Google

Friday, October 23, 2009

KABINET SBY JILID 2

SBY dan Boediono (presiden dan wakil presiden RI) telah membacakan calon menteri Berikut ini adalah nama ke-34 calon mentri dan tiga calon pejabat tinggi tersebut.

1. Menko Politik, Hukum, dan Keamanan: Marsekal TNI Purn Djoko Suyanto
2. Menko Perekonomian: Hatta Rajasa
3. Menko Kesra: Agung Laksono
4. Menteri Sekretaris Negara: Sudi Silalahi
5. Menteri Dalam Negeri: Gamawan Fauzi
6. Menteri Luar Negeri: Marty Natalegawa
7. Menteri Pertahanan: Purnomo Yusgiantoro
8. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia: Patrialis Akbar
9. Menteri Keuangan: Sri Mulyani
10. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral: Darwin Zahedy Saleh
11. Menteri Perindustrian: MS Hidayat
12. Menteri Perdagangan: Mari Elka Pangestu
13. Menteri Pertanian: Suswono
14. Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM: Syarif Hasan
15. Menteri Perhubungan: Freddy Numberi
16. Menteri Kelautan dan Perikanan: Fadel Muhammad
17. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Muhaimin Iskandar
18. Menteri Pekerjaan Umum: Djoko Kirmanto
19. Menteri Kesehatan: Endang Rahayu
20. Menteri Pendidikan Nasional: M Nuh
21. Menteri Agama: Suryadharma Ali
22. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata: Jero Wacik
23. Menneg Riset dan Teknologi: Suharna Surapranata
24. Menteri Sosial: Salim Assegaf Al'jufrie
25. Menneg Lingkungan Hidup: Gusti Moh Hatta
26. Menteri Kehutanan: Zulkifli Hasan
27. Menneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Agum Gumelar
28. Menneg Pendayagunaan Aparatur Negara: E.E. Mangindaan
29. Menneg Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal: Helmy Faisal Zaini
30. Menneg PPN/Kepala Bappenas: Armida Alisjahbana
31. Menneg BUMN: Mustafa Abubakar
32. Menteri Komunikasi dan Informatika: Tifatul Sembiring
33. Menneg Perumahan Rakyat: Suharso Manoarfa
34. Menneg Pemuda dan Olahraga: Andi Mallarangeng

Pejabat Setingkat Menteri
kepala unit kerja presiden : kuntoro mangkusubroto
Kepala BIN: Jenderal Pol Purn Sutanto
Kepala BKPM: Gita Wirjawan

baca selengkapnya..

Wednesday, October 21, 2009

MENTRI KABINET SBY

SBY dan Boediono (presiden dan wakil presiden RI) telah membacakan calon menteri Berikut ini adalah nama ke-34 calon mentri dan tiga calon pejabat tinggi tersebut.

1. Menko Politik, Hukum, dan Keamanan: Marsekal TNI Purn Djoko Suyanto
2. Menko Perekonomian: Hatta Rajasa
3. Menko Kesra: Agung Laksono
4. Menteri Sekretaris Negara: Sudi Silalahi
5. Menteri Dalam Negeri: Gamawan Fauzi
6. Menteri Luar Negeri: Marty Natalegawa
7. Menteri Pertahanan: Purnomo Yusgiantoro
8. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia: Patrialis Akbar
9. Menteri Keuangan: Sri Mulyani
10. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral: Darwin Zahedy Saleh
11. Menteri Perindustrian: MS Hidayat
12. Menteri Perdagangan: Mari Elka Pangestu
13. Menteri Pertanian: Suswono
14. Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM: Syarif Hasan
15. Menteri Perhubungan: Freddy Numberi
16. Menteri Kelautan dan Perikanan: Fadel Muhammad
17. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Muhaimin Iskandar
18. Menteri Pekerjaan Umum: Djoko Kirmanto
19. Menteri Kesehatan: Endang Rahayu
20. Menteri Pendidikan Nasional: M Nuh
21. Menteri Agama: Suryadharma Ali
22. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata: Jero Wacik
23. Menneg Riset dan Teknologi: Suharna Surapranata
24. Menteri Sosial: Salim Assegaf Al'jufrie
25. Menneg Lingkungan Hidup: Gusti Moh Hatta
26. Menteri Kehutanan: Zulkifli Hasan
27. Menneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Agum Gumelar
28. Menneg Pendayagunaan Aparatur Negara: E.E. Mangindaan
29. Menneg Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal: Helmy Faisal Zaini
30. Menneg PPN/Kepala Bappenas: Armida Alisjahbana
31. Menneg BUMN: Mustafa Abubakar
32. Menteri Komunikasi dan Informatika: Tifatul Sembiring
33. Menneg Perumahan Rakyat: Suharso Manoarfa
34. Menneg Pemuda dan Olahraga: Andi Mallarangeng

Pejabat Setingkat Menteri
kepala unit kerja presiden : kuntoro mangkusubroto
Kepala BIN: Jenderal Pol Purn Sutanto
Kepala BKPM: Gita Wirjawan

baca selengkapnya..

Wednesday, October 7, 2009

tindak pidana korupsi dimata anak-anak

KORUPSI YANG TIDAK BAIK
By : Anastasia Dearni Artha Gultom

Saya tidak suka. Korupsi itu tidak baik. Salah satu orang pasti pernah korupsi. Kamu juga pernahkan? Tapi, kalian jangan melestarikan korupsi. Korupsi itu akan kita musnahkan. Dalam rangka HUT Kemerdekaan RI, ayo!! Kita lawan korupsi. Dan juga kamu jangan lupa, kalau kamu korupsi, kamu juga sama-sama berdosa. Kita berantas korupsi!! Orang yang suka korupsi itu disebut koruptor. Kalau semua orang menjadi koruptor, bumi akan hancur. Jangan mencoba korupsi. Korupsi itu adalah perbuatan yang tidak baik. Korupsi adalah perbuatan yang merugikan diri sendiri serta orang lain. Korupsi adalah perbuatan yang merampas uang orang lain. Korupsi ada bermacam-macam. Ada korupsi uang, ada korupsi waktu, korupsi makanan dan lain sebagainya.
Kita sudah paham arti korupsi. Kalian harus lestarikan kedamaian, kesejahteraan di Indonesia kita ini. Dan kalian juga jangan bersekutu dengan koruptor. Koruptor itu hanya ingin merampas uang kita! Kita jangan tertipu dengan sang koruptor. Koruptor menghabiskan uang, dan waktu kita! Jangan kalian melupakan masa depan Indonesia, negara kita.
Damaikan Indonesia. Lestarikan Indonesia. Sejahterakan Indonesia! Bersihkan kota dari koruptor. Kita benci koruptor!!! Jika kalian benci koruptor, tunjukkan!!!! Kalau begitu bagaimana caranya? Kau pasti sudah tahu. Jawabannya ada di atas. Kalian berantas korupsi, lawan korupsi. Jangan menjadi sebaliknya. Lestarikan alam kita. Musnahkan korupsi dan koruptor. Ingat, korupsi itu tidak baik, korupsi itu merugikan. Ayo!!!! Lawan Korupsi!!!!


KORUPSI MEMAKAN HARTA RAKYAT
By : M. Jaya Aji Bima Sakti

Assalammu’alaikum wr. wb. Selamat merayakan HUT RI ke 61, semoga Indonesia tetap jaya, damai, sentosa, amin!!!
Dewan juri yang terhormat, perkenalkan saya Bima Sakti untuk mengikuti lomba mengarang, sekaligus merayakan HUT RI ke 61, dengan tema “Ayo Lawan Korupsi”.
Saya sering mendengar nama korupsi, setiap hari bahkan di televisipun ada yang bilang jangan bilang Indonesia sudah merdeka, selama korupsi masih merajalela, korupsi membuat kepedulian kita sirna.
Para korutor tidak pernah melihat bagaimana para rakyat menderita. Para rakyat kecil tinggal di bawah kolong jembatan, di tepi pantai dan sebagainya. Seharusnya para koruptor harus ditangkap dang diadili karena telah memakan uang rakyat. Dia tidak melihat rakyat kecil, sedangkan dia tinggal di istana yang megah, dengan uang haram. Mereka semua harus diadili dengan keadilan yang benar. Seandainya para koruptor itu tidak ada mungkin Indonesia tidak akan terkena musibah, dan bencana. Saya melihat Indonesia menerima bencana dimana-mana, orang yang tidak bersalahpun menerima azabNya. Orang-orang banyak yang meninggal, kasihan mereka yang tidak bersalah.
Demikian pernyataan saya tentang korupsi, semoga ini semua dapat bermanfaat. Assalammu’alakum warahmatullahi wabarakatu

KAMI BENCI KORUPSI
By : Sandi Eka

Suatu hari ada seorang koruptor yang memakan uang negara, kalian tahukah apa itu korupsi, korupsi itu adalah orang yang mengambil/memakan uang orang lain. Seperti menteri-menteri yang memakan uang rakyat Indonesia, makanya orang negara kita yang banyak dihukum selama 5 tahun atau sampai mati.
Apakah kalian suka korupsi? Tentu saja tidak, kamipun tidak suka kepada orang-orang yang memakan uang rakyat. Pasti mereka itu tidak hanya mendapat hukuman di dunia maupun di akhirat. Kasihan ya orang yang dikorupsi, pasti mereka sekarang lagi kesusahan menghadapinya, apalagi orang-orang yang keluarganya yang sangat banyak dari 5-12. Jadi kita tidak boleh memakan uang rakyat, kan Indonesia ini juga negara kita. Tidak boleh menenggelamkan negara kita. Kalian mau negara kita dijajah oleh Belanda dan Jepang lagi. Jadi kita harus menjaga tanah air kita dan jangan mengorupsi negara kita. Kita tidak boleh memakan uang orang lain, seperti kita disuruh membeli satu sabun, sikat gigi, pepsodent dll. Uang yang dikasi Rp. 10.000,- dan harga semuanya adalah Rp. 7.500,- dan kita hanya mengembalikannya Rp. 1.000,- Apakah itu korupsi? Ya itu korupsi. Saya tidak mau melakukan korupsi, kami benci. Korupsi adalah perbuatan yang tercela, kalian mau masuk neraka atau surga. Saya hanya pingin masuk surga dari pada masuk neraka. Kalau masuk kita surga semua akan nyaman, makanya tidak boleh melakukan sifat tercela. Kita harus menyukuri apa yang diberi Allah kepada kita. Kita harus menyadari semuanya karena semua ini milik Tuhan.



