, orang-orang Sakai yang menghuni wilayah-wilayah di sekitar kota tersebut diminta pergi dan diberi pesangon ala kadarnya sebagai kompensasi atas tanah dan pepohonan serta tanam-tanaman yang ada di ladang mereka. Tak pelak, orang-orang Sakai semakin tergusur. Mereka berpindah ke daerah yang lebih pedalaman, menjalani kehidupan secara marjinal dan terbelakang secara sosial, ekonomi dan politik (Wawancara Yatim, 12/10/2005).
Hampir dipastikan tidak semua orang Sakai merelakan diri menjalani kehidupan dengan kondisi demikian. Meski tidak banyak dari mereka yang mampu melawan konstruksi sosial yang mengakibatkan kondisi mereka menjadi demikian. Sebab itu, adalah fenomena menarik ketika dewasa ini kita mulai menyaksikan kegairahan orang-orang Sakai memperjuangkan aspirasi mereka melepaskan diri dari telikungan keterbelakang, terlebih hal tersebut dilakukan melalui kerja-kerja organisasi dan gerakan sosial yang sistematis. (Acuan kekhususan waktu [dewasa ini] menjadi penting karena kita tidak ingin memotret KMS secara ahistoris dan abstrak). Mobilisator gerakan adalah kelompok kelas menengah mereka. Sekadar tambahan, dengan mendasarkan pada perbincangan teoritis sebelumnya, terminologi kelas menengah digunakan di sini untuk merujuk pada orang-orang Sakai yang akibat aktivisme mereka di ruang publik, menjadikan mereka memiliki status sosial lebih tinggi dibanding mayoritas anggota masyarakat. Jadi, status sosial tersebut didapatkan berkat aktivisme yang dilakukan di ruang publik terutama dalam memperjuangkan kepentingan kelas atau kelompok mereka, baik melalui organisasi sipil maupun gerakan individual.
Terkait dengan gerakan KMS yang dilakukan melalui pembentukan perkumpulan atau organisasi, antara lain kita menyaksikan HPPMS, IPSR, dan LAMSR. Melalui organisasi-organisasi tersebut, mereka menyuarakan aspirasi sosial, politik, ekonomi maupun budaya kelompok mereka baik kepada pemerintah daerah, atau perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah mereka. Di luar perkumpulan yang telah disebutkan, disaksikan pula aktivisme anggota KMS di ruang publik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat mereka, tetapi dilakukan secara individul. Meski demikian, perlu segera disusulkan betapapun aktivisme kelompok kedua tersebut sesungguhnya tidak sepenuhnya individual. Sebab, biasanya mereka ditopang basis lembaga tertentu, tetapi bukan oleh perkumpulan yang berbasis primodialisme etnisitas atau kesukuan.
Satu-satunya perkumpulan yang memediasi aktivisme pemuda pelajar, dan mahasiswa Sakai adalah HPPMS. Berpusat di Pekanbaru semenjak didirikan pada 28 Oktober 2000, HPPMS merupakan hasil pergumulan berbagai isu dan peristiwa dalam komunitas mereka, yang melahirkan keperihatinan dan kepedulian para pemuda, pelajar dan mahasiswa yang belakangan memupuk semangat solidaritas melalui pembentukan perkumpulan. Inisitif pembentukan perkumpulan, seperti disebutkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, lebih dari sekedar membangun silaturrahmi antara para anggotanya, melainkan yang lebih mendasar adalah menggalang solideritas anggota guna peningkatan sumber daya generasi muda dan pelestarian otentitias adat budaya Sakai.
Inisiator pembentukan perkumpulan HPPMS adalah Sahrir, seorang pemuda asal desa Pematang Pudu, mahasiswa program Pascasarjana UNRI dan anggota DPRD Bengkalis. Sebelum terpilih menjadi anggota DPRD melalui pemilu 2004, Sahrir dikenal luas di Pekanbaru sebagai aktivis gerakan mahasiswa yang terlibat aktif dalam gerakan reformasi tahun 1998. Berkat aktivismenya dalam gerakan mahasiswa selama menempuh pendidikan sarjana di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Pekanbaru atas sponsor dari perusahaan swasta terbesar yang bergerak di bidang perminyakan berbasis di Riau; tidak mengejutkan apabila Sahrir memiliki jaringan luas di kalangan elit politik Riau dan utamanya Bengkalis sehingga memungkinkan dirinya bergabung dengan partai Golkar, yang kemudian menghantarkan dirinya menjadi anggota legislatif. Menjadi Ketua Umum HPPMS untuk periode pertama kali, Sahrir mencerminkan profil sedikit dari anggota masyarakat Sakai yang mengenyam berpendidikan hingga tingkat sarjana dan berhasil berkat kompetensi kecendikiawanan tersebut.
HPPMS bukanlah organisasi mahasiswa dengan basis massa melimpah, setidaknya dikarenakan secara faktual anggota masyarakat Sakai yang hingga dewasa ini mengenyam pendidikan masih relatif sedikit. Berdasarkan wawancara Sahrir dengan reporter sebuah koran lokal di Riau, disebutkan bahwa sekitar 52 anak Sakai sekarang sedang menempuh studi di pelbagai Perguruan Tinggi di Pekanbaru (Dumai Pos, 3/10/2005:9-10). Para mahasiswa tersebut sebagian besar merupakan pegiat sekaligus lokomotif HPPMS. Betapapun perkumpulan ini melingkupi pemuda non-mahasiswa dan pelajar tingkat SMU atau di bawahnya, namun tidak banyak eksponen kedua kelompok ini yang aktif dalam kepengurusan HPPMS.
Telah dijelaskan sebelumnya, misi dan cita-cita perkumpulan adalah menggalang solideritas kebangkitan masyarakat Sakai. Solideritas atas nama kebangkitan dinilai relevan mengingat konstruksi tentang Sakai selama ini sebagai komunitas terbelakang perlu dilawan dengan menciptakan konstruksi identitas tandingan: sebagai kelompok terdidik dan aktif dalam gerakan sosial. Sejauh pengamatan kami, aktivisme HPPMS masih sederhana: mencari dan mengelola dana beasiswa bagi anak-anak Sakai yang menempuh studi Perguruan Tinggi, memfasilitas pertemuan-pertemuan terutama yang menyangkut penguatan identitas budaya mereka.
Telah disinggung, betapapun HPPMS mencantumkan kata “Pemuda” dalam identitas resmi perkumpulan, namun secara faktual sayap pemuda non-kampus tidak mendapat ruang memadai. Sebagian mereka dilibatkan terutama pada saat-saat pelaksanaan kegiatan tertentu, tetapi tidak pada saat-saat perancanaan. Sekretariat HPPMS yang berada di Pekanbaru juga menyulitkan kelompok Sakai pemuda di Duri untuk terlibat aktif dalam setiap aktivitas organisasi. Merasa tidak banyak tempat untuk terlibat dalam penentuan arus kegiatan organisasi, ditambah dengan persepsi bahwa aspirasi yang tidak tersalurkan melalui HPPMS, beberapa anggota dari sayap pemuda Sakai di Duri belakangan mendeklarasikan perkumpulan baru: IPSR.
Didirikan pada 2001 dengan basis kegiatan di Duri, IPSR mulanya bergerak di bidang ketenaga-kerjaan. Visi dan misi IPSR difokuskan untuk memperjuangkan agar anak-anak Sakai dapat dipekerjakan di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Duri. “Memang belum banyak yang dapat kita lakukan”, demikian menurut Suhardi, “tapi dengan IPSR kita menjadi lebih diperhitungkan. Melalui oganisasi, keberadaan anak-anak Sakai diakui”. Selain di bidang ketenaga-kerjaan, IPSR kegiatan berfokus pada peningkatan SDM, dengan cara mencari bantuan beasiswa bagi anak-anak Sakai. Untuk kepentingan peningkatan SDM tersebut, IPSR sering memfasilitasi pelatihan-pelatihan bagi anak-anak Sakai, guna menyiapkan agar mampu menangkap kesempatan-kesempatan kerja di perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di sektor industri dan pertambangan yang beroperasi di lingkungan mereka. (Wawancara Suhardi, 15/10/2005).
Lokomotif sekaligus Ketua Umum pertama IPSR adalah Suhardi. Seperti halnya Sahrir, Suhardi merupakan potret generasi muda Sakai yang sudah mengalami modernisasi. Menyelesaikan sarjana di Perguruan Tinggi Swasta di Jogyakarta, Suhardi kini bekerja sebagai karyawan tetap di kelompok perusahaan Pertamina pada bagian Enginering dan pada saat-saat tertentu diminta menjadi Humas Perusahaan (public relation) utamanya apabila berhubungan dengan masyarkat Sakai. Juga seperti halnya Sahrir, Suhardi pernah menjadi calon anggota legislatif pada pemilu 2004 dari wilayah pemilihan Kecamatan Pinggir meski dirinya tidak seberuntung Sahrir yang kini duduk dilegislatif. Suhardi kalah dalam pesta demokrasi 2004, karena, sebagaimana pengakuannya, “basis utama dukungan untuk saya ada di Mandau, tapi saya ditempatkan untuk pemilihan daerah Pinggir” (Wawancara Suhardi, 15/10/2005).
Tetapi agaknya yang membedakan Suhardi dengan Sahrir adalah lingkungan keluarga Suhardi yang merupakan kelompok elite adat Sakai dan tuan tanah di Duri. Ini tampaknya menjadikannya tidak begitu sulit untuk mengenyam pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Kakek Suhardi, Ujang Ganti, merupakan Batin Tertinggi Sakai dengan gelar Batin Betuah, sementara bapaknya, Abdul Karim adalah mantan karyawan tetap Pertamina, yang kini menjadi kontraktor di Duri. Suhardi berasal dari lingkungan KMS yang tidak hanya berpengaruh di komunitas Sakai, melainkan pula terhadap pemerintah daerah Bengkalis. Keluarga Suhardi memiliki posisi berpengaruh di Duri, terlihat bagaimana pendapat mereka dipertimbangkan dalam penentuan jabatan-jabatan publik di Bengkalis, setidaknya di wilayah yang menyangkut kepentingan komunitas Sakai.
Melalui IPSR, Suhardi telah mempelopori modernisasi dan mempraktikkan pola-pola masyarakat modern dalam menyuarakan kepentingan-kepentingan sosial-politik dan ekonomi mereka. Agaknya menarik dicatat, dalam menyalurkan aspirasi mereka, Suhardi tampaknya tidak begitu antusias menyampaikan aspirasi melalui aksi-aksi demontrasi di lapangan. Berdasarkan wawancara, Suhardi lebih cenderung memilih menyampaikan aspirasi masyarakat Sakai melalui pola-pola diplomasi dan diskusi. Tetapi, demikian Suhardi menuturkan, kalau pendekatan demikian sudah tidak dapat membuahkan hasil, maka “aksi-aksi lapangan melalui demonstrasi baru boleh digunakan” (Wawancara Suhardi, 15/10/2005)..
Institusi civil society berikutnya adalah LAMSR. Didirikan pada tahun 1999, LAMSR merupakan lembaga adat dengan basis kegiatan di Duri yang merupakan rerpresentasi pimpinan adat masyarakat Sakai. Visi LAMSR adalah melakukan penguatan identitas kultural masyarakat adat Sakai guna membela dan mendapatkan hak-hak sosial-politik dan ekonomi komunitas yang ditujukan untuk mengurangi ‘keterbelakangan’ dan kemiskinan yang dialami masyarakat Sakai. Didirikannya kembali LAMSR setelah dalam waktu yang lama kelembagaan adat Sakai mengalami kevakuman memiliki tujuan utama untuk membantu komunitas Sakai menjadi modern agar mampu berpartisipasi dalam proses-proses modernisasi di satu pihak, sembari tetap mempertahankan otentititas identitas kultural mereka di pihak lain.
Lokomotif yang sekaligus Ketua Umum LAMSR, Muhammad Yatim merupakan potret figur kharismatik yang selalu diterpa kegelisahan mendalam atas kondisi yang dialami masyarakat Sakai. Meskipun hanya sempat mengeyang pendidikan Sekolah Rakyat (SR), setingkat Sekolah Dasar (SD) pada masa sekarang, kecermelangan pikiran-pikiran Yatim menjadikannya sempat puluhan tahun berkerja di perusahaan internasional yang bergerak di bidang perminyakan, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil pensiun dini. Selain memiliki keluasan wawasan terhadap segala pernik menyangkut identitas kultural masyarakat adat Sakai, Yatim juga memiliki kemampuan retorika dan artikulasi lisan yang sistematis sehingga dirinya acapkali menjadi rujukan utama dalam setiap hal yang berkaitan dengan masyarakat Sakai.
Selama wawancara terungkap gagasan menggebu-gebu Yatim atas sebuah proyek kebangkitan Sakai. “Alasan mengambil pensiun dini”, demikian dia mengisahkan, “adalah agar memiliki waktu lebih banyak untuk mencurahkan perhatian kepada masyarakat”. Yatim menuturkan, “pengalaman saya berkunjung di beberapa daerah di Indonesia, saya menyaksikan orang-orang lain maju, dan saya ingin berbuat sesuatu agar masyarakat saya dapat maju seperti mereka”. Atas alasan tersebutlah, bersama elite adat Sakai lainnya, Yatim mengambil inisiatif merevitalisasi lembaga adat Sakai dengan membentuk LAMSR.
Dinamika gerakan civil society masyarakat adat Sakai sesungguhnya tidak hanya dihadirkan KMS di Duri. Masyarakat adat Sakai yang hidup di kampung juga memperlihatkan geliat menggembirakan. Hal ini tampak terutama pada saat mereka tidak lagi dapat bersabar dalam menghadapi penyerobotan lahan yang dilakukan pihak luar, mereka menggalang solideritas dengan aksi-aksi demonstrasi. Berdemontrasi di DPRD II atau bahkan DPRD I untuk menyampaikan aspirasi merupakan hal sering dilakukan. Demonstrasi sebagian besar dipicu kasus konflik pertanahan, menuntut pelibatan tenaga kerja tempatan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar desa mereka, atau kasus-kasus lain yang menyangkut pemenuhan kepentingan komunitas mereka. Pada bagian berikut akan dipaparkan bagaimana artikulasi gerakan civil society KMS dalam memperjuangkan kepentingan sosial-politik, pendidikan dan lapangan pekerjaan, serta penguatan identitas kultural mereka.

Agenda dan Artikulasi Pemikiran KMS
Menangkap Peluang Politik Baru
Peluang politik baru terbuka bagi KMS untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam peristiwa politik lokal menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan diberlakukannya otonomi daerah. Melalui pembahasan berikut, kami hendak memperlihatkan bagaimana anggota KMS menanggapi situasi yang berkembang, dan, melalui perkumpulan-perkumpulan primordial atau instrumen civil society, mereka berusaha meningkatkan partisipasi dalam arena perpolitikan daerah. Ini membawa sebuah dimensi baru bagi konstruksi publik menyangkut identitas Sakai, sebuah konstruksi yang mencoba menyoroti Sakai sebagai kelompok berpendidikan, maju dan peka terhadap perkembangan politik. Untuk menganalisa masalah ini, kami akan menyoroti bagaimana para anggota KMS dan perkumpulan-perkumpulan sipil menangkap peluang untuk memperluas partisipasi politik mereka dalam arena politik lokal.
Betapapun tidak secara tegas menyatakan sebagai gerakan politik, kehadiran organisasi masyarakat sipil (civil society) yang dimotori kelompok KMS tidak otomatis apolitis. Mereka acapkali menampilkan diri sebagai kelompok penekan (pressure group). Meskipun dalam skala relatif terbatas, apa yang mereka lakukan cukup mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik pemerintah di daerah. Terpilihnya Nurcahaya, perempuan Sakai menjadi camat pertama Kecamatan Pinggir pada 2004 memperlihatkan bagaimana para anggota KMS menangkap peluang dalam kontestasi politik guna meningkatkan partisipasi mereka di lingkungan pemerintahan daerah saat pergantian camat Mandau dan Pinggir. Negosisi-negosiasi antara perwakilan KMS, baik yang menggunakan bendera LAMSR, aliansi para Batin Sakai, perkumpulan pemuda, maupun dukungan terbuka yang disampaikan oleh beberapa anggota KMS melalui dukungan resmi yang disampaikan kepada Bupati atau stateman dukungan tokoh pemuda Sakai di koran-koran lokal; memperlihatkan bahwa terpilihnya representasi orang Sakai untuk menduduki jabatan publik tersebut, bukan tanpa melewati perjuangan keras.
Nurcahaya menggambarkan kepada penulis bahwa proses terpilihnya dia sebagai camat Pinggir “melewati proses panjang dan berliku” (Wawancara Nurcahaya, 13/10/2005). Nurcahaya adalah mantan Lurah di desa berbasis Sakai yakni desa Balai Alam dan desa Gajah Sakti. Kariernya di pemerintahan dimulai ketika dia terpilih sebagai pegawai rendahan di lingkungan Kecamatan Mandau, beberapa saat setelah menyelesaikan pendidikan tingkat diploma di APDN. Karier Nurcahaya di pemerintahan menanjak perlahan, dia pernah menduduki semua jabatan kepala seksi di Kecamatan Mandau. Maka, tidak mengejutkan pada saat masa kepemimpinan Ridwan Yazid sebagai Camat Mandau akan berakhir, beberapa nama calon seperti Ridwan Yazid dan Khalid Yusuf menguat, tanpa terkecuali nama Nurcahaya.
Menurut salah seorang informan, nama Nurcahaya dimunculkan sesaat setelah Bupati Bengkalis, Samsyurizal menelpon beberapa tokoh Batin Sakai agar merekomendasikan nama calon camat Mandau. Setelah melakukan rapat, para pimpinan adat Sakai bersepakat mengusulkan Nurcahaya. Tidak sekedar itu, aliansi para Batin Sakai dibawah pimpinan Muhammad Yatim juga menemui Bupati Syamsurizal guna menegaskan dukungan mereka kepada Nurcahaya. Masih menurut informan yang sama, Bupati dikabarkan menyambut positif rekomendasi para pimpinan adat Sakai tersebut. Namun, dukungan Bupati Syamsurizal terhadap Nurcahaya menghilang sesaat setelah aliansi masyarakat dari pendukung calon camat lain di Mandau juga menemui Bupati Syamsurizal dan menegaskan dukungan terhadap calon mereka. (Wawancara Yatim, 13/10/2005, dan Suhardi, 15/10/2005)
Munculnya nama Nurcahaya sebagai calon Camat Mandau sempat memunculkan kontroversi di lingkungan masyarakat Mandau. Seperti terungkap di koran lokal, persoalan keperempuanan dan ke-Sakai-an menjadi alasan yang acapkali mengemuka guna menolak pencalonan Nurcahaya. Para pendukung Nurcahaya baik dari tokoh-tokoh adat maupun tokoh pemuda merespon statemen di koran, dengan mengemukakan alasan-alasan perlunya wakil dari orang Sakai memimpin Mandau. Namun saat optimisme merekomendasikan Nurcahaya sebagai Camat Mandau mulai memudar, para aktivis KMS bersepakat mengalihkan dukungan mereka kepada Nurcahaya dari sebagai calon camat untuk Mandau menjadi calon camat Pinggir, sebuah kecamatan yang baru dimekarkan dari Mandau. Setelah melewati negosiasi ketat, akhirnya Bupati Syamsurizal menetapkan Nurcahaya sebagai camat Pinggir. (Wawancara Yatim, 13/10/2005, dan Suhardi, 15/10/2005)
Negosiasi-negosiasi politik sebagaimana dipaparkan di atas menggambarkan bahwa orang-orang Sakai sangat adaptif terhadap peluang-peluang politik baru. Hal ini, demikian dipaparkan Suhardi, merupakan gaya orang (kelas menengah, red.) Sakai dalam mendekonstruksi narasi dominan yang dicangkokkan pihak luar terhadap identitas komunitas mereka. Sakai tidak tampil sebagai komunitas yang silent (diam) dan menghindar dari kerumunan orang-orang luar sebagaimana dicitrakan banyak orang (Lihat, Tabrani, 2002:43-48), melainkan peka, bahkan dalam membaca momentum politik tertentu.
Konstruksi tentang identitas KMS sebagai komunitas yang peka membaca peluang-peluang politik baru, diperkuat dengan terpilihnya dua anggota masyarakat Sakai: Sahrir dan Amril Mukminin, sebagai anggota legislatif Bengkalis pada pemilu 2004. Sahrir, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, adalah mantan aktivis mahasiswa di Pekanbaru pada masa gerakan reformasi tahun 1998. Pergaulannya yang luas dengan elit politik lokal di Pekanbaru dan Bengkalis, ditambah dengan basis massa yang solid, tidak mengejutkan ketika berhasil menghantarkannya sebagai anggota legislatif Bengkalis dari Partai Golkar. Demikian pula Amril Mukminin, mantan kepala Desa Muara Basung yang terpilih sebagai anggota legislatif Bengkalis dari partai yang sama. Terpilihnya Amirul Mukminin sebagai anggota legislatif, seperti diceritakan istrinya, Kasmiyati, tidak lepas dari aliansi longgar dan dukungan beberapa kepala desa berdarah Sakai di wilayah pemilihan Pinggir (Wawancara Kasmiyati, 13/10/2005).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, orang-orang Sakai sama sekali terpinggirkan dalam pemerintahan daerah. Mereka juga tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan hak-hak sosial-politik, budaya dan ekonomi mereka. Bersuara atau melakukan protes atas lepasnya lahan mereka yang diambil secara paksa oleh pihak luar, mengakibatkan mereka harus berurusan dengan kepolisian dan dipenjarakan dalam waktu relatif lama (Wawancara Yatim, 13/10/2005). Sekarang, di saat era keterbukaan dan kebebasan berpendapat mendapat tempat, mengadakan rapat-rapat dimana pesertanya dapat berbagi gagasan dan informasi menjadi cara yang efektif tidak hanya memperkuat rasa persatuan di antara sesama orang Sakai, tetapi juga untuk mengeksplorasi cara-cara mencapai keterwakilan yang lebih besar di lingkungan pemerintahan. Suhardi menceritakan kepada penulis bahwa guna meningkatkan keterwakilan orang-orang Sakai yang bergiat di institusi pemerintahan, perkumpulan yang dipimpinnya akan lebih intensif melakukan pendekatan dengan pemerintah supaya para sarjana Sakai mendapat perioritas dalam setiap momentum rekruitmen PNS di daerah (Suhardi, 12/10/2005)
Suatu hal yang dapat dipetik dari pemaparan di atas adalah kebangkitan kesadaran KMS dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik atau posisi politik tertentu di daerah, bahkan sebagian di antaranya didapatkan berkat aktivisme mereka sebelumnya dalam gerakan civil society. Memiliki wakil sebagai Camat Pinggir dan dua orang lainnya sebagai anggota legislatif di Bengkalis membawa kemungkinan-kemungkinan baru bagi orang-orang Sakai untuk berpartisipasi dalam politik lokal dalam skala yang lebih signifikan dan menentukan. Tentu saja hal demikian akan membangkitkan harapan-harapan baru bagi KMS untuk memperbaiki kondisi masyarakat mereka.