AYO LAWAN KORUPSI
By : Reta

Sekarang banyak masalah-masalah social yang terjadi dikarenakan pemerintah kita kurang tegas melakukan tugas-tugasnya. Contohnya sudah banyak kita lihat misalnya anak-anak putus sekolah, gelandangan-gelandangan di jalanan, ini diakibatkan pemerintah yang berjalan tidak baik dan masalah-masalah ini tidak habis-habisnya serta banyaknya kasus korupsi yang memakan uang negara seenaknya saja dan korupsi itu sangat merugikan uang negara dan membuat negara serba kesusahan dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang pembangunan.
Sampai kapan negara kita Republik Indonesia dapat bertahan dari orang-orang yang memakan uang negara seenaknya saja dan seharusnya hokum dapat ditegakkan oleh pemerintah agar koruptor patuh pada hokum yang berlaku. Dan nama baik Indonesia tidak akan tercemar karena kasus korupsi dan negara kita maju. Maka dari itu mari kita berantaskan korupsi supaya negara kita maju dan tidak ada lagi kasus korupsi yang merugikan uang negara dan memakan uang itu seenaknya saja dan mari kita bersihkan negara kita agar maju dan menjadi negara yang kaya dan tidak ada lagi kata-kata korupsi karena korupsi itu perbuatan yang tercela.



JANGAN ADA LAGI KKN
By : Jekson Pangabean

Saya paling benci dengan namanya KKN. Kenapa dari tahun ke tahun masih ada saja KKN, dan kenapa negara/masyarakat jadi susah berbelanja dan juga minyak semakin susah dan langka saja. Saya hanya berharap kepada yang di atas sana supaya menghentikan dan memahami agar KKN tidak ada lagi dan masyarakat negara Indonesia bisa bebas lagi dari yang namanya KKN. Semoga Pak SBY juga dapat membantu masyarakat yang kurang mampu agar dapat membantu membasmikan. KKN banyak memakan uang masyarakat dan uang negara banyak yang habis karena KKN. Semoga Pemerintah Kota/Wakil Kota dapat membantu memberantas KKN yang merajalela saja.
Oya saya hanya berharap kepada pemerintah mau membantu masyarakat yang miskin supaya bisa lagi hidup senang dan KKN tidak ada lagi. KKN adalah pemakan uang negara/rakus akan keuangan. KKn sekarang sudah menjadi merajalela. Stop KKN dan hentikan sekarang juga, jangan sampai KKN ada lagi.
Ya mudah-mudahan saja KKN/korupsi ngak ada lagi di Indonesia. Seperti halnya KKN/korupsi bisa saja menyogok masyarakat mau menerima uang KKN supaya mau membantu menegakkan KKN di Indonesia. Dari tahun ke tahun dari 2000 yang lalu sampai 2006 sampai sekarang KKN bertambah saja.



AYO LAWAN KORUPSI
By : Putri Oktaviany

Pada dasarnya korupsi itu terbagi 2 bagian : 1. Korupsi waktu, 2. Korupsi dana/uang. Yang dimaksud korupsi waktu adalah yang merugikan waktu pekerjaan. Contohnya : Seorang pegawai yang biasa pergi bekerja jam 8 dan pulang jam 5 sore dan ternyata pegawai tersebut melanggar peraturan tersebut dari pergi jam 9 dan pulang jam 3 siang.
Yang dimaksud dengan korupsi keuangan adalah yang merampas uang Bank, contohnya membuat bon kosong, seorang pembeli membeli sebuah kayu dan yang penjual dibuat ya 2 buah kayu.
Dan penjual itu sekarang berhidup mewah dengan keluarganya. Tetapi Susilo Bambang Yudoyono sekarang tidak ada yang berbuat begitu pengadilan yang memutuskan di penjara selama delapan tahun atau sembilan tahun di penjara, tetapi kita harus mendekati iman.



AYO LAWAN KORUPSI
By : Risna Erpina

Saya paling benci yang namanya korupsi karena korupsi banyak menyebabkan negara atau masyarakat menjadi rugi. Korupsi sudah ada tahun ke tahun karena itulah negara semakin miskin untuk lambat berkembang dan susah. Ayo lawan korupsi negara kita harus maju dan menang karena korupsi banyak mengambil uang negara, kita harus mengalahkan korupsi lawanlah korupsisupaya bangsa kita menjadi menang. Korupsi adalah hutan ditebang, banyak anak-anak menjadi gelandangan.
Kita sudah mengerti korupsi, karena itu kita harus membanggakan negara kita menjadi sejahtera dan damai, jangan heran kalau korupsi disebabkan banjir.
Saya berharap kepada orang yang di atas sana agar jangan menimbulkan korupsi. Saya berharap kepada pemerintah untuk mempertegas untuk tidak ada lagi korupsi. Stop Korupsi.



AYO LAWAN KORUPSI
By : Rama Setiaji

Korupsi itu tindakan yang tidak baik karena itu tindakan yang buruk, misalnya kita disuruh belanja oleh ibu, ibu menyuruh kita membeli membeli sabun, harga sabun itu seharga tiga ribu rupiah kita bilang duaribu rupiah, tentu ibu kita marah, korupsi itu sangat buruk, Allah sangat marah dengan orang yang korupsi itu. Karena orang yang korupsi uang itu akan dibenci oleh Allah. Allah akan menghukum dia di api neraka. Hancurkan korupsi itu karena korupsi itu memalukan negara Indonesia. Karena kalau kita korupsi akan memalukan diri sendiri. Ibu kita akan marah sama kita. Karena kita telah membohongi ibu kita. Masyarakat akan marah dengan orang yang korupsi itu, karena dia sudah lama korupsi.



AKU BENCI KORUPSI
By : Nengsi

Di Indonesia sering masyarakat mengambil uang rakyat. Karena itu Indonesia harus memberhentikan korupsi. Selain itu masyarakat bisa jatuh miskin. Karena itu masyarakat Indonesia tidak boleh mengambil uang Indonesia. Karena itulah aku benci korupsi. Setelah itu saya juga benci kalau Indonesia jatuh miskin. Apalagi masyarakat tidak dapat makan dan tidak dapat mempunyai tempat tinggal. Dan korupsi itu tidak baik.



BERSIHKAN NEGERIKU
By : Lisa Lusiana

Bersihkan negeriku dari koruptor dan negeriku akan selalu aman dari korupsi dan makmur. Korupsi itu tidak dilakukan di negeriku dan rakyat lain. Korupsi itu tidak baik dan bagi siapa yang melakukannya dia akan dibalas oleh Tuhan dan oleh orang lain. Dosa itu akan didapatkannya di akhirat nanti dan kan mendapatkan dosa yang sebanyak-banyaknya. Dan korupsipun akan hancur dari negeriku dan yang lain. Korupsi akan dimusnahkan dari negeriku , negeriku aman, makmur dan sentosa.
Semua akan dimusnahkan oleh Tuhan bahwa Tuhanlah yang maha kuasa di dunia ini. Tuhan yang menciptakan ini, kita tidak boleh menyia-nyiakannya selagi kita ada di dunia. Kalau kita meninggal dunia kita akan meninggalkan dunia ini. Korupsi itu akan dihancurkan seperti apa kita akan dihancurkan oleh Tuhan kapan Ia mau. Kita bisa saja menghancurkan korupsi selagi kita hidup di dunia, dunialah yang memberi kehancuran dunia. Dunia ini penuh dengan kehancuran dan kemusnahan bumi akan pecah dan menghancurkan apa yang namanya korupsi itu, dan semua isi ini akan hancur lebur. Kita harus melawan korupsi itu yang bisa merusak pikiran kita untuk berbuat jahat kepada orang lain dan akan berbuat kejahatan di dunia ini untuk selama-lamanya.


KATEGORI SMP

KORUPSI MEMBUAT BANGSAKU MENDERITA
By : Shinta Dwi Putri

Aku adalah anak seorang PNS. Aku dibesarkan dalam kehidupan yang sangat sederhana. Dahulu sebelum korupsi merajalela hidupku lebih lumayan dibanding saat ini. Kini korupsi telah merajai dunia. Apalagi di negeriku yang katanya kaya ini. Tapi aku tidak merasakan kekayaan negeriku ini. Aku hidup dalam serba kekurangan. Mengapa korupsi tidak mau toleransi kepada rakyat kecil ini?
Banyak orang menderita karena tikus berdasi yang kelaparan, yang mengambil hak orang lain. Aku benci kau tikus berdasi, gayamu seperti pejabat yang harus dihormati. Tapi tingkah lakumu hanya sebagai maling yang belum ketahuan kedoknya. Aku do’akan semoga kau mati ditembak petir, ditabrak kereta api, semoga cepat terlaksana.
Banyak pengemis yang kelaparan gara-gara hartanya kau rampas dan kau simpan di bank dunia. Hai koruptor, kalau kau sudah kenyang, berhentilah! Kami juga pingin makan yang kenyang dan tidur yang nyenyak. Kalau kau tidak berhenti juga, kelak kalau aku sudah besar nanti, aku bercita-cita menjadi penembak misterius untuk menembak koruptor seperti kamu.