Pendidikan dan Lapangan Pekerjaan
Pendidikan dan lapangan pekerjaan merupakan faktor-faktor yang kritis dan menentukan tingkat partisipasi orang-orang Sakai dalam politik lokal dan lapangan pekerjaan baik di institusi pemerintahan maupun sektor-sektor industri atau lainnya. Hampir semua informan menceritakan kepada peneliti betapa sulitnya orang-orang Sakai untuk melanjutkan pendidikan. Hal ini pada gilirannya ikut menentukan rendahnya tingkat partisipasi mereka dalam setiap lapangan pekerjaan.
Berdasarkan wawancara dengan Ketua Umum IPSR, Suhardi, terungkap bahwa dua isu utama komunitas Sakai yang membutuhkan penyelesaian mendesak adalah persoalan pendidikan dan lapangan pekerjaan. Mengingat basis pendidikan merupakan modalitas bagi terwujudnya transformasi sosial-ekonomi, sementara tingkat pendidikan mayoritas anggota masyarakat Sakai masih rendah, IPSR mendesak pemerintah agar memberikan kuota khusus dari APBD atau APBN di setiap tahunnya untuk dialokasikan guna kepentingan pendidikan anak-anak Sakai hingga tingkat Perguruan Tinggi. IPSR juga meminta dispensasi Perguruan Tinggi Negeri setidaknya di Pekanbaru agar memberikan kuota khusus bagi beberapa orang anak-anak Sakai untuk diterima tanpa melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) (Wawancara Suhardi, 15/10/2005).
Senada dengan Suhardi, Yatim berpandangan bahwa “Jika kita menunggu anak-anak kami untuk lulus SPMB, atau mendapatkan beasiswa berdasarkan prestasi, anak-anak Sakai tidak akan pernah mendapatkan tempat di Perguruan Tinggi Negeri”. Yatim dengan nada kritis mengatakan :
Anak-anak kami yang di sekolah mulai dari SD sampai SMP, kalau main bola kaki saja pun tidak tahu bolanya. Kami cuma tahu bola ojol. Jadi, dalam hal ini, pemerintah memberikan dana bantuan beasiswa dengan memakai kriteria berprestasi. Padahal, kita berprestasi apa? Untuk olah raga saja pakai bola kaki dari ojol, karena tidak ada perlengkapan olah raga. Kalau fasilitas pendidikan di tempat sekolah anak-anak Sakai begini terus, sampai kapan pun anak Sakai tidak akan mendapatkan kesempatan beasiswa, bila pemerintah memakai kriteria berprestasi. (Wawancara Yatim, 12/10/2005)
Alih-alih menyelesaikan pendidikan hingga sarjana, mayoritas anak-anak Sakai hanya menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar atau tidak sekolah. Selama melakukan pemantauan di lapangan, kami mendapati sebagian besar anak-anak di Desa Kuala Penaso tidak mampu menyelesaikan sekolah Dasar. Muhammad Afar, seorang informan yang sekaligus ketua RW di dusun tersebut menyatakan saat ini di dusun Jiat Kramat hanya ada dua orang anak Sakai yang sedang sekolah di tingkat menengah pertama (SLTP). Pemandangan tragis peneliti temukan di sebuah dusun pemukiman Sakai di pinggir jalan yang merupakan wilayah Kecamatan Pinggir. Anak-anak dari 12 kepala keluarga Sakai yang tinggal di situ, hanya dua orang yang saat ini bersekolah di tingkat dasar. Belasan anak usia SD lainnya, tidak bersekolah, meskipun lokasi pemukiman mereka hanya berjarak 200 meter dari jalan lintas Duri-Pekanbaru.
Hingga saat sekarang, memang sudah ditemukan beberapa anggota KMS yang berhasil berkat pendidikan yang mereka tempuh hingga tingkat Perguruan Tinggi. Nurcahaya, Sahrir, dan Suhardi mewakili sedikit di antara mereka. Nurcahaya, Camat Pinggir menceritakan betapa sulitnya dia menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA, sebelum akhirnya terpilih sebagai peserta program Departemen Sosial tentang peningkatan SDM Sakai untuk dikuliahkan di APDN. Demikian pula Sahrir, anggota dewan di DPRD Bengkalis yang menyelesaikan pendidikan sarjananya karena program dari perusahaan swasta di Duri yang bergerak di bidang perminyakan. Hal serupa juga dialami Suhardi. Suhardi mendapatkan bantuan PT. CPI, lantaran orang tuanya, Abdul Karim merupakan sedikit diantara orang Sakai yang menjadi karyawan tetap di perusahaan tersebut. Di luar ketiga nama tersebut, perlu disebutkan pula nama Muhammad Aghar, orang Sakai yang sekarang sedang menempuh pendidikan tingkat doktoral di salah satu Perguruan Tinggi di Jerman, berkat fasilitasi peneliti asal Jerman, Hans Kalipke. Sekedar tambahan, perlu dikemukakan bahwa saat ini tercatat sekitar 52 anak Sakai sedang menempuh pendidikan di bangku perkuliahan. Hingga saat ini, mereka mewakili tidak lebih dari satu persen anak-anak Sakai yang berkesempatan merasakan pendidikan sampai tingkat Perguruan Tinggi.
Realitas pendidikan SDM Sakai yang masih rendah tentu saja menyulitkan anak-anak Sakai untuk dapat mengakses lapangan pekerjaan di pemerintahan maupun sektor swasta. Nurcahaya mengungkapkan kepada peneliti bahwa dengan posisinya sebagai orang nomor satu di Kecamatan Pinggir sesungguhnya merupakan momentum strategis untuk memasukkan anak-anak Sakai bekerja di lembaga pemerintahan. Namun, demikian Nurcahaya menimpali, rendahnya tingkat pendidikan anak-anak Sakai menjadikannya sulit merekomendasikan mereka untuk menjadi pegawai negeri di instansi yang dipimpinannya. Dia mengaku hanya dapat memasukkan beberapa anak-anak Sakai untuk menjadi tenaga honorer pada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Alih-alih ada yang menjadi PNS di pemerintahan tingkat I ataupun tingkat II, Nurcahaya dengan potret pendidikan anak-anak Sakai yang demikian ini di merasa tidak dapat berbuat apa-apa (Wawancara, 13/10/2005).
Mengekpresikan perasaan frustasi masyarakatnya, seorang aktivis pemuda Sakai di Kusumbo Ampai, Muhammad Naim mengatakan bahwa “sejak kecil saya ingin berubah, kami tidak ingin seperti orang tua kami, miskin dan tidak tahu baca-tulis. Kami ingin menjadi orang pintar dan berilmu”. Tapi, demikian Naim melanjutkan, “kami tidak melihat seorang pun yang sungguh-sungguh memberi perhatian terhadap persoalan orang-orang Sakai”. Lebih lanjut, dia merasa bahwa komunitas lain di luar mereka, termasuk di dalamnya orang-orang Melayu, “memandang orang-orang Sakai sebagai kelas yang rendah” (Naim, 11/10/2005).
Pararel dengan Naim, Suhardi mempercayai bahwa persoalan-persoalan yang melanda masyarakat Sakai dapat diselesaikan dengan membentuk perkumpulan-perkumpulan guna melakukan gerakan yang sistematis dan terorganisasi. Perjuangan untuk kebangkitan Sakai hanya akan muncul dari kalangan orang-orang Sakai sendiri. “Kami tidak ingin masa depan anak-anak Sakai bernasib seperti mayoritas anak-anak segenerasi dengan kami atau generasi orang tua kami”, demikian kata Suhardi bersemangat (Suhardi, 15/10/2005). Seorang pengurus HPPMS di Pekanbaru yang kami temui dalam sebuah kesempatan seminar tentang Sakai beberapa waktu lalu mempercayai bahwa aktivisme mereka dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan perkumpulan HPPMS akan berdampak positif. “Dengan berorganisasi kami akan merubah cara pandang masyarakat kami, sehingga mereka akan mempertimbangkan pentingnya pendidikan. Sekarang, sudah mulai banyak anak-anak Sakai yang memandang pendidikan sebagai hal yang penting. Mereka juga aktif dalam kegiatan-kegiatan HPPMS” (Mahasiswa Sakai, 27/12/2005).
Kegelisahan atas kondisi pendidikan anak-anak Sakai menjadi alasan mendasar bagi Yatim mengambil pensiun dini dari pekerjaan di Pertamina. Tujuannya, agar dia dapat memberikan perhatian lebih banyak terhadap kondisi orang-orang Sakai. Menurut Yatim keterbelakangan anak-anak Sakai dalam hal pendidikan dan peluang pekerjaan merupakan akibat dari minimnya perhatian dan keseriusan pemerintah terhadap program peningkatan kualitas SDM anak-anak Sakai. “Kalau pemerintah serius hendak memperhatian peningkatan SDM Sakai, maka berikan kepada setiap orang-orang Sakai lahan sawit atau sejenisnya masing-masing 3-4 hektar untuk setiap kepala keluarga”. Dengan modal perkebunan sawit tersebut, Yatim percaya bahwa kondisi ekonomi orang-orang Sakai dipastikan akan membaik sehingga mereka dapat memberi perhatian terhadap peningkatan kualitas SDM anak-anak mereka. “Berbekal pendidikan”, demikian Suhardi menambahkan, “otomatis anak-anak Sakai dapat memanfaatkan peluang-pelung pekerjaan baik di institusi pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan swasta atau sektor-sektor industri lainnya” (Suhardi, 15/10/2005).

Penguatan Identitas Kultural
Kekuatan ekonomi kapitalis bukan satu-satunya yang menyerbu dan memarjinalkan orang-orang Sakai. Lainnya, adalah kekuatan politik baru bernama negara. Tempo dulu, orang Sakai memiliki perbatinan berikut wilayah sendiri-sendiri. Mereka hidup secara harmoni dan satu sama lain saling menghargai batas wilayah masing-masing (Wawancara Yatim, 12/10/2005). Harus diakui, masyarakat Sakai sangat kokoh dalam memegang adat istiadat dan tradisi leluhur mereka. Melalui kelembagaan adat pula mereka melestarikan kepemimpinan tradisional dalam satuan wilayah mereka masing-masing, yang kadangkala jauh memiliki wibawa dibandingkan dengan kepemimpinan formal-negara.
Konsep satuan wilayah pemukiman demikian kemudian diporak-porandakan ketika pemerintah pusat melalui UU No. 5/1979 memberlakukan sistem pemerintahan desa. Batas-batas wilayah perbatinan yang pada masa sebelumnya ditetapkan secara alamiah berdasarkan batas sungai di pisah-pisah menjadi satuan wilayah desa, dan beberapa klan disatukan menjadi satuan wilayah kecamatan. Akibatnya, “kampung yang sebelumnya dipimpin seorang batin”, demikian Yatim menyatakan, “kini dipimpin seorang kepala desa yang tidak tahu-menahu masalah adat”. (Wawancara Yatim, 12/10/2005) Tak pelak, lembaga perbatinan yang sebelumnya memiliki otoritas tertinggi dalam mengatur persoalan adat dan sosial-politik dalam komunitas Sakai, menjadi kehilangan otoritas sama-sekali. Lembaga adat mengalami domestifikasi dan tidak lagi memiliki peranan dan kekuasaan dalam mengatur komunitas adat mereka sendiri.
Penyeragaman (uniformity) yang dipompakan dari satu mesin birokrasi raksasa dari pemerintah pusat hingga ke tingkat desa telah menafikan keserba-ragaman (diversity). Padahal bagi komunitas Sakai, keserbaragaman justru yang selama ini menjadi salah satu pilar utama terbangunnya pola hubungan harmonis antara berbagai kelompok dalam komunitas mereka. Maka, setelah mengalami marjinalisasi sumbu-sumbu perekonomian meraka akibat kapitalisasi, sistem perbatinan dan adat mereka pun didomestifikasi. Apabila hal ini tidak dilakukan revitalisasi, tidak mustahil generasi muda Sakai akan mendapati bahwa sistem perbatinan yang mereka bangggakan tidak lebih dari sekadar legenda dan nyanyian sebelum tidur, tidak lagi menyejarah. (wawancara Suhardi, 15/10/2005)
Atas alasan-alasan tersebut, KMS utamanya para aktivis adat seperti Yatim dan Bosniar berinisiatif merevitaslisasi kelembagaan adat Sakai melalui pembentukan LAMSR. Inisiatif ini mencerminkan penilaian kembali dan penegasan kembali yang mereka lakukan atas ‘tradisi’ mereka sendiri. Bagi KMS yang terlibat, ditegaskan dan dihidupkannya kembali hukum adat penting artinya bagi penegakan marwah orang-orang Sakai. Dihidupkannya kembali LAMSR juga dipandang kritis bagi hak-hak orang Sakai. Secara khusus para aktivis LAMSR yang diwawancarai menyatakan bahwa LAMSR akan mencegah terjadinya eksploitasi orang-orang Sakai orang pemerintah dan perusahaan kapitalis, yang sudah sering menyerobot tanah mereka atas nama pembangunan. Pegiat KMS yang terlibat dalam revitalisasi kelembagaan adat percaya bahwa mereka perlu menyatukan pandangan sehingga mereka akan memiliki satu suara yang lebih kuat untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Kemampuan untuk berbicara atas nama orang Sakai adalah kekuasaan paling penting bagi LAMSR. Namun, kehadiran LAMSR berikut klaim sebagai lembagai adat tertinggi atas nama komunitas Sakai memang sempat memantik kontroversi dari beberapa pucuk pimpinan batin di Sakai. Abdul Karim, pemuka adat dari Batin Betuah, merupakan orang yang paling menampakkan pertentangan dengan pembentukan LAMSR. Menurutnya, pembentukan LAMSR tidak lepas dari kepentingan pribadi beberapa orang tertentu. Mereka mengklaim diri sebagai Batin, dan menguasai lahan-lahan masyarakat Sakai untuk dijual. Karim juga mengkritik pembangunan Balai Adat Sakai di Duri. Menurutnya, pembentukan Rumah Adat tersebut selain tidak pernah dikenal dalam sistem peradatan Sakai, juga mengundang pertanyaan karena dibangun di pinggir kota Duri, di wilayah yang sepi dan jauh dari basis tempat tinggal orang-orang Sakai (Wawancara Karim, 15/10/2005).
Tapi terlepas dari kontroversi tersebut, keberadaan LAMSR sejauh pengamatan di lapangan memperlihatkan efektifitas utamanya dalam peranannya sebagai mediator antara kepentingan masyarakat adat Sakai dengan pemerintah maupun perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah wilayah perkampungan Sakai. Bertolak belakang dengan pandangan Abdul Karim, Yatim menilai LAMSR merupakan intitusi yang cukup representatif dalam menyuarakan aspirasi masyarakat Sakai, setelah institusi ini kehilangan peranan sama-sekali dalam waktu lama akibat diterapkannya sistem pemerintahan desa pada masa awal pemerintahan Soeharto.
Terkait dengan persoalan bahwa kelembagaan adat pada masa Sakai klasik merupakan lembaga tertinggi yang kemudian hilang menyusul diberlakukannya UU No. 5/1979 tentang sistem pemerintahan desa; para elit adat tampaknya tidak berniat menegasikan eksistensi kepala desa dalam stuktur sosial mereka. Tidak sedikit kepala desa di wilayah pemukiman Sakai sekarang berasal dari komunitas Sakai. Sebab itu, menurut para Batin yang diwawancarai, yang lebih penting adalah bagaimana agar para Batin dan para kepala desa memiliki posisi setara dan membentuk kerjasama menuju tujuan-tujuan yang sama. Harapan orang-orang Sakai adalah bahwa kebanggaan menjadi orang Sakai akan pulih dengan memperkuat peran lembaga adat. Penanda identitas Sakai yang penting adalah memiliki Batin yang otoritatif, yang pada gilirannya dapat mewujudkan kebudayaan orang Sakai yang tertata dan bernilai tinggi serta otonomi bagi masyarakat Sakai.
Agenda jangka pendek perkumpulan ini antara lain sebagaimana diceritakan Yatim adalah penguatan eksistensi LAMSR. Melalui LAMSR, Yatim sedang bergulat untuk mewujudkan program pembangunan rumah adat Sakai di Duri, dan mewujudkan terbentuknya desa Pariwisata Sakai, yang terletak di Kusumbo Ampai. Hal lain yang menurut LAMSR merupakan latar belakang bagi kehadiran kembali perkumpulan ini adalah tidak adanya pengakuan pemerintah atas tanah dan hak-hak tanah lainnya yang menjadi milik masyarakat Sakai. Sebab itu, berjuang untuk mendapatkan pengakuan pemerintah atas hak-hak pertanahan mereka yang sebelumnya dirampas secara paksa oleh pihak luar merupakan agenda utama LAMSR (Wawancara Yatim, 12/10/2005). Memang apa yang sedang dipikirkan Yatim masih menyisakan perdebatan di lingkungan elite perbatinan Sakai, tetapi betapapun hal tersebut merupakan gagasan besar yang penting tidak saja untuk didiskusikan melainkan didukung berbagai pihak sehingga dapat menghasilkan output berupa penguatan identitas kultural masyarakat adat Sakai di masa mendatang.
Bertolak dari pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa KMS menginginkan agar komunitas mereka diperlakukan secara lebih terhormat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki adat istiadat yang kuat dan bernilai tinggi. Para informan dari KMS yang diwawancarai berniat melawan kategorisasi Sakai sebagai kelompok ‘primitif’ dan ‘terbelakang’ yang berkerja untuk menjustifikasi kurangnya partisipasi politik mereka dan marjinalisasi ekonomi yang mereka alami. Memiliki lembaga adat yang diakui, disamping memperbaiki tingkat pendidikan dan porsi orang-orang Sakai yang bekerja di pemerintahan dan lapangan kerja profesional lainnya, dipandang sebagai suatu yang substansial dalam menentang streotip-streotip negatif tersebut.
Di sini kita temukan sebuah upaya dari kalangan KMS untuk mengkontrusi narasi tentang diri mereka sendiri. Memiliki sebuah lembaga adat tampaknya merupakan salah satu cara untuk menunjukkan bahwa KMS benar-benar memiliki struktur yang ‘modern’ untuk menghadapi pelbagai masalah mereka dewasa ini. Hukum tradisional mereka yang sudah ditemukan kembali itu tentu tidak sama persis dengan yang ada dulu. Hukum ini merupakan sebuah kreasi yang relatif baru, —sebuah respon terhadap modernisasi yang kerapkali mengabaikan adat istiadat lama mereka. Melalui usaha keras LAMSR, kami membayangkan citra Sakai di masa mendatang akan berbeda, dalam hal bahwa orang-orang Sakai akan hadir dalam varian yang ‘modern’ sekaligus setia terhadap otentitias kultural mereka.