BERANTASLAH KORUPSI
By : Vivie

Temuan lembaga penelitian mengenai korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, mengumumkan bahwa lembaga peradilan Indonesia setelah Peru dan Kamerun. Ini dibuktikan oleh beberapa media yang memberitakan hasil jajak tersebut yang dilakukan oleh lembaga paling bergengsi, yaitu Gallub yang dilaksanakan di 47 negara dengan responden 40 responden ditahun 2003.
Temuan ini tidaklah hal yang mengejutkan karena lembaga peradilan adalah lembaga negara yang tidak bersih korupsi. Dulu kita mengecam bahwa pemerintah Orde Baru adalah yang korup. Oleh karena itu banyak upaya yang dilakukan agar pemerintah orde baru jatuh.
Setelah orde baru jatuh kenyataannya presiden Abdul Rahman Wahid sampai saat ini tetap belum bisa membuat supremasi hokum yang kokoh. Persoalannya, tindak pidana korupsi dari waktu ke waktu sangat sulit diberantas.
Kotrupsi itu ibarat kanker dalam proses pembangunan, dan juga mengakibatkan anggaran defisit, menghambat investasi yang sehat, membuat sakit hati masyarakat miskin yang menderita. Mengakibatkan segi-segi pelayanan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan pangan yang cukup terabaikan.
Ada beberapa cara untuk memberantas korupsi, diantaranya membuat manajemen keuangan publik yang baru, memberi pelatihan kepada penyelidik dan hakim untuk membongkar korupsi, bekerja sama dengan dalam memberantasi korupsi di setiap negara, meningkatkan keimanan penyelidik dan hakim dalam mengatasi korupsi atau kejahatan.
Seandainya upaya atau cara tersebut dapat dilakukan dengan baik setidaknya korupsi dapat diberantas dan kehidupan berbangsa dan bernegara akan lebih baik dari sebelumnya.
Berantaslah korupsi sampai ke akarnya! Tegakkanlah keadilan dan kejujuran di negara ini! Buatlah mereka tersenyum kembali dan bangga terhadap negaranya maupun pemerintahannya! Cukuplah penderitaan mereka, janganlah engkau membebankan lagi!


HENTIKAN KORUPSI DARI NEGARA INDONESIAKU INI
By : Aulia Tari

Korupsi dapat menghancurkan negara Indonesia ini. Indonesia negara terkorup nomor 3 di dunia. Jadi marilah kita bersama-sama memberantas korupsi dari tengah-tengah masyarakat dan negara ini.
Banyak hal yang tidak kita inginkan dari korupsi tersebut, yaitu :
1. Banyaknya hutang negara.
2. Banyaknya gelandangan yang tidak bertempat tinggal
3. Banyaknya rakyat miskin dan mati kelaparan karena korupsi yang merajalela.
Rakyat kecil hanya bisa menjerit dan menangis kepedihan hati karena orang yang memakan uang negara (koruptor), sedangkan orang yang korupsi bisa tertawa dan tersenyum lebar dengan hasil uang yang dapat merugikan orang lain.
Pemerintah harusnya sadar atas perbuatannya yang keji, tidak bertanggung jawab atas negara dan hanya bisa memakan dan menambah harta kekayaan dengan cara haram. Mereka tidak pernah sadar dan memikirkan rakyat kecil. Yang selalu menangis atas nasib yang dimilikinya. Maka dari itu saya meminta kepada penerus bangsa agar mau bekerja keras untuk menjadikan Indonesia negara yang adil, makmur dan bebas dari korupsi.
Saya juga bertanya-tanya mengapa di Indonesia bisa terjadi korupsi. Padahal Indonesia telah dikatakan merdeka. Kalimat seperti dibawah inilah yang menjadi tanda Tanya!!!
1. Mengapa Indonesia bisa terjadi korupsi, apa karena rakyat Indonesia tidak mensyukuri???
2. Apakah korupsi hanya terjadi di Indonesia saja???
3. Kapankah korupsi mulai terjadi di Indonesia???
4. Bagaimanakah korupsi terjadi pertama kali???
5. Dimanakah korupsi pertama kali terjadi???
6. Berapa lamakah rakyat Indonesia akan menunggu kesadaran pemerintah???
Saya tidak mau melihat negara saya hancur. Tapi saya mau melihat negara saya menjadi negara yang adil, nyaman, tentram dan bebas dari korupsi!!! Negara Indonesia Merdeka!!! Yes, Korupsi!!! No, Prestasi!!! Yes


KORUPSI URUSAN SIAPA?
By : Nesty Pratiwi Ramadini

Korupsi, satu hal yang tidak dapat dari suatu bangsa. Mustahil jika ada suatu bangsa yang tidak menemukan korupsi di negaranya. Korupsi adalah satu dari tiga penyakit yang sering mewabah di negara-negara berkembang, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), seperti di negar kita ini. Mengapa di negara-negara berkembang? Jawabannya adalah karena di negara-negara berkembang banyak memiliki program-program pengentasan masalah, seperti masalah kemiskinan. Mereka akan dengan mudah mengatas namakan pengentasan masalah untuk mendapatkan dana dan tentunya menyelewengkan dana tersebut. Atau mereka dapat dengan sengaja mengelembungkan anggaran-anggaran yang direncanakan. Yang jelas mereka memiliki 1001 macam cara untuk mengelabui rakyat.
Korupsi tidak hanya dapat diartikan dengan menggelapkan uang negara. Memanfaatkan kedudukannya untuk memeras dan memberi jaminan kepada orang lain juga dapat diartikan sebagai korupsi. Atau yang lebih kita kenal dengan suap-menyuap. Sering kali kita dengar bahwa seorang koruptor berdalih bahwa hadiah atau pemberian itu adalah sebagai tanda rasa terima kasih dari orang lain karena telah menyelesaikan masalahnya. Namun sebenarnya itu telah menyalahi aturan.
Sebagai negara yang memiliki peringkat tiga besar di dunia sebagai negara yang kasus korupsinya paling banyak, Indonesia perlu meningkatkan upayanya dalam memberantas korupsi. Para ahli mengatakan bahwa menyontek atau mencuri dapat berakibat panjang. Kebiasaan ini dapat memicu kita untuk melakukan tindak pidana korupsi. Karena menyontek, mencuri dan korupsi sama-sama mengabil hak orang lain. Jadi kita haris menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk ini.
Selain itu peran aktif dari pemerintah juga penting. Kita tahu pemerintah juga telah membentuk suatu badan untuk memberantas kasus-kasus korupsi di negara kita ini, yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Badan ini telah banyak membongkar kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Namun jumlahnya belum banyak dan maksimal. Hal ini di karenakan satu kasus korupsi banyak melibatkan saksi dan pelaku, yang menyebabkan waktu yang cukup lama membongkarnya.
Walau begitu ini merupakan titik terang untuk jenjang berikutnya. Setidaknya kita telah berani melakukannya. Kita hanya perlu mengantisipasinya agar tidak terjadi dengan kita. Karena kita masih kecil dan belum cukup umur untuk mencampuri urusan negara. Biarlah para petugas-petugas yang berwenang yang mengurusinya. Dan dukungan penuh dari masyarakat untuk menyerahkan tugas itu kepada para petugas, dengan berpikiran positif kepada mereka, dengan kepercayaan yang tinggi.




AYO BERANTAS KORUPSI
By : Yuli Efianita

Siapa sih yang ga tau dengan korupsi? Dan dimana-mana yang namanya korupsi itu ga ada yang rakyat kecil. Maksudnya, kenapa sih yang udah dikasih kepercayaan untuk memimpin kok jadi mengambil hak orang/rakyat. Disini banyak rakyat menderita, kelaparan, bahkan kenapa ada yang sampai mengemis demi sesuap nasi.
Apakah yang korupsi itu tidak berfikir apa dampak yang terjadi jika ia melakukan yang namanya korupsi!!! Memang jika orang yang korupsi mana ada yang mikirin rakyat lainnya. Menurut istilahnya sekarang itu dipakai “hukum rimba”. Dimana yang kuat, dia yang menang, dan yang kalah matilah dia. Kenapa tidak dipakai saja hokum-hukum yang berlaku. Percuma adanya pihak yang berwajib!!! Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau.
Kenapa rakyat biasa yang hanya memaling ayam harus dikenakan sangsi. Tapi kenapa manusia-manusia yang udah korupsi bermilyar-milyar dibebasin gitu aja. Ini ga adil namanya. Apa itu keadilan!!! Dimana letak keadilan itu!!! Rakyat biasa memaling seekor ayam hanya untuk keluarga. Tidak semua maling itu melakukan hal-hal itu karena kemauan mereka sendiri. Tidak semua!! Demi keluarga mereka mau menanggung malu (aib keluarga), dipenjara, diamuk massa.
Tapi orang yang sudah korupsi bagaimana??? Bagi saya sebuah tanda Tanya besar itu!!! Kenapa yang korupsi itu tidak diberi sangsi, yang sama dengan halnya rakyat biasa. Makanya perut yang korupsi itu ga ada yang ga buncit gitu lhoooh!!! Gimana tidak memakan hak yang bukan haknya. Memakan duit haram!!! Kenapa sih ada yang namanya “KORUPSI”??? Apa ga ada nama yang baik dari korupsi?? Apa ga ada perlakuan yang lebih dari yang namanya korupsi?? Itulah penyakit dimana mungkin ga ada obatnya. Kenapa uang korupsi itu tidak digunakan para manusia-manusia itu untuk kebaikan saja!!! Ya hitung-hitung ngurangi dosa, gitu!!! Tapi jangan sampai!! Dimana-mana yang namaya duit haram, ya tetap aja duit haram!!! Lagian yang korupsi bukannya orang miskin atau melarat, melainkan orang-orang yang sudah menjabat ataupun pejabat tinggi. Mungkin ga puas kali ya dengan apa yang udah dia dapat.
Korupsi, korupsi… kenapa sih kamu jahat…!!! Dasar korupsi jahat!!! Lain kali kalau mau menyruh manusia-manusia ini korupsi, jangan pejabat aja dong!!! Rakyat miskin tuh!!! Ya Tuhan hapuslah yang namanya “korupsi”.Tiadakanlah korupsi dimuka bumi ini!!! Ammiieeen…!!! Mudah-mudahan orang yang sudah korupsi itu mendapat apa yang udah mereka perbuat.
Pergilah korupsi, jangan kembali lagi. Korupsi itu menyebabkan banyak banget orang-orang yang menderita karena yang namanya korupsi. Bagi orang-orang yang udah korupsi, cukup hanya tuhan yang mengetahuinya. Kenapa sih orang yang udah korupsi ga dihukum juga!!! Kan kasihan yang udah ke hokum juga?? Bayangin aja, bermilyaran uang yang udah diambil sama para manusia-manusia yang korupsi. Orang yang mengambil uang yang hanya Rp. 100.000,- di rumah orang, mungkin aja udah dilaporin ke Polisi dan dipenjara!!! Sedangkan yang lebih dari itu biasa-biasa aja.”Mari bersama-sama kita berantas yang namanya korupsi”, Tapi gimana caranya…???