Kesimpulan
Pemaparan di atas menggaris-bawahi bahwa gerakan kelas menengah tidak mesti ditampilkan aktor-aktor yang hebat sehingga menimbulkan getaran pada struktur politik-kebangsaan. Barangkali konfigurasi KMS tidak seratus persen taat pada konseptualisasi teoritikus sosial kebanyakan saat mendefinisikan terminologi kelas menengah. Hal ini sesungguhnya bukan sesuatu yang patut dirisaukan. Sebab, melansir pandangan Heryanto, tidak ada istilah semacam kelas menengah yang mungkin dapat menunjukkan suatu kenyataan yang statis dan memiliki batasan yang jelas dan nyata (Heryanto:54). Terkadang, gerakan kelas menengah, setidaknya seperti dipresentasikan komunitas Sakai, muncul dari kalangan berbasis ekonomi sederhana dan bergerak dilingkup yang terbatas, tetapi mengingat perjuangan mereka yang sepi pamrih dalam membela hak-hak komunitas, menjadikan kelompok tersebut menikmati status sosial yang relatif lebih tinggi dari mayoritas anggota masyarakat umumnya.
Meski secara nominal merupakan kelompok terbatas, KMS telah melakukan hal-hal yang sepintas sederhana, tetapi menghadirkan akibat-akibat signifikan bagi konstruksi identitas masyarakat mereka secara luas. Menggalang pengumpulan dana beasiswa untuk anggota, menjadi fasilitator atas perayaan-perayaan adat, atau mengadakan pertemuan berkala sembari berdiskusi dengan tema-tema yang tidak berfokus seperti ditampilkan HPPMS; menyelenggarakan pelatihan-pelatihan guna membekali keterampilan anak-anak Sakai sehingga dapat dipekerjakan di perusahaan swasta seperti dilakukan IPSR; atau memperjuangkan penguatan peranan lembaga perbatinan sebagaimana dilakukan LAMSR, sesungguhnya merupakan aktivitas yang sepintas sederhana tetapi telah membidani kelahiran narasi baru tentang identitas Sakai.
Tidak berhenti di situ, anggota KMS pun setia membaca peluang politik yang memungkinkan mereka berpartisipasi dalam proses-proses kebangsaan secara lebih signifikan. Tulisan di atas memperlihatkan, terpilihnya Nurcahaya sebagai camat Pinggir semenjak 2004, tidak lepas dari perjuangan anggota kelas menengah mereka, baik melalui lembaga adat atau perbatinan, organisasi pemuda, —dan dalam batas-batas tertentu mahasiswa Sakai— maupun partisipasi anggota komunitas secara individual. Demikian pula, naiknya Sahrir dan Amril Mukminin; dua anggota komunitas, sebagai anggota legislatif di Bengkalis memang disadari tidak melulu berkat dukungan dari orang-orang Sakai semata. Tetapi, kemampuan tampil di ruang publik dan meyakinkan masyarakat luas akan kompetensi orang Sakai menjadi pemimpin, merupakan bagian kecil dari agenda besar mereka dalam mendefinisikan kembali konstruksi identitas Sakai di hadapan publik.
Apa yang menjadi agenda gerakan KMS agar dapat berpartisipasi dalam proses-proses kebangsaan dengan mendorong sebanyak mungkin pelibatan anggota mereka sebagai salah satu penentu kebijakan politik-kenegaraan, dengan menjadi camat, anggota legislatif, kepala desa ataupun sekedar menjadi pekerja di lembaga pemerintahan atau pun di sektor-sektor swasta, merupakan penanda bagi kehadiran babak baru konstruksi identitas Sakai. Jadi, betapapun secara kuantitatif aktivisme mereka memiliki spektrum terbatas, tidak disangsikan, resonansi akibat gerakan tersebut telah meruntuhkan narasi dominan perihal konstruk identitas Sakai sebagai komunitas yang monolitik: terbelakang, terpencil dan streotip-streotip sejenisnya. Adalah sulit memungkiri bahwa gerakan civil society sebagaimana dipelopori KMS telah memberikan konstribusi berharga bagi proses penciptaan kembali sebuah narasi tandingan tentang identitas Sakai yang telah mengalami modernisasi. [][]



DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Hikmat (ed.), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, (Jakarta: Tifa dan Interseksi Foundation, 2005)
Dumai Pos, 3 Oktober 2005.
Embong, Abdul Rahman, “The Culture and Practice of Pluralism in Postcolonial Malaysia”, dalam The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, Robert W. Hefner (ed.), (United States of America: University of Hawai’i Press, 2001), h. 59-85
Fauzan, Muhammad Uzair, “Politik Representasi dan wacana Multikulturalisme dalam Praktek Program Komunitas Adat Terpencil Kasus Komunitas Sedulur Sikep Bombong-Bacem, dalam Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Budiman, Hikmat (ed.), (Jakarta: Tifa dan Interseksi Foundation, 2005), h. 67-106
Foucault, Michel, Discipline and Punish: The Birt of the Prison, terj. Alan Sheridan, (New York: Pantheon, 1977)
Ghee, Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (ed.), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993)
Gilbert, Bart Moore, Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics, (New York and London: Verso, 2000)
Gramsci, Antonio, Selection from the Prison Notebooks, (New Delhi: Orient Longman, 1996)
Heryanto, Ariel, “Intelektual Publik, Media dan Demokratisasi: Politik Budaya Kelas-Menengah di Indonesia”, dalam Menggungat Otoritarianisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan antara Indonesia dan Malaysia, Ariel Heryanto dan Sumit K. mandal (ed.), (Jakarta: Kompas, 2004), h. 47-116.
Http://www.katcenter.info/
Kahn, Joel S., Culture, Multiculture, Postculture, (London: Sage Publication, 1995)
____, “The Middle Class as a field of ethnological study” dalam Malaysia: Critical Perspektives: Essys in Honour of Syed Husin Ali, M.I. Said and Z. Emby (ed.), (Petaling Jaya: Malaysian Social Science Association, 1996), h. 12-33
Kang, Yoonhee, Untaian Kata Leluhur: Marjinalitas, Emosi dan Kuasa Kata-kata Magi di Kalangan Orang Petalangan Riau, Seri Monograf Pusat Penelitian dan Kebudayaan UNRI, Pekanbaru, 2005.
Kuntowidjoyo, “Muslim Kelas Menengah Indonesia dalam Mencari Identitas: 1910-1950”, dalam Jurnal Prisma, 11/1985, h. 35-51.
Maunanti, Yekti, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, (Yogyakarta: LkiS, 2004).
Nicholas, Colin, “Demi Orang Semai? Negara dan Masyarakat Semai di Semenanjung Malaysia”, dalam Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (ed.), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 109-141
Picard, Michel, “Cultural Tourism, Nation-Building and Regional Culture: The Making of a Balinese Identity”, dalam Tourisme, Etnicity, and the State in Asian and Pacific Societes, Michel Picard and Robert E. Wood (ed.), (Honahulu: University of Hawai Press, 1997)
Rab, Tabrani, Nasib Suku Asli di Riau, (Pekanbaru: Riau Cultural Institute, 2002)
Said, Edward, Orientalism, (New York: Pinguin Book, 1978)
Suparlan, Parsudi, Orang Sakai: di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995)
Topatimasang, Roem (ed.), Orang-orang Kalah, (Yogyakarta: Insist, 2004)
Vickers, Adrian, Bali: A paradise Created, (Australia: Pinguin Books, 1989)
Walia, Shelley, Edward Said dan Penulisan Sejarah, (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Wawancara Abdul Karim (39), Pemuka Adat/Anak Batin Betuah, Duri, 15/10/2005.
Wawancara Anita, (33), Pjs. Kepala Desa Kusumbo Ampai, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.
Wawancara Bosniar, (37), Tokoh Adat dan Ketua Batin Penaso, Jiat Kramat, 12/10/2005.
Wawancara Kasmiati, (32), Kasi PMD Kecamatan Pinggir, Pinggir, 13/10/2005.
Wawancara Muhammad Yatim, (65), Ketua LAMSR, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.
Wawancara Muhammad Afar (54), Ketua RW di Dusun Jiat Kramat, Jiat Kramat, 12/10/2005.
Wawancara Muhammad Naim, (27), Tokoh Pemuda, Kusumbo Ampai, 11/10/2005.
Wawancara Nurcahaya (48), Tokoh Sakai dan Camat Pinggir, Pinggir, 13/10/2005.
Wawancara Suhardi, (35), Ketua Umum Ikatan Pemuda Sakai Riau (IPSR), Duri, 14-15/10/2005.

Tentang Penulis

Muhammad Ansor adalah mahasiswa pascasarjana (doktoral) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, program studi Pemikiran Islam. Lahir di Topang, Bengkalis pada 13 Juli 1976. Selain sebagai Peneliti JSPDL dan Direktur Riset The Riau Institute, aktif pula sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Majlis Sinergi Kalam (Masika) ICMI (2006-2011). Karyanya antara lain Menakar Jiwa Suci: Perjalanan Sufistik Ibn Arabi, (penerjemah karya Ibn Arabi), (Jakarta: Hikmah, 2003); Catur Ilahi: Taktik dan Strategi Memenangkan Pergulatan Hidup, (penerjemah karya Ibn Arabi) (Jakarta: Hikmah, 2003); Rethingking Paradigma Kepemimpinan Riau, (co. editor), (Jakarta: KMPRJ, 2003); Politik Pelembagaan Syariat: Strategi dan Argumentasi PPP, PBB dan PKS di Sidang Tahunan MPR 1999-2000, dimuat dalam Jurnal Ulumuna, IAIN Mataram, Volume IX, Edisi 16, Juli-Desember 2005; Membangkitkan Otonomi Lokal: Dari Sejarah Pembentukan Kabupaten Rokan Hilir Hingga Implementasi Otonomi Daerah, (Pekanbaru: JSPDL, 2006



baca selengkapnya..

hukum ditangan kejaksaan

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, lebih jauh di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Namun kenyataan di lapangan saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap praktisi hukum (Hakim, jaksa, dan advocat) sedang mengalami dekadensi yang hebat, hal ini tercermin dari pola penyelesaian masalah yang dilakukan masyarakat yang cendrung main hakim sendiri, tambahan lagi belum lama ini seorang jaksa yang menangani kasus BLBI tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus penyuapan.