SAYA TIDAK SUKA DENGAN ADANYA KORUPSI DI INDONESIA
By : Githa Fitria

Saya tidak suka dengan adanya korupsi di Indonesia Karen adengan adanya korupsi di Indonesia rakyat miskin akan mendapatkan kesusahan dan tidak sanggup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Korupsi itu adalah penyakit hati yang tidak bisa dihilangkan dari pikiran kita. Menurut saya korupsi harus diberantas dengan menemukan atau mencari biang kerok atau koruptornya.
Korupsi di negara Indonesia telah banyak ditemukan, apalagi di perusahaan-perusahaan besar atau terkenal. Bukan itu saja, korupsi ditemukan tapi pejabat-pejabat Indonesia atau pemerintah Indonesia juga melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama itu. Korupsi itu adalah tindakan yang dilarang agama maupun melanggar hokum. Bila seorang berbuat korupsi akan mendapatkan hukuman yang setimpal maupun di dunia dan akhirat. Bila saya menemukan orang yang korupsi saya akan menasehati dengan narma-norma yang berlaku. Dengan adanya korupsi di Indonesia, negara Indonesia akan hancur dan tidak lagi menjadi negara yang makmur.
Dengan diadakannya lomba karya tulis ini dengan tema Ayo…lawan korupsi saya bangga karena perusahaan yang mengadakan/melaksanakan lomba ini ternyata peduli terhadap korupsi di Indonesia maupun saya. Saya senang mengikuti lomba ini karena saya ingin sekali memberantas korupsi di Indonesia. Bukan di Indonesia ini saja yang ingin saya berantas tetapi juga di negara-negara di dunia ini. Saya bersukur kalau korupsi tidak ada lagi di Indonesia ini. Bukan korupsi saja yang ingin saya berantas tetapi perbuatan yang melanggar hokum dan melanggar agama, seperti pembunuhan, pemerkosaan, perempuan-perempuan malam dan narkoba karena saya adalah seorang relawan pelajar anti narkoba.
Bila korupsi di Indonesia ini bertambah saya seorang penerus bangsa akan memberantas korupsi dan tidak akan melakukan perbuatan yang tercela itu. Menurut saya negara kita ini belum bisa dikatakan merdeka, karena korupsi masih banyak di Indonesia ini. 61 tahun perjuangan adalah perjuangan yang memberantas penjajah di negara kita ini, jadi korupsi belum bisa diberantas oleh negara kita ini. Saya mohan bagi pekerja yang kerja di perusahaan, di PT dan kantor-kantor terkenal jangan sekali-kali melakukan korupsi.


BOHONG SAMA DENGAN KORUPSI
By : Raymond

Begini ceritanya… Ada seorang anak yang bernama Yogi, ia disuruh ibunya membeli gula. Yogi anak yang malas, suka berbuhong tetapi Yogi anak yang pintar. Ia diberi uang Rp.50.000,-. Ia disuruh membeli gula 5 Kg 6 buah, harganya Rp.30.000,-. Yogi memberi uang Rp. 50.000,- yang diberikan oleh ibunya, setelah itu ia memperoleh auang kembaliannya Rp. 20.000,-. Ia berpikir di dalam hatinya “mau ku apakan uang sebanyak ini” ia terdiam sejenak. Lau ia berpikir lagi “sebaiknya jangan ah”. Ia pun berjalan ke rumah, di dekat rumah Yogi banyak warnet.
Ia pun singgah ke warnet untuk melihat-lihat, ia melihat orang yang sedang bermain. Ia tergiur untuk bermain di warnet. Ia mengorbankan Rp.10.000,- lagi bermain selama 3 jam. Ia belum puas bermain. Ibu Yogi sangat khawatir karena anaknya belum pulang-pulang. Ibu Yogi menelpon teman dekatnya yang bernama Randy. Ibu Yogi menelpon Randy tetapi Yogi tak ada di rumahnya. Randy mencari Yogi, Yogi tidak menyadari bahwa di warnet itu ada sepupunya Danny. Danny sengaja memata-matai Yogi. Danny makin heran karena Yogi membawa gula. Randy akhirnya menemukan Yogi di warnet. Lalu randy berkata “Yogi kau bermain ke warnet ya!” dengan suara yang agak keras. “Kau tak tau ya ortumu mencari-carimu”, kata Randy. “Tenang ajalah nanti kau kutraktir makan bakso”. Randy pun di ajak Yogi makan bakso. Pada saat mereka kembali mereka melihat tumpukkan mangga.
Yogi berkata “woi Randy bagaimana kalau kita ambil untuk jadi alasan kita. Mereka berdua sedang asyiknya memungut mangga, tiba-tiba Danny mengagetkan mereka berdua. Danny pun pergi. Randy dan Yogi masih sibuk. Ketika mereka pulang ibu Yogi berkata “dari mana saja kalian” Yogi pun menjawab “kami memetik mangga” Yogi kembali uang mama mana? Yogi pun menjawab “bu maaf uangnya jatuh waktu memetik mangga. Tiba-tiba Danny berkata “Bibi Yogi memakai uangnya untuk main di warnet, Yogi pun mengaku. Ibu Yogi menasehati Yogi, Danny pun berkata “Yogi kau tuh jangan nakal karena kau berbohong, kau melakukan korupsi, sebaiknya kau minta maaf ”.
Esok harinya ia pun tak dapat uang jajan, ia kelaparan. Setelah pulang sekolah, ia pulang, ia meminta maaf kepada ibunya. Karena telah korupsi ibunyapun memaafkannya, dengan syarat ia tak boleh korupsi lagi.


AYO LAWAN KORUPSI
By : Zahdelawati

Masalah korupsi di negara kita saat ini adalah merupakan suatu masalah yang sangat gencar-gencar untuk diberantas oleh pemerintah. Untuk itu Presiden Susilo Bambang Yudoyono memerintah Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, SH, supaya dapat membawa tau memeriksa para koruptor di negara kita ini sampai ke pengadilan.
Dengan adanya surat perintah tersebut, maka jaksa agung membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, disingkat dengan nama KPK. Dengan terbentuknya KPK tersebut, maka sudah banyak koruptor yang diseret ke depan pengadilan dan sudah banyak dijatuhi hukuman, seperti 4 tahun dipenjara, 8 tahun dipenjara, dan ada pula dengan hukuman seumur hidup.
Semoga terbentuknya KPK tersebut, sudah banyak orang korupsi atau tidak jujur dan banyak sekali orang yang mengatakan korupsi itu banyak mengakibatkan orang yang diamuk massa. Dan akhirnya orang banyak mengamuk karena korupsi itu tidak jujur dan orang banyak mengatakan jauhilah dirimu dari korupsi.


BERANTAS KORUPSI
By : Mutia Agustina

Korupsi adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Korupsi adalah perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Indonesia adalah negara yang paling korupsi nomor 3 sesudah Kamerun dan Peru. Maka kita seharusnya memberantas korupsi . Saudara-saudaraku jauhi diri kita dari perbuatan korupsi. Korupsi membuat rakyat sengsara dan menderita. Akibat perbuatan korupsi dapat kita jumpai saudara-saudara kita yang ada di jalan-jalan dan meminta-meminta. Mari kita berantas korupsi yang terus merajalela dari negara kita ini. Korupsi merupakan perbuatan tercela. Korupsi dapat membuat harga barang kebutuhan sehari-hari naik. Korupsi dapat kita berantas dengan cara pemerintah negara kita tidak melakukan perbuatan yang merupakan perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain yaitu perbuatan korupsi. Korupsi diakibatkan oleh perbuatan yang timbul dari dalam diri seseorang untuk melakukan perbuatan kejam seperti perbuatan korupsi.






baca selengkapnya..

“AKAR RUMPUT” PERSOALAN KORUPSI

Oleh
Muhammad darwis

“Indonesia merupakan negara terkorup di dunia” kalimat ini membuat nyiris hati anak bangsa yang menjunjung tinggi harkat dan martabat serta nilai luruh yang seharusnya dimiliki oleh bangsa yang besar. Kalimat ini muncul dari berbagai penelitian dan kajian yang memiliki indikator beragam sebagai negara terkorup. Indikator ini mulai dari dapat dibelinya hukum dari para penegak hukum, kesejahteraan masyarakat tidak sebanding dengan kekayaan alam yang dimiliki, dan rendahnya pelayanan publik dari segi sarana dan prasarana.
Jika dilihat oleh kasat mata, bangsa Indonesia seharusnya menjadi bangsa yang besar dengan memiliki kemampuan sumber daya alam cukup besar untuk maju. Pada tahun 2006 Bank Dunia mencatat 49% penduduk Indonesia masuk kategori penduduk miskin.
Sempena peringatan hari anti korupsi yang jatuh pada tanggal 9 desember perlu dibangun sebuah gerakan yang berorientasi pada gerakan anti

Hemat saya ada beberapa yang mendesak dilakukan gerakan untuk membangkitkan sikap nasionalisme anti-korupsi.
Pertama, harus ada keberanian kolektif dari semua elemen bangsa untuk mengoreksi semua aturan hukum yang tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi. Sampai sejauh ini aturan hukum yang ada masih terdapat inkonsistensi, tumpang tindih antara satu sama lain. Problem di tingkat aturan hukum tidak dapat dikatakan sepenuhnya terjadi karena kealpaan pembentuk peraturan perundang-undangan. Alasannya, karena meluasnya praktik korupsi pada hampir semua institusi negara, aturan hukum harus direkayasa sedemikian rupa agar membentuk peraturan-perundang-undangan dapat terhindar dari kemungkinan menjadi pesakitan.
Kedua, perlu perubahan paradigma aparat penegak hukum. Selama ini dalam banyak kasus, pengungkapan korupsi justru membuka ladang korupsi baru di lingkungan aparat penegak hukum.
Ketiga, di tingkat masyarakat harus ada kesadaran kolektif baru bahwa praktik korupsi tidak kalah jahatnya dibandingkan dengan kejahatan penjajah. Kalau ini berhasil dilakukan, sanksi sosial akan lebih mudah dijatuhkan kepada para koruptor.
Kiranya memang perlu ada political will dari pemerintah untuk menjadikan gerakan antikorupsi sebagai nasionalisme baru Indonesia, sehingga semua elemen bangsa menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Prinsipnya adalah bahwa kemerdekaan dari korupsi harus segera diperjuangkan.
Untuk itu, para koruptor harus dienyahkan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Kalau tidak, bangsa ini akan ditenggelamkan para koruptor. Ini saya kira merupakan hal substantif dalam memaknai gerakan anti korupsi.



baca selengkapnya..