Pola penyelesaian masalah dengan kekerasan menjadi pilihan utama di tengah ketidakpercayaan terhadap aparatur penegak hukum. Pola penyelesaian tersebut sangatlah dipengaruhi oleh pandangan bahwa penyelesaian melalui mekanisme peradilan penuh dengan permainan, ketidakadilan dan ketidakpastian yang bertameng kepastian hukum. Oleh karenanya raut wajah penegakan hukum (law enforcement) yang kian suram ini harus segera dicerahkan dengan melakukan pengawasan yang efektif baik intenal maupun eksternal.

Salah satu element penegakan hukum adalah lembaga Kejaksaan Repubik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang dipilih oleh Presiden. Pada pasal 8 ayat (1) UU No. 5 tahun 1991, dinyatakan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Pengertian jabatan fungsional adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaaan yang fungsinya memungkikan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Mengingat jaksa mempunyai kualifikasi sebagai pejabat fungsional, maka bagi seorang yang diangkat sebagai jaksa harus memenuhi syarat yang lebih dari sebagai pegawai negeri. Jaksa Agung disela penerimaan anugerah MURI untuk Penyelengggaraan Kantin Jujur beberapa waktu yang lalu, menyatakan bahwa beliau telah mememerintahkan Kajari untuk takut berbuat korupsi serta jadi teladan bagi penegakan hukum dan menanamkan budaya malu untuk berbuat salah.

Sebagai pejabat fungsional, maka seorang Jaksa dituntut mampu menunjukkan kualitas yang lebih baik dari seorang pegawai negeri pada umumnya. Bila mana tampilan kualitas yang lebih baik tidak mampu ditunjukkan, maka seorang jaksa dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana ditetapkan dalam pasal 12 huruf d jo pasal 13 huruf b UU No. 5 tahun 1991. Pemberhentian ini dilakukan oleh Jaksa Agung, yaitu dengan cara:

Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatan fungsional Jaksa karena ternyata ia tidak cakap menjalankan tugasnya, misalnya karena ia banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya. Jaksa diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan fungsional jaksa, apa bila ia terus-menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan tugasnya, yaitu apabila ia dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, tidak menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa suatu alasan yang sah. Jaksa Agung telah tertanggal 3 Juni 2008 telah melakukan pecopotan 25 Kajari dari 365 Kajari se Indonesia disebabkan tidak mencapai target program 5-3-1 dalam penanganan kasus korupsi. 5 kasus untuk Kajati, 3 kasus untuk Kajari dan 1 untuk cabang Kajari.

Dalam kerangka pengawasan di lingkup kejaksaan, prihal lembaga yang mengawasi diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 86 tahun 1999 tentang susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan RI, dalam Keppres tersebut disebutkan tentang Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 23 Keppres 86 tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut : ”Jaksa Agung Muda Pegawasan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.”

Tugas dan wewenang Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan dinyatakan dalam pasal 24 Keppres 86 tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut : Dalam melaksanakan tugas serta wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, Jaksa Agung Muda Pengawasan menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan kebijakan teknis pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
b. Perencanaan, pelaksanaan, dari pengendalian pengamatan, penelitian, pengujian, penilaian, pemberian bimbingan, penertiban atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan terutama mengenai administrasi umum, administrasi di bidang kepegawaian, keuangan, perlengkapan, proyek pembangunan, intelijen, tindak pidana umum, tindak pidana khusus, perdata, dan tata usaha negara dilingkungan Kejaksaan serta Pengadministrasiannya;
c. Pelaksanaan pengusutan, pemeriksaan atas laporan, pengaduan, penyimpangan, penyalagunaan jabatan atau wewenang dan mengusulkan penindakan terhadap pegawai Kejaksanaan yang terbukti melakukan perbuatan tercela atau terbukti melakukan tindak pidana;
d. Pemantauan dalam rangka tindak lanjut pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
e. Pembinaan dan peningkatan kemampuan, keterampilan serta integritas kepribadian aparat pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
f. Pembinaan kerja sama dan pelaksanaan koordinasi dengan aparat pengawasan fungsional instansi lain mengenai pelksanaan pengawasan pada umumnya;
g. Pengawasan teknis atas pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang Kejaksaan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;
h. Pemberian saran pertimbangan kepada Jaksa Agung dan pelaksanaan tugas-tugas lain sesuai denga petunjuk Jaksa Agung.

Pelaksanaan fungsi penuntutan yang dijalankan oleh lembaga kejaksaan memengang peranan yang penting dalam menyelesaikan perkara. Dalam hal ini, Jaksa menjadi pihak yang menentukan dalam membawa alur perkara yang masuk ke pengadilan dimana pengajuan dakwaaan, terdakwa dan barang bukti serta alat bukti berada ditangan kejaksaan. Kejaksaan memiliki peran yang besar dalam mencipta alur perkara ke arah pembuktian yang kuat atau lemah dan bermuara pada tingkat kesalahan serta pemidanaan seorang terdakwa.

Pembuatan surat dakwaan memang telah ditetapkan dalam Surat Edaran Jaksa Agung No: SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, sedangkan untuk pembuatan surat tuntutan telah digariskan dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE.001/J.A/4/1995 tentang pedoman Tuntutan Pidana. Apabila merujuk pada SE tersebut diatas selayaknya produk penuntutan yang dihasilkan adalah produk yang sudah melalui proses yang baik. Namun pada faktanya masih banyak surat dakwaan yang lemah dan bolongnya, yang mengakibatkan tersangka akhirnya bebas demi hukum.

Guna mewujudkan lembaga kejaksaan yang akuntabel dan berintegritas tinggi melalui kapasitas kemampuan dalam menghasilkan produk penuntutan agar pelaksanaan fungsi penuntutan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan hukum (legal justice) dan keadilan masyarakat (sosial justice) dalam pelaksanaannya, selain mekanisme pengantian personel kejaksaan tinggi negeri, kejaksaan negeri dan kejaksaan negeri pembantu perlu dilakukan perbaikan sistem pengawasan yang melibatkan masyarakat sehingga masyarakat mengetahui kinerja garda terdepan penegakan hukum di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya.



baca selengkapnya..

korupsi dan hukum islam

Fiqh merupakan bagian dari entitas kehidupan di dunia Islam dan menjadi salah satu subyek dalam pengkajian Islam, baik di Indonesia maupun di dunia pada umumnya. Pengembangan ilmu fiqh berasas pada kesinambungan dan perubahan (continuity and change) bertitik tolah dari ketersediaan dan rumusan kreasi baru untuk memenuhi kebutuhan masa depan.
Fiqh bagaikan lautan yang tidak diketahui tepinya serta memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan umat muslim di seluruh dunia, fiqh diidentifikasi sebagai salah satu dari hukum Islam, yakni sebagai produk penalaran fuqaha yang berasal dari al-Quran dan sunnah. Menurut Abdul Wahab Kallaf fiqh merupakan ilmu tentang hukum syara’ yang bersipat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci. Berdasarkan pengerti ini dapat dijelaskan bahwa al-Quran dan sunnah memiliki kelengkapan aspek yang seluruh kehidupan di dunia ini termasuk persoalan kemasyarakatan, hukum dan moral.
Dalil Al-Qur’an pada dasarnya berisikan prinsip-prinsip pokok yang belum terjabar, aturan-aturannya masih bersifat umum, yang memerlukan pemahaman yang mendasar untuk mengetahui hakikat dari kandungan ayat yang terdapat didalamnya. Dalam hubungan ini ada dua cara yang dilakukan ulama ushul fiqh, pertama memahami nash secara lafzi dan kedua memahami nash secara ma’nawi. Cara pertama adalah berdasarkan kandungan lafadz nash baik melalui mantuq mafhum, khas dan lainnya. Sedangkan cara kedua adalah memahami hakekat nash. . Dalam kajian ilmu fiqh selain dalil yang dimiliki, baik dari Al-Quran, Sunnah, Qiyas, Ijma dan lainnya, keluasan hukum Islam terlihat dari tatacara pengambilan hukum dalam fiqh, yang dikenal dengan qawaid fiqhiyah.
Terkait dengan problema tindak pidana korupsi, sebenarnya fiqh telah membahasnya, dengan konsep risywah dan sejenisnya. Korupsi merupakan kegiatan pencuri yang mengambil uang atau harta negara, perusahaan atau milik orang banyak dengan cara melawan hukum, dengan tindakan itu negara dirugikan keuangannya atau merugikan perekonomian negara. Saat ini banyak sekali kasus tindak korupsi, apalagi kelas kakap yang sukar dituntut oleh jaksa atau lolos dari hukuman majelis hakim dengan berbagai alasan.
Hukuman Jarimah dalam Islam sering disalahartikan oleh sebagian kalangan, ada yang menganggapnya sebagai hukuman yang sadis, kejam, atau melanggar HAM. Jika hukuman potong tangan dianggap melanggar HAM pesalah, bagaimana HAM rakyat atau orang yang uang atau hartanya dicuri? Jika hukuman bunuh dianggap melanggar HAM pembunuh, bagaimana HAM anak isteri dan orang tua dari orang yang dibunuh?. Apalagi korupsi dengan jelas telah melanggar hak orang lain untuk mendapat pelayanan dan kesejahteraan yang layak.
Korupsi identik dengan suap menyuap, yang merupakan perbuatan sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai tatanan atas sistem yang ada di masyarakat, dan menyebabakan terjadi kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan hukum sebagai panutan kehidupan bermasyarakat, sehingga tercipta kekacauan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Tidak heran bila seorang pujangga yang dikutip oleh Yusuf Qardhawy, dengan kata-kata:
Jika anda tidak mendapat sesuatu
Yang anda butuhkan
Sedang anda sangat menginginkan
Maka kirimlah juru damai
Dan janganlah pesan apa-apa
Juru damai itu adalah uang
Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkan sebagai salah satu dosa besar dan dilaknat oleh Allah dan Rasuln-Nya, karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Kondisi ini diibaratkan ketidakadilan yang terjadi terhadap pencari keadilan, banyak pelanggar yang seharusnya dihukum berat justru dibebaskan dan banyak pelanggaran kecil yang dihukum seberatnya.
Suap menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja, tetapi dalam berbagai aktivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadist disebutkan suap menyuap tidak dikhusukan terhadap masalah hukum melainkan bersipat umum seperti “Rasullah melaknat penyuap dan orang yang disuap”.



baca selengkapnya..

hukum pidana korupsi peran berbagai lembaga

Strategi pemberantasan korupsi tidak hanya harus terfokus pada upaya memperbaharui undang-undang yang dimiliki, karena yang demikan hanya bersifat fragmanter, parsial, simptomatik dan represif. Untuk itu dalam upaya pemberantasan korupsi selain melakukan law reform juga dilaksanakan social ekonomic, political, cultural, moral and administrative reform. Ketika berdiskusi dengan teman-teman tentang upaya yang harus dilakukan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, hal yang pertama terlontar adalah potong satu generasi dari umur 6 tahun ke atas, begitulah esktrimnya upaya untuk menciptakan negeri yang bernama Indonesia yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Diskusi kemudian berlanjut bagaimana mungkin anak umur 6 tahun ke bawah dapat hidup tanpa ada yang akan membimbing mereka, ketika seluruh genarasi dewasa telah tiada. Bingung semua peserta diskusi untuk menjawabnya. Lalu upaya apa lagi yang kita harus diharapkan, melalui penegakan hukum masih jauh panggang dari api, kapan masaknya makanan jika jauh dari api, semua peserta tertawa. Sebegitu ironisnya peribahasa penegakan hukum terhadap korupsi, jika pejabat penegakan hukum masih terkontaminasi dengan virus korupsi. Melalui niat baik pemerintah (good will) kapan tumbuh adanya ?, meskipun saat ini sudah ada namun praktek KKN masih tetap merajalela. Kalau begitu harus masyarakat yang memulai untuk memberantas korupsi, bagaimana mungkin jika kondisi masyarakat saat ini masih sangat tergantung dari dana korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat untuk bertahan hidup. Lalu upaya apa dong ?
Generasi saat ini, dari kecil hingga dewasa telah didik untuk bersipat licik, agar dapat memenuhi kebutuhannya, lihat dari dongeng kancil yang sering diminat anak-anak betapa liciknya kancil agar dapat memenuhi kebutuhannya dikala waktu mendesak atau tidak. Ambil satu cerita ketika dia (red. kancil) ingin menyeberangi sungai, apa yang dilakukan oleh kancil? Kancil membodohi buaya agar berbaris sepanjang badan sungai agar dapat dihitung untuk diberikan makanan, ini dilakukkan kancil demi kepentingan pribadi untuk menyeberangi sungai. Masih banyak contoh lain yang mengajarkan generasi muda untuk bersipat licik dan selalu menang dalam kegiatan apapun. Masih banyak pepatah, cerita yang mengajarkan pada anak-anak generasi muda agar dapat melakukan hal-hal licik untuk kepentingan pribadi, tanpa menjelaskan nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita dan pepatah tersebut. Bahkan orang tua hanya berpesan pada akhir cerita jadilah seperti kancil.
Inilah awal dari sikap yang diajarkan kepada generasi muda agar mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan masyarakat, sehingga Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, serta menang dalam hal mementingkan kepentingan pribadi seperti penerapan korupsi, kolusi dan nepotisme. Memerangi korupsi memerlukan proses yang cukup panjang tidak sekedar pewacanaan di tingkat grass root dan elite, pemberantasan korupsi harus dimulai sejak dini bagi generasi muda, dengan memberikan pemahaman moral yang baik yang diajakan di rumah, sekolah maupun lingkungan, dalam menghadapi hidup dan kehidupan ini. Pemahaman ini dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan moral yang mengarah kesatu tujuan yaitu nilai kejujuran serta ditambahkan dengan pengetahuan akan dampak kerusakan akibat keburukan moral bagi suatu bangsa.
Saat ini pemberantasan korupsi hanya bersipat konsep setelah terjadinya tindak pidana korupsi, seperti pendirian lembaga yang berwewenang untuk menangani kasus korupsi selain kepolisian, namun tidak memiliki konsep pencegahan yang baik dan dilaksanakan secara istigomah guna menciptakan generasi muda yang baik yang anti korupsi. Pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh gerakan yang bersipat masif oleh semua element masyarakat baik legislatif, eksekutif, penegakkan hukum, media massa, partai politik, dunia bisnis, mahsiswa, NGO, tokoh masyarakat, badan pengawas dengan meningkatkan kesadaran akan penting Indonesia bebas dari virus korupsi menjadi negara impian bukan negara hayalan.

Langkah Percepatan Pemberantasan Korupsi
Percepatan pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan melaksanakan prinsip good govenance dan clean goverment serta dilakukan berbagai perbaikian dalam pelayanan publik. Dalam prinsip good governace hal yang terpenting adalah terciptanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam bentuk perlibatan masyarakat (partisipatif) dalam setiap kebijakan pemerintah melalui pengawasan.
Langkah percepatan pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan perlibatan masyarakat dalam kebijakan pembangunan pemerintah. Masyarakat bukan hanya dianggap sebagai objek dalam melakukan pembangunan oleh pemerintahan namun lebih kepada mitra pemerintah dalam menciptakan kebijakan. Masyarakat sebagai sistem pengawasan yang akurat karena lebih dekat dengan kebijakan pembangunan yang dilaksanakan serta penerima manfaat sekaligus penerima dampak pembangunan serta masyarakat sebagai pelaksana wajib pajak. Hal inipun telah diatur di dalam Kepres 80/2003 pasal 48 ayat 5: “unit pengawasan intern pemerintah melakukan pengawasan proyek/pembangunan, menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat mengenai masalah dan penyimpangan ………..” dan ayat 6: “pengguna wajib memberikan tanggapan/informasi kepada peserta/masyarakat yang mengajukan pengaduan/yang memerlukan penjelasan” serta ayat 7: “masyarakat yang tidak puas dengan tanggapan atau informasi yang disampaikan dapat mengadukan kepada menteri/penglima TNI/gubernur/bupati/walikota dll”
Selanjutnya sistem tranparansi dan akutabilitas. Transparansi kondisi dimana setiap orang mampu mengakses setiap keputusan dan pelaksanaan yang berkaitan dengan kebijakan publik. Transparansi dilakukan bertujuan agar setiap kebijakan publik yang ditetapkan dapat dikritisi, dianalisa sehingga mendorong lahirnya partisipasi aktif. Lebih jauh lagi akan menumbuhkan sikap trust dari masyarakat yang merupakan pemilik kedaulatan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar. Sedangkan akuntabilitas merupakan sikap tanggung jawab terhadap tugas dan wewenang yang dimiliki oleh masing-masing elemen. Akuntabilitas dapat dilakukan dengan menciptakan moralitas yang baik pada setiap individu baik melalui peranan agama maupun peranan sosial masyarakat dan pelatihan lainnya.
Pelaksanaan Pendidikan sejak dini tentang bahaya korupsi bagi generasi muda. Generasi muda adalah harapan bangsa sehingga perbaikian perilaku generasi muda agar tidak mudah terjangkit virus korupsi merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk menciptakannya. Pelatihan dan gerakan anti korupsi harus mampu masuk ke sekolah sebagaimana yang telah dicanangkan oleh komisi pemberantasan korupsi.
Untuk itu dapat dibagikan peranan bagi setiap lembaga yang ada di negeri ini, namun masih pada upaya bersama dalam pemberantasan korupsi, lembaga tersebut antara lain:

1. PERAN PELEMBAGAAN PEMERINTAH
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam rangka meminimalisir maraknya korupsi antara lain:
a. Pengaturan perundang-undangan, Mengingat korupsi yang begitu luas, juga terkait dengan “economic crime” “organized crime”, “illicit drug trafficking”, “money loundering”, “white collar crime”. “Political crime”, “top hat crime” bahkan masuk dalam “transnational crime”. upaya pemberantasan korupsi dalam peranan lembaga pemerintahan adalah pengaturan perundang-undangan dengan melakukan analisis dan pembenahan integral terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait. Artinya tidak hanya melakukan evaluasi dan pembaruan terhadap UU pemberantasan korupsi yang ada, melainkan juga terhadap perundang-undangan dibidang tindak pidana ekonomi, perbankan, perdagangan, kepabeana, kesejahteraan sosial, politik dan sebagainya. Dalam resolusi kongres PBB ke 8 tahun 1990 direkomenasikan agar anggota memperbaiki peraturan keuangan dan perbankan untuk mencegah mengalirnya modal/dana/simpanan yang berasal dari korupsi.
b. Menjalankan pemerintahan yang transparan, akuntabilitas serta tanggung jawab. Hal ini bertujuan memberikan rasa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sehingga timbul rasa saling memerlukan antara pemerintah dan masyarakat.
c. Memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dalam artikan kebijakan yang diambil oleh pemerintah berdasarkan kepentingan masyarakat. Sesuai dengan tujuan dan fungsi negara sebagai pengayom, pelayanan masyarakat dalam bidang pemerintahan dan pembangunan.

2. PERANAN LEMBAGA PENGAWAS
Lembaga pengawas urat nadi bagi kontral terhadap kegiatan yang telah dilakukan pemerintah, baik tingkat daerah maupun nasional. Hal yang dapat diupayakan oleh badan/lembaga pengawas adalah:
a. Melakukan pengawasan yang mandiri.
b. Memberikan pelatihan bagi lembaga pengawas terkait keahlian dalam bidang keuangan dan pembangunan, sehingga dapat dilakukan pengawasan yang tepat dan baik.

3. PERANAN PENEGAK HUKUM
Lembaga penegakan hukum yang dimiliki oleh Indonesia, antara lain lingkupan peradilan dan pengadilan, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, serta Komisi Pemberantas Korupsi, ditangan lembaga penegak hukum inilah ujung tombak tegaknya kekuasaan kehakiman, upaya yang dapat dilakukan adalah:
a. Kemandirian penegakan hukum, yang terbebas dari kepentingan pihak luar.
b. Peningkatan kemampuan aparat penegak hukum, baik keahlian maupun moralitas dan etika.

4. PERAN SERTA MASYARAKAT
Pentingnya Kontrol dan Partisipasi Publik Bila korupsi sudah sedemikian menggurita dalam birokrasi negara dan telah membudaya dalam kehidupan masyarakat, maka yang paling dirugikan adalah rakyat banyak. Karena sejumlah besar uang yang dikorupsi, hakikatnya adalah uang rakyat. Dan di antara lapisan masyarakat yang paling dirugikan adalah mereka yang jauh dari akses kekuasaan. Uang mereka dikorupsi, sementara mereka tidak mendapat pelayanan yang layak dan memadai dari pemerintah.
Oleh sebab itu rakyat atau masyarakat berhak dan berkewajiban melakukan kontrol untuk menghentikan atau minimal menekan segala bentuk tindakan korup. Kontrol masyarakat (kontrol publik) merupakan senjata ampuh untuk terjun ke medan pertempuran melawan wabah korupsi. Tetapi untuk memenangkan pertempuran melawan korupsi, kontrol publik saja tidaklah memadai. Perlu senjata lain, yaitu partisipasi publik. Fuad Hassan, menyebut kontrol publik dan partisipasi publik sebagai dwitunggal. Dengan kontrol dan partisipasi publik, tindak korupsi bisa ditekan. Partisipasi publik sendiri merupakan syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif. Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi. Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja ditutupi? Ini berarti tidak ada keterbukaan. Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi. Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly”. Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak dilakukan.
Apalagi dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan komoditas politik. Sehingga korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi moral. Dalam keadaan seperti ini, kesadaran politik tentang bahaya korupsi dibangkitkan dan dididik agar mempunyai ghirah memberantas korupsi. Upaya mendidik dan menyadarkan masyarakat ini penting, karena masyarakat yang sadar jelas lebih baik daripada masyarakat yang apatis, yang tidak menyadari atau tidak tahu hak-haknya dan bersikap masa bodoh terhadap segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan yang dilakukan pejabat publik. Sikap masa bodoh ini adalah lahan subur bagi tumbuhnya wabah korupsi.
Pengorganisasian Massa Peter L. Berger (1982) mengatakan bahwa, warga masyarakat yang merupakan sasaran kebijakan publik, harus mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi. Bukan saja dalam hal mengambil keputusan khusus, melainkan juga dalam hal merumuskan definisi-definisi situai yang merupakan dasar dalam pengambilan keputusan-keputusan publik. Untuk itu setelah merancang kampanye dan melakukan survei opini publik, langkah berikutnya dalam upaya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat adalah, melakukan pengorganisasian massa. Ini bertujuan untuk menciptakan tekanan publik terhadap tindak korupsi dengan kekuatan yang ada pada publik itu sendiri.
Langkah awal dalam pengorganisasian massa adalah dengan melakukan studi kebutuhan pengorganisasian massa (publik), khususnya mereka yang menjadi pelanggan layanan publik, dan lebih khusus lagi pelanggan layanan publik yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Adapun langkah-langkah studi tersebut, sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi metode (strategi) pengorganisasian layanan publik berbasis komunitas.
b. Merumuskan desain dan model pengorganisasian pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
c. Merumuskan kerangka kerja pengorganisasian, pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
Adapun langkah-langkah tekhnis untuk melakukan pengorganisasian pelanggan layanan publik adalah sebagai berikut:
a. Membentuk dan menciptakan kontak dengan dan antara pelanggan layanan publik
b. Membentuk jaringan kerja sama antara pelanggan layanan publik dengan masyarakat secara lebih luas.
c. Mengembangkan kepemimpinan masyarakat.
d. Bekerja dengan organisasi masyarakat yang ada

5. PERAN DUNIA PENDIDIKAN
Dunia pendidikan penting bagi upaya pemberdayakan masyarakat dan guna membangkitkan kesadaran mengenai betapa krusialnya persoalan korupsi dan dampaknya yang dilakukannya, karena warga masyarakat yang sadar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang korupsi yang mampu menekan derasnya arus korupsi. Karena itu, kuncinya adalah perlunya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat. Bagaimanakah pendidikan-antikorupsi bagi masyarakat luas itu bisa dilakukan? Dengan langkah-langkah apa saja dan dengan menggunakan sarana apa saja?.
o Dunia pendidikan harus terjaga dari virus korupsi, saat ini dunia pendidikan masih identik dengan korupsi dalam proyek yang dilakukan.
o Tergalangnya opini publik mengenai perlunya pemberantasan korupsi secara sistematik dan integratif dalam kurikulum sekolah.
o Menguatnya partisipasi masyarakat pengguna layanan publik dalam memberantas korupsi



baca selengkapnya..