KORUPSI DAN KEMISKINAN DI RIAU

Peringatan Hari Anti Korupsi Dunia
Tanggal 9 Desember 2007



Korupsi dan kemiskinan adalah dua patologi sosial yang saling berkaitan. Dapat dikatakan, salah satu penyebab kemiskinan di negeri ini adalah merajalela dan menggilanya praktik tindak pidana korupsi, mengapa ? sebab, kita tentu mafhum, potensi dan kekayaan negeri ini seharusnya tidak membuat rakyat menjadi miskin (mengalami kemiskinan). Faktanya justru sebaliknya. Penggangguran, gelandangan, dan pengemis semakin hari kian banyak dan bertebaran di setiap sudut kota. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2006, jumlah penduduk miskin mencapai 17,75 persen, setahun kemudian pada Maret 2007, angka tersebut meningkat menjadi 39,30 juta orang.

Tingkat kemiskinan yang begitu besar tersebut mengakibatkan masalah-masalah dasar lainnya, terutama pendidikan dan kesehatan kurang menjadi prioritas pemikiran masyarakat, bila kondisi ini dibiarkan tentu dampaknya semakin parah bagi negeri ini. Dalam konteks ini, jika asumsi bahwa kemiskinan diakibatkan oleh penyakit korupsi, dapat dibayangkan betapa indonesia akan bebas dari penyakit kemiskinan ketika benar-benar korupsi bisa diberantas atau setidaknya ditekan hingga titik yang bisa ditoleransi.

Dalam survey lembaga Transparency International Indonesia (TII), Indonesia masih menduduki peringkat ke-143 diantara 179 negera di dunia dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan peringkat itu, indonesia menduduki peringkat ke-36 sebagai dengan pemberantasan korupsi terlemah di dunia. Angka indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tersebut masih dibandingkan Malaysia (5,1) dan Singapura (9,3). Di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, posisi indonesia hanya lebih baik dibandingkan Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos dan Papua Nugini.

Di Propinsi Riau, kasus kematian satu keluarga warga desa Serokan, Kandis, kabupaten Siak menjadi ironis, mengingat kematian tersebut mengisakan sejumlah hutang di warung, plus adanya racun serangga disekitar korban. Kondisi ini ironis karena propinsi Riau dikenal kaya raya dengan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) yang setiap tahunnya bertambah hingga mencapai triliunan rupiah. Untuk APBD dalam 3 tahun terakhir ini (2005-2007) angkanya mencapai Rp. 9 Triliunan. Untuk tahun 2007 ini, APBD Riau hampir mencapai 4,2 Triliun. Ini belum termasuk jumlah APBD Kabupaten/kota yang juga tidak jauh berbeda dari APBD Propinsi. Menurut data BPS Propinsi Riau jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan Rp. 214.034,- per kapita per bulan) di Riau bulan Maret 2007 sebesar 574,5 ribu jiwa (11,20 persen).

Praktik korupsi, kebocoran-kebocoran dana pembangunan dan APBD dan APBN, serta pungutan liar yang merajalela, telah menjadi penghalang bagi penciptaan kesejateraan masyarakat. Korupsi yang merajalela berdampak pada penderita/kemiskian rakyat.

Jika dirasionalisasikan angka kerugian akibat korupsi yang terjadi di Riau mencapai miliyaran rupiah, jika saja dana tersebut tidak dikorupsi, berapa jumlah masyarakat miskin yang terselamatkan, baik untuk sekolah ataupun untuk membeli susu ? berapa banyak jembatan yang dapat dibangun, berapa banyak jalan yang dapat diperbaiki ........................................ ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, namun dana tersebut “dimanfaatkan” oleh beberapa orang saja.

Untuk itu bersempena menyambut hari anti korupsi dunia pada tanggal 9 desember kami dari element NGO di Riau yang meliputi : Transparency International Indonesia (TII –Riau), Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA –Riau), Kantor Bantuan Hukum (KBH –Riau), Satelit Gempur (SAGEM), Kelompok Diskusi Perempuan (KUDAPAN) dan Lembaga Pemberdayaan Aksi dan Demokrasi (LPAD), menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia khusus Riau untuk dapat bangkit untuk melakukan perlawan terhadap praktek korupsi. Karena dampak terbesar dari praktek korupsi adalah kemiskinan masyarakat.

Korupsi yang merajalela berdampak pada penderita dan kemiskian rakyat.



baca selengkapnya..

komunitas hukum; industri migas

Industri minyak dan gas mengalami zaman keemasan pada era oil boom antara tahun 1970-hingga pertengahan tahun 1980. Tingkat penerimaan negara dari sektor migas sempat menjadi primadona naik seratus kali lipat dari US$ 92 juta pada tahun 1970 menjad US$ 9 miliar tahun 1980.
Dengan milik sumberdaya alam yang melimpah, Indonesia layaknya mendapatkan durian runtuh dari alamnya sendiri, sehingga para elite mempunyai sikap malas dalam mengembangkan pendapatan negara dari sektor lainnya, dan dengan sistem yang tidak demokratis dan tidak pro kepada masyarakat, menyebabkan para elite hanya menyalurkan keuntungan pengelolaan sumberdaya alam kepada kelompok tertentu saja.
Bila ditinjau status kemiskinan di propinsi-propinsi kaya minyak, maka keadaannya lebih parah, sebut saja Riau sebagai daerah penghasil minyak bumi dan gas, propinsi Riau memiliki masyarakat miskin hampir mencapai angka sekitar 4.543.584 jiwa (22,19 %), berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada tahun 2004 sebagai propinsi termiskin ke 13 dari 33 propinsi seluruh Indonesia. Lebih ironisnya lagi propinsi Riau terus mengalami peningkatan angka kemiskinan dari lima tahun terakhir yaitu 13, 67% tahun 2002 dan 10,38% pada tahun 2000.
Masyarakat Riau bahkan tidak sejajar, baik dari pendidikan maupun ekonomi dibanding dengan masyarakat daerah lainnya, sementara sumberdaya alam terus dijarah. Data sensus tahun 2002 menyatakan bahwa penduduk Riau tidak tamat SD (25,67%), tamat SD (34,46%), SLTP (17,31%), SLTA (15,53%), Diploma (0.75%), tamat universitas (1,31%) dan lebih menyedihkan lagi setidaknya ada 108.078 jiwa anak (umur 7-15 tahun) tidak bersekolah.
Propinsi Riau saat ini masih sebagai pemasok minyak terbesar bagi Indonesia (sekitar 70% dari sekitar 1 juta barrel/hari keseluruhan total produk minyak Indonesia). Kabupaten Bengkalis memberikan kontribusi 90 % dari total minyak Riau, yang dioperasikan oleh PT. Caltex Pasific Indonesia (CPI).

Jelas dimanakah kesalahan sehingga terjadi perbandingan terbalik antara kekayaan adalam dan kemiskinan. Mengapa sumberdaya alam yang besar tidak mampu menciptakan kesejahteraan masyarakatnya ?.
Setelah tercipta era reformasi dan munculnya pelaksananaan otonomi daerah sejak diundangkannya UU No. 32 tahun 2004 perbaikan dari UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, belum menimbulkan askes positif bagi kesejahteraan masyarakat Riau, terutama dari hasil pengelolan bagi hasil minyak bumi dan gas.
Kekayaan alam yang dimiliki Riau terutama minyak bumi dan gas tidak terlaksanan dengan baik sesuai dengan amanat dari amandemen UUD 1945 Pasal 33 pada ayat 3 yang berbunyi : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.



baca selengkapnya..

efektifitas pemidanaan tindak pidana korupsi

Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas untuk pertama kalinya pada pasal 1, Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi:
Yang disebut tindak pidana korupsi ialah:
a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau Daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat;
b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalah-gunakan jabatan dan kedudukan;
c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17 sampai pasal 21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Sedangkan Undang-Undang yang pertama kali mencantumkan pengertian korupsi pada pasal 1, Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagian besar pengertian korupsi dalam UU tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP), yang berbunyi:
Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 K.U.H.P.;
d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu;
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419 dan 420 K.U.H.P. tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
f. Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.

Perubahan terakhir Undang-Undang tentang tindak pidana korupsi yatiu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 Pasal 2 menyebutkan bahwa korupsi adalah :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 terdapat 30 rumusan bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terpisah dan terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang dikenakan pidana korupsi. Namun pada dasarnya 30 bentuk/jenis korupsi itu dapat dikelompokan menjadi:
a. Kerugian keuangan negara
b. Suap menyuap
c. Pengelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan
g. Gratifikasi
Pada tahun 2005, menurut data Pacific and Economic Risk Consultancy, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari, korupsi bagi bangsa Indonesia yang sudah pada tataran yang memprihatinkan, hal ini disebabkan praktek korupsi sudah hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat baik secara harpiah maupun hukum. Lembaga survei yang berbasis di Hong Kong, (PERC) baru-baru ini menyampaikan hasil penelitian mengenai peringkat korupsi negara-negara Asia. Indonesia dalam penilaian mereka masih sebagai negara ketiga terkorup di antara 13 negara Asia lainnya. Skor PERC untuk Indonesia pada 2008 adalah 7,98, lebih baik dibanding tahun 2007 yang mencapai 8,03.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Transparency International Indonesia yang dikenal dengan Indek Presepsi Korupsi (IPK) menyatakan bahwa Indonesia masih menempati pada tahun 2006, IPK Indonesia 2,4, maka pada tahun 2007 ini turun menjadi 2,3, dengan skala 0-10. (0 terkorup dan 10 terbersih).
Korupsi telah mewabah disebabkan beberapa faktor antara lain adanya kesempatan dan peluang, kesempatan disebabkan sistem hukum yang masih berkutak pada hukum yang belum memberikan aspek jera bagi pelaku korupsi, ditambah lagi hukuman yang diberikan kepada koruptor masih tergolong sangat rendah. Sedangkan faktor peluang disebabkan prilaku korupsi saat ini masih sangat dilindung oleh undang-undang karena belum diterapkannya asas pembuktian terbalik bagi tersangka kasus korupsi.
Untuk melawan korupsi pemerintah telah mempersiapkan segala perangkat hukum yang cukup memadai baik dari proses pencegahan maupun sampai pada tingkatan penindakan. Perangkat hukum dari Undang-Undang Anti Korupsi, pengadilan yang menangani khusus kasus korupsi, lembaga anti korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi), serta penegak hukum yang telah ada baik kepolisian maupun kejaksaan, namun praktek korupsi masih terus merajalela. Usaha yang selama ini dilakukan pemerintah melalui aparat penegak hukum masih tataran penghukuman, belum menyentuh upaya hukum untuk mengembalikan kerugian negara yang dapat dilakukan dengan penerapan hukum perdata.
Jumlah kasus korupsi dari tahun ke tahun terus meningkat baik dari kuantitas maupun kualitas kerugian negara yang korupsi, berdasarkan laporan tahunan KPK tahun 2008, sejak berdiri hingga Nopember 2007 laporan pengaduan yang masuk ke kantor KPK sebanyak 22.172 pengaduan. Kelemahan upaya melawan korupsi yang disinyalir oleh Indonesia Coruption Wacth (ICW) disebabkan antara lain :
a. Pemberantasan korupsi berjalan lamban, aparat penegak hukum tidak serius dalam menangani kasus korupsi
b. Tiadanya jaminan akses informasi publik (misalnya UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik)
c. KPK tidak bisa menangani semua kasus yang dilaporkan oleh masyarakat
d. Kualitas pelaporan yang sulit untuk ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum
Korupsi telah merugikan masyarakat secara luas dengan mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan publik oleh pemerintahan. Korupsi mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor dunia usaha, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan supa menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Korupsi juga menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana penyuapan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah. Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia adalah korupsi.
Korupsi merupakan faktor penghambat bagi pengembangan demokrasi, menghambat pelaksanaan tugas lembaga-lembaga publik serta penyalahgunaan sumber daya yang dimiliki baik alam maupun manusia secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Korupsi memupuk perilaku merahasiakan segala sesuatu dan penindasan. Kerahasiaan terlihat dari banyaknya pelaksanaan program pembangunan yang memiliki permasalahannya masing-masing di mulai dari pengajuan anggaran yang diperbesar (mark up), penggunaan anggaran yang diperkecil (mark down), kegiatan fiktif maupun kondisi yang tidak layak guna. Penindasan dijelaskan dengan kondisi ketidakmampuan masyarakat untuk menikmati hasil yang telah dilakukan oleh sebuah proses pembangunan.
Pada tatanan realitas korupsi banyak sekali menimbulkan kerugian dalam bentuk dana yang cukup besar. Namun lebih dari itu kerugian yang terbesar dari pelaksanaan korupsi yang terus menerus adalah antara lain terciptanya kemiskinan struktural, penumpukan ilegal aset-aset pada segelintir orang, dan lebih parah lagi akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan dan rasa hormat kepada lembaga-lembaga administrasi dan tata kelola pemerintah sehingga menimbulkan kelemahan otoritas pemerintah terhadap rakyatnya.
Terkait dengan kasus korupsi, sistem pemidanaan terhadap pelaku korupsi saat ini hanya bersipat penghukuman penjara ketimbang pengembalian kerugian negara. Sehingga upaya pengembalian kerugian negara belum dilakukan maksimal, hal ini disebabkan berapa hal antara lain: upaya hukum secara pidana yang membebankan kepada pembuktian hukum secara materil lebih mudah.
Saat ini kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum baik KPK, Kepolisian dan Kejaksaan cukup beragam, serta memiliki jumlah kerugian negara yang cukup tinggi. Tahun 2006, pengembalian kerugian negara atas kasus korupsi yang ditangani KPK hanya Rp 27,7 miliar sedangkan tahun 2008 jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan KPK dihitung berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu putusan terhadap uang rampasan, uang pengganti, dan denda sebesar Rp 119.976.472.962,00 yang terdiri dari: Potensi barang bukti yang dirampas untuk negara senilai Rp22.031.013.912,00, Potensi hukuman uang pengganti senilai Rp91.395.459.050,00, potensi hukuman denda sebesar Rp6.550.000.000,00. Jumlah itu tidak terlalu menggembirakan jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang ditangani.
Pengembalian kerugian negara diharapkan mampu menutupi defisit APBN sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan seperti pendidikan dan kesehatan. Apakah pemberantasan korupsi cukup dilakukan melalui pendekatan hukum pidana? Apakah rezim hukum perdata memungkinkan dalam rangka pengembalian kerugian negara?.
Sebenarnya politik hukum pemberantasan korupsi sudah menyadari pentingnya kedua rezim hukum tersebut, baik hukum pidana maupun perdata. Karena itu, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak hanya memberikan peluang hukum pidana melalui penyitaan harta benda milik pelaku oleh penyidik dan selanjutnya jaksa penuntut umum menuntut agar hakim melakukan perampasan, tetapi juga memberikan peluang melalui instrumen hukum perdata.
Selama ini jaksa hanya menggunakan instrumen pidana semata, sementara gugatan perdata belum pernah dilakukan, kecuali terhadap kasus mantan Presiden Soeharto yang saat ini sedang dalam proses. Mengapa gugatan perdata tidak dilakukan? Adakah persoalan yuridis?
Harus diakui, secara teknis-yuridis terdapat beberapa kesulitan yang akan dihadapi jaksa pengacara negara dalam melakukan gugatan perdata. Antara lain, hukum acara perdata yang digunakan sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa yang, antara lain, menganut asas pembuktian formal. Beban pembuktian terletak pada pihak yang mendalilkan (jaksa pengacara negara yang harus membuktikan) kesetaraan para pihak, kewajiban hakim untuk mendamaikan para pihak, dan sebagainya.
Sedangkan jaksa pengacara negara (JPN) sebagai penggugat harus membuktikan secara nyata bahwa telah ada kerugian negara. Yakni, kerugian keuangan negara akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka, terdakwa, atau terpidana; adanya harta benda milik tersangka, terdakwa, atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara (Suhadibroto: 2006).
Selain itu, seperti umumnya penanganan kasus perdata, membutuhkan waktu yang sangat panjang sampai ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap. Berharap banyak pembentuk UU Tipikor, tampaknya, berharap banyak untuk mengembalikan keuangan negara sebanyak-banyaknya. Lihat saja, misalnya, ketentuan tentang dimungkinkannya melakukan gugatan perdata dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti.
Padahal, secara nyata telah ada kerugian keuangan negara (pasal 32), gugatan terhadap ahli waris, dan terhadap putusan bebas juga masih dimungkinkan dilakukan gugatan perdata. Sayang, ketentuan tersebut tidak operasional dan belum pernah dilakukan (KHN:2006).
Begitu besarnya perhatian terhadap korupsi yang sudah dikategorikan extra ordinary crime, transnational crime, dan julukan lain yang menunjukkan betapa berbahayanya korupsi, sehingga tersangka, terdakwa, atau terpidana yang meninggal dunia sekalipun masih dimintai pertanggungjawaban kepada ahli warisnya.
Konvensi PBB Antikorupsi 2003 juga membolehkan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan penyitaan atau perampasan atas kekayaan pelaku tindak pidana korupsi tanpa adanya putusan pengadilan dalam pelaku meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan layak.
Keinginan besar untuk mengembalikan kerugian negara dan julukan korupsi sebagai extraordinary crime tidak didukung oleh perangkat hukum yang ada, khususnya dalam upaya pengembalian kerugian negara melalui gugatan perdata. Dalam hal ini, hukum acara perdata tidak memberikan kemudahan, bahkan cenderung menghambat, misalnya, tidak dikenalnya sistem pembuktian terbalik, adanya biaya yang harus dibayar oleh penggugat, tidak adanya prioritas penanganan perkara, dan tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara.
Juga, misalnya, tak ada hakim ad hoc, proses litigasi bagi tersangka/terdakwa/terpidana yang meninggal dunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya proses perdamaian yang harus ditempuh (dading), dan sebagainya (KHN:2006). Hambatan-hambatan tersebut harus segera diatasi untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara melalui pembuatan hukum acara perdata khusus perkara korupsi yang keluar dari pakem-pakem hukum acara perdata konvensional.
Jika tidak, pengembalian kerugian negara melalui instrumen perdata yang diamanatkan undang-undang hanya akan menjadi macan ompong. Yang menarik saat ini, pemberantasan korupsi telah cukup banyak menghakimi dengan vonis bersalah pelaku korupsi, namun pelaku korupsi masih bertambah serta bertambah berjamaah. Ilustrasi yang dapat disampaikan dengan hukum penjara paling lama 20 tahun, dengan kejahatan korupsi miliaran rupiah pelaku korupsi masih beruntung dengan sisa kekayaan yang dimiliki. Jika ini menjadi semboyan para koruptor, tentu menjadi pekerjaan rumit bagi aparat penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi.



baca selengkapnya..

hukum pidana korupsi dan pejabat daerah

Pada rapat dengar pendapat antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi III DPR, Ketua KPK, Taufiequrrachman Ruki menyampaikan isu yang cukup penting dalam penegakan hukum pidana. Dia mengungkapkan berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi di daerah terutama disebabkan oleh belum adanya izin Presiden untuk memeriksa kepala daerah atau anggota DPR sebagai saksi atau tersangka (Republika, 09/10/07).
Keharusan adanya izin pemeriksaan bagi pejabat daerah khususnya kepala daerah yang diduga terlibat perkara korupsi kenyataannya tidak hanya menjadi persoalan pelik bagi KPK. Sebelumnya, Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman, menyatakan keharusan izin dari presiden untuk memeriksa pejabat daerah khususnya kepala daerah yang tersangkut korupsi merupakan kendala bagi kejaksaan. Adanya Izin itu kenyataaanya justru mempersempit gerak kejaksaan mengusut dugaan korupsi.
Keperluan izin Presiden diperlukan sebelum pejabat negara (kepala daerah) MPR, DPR dan DPD yang diperiksa berkaitan diduga dengan suatu perkara pidana, serta izin Menteri Dalam Negeri untuk anggota DPRD propinsi serta izin dari gubernur untuk DPRD kabupaten/kota berlandaskan aturan yang termuat pada pasal 36 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta pasal 106 Undang-undang N0. 22 tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang berbunyi :
Pasal 36 Undang-Undang No. 32 tahun 2004.
(1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
b. atau disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
(5) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.
Dan pasal 106 Undang-Undang No. 22 tahun 2003.
(1) dalam hal anggota MPR, DPR dan DPD diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden
(2) dalam hal seorang anggota DPRD Propinsi diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, pemintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.
(3) Dalam hal seorang anggota DPRD kabupaten/kota diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri.