hukum pidana korupsi peran berbagai lembaga

Strategi pemberantasan korupsi tidak hanya harus terfokus pada upaya memperbaharui undang-undang yang dimiliki, karena yang demikan hanya bersifat fragmanter, parsial, simptomatik dan represif. Untuk itu dalam upaya pemberantasan korupsi selain melakukan law reform juga dilaksanakan social ekonomic, political, cultural, moral and administrative reform. Ketika berdiskusi dengan teman-teman tentang upaya yang harus dilakukan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, hal yang pertama terlontar adalah potong satu generasi dari umur 6 tahun ke atas, begitulah esktrimnya upaya untuk menciptakan negeri yang bernama Indonesia yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Diskusi kemudian berlanjut bagaimana mungkin anak umur 6 tahun ke bawah dapat hidup tanpa ada yang akan membimbing mereka, ketika seluruh genarasi dewasa telah tiada. Bingung semua peserta diskusi untuk menjawabnya. Lalu upaya apa lagi yang kita harus diharapkan, melalui penegakan hukum masih jauh panggang dari api, kapan masaknya makanan jika jauh dari api, semua peserta tertawa. Sebegitu ironisnya peribahasa penegakan hukum terhadap korupsi, jika pejabat penegakan hukum masih terkontaminasi dengan virus korupsi. Melalui niat baik pemerintah (good will) kapan tumbuh adanya ?, meskipun saat ini sudah ada namun praktek KKN masih tetap merajalela. Kalau begitu harus masyarakat yang memulai untuk memberantas korupsi, bagaimana mungkin jika kondisi masyarakat saat ini masih sangat tergantung dari dana korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat untuk bertahan hidup. Lalu upaya apa dong ?
Generasi saat ini, dari kecil hingga dewasa telah didik untuk bersipat licik, agar dapat memenuhi kebutuhannya, lihat dari dongeng kancil yang sering diminat anak-anak betapa liciknya kancil agar dapat memenuhi kebutuhannya dikala waktu mendesak atau tidak. Ambil satu cerita ketika dia (red. kancil) ingin menyeberangi sungai, apa yang dilakukan oleh kancil? Kancil membodohi buaya agar berbaris sepanjang badan sungai agar dapat dihitung untuk diberikan makanan, ini dilakukkan kancil demi kepentingan pribadi untuk menyeberangi sungai. Masih banyak contoh lain yang mengajarkan generasi muda untuk bersipat licik dan selalu menang dalam kegiatan apapun. Masih banyak pepatah, cerita yang mengajarkan pada anak-anak generasi muda agar dapat melakukan hal-hal licik untuk kepentingan pribadi, tanpa menjelaskan nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita dan pepatah tersebut. Bahkan orang tua hanya berpesan pada akhir cerita jadilah seperti kancil.
Inilah awal dari sikap yang diajarkan kepada generasi muda agar mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan masyarakat, sehingga Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, serta menang dalam hal mementingkan kepentingan pribadi seperti penerapan korupsi, kolusi dan nepotisme. Memerangi korupsi memerlukan proses yang cukup panjang tidak sekedar pewacanaan di tingkat grass root dan elite, pemberantasan korupsi harus dimulai sejak dini bagi generasi muda, dengan memberikan pemahaman moral yang baik yang diajakan di rumah, sekolah maupun lingkungan, dalam menghadapi hidup dan kehidupan ini. Pemahaman ini dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan moral yang mengarah kesatu tujuan yaitu nilai kejujuran serta ditambahkan dengan pengetahuan akan dampak kerusakan akibat keburukan moral bagi suatu bangsa.
Saat ini pemberantasan korupsi hanya bersipat konsep setelah terjadinya tindak pidana korupsi, seperti pendirian lembaga yang berwewenang untuk menangani kasus korupsi selain kepolisian, namun tidak memiliki konsep pencegahan yang baik dan dilaksanakan secara istigomah guna menciptakan generasi muda yang baik yang anti korupsi. Pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh gerakan yang bersipat masif oleh semua element masyarakat baik legislatif, eksekutif, penegakkan hukum, media massa, partai politik, dunia bisnis, mahsiswa, NGO, tokoh masyarakat, badan pengawas dengan meningkatkan kesadaran akan penting Indonesia bebas dari virus korupsi menjadi negara impian bukan negara hayalan.

Langkah Percepatan Pemberantasan Korupsi
Percepatan pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan melaksanakan prinsip good govenance dan clean goverment serta dilakukan berbagai perbaikian dalam pelayanan publik. Dalam prinsip good governace hal yang terpenting adalah terciptanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam bentuk perlibatan masyarakat (partisipatif) dalam setiap kebijakan pemerintah melalui pengawasan.
Langkah percepatan pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan perlibatan masyarakat dalam kebijakan pembangunan pemerintah. Masyarakat bukan hanya dianggap sebagai objek dalam melakukan pembangunan oleh pemerintahan namun lebih kepada mitra pemerintah dalam menciptakan kebijakan. Masyarakat sebagai sistem pengawasan yang akurat karena lebih dekat dengan kebijakan pembangunan yang dilaksanakan serta penerima manfaat sekaligus penerima dampak pembangunan serta masyarakat sebagai pelaksana wajib pajak. Hal inipun telah diatur di dalam Kepres 80/2003 pasal 48 ayat 5: “unit pengawasan intern pemerintah melakukan pengawasan proyek/pembangunan, menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat mengenai masalah dan penyimpangan ………..” dan ayat 6: “pengguna wajib memberikan tanggapan/informasi kepada peserta/masyarakat yang mengajukan pengaduan/yang memerlukan penjelasan” serta ayat 7: “masyarakat yang tidak puas dengan tanggapan atau informasi yang disampaikan dapat mengadukan kepada menteri/penglima TNI/gubernur/bupati/walikota dll”
Selanjutnya sistem tranparansi dan akutabilitas. Transparansi kondisi dimana setiap orang mampu mengakses setiap keputusan dan pelaksanaan yang berkaitan dengan kebijakan publik. Transparansi dilakukan bertujuan agar setiap kebijakan publik yang ditetapkan dapat dikritisi, dianalisa sehingga mendorong lahirnya partisipasi aktif. Lebih jauh lagi akan menumbuhkan sikap trust dari masyarakat yang merupakan pemilik kedaulatan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar. Sedangkan akuntabilitas merupakan sikap tanggung jawab terhadap tugas dan wewenang yang dimiliki oleh masing-masing elemen. Akuntabilitas dapat dilakukan dengan menciptakan moralitas yang baik pada setiap individu baik melalui peranan agama maupun peranan sosial masyarakat dan pelatihan lainnya.
Pelaksanaan Pendidikan sejak dini tentang bahaya korupsi bagi generasi muda. Generasi muda adalah harapan bangsa sehingga perbaikian perilaku generasi muda agar tidak mudah terjangkit virus korupsi merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk menciptakannya. Pelatihan dan gerakan anti korupsi harus mampu masuk ke sekolah sebagaimana yang telah dicanangkan oleh komisi pemberantasan korupsi.
Untuk itu dapat dibagikan peranan bagi setiap lembaga yang ada di negeri ini, namun masih pada upaya bersama dalam pemberantasan korupsi, lembaga tersebut antara lain:

1. PERAN PELEMBAGAAN PEMERINTAH
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam rangka meminimalisir maraknya korupsi antara lain:
a. Pengaturan perundang-undangan, Mengingat korupsi yang begitu luas, juga terkait dengan “economic crime” “organized crime”, “illicit drug trafficking”, “money loundering”, “white collar crime”. “Political crime”, “top hat crime” bahkan masuk dalam “transnational crime”. upaya pemberantasan korupsi dalam peranan lembaga pemerintahan adalah pengaturan perundang-undangan dengan melakukan analisis dan pembenahan integral terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait. Artinya tidak hanya melakukan evaluasi dan pembaruan terhadap UU pemberantasan korupsi yang ada, melainkan juga terhadap perundang-undangan dibidang tindak pidana ekonomi, perbankan, perdagangan, kepabeana, kesejahteraan sosial, politik dan sebagainya. Dalam resolusi kongres PBB ke 8 tahun 1990 direkomenasikan agar anggota memperbaiki peraturan keuangan dan perbankan untuk mencegah mengalirnya modal/dana/simpanan yang berasal dari korupsi.
b. Menjalankan pemerintahan yang transparan, akuntabilitas serta tanggung jawab. Hal ini bertujuan memberikan rasa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sehingga timbul rasa saling memerlukan antara pemerintah dan masyarakat.
c. Memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dalam artikan kebijakan yang diambil oleh pemerintah berdasarkan kepentingan masyarakat. Sesuai dengan tujuan dan fungsi negara sebagai pengayom, pelayanan masyarakat dalam bidang pemerintahan dan pembangunan.

2. PERANAN LEMBAGA PENGAWAS
Lembaga pengawas urat nadi bagi kontral terhadap kegiatan yang telah dilakukan pemerintah, baik tingkat daerah maupun nasional. Hal yang dapat diupayakan oleh badan/lembaga pengawas adalah:
a. Melakukan pengawasan yang mandiri.
b. Memberikan pelatihan bagi lembaga pengawas terkait keahlian dalam bidang keuangan dan pembangunan, sehingga dapat dilakukan pengawasan yang tepat dan baik.

3. PERANAN PENEGAK HUKUM
Lembaga penegakan hukum yang dimiliki oleh Indonesia, antara lain lingkupan peradilan dan pengadilan, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, serta Komisi Pemberantas Korupsi, ditangan lembaga penegak hukum inilah ujung tombak tegaknya kekuasaan kehakiman, upaya yang dapat dilakukan adalah:
a. Kemandirian penegakan hukum, yang terbebas dari kepentingan pihak luar.
b. Peningkatan kemampuan aparat penegak hukum, baik keahlian maupun moralitas dan etika.

4. PERAN SERTA MASYARAKAT
Pentingnya Kontrol dan Partisipasi Publik Bila korupsi sudah sedemikian menggurita dalam birokrasi negara dan telah membudaya dalam kehidupan masyarakat, maka yang paling dirugikan adalah rakyat banyak. Karena sejumlah besar uang yang dikorupsi, hakikatnya adalah uang rakyat. Dan di antara lapisan masyarakat yang paling dirugikan adalah mereka yang jauh dari akses kekuasaan. Uang mereka dikorupsi, sementara mereka tidak mendapat pelayanan yang layak dan memadai dari pemerintah.
Oleh sebab itu rakyat atau masyarakat berhak dan berkewajiban melakukan kontrol untuk menghentikan atau minimal menekan segala bentuk tindakan korup. Kontrol masyarakat (kontrol publik) merupakan senjata ampuh untuk terjun ke medan pertempuran melawan wabah korupsi. Tetapi untuk memenangkan pertempuran melawan korupsi, kontrol publik saja tidaklah memadai. Perlu senjata lain, yaitu partisipasi publik. Fuad Hassan, menyebut kontrol publik dan partisipasi publik sebagai dwitunggal. Dengan kontrol dan partisipasi publik, tindak korupsi bisa ditekan. Partisipasi publik sendiri merupakan syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif. Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi. Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja ditutupi? Ini berarti tidak ada keterbukaan. Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi. Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly”. Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak dilakukan.
Apalagi dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan komoditas politik. Sehingga korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi moral. Dalam keadaan seperti ini, kesadaran politik tentang bahaya korupsi dibangkitkan dan dididik agar mempunyai ghirah memberantas korupsi. Upaya mendidik dan menyadarkan masyarakat ini penting, karena masyarakat yang sadar jelas lebih baik daripada masyarakat yang apatis, yang tidak menyadari atau tidak tahu hak-haknya dan bersikap masa bodoh terhadap segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan yang dilakukan pejabat publik. Sikap masa bodoh ini adalah lahan subur bagi tumbuhnya wabah korupsi.
Pengorganisasian Massa Peter L. Berger (1982) mengatakan bahwa, warga masyarakat yang merupakan sasaran kebijakan publik, harus mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi. Bukan saja dalam hal mengambil keputusan khusus, melainkan juga dalam hal merumuskan definisi-definisi situai yang merupakan dasar dalam pengambilan keputusan-keputusan publik. Untuk itu setelah merancang kampanye dan melakukan survei opini publik, langkah berikutnya dalam upaya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat adalah, melakukan pengorganisasian massa. Ini bertujuan untuk menciptakan tekanan publik terhadap tindak korupsi dengan kekuatan yang ada pada publik itu sendiri.
Langkah awal dalam pengorganisasian massa adalah dengan melakukan studi kebutuhan pengorganisasian massa (publik), khususnya mereka yang menjadi pelanggan layanan publik, dan lebih khusus lagi pelanggan layanan publik yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Adapun langkah-langkah studi tersebut, sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi metode (strategi) pengorganisasian layanan publik berbasis komunitas.
b. Merumuskan desain dan model pengorganisasian pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
c. Merumuskan kerangka kerja pengorganisasian, pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
Adapun langkah-langkah tekhnis untuk melakukan pengorganisasian pelanggan layanan publik adalah sebagai berikut:
a. Membentuk dan menciptakan kontak dengan dan antara pelanggan layanan publik
b. Membentuk jaringan kerja sama antara pelanggan layanan publik dengan masyarakat secara lebih luas.
c. Mengembangkan kepemimpinan masyarakat.
d. Bekerja dengan organisasi masyarakat yang ada

5. PERAN DUNIA PENDIDIKAN
Dunia pendidikan penting bagi upaya pemberdayakan masyarakat dan guna membangkitkan kesadaran mengenai betapa krusialnya persoalan korupsi dan dampaknya yang dilakukannya, karena warga masyarakat yang sadar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang korupsi yang mampu menekan derasnya arus korupsi. Karena itu, kuncinya adalah perlunya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat. Bagaimanakah pendidikan-antikorupsi bagi masyarakat luas itu bisa dilakukan? Dengan langkah-langkah apa saja dan dengan menggunakan sarana apa saja?.
o Dunia pendidikan harus terjaga dari virus korupsi, saat ini dunia pendidikan masih identik dengan korupsi dalam proyek yang dilakukan.
o Tergalangnya opini publik mengenai perlunya pemberantasan korupsi secara sistematik dan integratif dalam kurikulum sekolah.
o Menguatnya partisipasi masyarakat pengguna layanan publik dalam memberantas korupsi



baca selengkapnya..