Berkaitan dengan izin pemeriksaan bagi kepala daerah, ICW mencatat selama hampir tiga tahun, pemerintahan telah memberikan izin pemeriksaaan terhadap 84 kepala daerah dan Anggota DPR RI/DPD. Rinciannya adalah 8 izin pemeriksaan untuk gubernur, 42 bupati, 8 wakil bupati, 10 wali kota, 2 wakil wali kota, 13 anggota DPR, dan satu anggota DPD. Pemberian izin pemeriksaan diberikan dalam kapasitasnya sebagai saksi ataupun tersangka perkara korupsi.
Selintas, jumlah pemberian izin kepada sejumlah kepala daerah dan anggota dewan, sudah dapat memperlihatkan adanya komitmen pemerintah dalam percepatan pemberantasan korupsi. Namun jika dicermati kembali, ternyata muncul beberapa persoalan yang terkait dengan proses perizinan tersebut. Keharusan adanya izin pemeriksaan bagi kepala daerah justru menghambat penuntasan perkara korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisan atau kejaksaan di daerah.
Dalam beberapa temuan yang dikeluarkan oleh ICW menunjukkan bahwa pemeriksaan perkara korupsi seringkali tertunda karena masih menunggu keluarnya izin dari presiden. Di samping itu, izin pemeriksaan kenyataannya bersifat parsial atau tidak menyeluruh. Dalam hal seorang kepala daerah diperiksa sebagai saksi, pihak penegak hukum di daerah harus mengajukan izin kepada presiden. Dan apabila statusnya meningkat sebagai tersangka maka penyidik harus meminta izin kembali. Izin pemeriksaan ternyata tidak bisa dilakukan satu paket misalnya izin diberikan mulai dari kepala daerah diperiksa menjadi saksi, tersangka, dan termasuk ketika akan menahan tersangka.
Komisi Hukum Nasional (KHN) merekomendasikan penghapusan izin Presiden untuk memeriksa pejabat negara yang menjadi tersangka kasus korupsi. Izim pemeriksaan berpotensi memperlambat proses penangan tindak pidana terutama korupsi.
Para praktisi hukum menyebutkan bahwa izin presiden dan Menteri Dalam Negeri merupakan wujud bahwa persamaan perlakuan di muka hukum belum terwujud. Sebab, aturan yang menimbulkan diskriminasi ini jelas berlawanan dengan asas hukum. Peraturan seperti ini, bahkan tidak mempunyai kepentingan hukum sama sekali, kecuali diskriminasi dan feodalisme.
Saat ini terdapat 36 kepala daerah yang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan di daerah yang penanganannya terhambat karena belum mendapatkan izin pemeriksaan dari presiden. Keperluan izin untuk para kepala dearah tidak hanya berkaitan dengan persoalan tindak pidana korupsi, juga meliputi tindak pidana lainnya, seperti ilegal loging, yang saat ini menjadi sorotan masyarakat Propinsi Riau. Keinginan Mabes polri untuk memeriksa gubernur dan lima bupati di Riau masih terkendala dengan keperluan izin pemeriksaan dari presiden.
Keperluan izin pemeriksaan dari presiden banyak menimbulkan berbagai padangan bahwa Pertama, mekanisme izin pemeriksaan yang hanya dikhususkan bagi pejabat negara telah mendistorsi prinsip nondiskriminasi dalam pelaksanaan hukum. Jika disepakati untuk menjunjung tinggi sistem negara hukum, regulasi seharusnya tidak diciptakan untuk menguntungkan salah satu pihak, apalagi melindungi kepentingan kekuasaan tertentu. Pejabat negara yang sedang beperkara tidak ada bedanya dengan rakyat jelata yang menghadapi kasus kriminal. Mereka bukanlah kelompok istimewa yang ketika berurusan dengan hukum harus melalui proses yang rumit dan berbelit-belit sehingga sulit disentuh. Justru sebaliknya, karena mereka adalah pelaksana mandat kekuasaan dari rakyat, pejabat negara yang diduga melanggar hukum harus menjadi prioritas untuk diperiksa. Bukan justru proses pemeriksaan itu dihalang-halangi dengan memberikan persyaratan adanya izin pemeriksaan.
Kedua, sampai saat ini tidak pernah mencuat sebuah argumentasi yang sangat kuat untuk tetap mempertahankan adanya mekanisme izin pemeriksaan bagi pejabat negara yang akan diperiksa. Baik DPR maupun pihak eksekutif yang telah membuat beberapa kebijakan menyangkut keharusan adanya izin pemeriksaan dari pejabat tertentu tidak pernah bisa menjelaskan urgensi dari persyaratan itu. Dengan demikian, patut dicurigai bahwa latar belakang dibuatnya kebijakan tersebut semata-mata hanya untuk melindungi kepentingan kelompok yang sedang berkuasa. Di sinilah sebenarnya pertanyaan apakah sistem demokratis yang tengah dikembangkan sudah menyentuh isu yang sensitif, khususnya pada warisan politik lama yang terkesan memberikan banyak kekebalan hukum bagi pejabat negara.
Ketiga, adanya izin pemeriksaan kerap disalahgunakan oleh aparat penegak hukum untuk tidak memproses perkara korupsi yang melibatkan pejabat negara. Tameng yang paling mudah digunakan aparat penegak hukum ketika masyarakat menagih kinerja penanganan perkara korupsi, khususnya kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara, adalah izin pemeriksaan belum keluar. Di satu sisi, masyarakat sulit melacak kebenaran alasan tersebut karena mekanisme permohonan izin sangat tertutup, hanya diketahui oleh aparat penegak hukum dan pihak yang memiliki otoritas untuk memberikan izin.
Keempat, izin pemeriksaan menciptakan kontradiksi dengan kebijakan percepatan pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah. Tidak dapat dimungkiri bahwa mekanisme izin pemeriksaan telah menghambat upaya aparat penegak hukum untuk melanjutkan proses pemeriksaan. Hal ini terjadi pada kasus Ali Mazi, Gubernur Sulawesi Tenggara yang tengah diperiksa Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus dugaan korupsi Hotel Hilton. Tidak hanya itu, di banyak daerah tempat kepala daerah atau DPRD-nya tengah berurusan dengan hukum dalam kasus korupsi, kemacetan menjadi fenomena jamak. Dan sebagiannya karena alasan belum keluarnya izin pemeriksaan dari otoritas terkait.
Pemberian hak istimewa kepada kepala daerah, anggota DPRD, DPR, MPR dan DPD yang diduga melakukan tindak pidana (terutama korupsi), dalam bentuk kewajiban menunggu ijin dari Gubernur atau Mendagri atau Presiden, jelas bertentangan dengan prinsip Equality before the Law sebagaimana di atur dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemberian hak istimewa tersebut juga tidak sejalan dengan tujuan dasar teori equality before the law, karena baik kepala daerah, anggota DPRD,DPR,DPD maupun anggota MPR adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan oleh karenanya bertugas melindungi orang-orang yang lemah, sehingga orang-orang yang kuat ini tidak membutuhkan perlakuan khusus lagi di depan hukum.
Prinsip persamaan di depan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga diatur pada butir 3a Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi “perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
Selain keperluan pemberian izin berpotensi memperlambat proses penanggan tindak pidana, juga berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan dalam penegakan hukum, yang pada akhirnya meruntuhkan cita-cita negara hukum Indonesia.
Konsep Indonesia sebagai negara hukum “tercemar”, akibat dari praktek hukum yang digunakan sebagai alat kekuasaan, serta pranata hukum yang tidak berdaya untuk mewujudkan jati dirinya sebagai institusi yang harus bersikap netral, otonom, dan adil dalam menyelesaikan berbagai perkara pidana hukum di Indonesia.
Aturan-aturan hukum yang memelihara pemerintah dalam menggunakan kekuasaannya masih terus dilakukan dalam “mencemarkan” dan “menghancurkan” cita-cita negara hukum Indoensia. Penegakan hukum terutama dalam perkara hukum pidana masih memiliki berbagai persoalan yang menciptakan sikap pesimis dalam penegakan hukum pada perkara pidana.
Pertanyaan yang muncul apakah benar keperluan izin dari presiden menghambat penegakan hukum serta mencemari kesetaraan dalam pandangan hukum ?.
Keperluan izin pemeriksaan diadakan dengan alasan bahwa keperluan izin ini dilakukan hanya untuk tertib adminitrasi, yang pada akhirnya dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Pasal 36 ayat 2 dinyatakan bahwa :
Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

Pemeriksaan tetap dapat dilakukan setelah 60 hari permohonan diberikan. Keberadaan izin pemeriksaan dari gubernur, menteri dalam negeri dan presiden hanya bersipat untuk mengatur agar pemeriksaan terhadap pejabat pemerintah tidak menganggu keamaan dan pembangunan di daerah.
Aturan izin pemeriksaan ini tidak menafikan pemeriksaan prinsip persamaan dalam hukum, Izin pemeriksaan bertujuan untuk mengantisipasi pada kasus perkara pidana yang belum memiliki bukti yang cukup (baru sebagai saksi) namun memiliki pengaruh yang cukup buruk bagi pembangunan dan pelayanan publik di daerah yang mengakibatkan perekonomian dan pembangunan terganggu.
Dalam kasus Riau, beredarnya isu pemeriksaan pejabat di daerah, mendapat tanggapan yang beragam sehingga mengakibatkan kredibilitas pemerintah terganggu.
Faktor keamanan dan kenyamanan dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat diperlukan apalagi pada sektro pembangunan dan peningkatan perekonomian masyarakat serta pelayanan publik membutuhkan kondisi yang kondusif pula di daerah, inilah yang “memaksa” diperlukannya izin pemeriksaan dari presiden bagi pejabat pemerintah yang diduga melakukan tindak pidana, karena sangat berhubungan dengan kepetingan masyarakat.
Selain memiliki aturan dalam pemeriksaan kepala daerah yang melakukan izin dari presiden, namun izin ini mendapatkan pengecualian pada kasus-kasus sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 yang berbunyi pasal 36 ayat 4:
Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
c. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
d. atau disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
Jadi aturan ini, tidak dapat dimasuk kepada salah satu yang menghancurkan cita-cita negara hukum dan menghambat penangan kasus tindak pidana. Dan pasal 36 ayat 4 ini tidak memuat unsur keperpihakan kepada kepala daerah.



baca selengkapnya..