hukum islam tentang korupsi

Korupsi telah mejadi wabah yang melanda hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Walaupun suara anti korupsi telah terdengar sejak berdirinya republik ini, tetapi gejalanya tidak pernah surut dan bahkan semakin menjadi-jadi. Kenyataan ini seharusnya menjadi tamparan umat beragama, khususnya umat Islam yang menghuni moyoritas negeri ini. Korupsi mewabah disebabkan dua hal, yakni kesalahan umat dalam memahami agama, dan ketidaktaatan dalam beragama. Dalam pemahaman, orang memandang bahwa ajaran Islam yang berkaitan dengan korupsi kalah penting dibanding dengan ajaran tentang ibadah. Orang melakukan korupsi lantas pergi haji, atau menyumbang mesjid dan madrasah. Dalam hal ketidaktaatan, orang melakukan korupsi karena menganggap agama tidak penting bahkan menganggap sebagai penghambat tercapainya kepentingan duniawi yang berjangka pendek.
Menilik keyakinan dan realitas yang ada di masyarakat, agama adalah sesuatu yang sangat penting dalam proses pembentukan karakter bangsa. Oleh karenanya sebagai umat mayoritas, menjadi kewajiban bersama menjadikan Islam berfungsi dalam membangun masyarakat yang bersih dari korupsi.
Islam adalah agama yang secara tegas melarang korupsi. Islam melarang mencuri (sembunyi-sembunyi) dan merampok (terang-terangan) baik harta individu, kelompok atau publik. Larangan itu secara formal dirumuskan dalam hukum Islam dan juga akhlaq Islam. Berbicara tentang Islam dan persoalan korupsi tidaklah sulit. Keduanya merupakan hal yang amat berbeda. Islam memberi pedoman dan tuntunan bagi semua orang, selalu berbuat baik, menjauhkan diri dari perbuatan yang merugikan siapapun, supaya selalu memberi manfaat bagi orang lain dan mendekatkan diri pada Allah, agar hidupnya selamat dan bahagia di dunia maupun di akherat. Sebaliknya korupsi adalah tindakan yang dilarang oleh ajaran Islam, karena korupsi merupakan perbuatan merusak, merampas hak orang lain, licik, bohong dan palsu. Korupsi di larang oleh Islam. Rasanya semua orang sudah tahu, bahwa Islam melarang keras perbuatan korup karena merugikan dan sekaligus merusak seluruh tatanan masyarakat.
Islam adalah agama yang mengajarkan kejujuran dan kebenaran. Betapa tingginya nilai kejujuran ini, sampai-sampai Muhammad saw, sejak sebelum diangkat sebagai rasul, ia dikenal sebagai seorang yang jujur dan amanah. Kejujurannya dikenal oleh seluruh masyarakatnya , sehingga ia digelari dengan al Amien, artinya orang yang jujur dan sama sekali tidak pernah bohong. Kejujuran menjadi sendi atau pilar dan bahkan pintu masuk menjadi Islam. Dalam suatu hadits Nabi, Rasulullah suatu ketika didatangi oleh seseorang, menanyakan amalan apakah yang seharusnya dilakukan sehingga ia disebut sebagai seorang Islam yang selamat di dunia dan akherat. Maka dijawab oleh Rasulullah, jangan bohong. Jawaban itu diulang-ulang beberapa kali, untuk memberikan ketegasannya.
Ajaran Rasulullah tersebut jika diimplementasikan dalam kehidupan nyata saat ini, misalnya ada seorang siswa menanyakan tentang ajaran Islam yang pokok dan harus dilakukam kepada gurunya, sebagaimana pertanyaan orang baduwi dalam hadits di atas, maka guru semestinya menjawab bahwa Islam adalah kejujuran, maka jangan berbohong, jangan menyontek, karena tindakan itu adalah tindakan kebohongan. Demikian pula jika seorang pegawai menanyakan hal yang sama kepada ustadznya, maka seharusnya ia menjawab bahwa Islam mengajarkan, kejujuran maka jangan korup. Sama juga jika seorang pedagang menanyakan tentang Islam, maka ustadz atau siapa saja, seyogyanya menjawab bahwa mencari rizki harus memilih yang halal, sebagai seorang Islam jangan bohong dalam melakukan jual beli. Begitu pula, orang-orang yang kebetulan mendapat amanah di mana saja, apakah sebagai guru, dosen, kepala sekolah, rektor, lurah, camat, bupati/wali kota, gubernur, menteri, hakim, jaksa, kepala bank, sampai presiden dan bahkan siapa saja, jika ingin menyandang identitas sebagai seorang penganut Islam, maka seharusnya mereka tidak bohong artinya tidak korup. Sebab, bersikap tidak korup seharusnya dijadikan identitas seorang muslim. Karena Rasulullah mengajarkannya.
Persoalannya, kenapa terjadi korupsi di mana-mana, dilakukan oleh orang yang mengaku sebagai muslim. Tidak sedikit orang mengatakan bahwa korup adalah sebagai kharakteristik masyarakat negara berkembang. Oleh karena itu di manapun sepanjang masyarakat itu belum maju, maka korupsi masih selalu terjadi dan bahkan dalam frekuensi yang tinggi. Oleh karena itu pintu untuk menghilangkan korupsi, tidak ada jalan lain kecuali menjadikan masyarakatnya maju dan modern. Tetapi, secara sederhana kasus-kasus kejadian korupsi di negeri ini, justru dilakukan oleh orang-orang yang telah maju, pejabat tinggi, bergelar panjang baik di depan atau di belakang namanya, pernah belajar di negeri maju di mana saja, maka bagaimana ini bisa diterangkan. Sebaliknya, orang-orang desa yang berpendidikan seadanya, taraf kehidupan ekonominya rendah, tetapi mereka justru jujur, tidak bohong dan juga tidak korupsi. Akan tetapi, sementara orang mengatakan bahwa mereka tidak korupsi, karena tidak memiliki kesempatan untuk korupsi. Jika pandangan terakhir ini dianut maka sesungguhnya, semua orang berpotensi untuk berbuat korup, baik di negeri terbelakang, berkembambang dan negeri maju sekalipun. Di negeri maju, mereka tidak korup karena telah memiliki sistem manajemen dan kontrol sosial yang memadai.
Jika seperti itu halnya, kemudian di mana peran ajaran Islam dalam membangun kehidupan sosial, supaya menjadikan masyarakat bersih dan bebas dari korupsi. Mengikuti hadits nabi di muka dan membandingkannya dengan pendidikan Islam yang selama ini dijalankan, maka rasanya masih ada sesuatu yang perlu ditinjau kembali. Jika misalnya, ada seorang siswa di sekolah menanyakan tentang Islam, apakah guru juga menjawab sebagaimana nabi memberikan jawaban kepada orang Baduwi, dengan jawaban jangan bohong. Atau, menjawab dengan menjelaskan rukun Islam dan rukun Iman. Dengan jawaban itu, guru berharap siswa mengerti tentang Islam. Tetapi apakah terpikir bahwa siswa telah mampu mengaitkan antara rukun Islam dan rukun iman dengan larangan berbohong dan korup. Pelajaran agama Islam di sekolah, biasanya dikemas menjadi beberapa mata pelajaran, seperti pelajaran fiqh, tauhid, akhlak, al Qur’an dan hadits, tarekh dan Bahasa Arab. Sejak awal, para siswa diajari menghafal bacaan sholat, puasa, zakat, haji dan kegiatan yang terkait dengan itu. Tidak jarang kemudian dengan cara itu, siswa menjadi merasa terbebani. Jika saat ini pelajaran agama Islam hanya diberikan dua jam seminggu, dan dianggap tidak mencukupi, maka yang menganggap tidak cukup bukan siswa melainkan guru dan para tokoh agama. Siswa sendiri merasa cukup dan bahkan bisa jadi sudah merasa kelebihan. Saya selalu merenung dan berpikir, jangan-jangan masih ada yang salah menyangkut pelaksanaan pendidikan Islam ini, baik materi, pendekatan maupun kurikulumnya. Islam yang seharusnya menarik, karena berisi ajaran tentang kehidupan nyata sehari-hari yang indah, tetapi keindahan itu tidak tertangkap oleh para siswanya.
Sementara ini, membayangkan alangkah menariknya jika pendidikan Islam tidak saja dikemas dalam bentuk pelajaran tauhid, fiqh, akhlak, al Qur’an dan hadits serta tarekh sebagaimana berjalan selama ini, tetapi terintegrasi dalam semua pelajaran dan bahkan kehidupan sekolah secara keseluruhan. Guru agama tetap diperlukan, tetapi sifatnya sebagai koordinatif, guidance dan kontrol. Agama seharusnya dipandang sebagai keseluruhan kehidupan, mulai yang sederhana misalnya membiasakan para siswa berdisiplin, baik dalam kehadiran, berpakaian, berbicara, bergaul; berlaku jujur dan tidak pernah bohong, saling kasih sayang dan menghormat sesama serta selalu tolong menolong dalam kebaikan. Nilai-nilai Islam diberikan tidak saja oleh guru agama melainkan oleh semua, baik kepala sekolah, guru dan bahkan pembantu atau tukang kebun dan satpamnya sekalipun. Pada setiap saat, guru agama memimpin untuk memakmurkan masjid sekolah, dengan membimbing membaca al Qur’an, berdoa dan sholat berjama’ah. Beberapa hal yang perlu dihafal seperti rukun Islam, rukun Iman, rukun wudhu dan sholat bisa ditempuh melalui ”pujian”yang kumandangkan setiap sebelum sholat dimulai. Cara seperti ini sangat efektif. Jujur saja, menghafal hal-hal tersebut di muka bukan dari guru di sekolah melainkan dari kebiasaan pujian di masjid pada setiap sebelum sholat dimulai. Hanya sayang media belajar yang sangat efektif ini, akhir-akhir ini menghilang, kanya karena diceritakan bahwa pada zaman Rasulullah tidak dilakukan. Media pembelajaran yang sangat efektif ini telah hilang, terjadi di mana-mana. Akibatnya, banyak anak yang tidak memiliki lagi hafalan di luar kepala tentang pokok-pokok ajaran Islam ini.
Jika pendidikan Islam dilakukan seperti itu, yakni terintegratif dan berisi serta masuk dalam seluruh relung kehidupan sekolah, dan apalagi di keluarga masing-masing, maka Islam menjadi sebuah budaya dan bahkan peradaban, yaitu budaya dan peradaban Islam. Islam yang selalu mengajarkan tentang hidup santun, menghargai dan hormat pada orang lain, apalagi kepada orang yang lebih tua apalagi guru dan orang tuanya sendiri; penuh kasih sayang, selalu menghindar dari perbuatan rendah seperti berbohong, tidak jujur, tidak amanah; selalu mendekat pada Allah melalui kegiatan spiritual seperti banyak berdzikir atau ingat Allah, sholat berjama’ah, membaca al Qur’an dan lain-lain, justru Islam akan lebih terasakan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, pendidikan Islam tidak sebatas dimaknai hanya 2 jam pelajaran melainkan seluruh kehidupan ini terwarnai oleh ajaran Islam, jika diakui bahwa Maha Guru adalah Rasulullah, Muhammad saw, bukankah selayaknya dalam menunaikan amanah mulia sebagai guru juga mengikutinya. Rasulullah sebagai Maha Guru, dalam mendidik melakukan kegiatan tilawah, tazkiyyah, taklim dan mengajari tentang hikmah. Melakukan tilawah artinya, ummat manusia diajak untuk pembacaan terhadap jagad raya ini, sehingga melahirkan kesadaran dan sekaligus kekaguman atas ciptaan Allah.
Memahami dan melakukan pendidikan seperti ini, rasanya Islam menjadi benar-benar diperlukan oleh semua dalam kehidupan ini. Hidup menjadi selalu diwarnai oleh kedamaian, kecintaan terhadap sesama, kebenaran dan ilmu pengetahuan. Hidup selalu menjauh dari hal-hal yang merugikan, apalagi merusak orang lain termasuk melakukan korupsi yang sedang ramai dibicarakan dan dibenci oleh semua, karena itu merugikan dan merusak. Pendidikan Islam seperti inilah yang dibayangkan mampu berdampak pada usaha-usaha menjauhkan masyarakat dari perilaku korup. Mereka membenci tindakan korup itu, karena kebenciaan itu dibiasakan sejak di rumah, di sekolah dan di masyarakat. Akhirnya, terjadilah kaitan yang jelas antara pendidikan Islam dengan gerakan anti korupsi sebagaimana yang diinginkan bersama. Allahu a’lam



baca selengkapnya..