FATAMORGANITAS PERJUANGAN*

Era reformasi menjadi landasan penting bagi bangsa Indonesia sebagai tonggak sejarah lahirnya bentuk pemerintahan yang bercirikan demokrasi, dari untuk dan oleh rakyat. Karena itulah bebagai daerah, tidak terkecuali Riau menuntut hak-hak mereka yang selama 32 tahun telah di zalimi oleh pusat. Daerah-daerah kaya akan Sumber Daya Alam menuntut adanya pembagian lebih dari produksi SDA tersebut (khususnya Migas). Dan salah satu bentuk ancaman yang sering dilontarkan adalah tuntutan untuk berpisah dari NKRI sebagai efek bola salju jika tuntutan pembagain SDA tersebut tidak terpenuhi. Riau sebagai salah satu provinsi yang memiliki SDA, terutama Migas yang melimpah (bahkan penyumbang devisa tertinggi negara dari sektor Migas), melakukan berbagai upaya untuk ”membebaskan diri” dari hegomoni dan dominasi pusat. Akan tetapi, sejauh ini tuntutan tersebut bisa dikatakan belum berhasil.
Dimulai dari kongres Rakyat Riau II dan diakhiri dengan tuntutan Otonomi Khusus, Riau masih belum berhasil menuntut lebih dari pusat (selain DBH Migas yang hanya 15,5% saja yang dihitung dari nilai pendapatan bersih negara). Bahkan perjuangan yang terakhir boleh dikatakan gagal sama sekali karena Presiden SBY dan Mendagri sendiri dengan sangat tegas dan jelas menyatakan bahwa tidak ada lagi Otonomi Khusus bagi Provinsi-provinsi kaya lainnya selain Papua dan NAD. Pernyataan inilah yang menjadikan perjuangan Otsus bisa dikatakan mundur sebelum maju. Pertanyaan selanjutnya, mengapa perjuangan tersebut tidak berhasil (kecuali DBH 15% Migas) dan dianggap semu? Dapat dilihat dari perspektif tekstual dan kontekstual.
Secara tekstual atau secara teoritis, Karl Marx (1818-1883) sebagai ilmuan sosial mengatakan bahwa ada tiga hal yang dijadikan sebagai syarat jika perjuangan tersebut ingin berhasil, yaitu; 1) idiologi, 2) kominikasi politik yang bebas, dan 3) adanya tokoh perjuangan (Sunyoto Usman, Sosiologi, Sejarah Teori dan Metodologi, 2004, Cired, Yogyakarta). Pabila ketiga syarat tersebut terpenuhi, kesadaran (counciousness) murni akan terbentuk yang akan memicu terjadinya gelombang perjuangan secara menyeluruh, melibatkan semua lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat awam, kelas menengah, dan elit politik.
Jika tiga syarat tersebut dimasukkan ke dalam konteks perjuangan yang dilakukan Riau, terlihat bahwa ketiga syarat tersebut tidak berjalan dengan baik dan sempurna. Idiologi yang dikembangkan juga masih kabur dan cenderung bersifat aksidental sesaat yang tidak mengurat mengakar dalam benak dan kehidupan masyarakat Riau. Idiologi seharusnya tertanam secara baik dan menyeluruh tanpa membedakan latar belakang sosio kultural. Artinya, idiologi menuntut penyamaan persepsi tentang sebuah perjuangan dari seluruh elemen masyarakat tanpa pandang bulu sehingga kesan egaliterian muncul ke permukaan sebagai simbol kesatuan.
Komunikasi politik yang baik dan jujur merupakan syarat mutlak kedua. Komunikasi yang baik dan jujur dilakukan secara bebas dan tidak terbatas pada pihak-pihak dan elemen tertentu dari beragam lapisan masyarakat. Komunikasi politik bertujuan menanamkan idiologi kepada seluruh elemen masyarakat. Dan komunikasi tidak akan berguna dengan baik jika idiologi yang dikembangkan juga masih kabur. Begitu juga dengan tokoh. Seorang tokoh perjuangan dituntut untuk rela berjuang demi kepentingan masyarakatnya (secara luas) dan rela berkorban demi masyarakatnya tersebut tanpa mengharapkan pamrih apapun kecuali dukungan akan perjuangannya. Ketiga hal ini saling berhubungan satu dengan lain, jika salah satu tidak dapat terpenuhi sudah barang tentu perjuanganpun menjadi terhambat. Singkatnya, ketiga hal tersebut merupakan syarat utama bagi terciptanya trust (kepercayaan) masyarakat terhadap perjuangan yang dilakukan dan trust merupakan senjata ampuh bagi sebuah perjuangan.
Secara kontekstual, Riau sendiri masih perlu berbenah diri. Banyak hal yang harus dilakukan guna memperlihatkan kesungguhan perjuangan yang dilakukan. Salah satunya melalui Otonomi Daerah, bagaimana mewujudkan pemerintahan yang lebih memihak kepada masyarakat umum, menyentuh langsung ke hal yang paling mendasar dari masyarakat, yaitu peningkatan, pengembangan sekaligus perlindungan ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat, bukan bagi kelompok atau golongan tertentu. Bagaimana pemerintah, dengan sumber dana yang cukup berlimpah, mengurangi angka kemiskinan yang masih tidak bergerak dari angka 20%. Bagaimana pemerintah mengatasi masalah kesehatan, dimana busung lapar dan gizi buruk masih terdapat di Riau.
Bagaimana mungkin, masyarakat akan merasa dibela dan perjuangan akan mendapat dukungan dari masyarakat jika untuk kemiskinan dan kesehatan saja kita belum mampu memberikan yang terbaik bagi masyarakat kita sendiri. Belum lagi permasalahan pembangunan (infrastruktur) yang cenderung mengikuti trend tanpa melihat terlebih dahulu pada kebutuhan yang benar-benar riil bagi masyarakat. Hal inilah kemudian yang dinamakan fatamorganitas perjuangan, orang luar menganggap dan melihat perjuangan yang dilakukan betul-betul nyata dan riil, akan tetapi begitu masuk menjadi bagian dari perjuangan itu sendiri, ternyata perjuangan yang dilakukan tersebut masih perlu dipertanyakan lagi (semu).



* Fahriza, Msi
FITRA Riau



baca selengkapnya..

BELAJAR TRNSPARANSI DARI MASJID

Fahriza, Msi *
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang disingkat dengan APBD merupakan sumber keuangan (modal) dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan daerah selama satu tahun pelaksanaan (Permendagri 13 tahun 2006 Pasal 1 ayat (9). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah perwujudan dari hak masyarakat dan kewajiban bagi pemerintah. Dikatakan sebagai hak karena APBD merupakan uang masyarakat yang dikumpulkan selama satu tahun yang diambil dari berbagai sumber pendapatan, mulai dari pajak, retribusi, sampai kepada pengelolaan Sumber Daya Alam daerah (temasuk Dana Bagi Hasil). Oleh karena itu, masyarakat berhak menggunakan, menuntut, mengawasi serta memanfaatkan dana tersebut untuk kesejahteraan dan kemakmuran secara adil dan merata, tentu saja dalam koridor hukum dan peraturan yang berlaku.
Dan pemerintah, mempunyai kewajiban untuk menyalurkan dana masyarakat itu (yang disebut dengan APBD) dalam bentuk program-program atau kegiatan yang menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat yng adil dan merata. Melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan yang menyentuh langsung pada hajat hidup orang banyak, baik berupa pembangunan fisik maupun mental. Dengan demikian, pemerintah atau birokrasi berfungsi sebagai yang oleh Max Webber disebut sebagai pelayan masyarakat. Untuk itu suatu kewajaran jika kemudian diberikan semacam penghargaan yang besar bagi pemerintah (birokrasi) berupa intensif dan tunjangan lainnya.
Dua alenia di atas merupakan gambaran ideal (filosofi) dari suatu pengelolaan keuangan daerah yang baik dan benar. Permasalahan yang sering timbul justru malah sebaliknya. Masyarakat dianggap sebagai pihak yang tidak mengetahui banyak, dan pemerintah merupakan pihak yang paing mengetahui. Alhasil, APBD dianggap sebagai barang yang sangat langka bagi masyarakat umum dan barang yang lazim bagi pemerintah. Kondisi ini bertambah kronis lagi dengan adanya ”koalisi samar namun pasti” dengan legislatif yang notabene-nya merupakan pengejawantahan hati nurani dan suara masyarakat. Sangat wajar jika kemudian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-udang Nomor 25 Tahun 2004, Permendagri 13 dan 26 Tahun 2006, maupun peraturan lainnya yang menyuarakan transparansi dan akuntabilitas anggaran tidak kuasa menahan gempuran ketertutupan tersebut.
Transparansi dan Akuntabilitas Masjid
Masjid adalah sebuah rumah ibadah yang dipergunakan oleh umat Islam dalam menjalankan ibadah. Mayoritas Masjid dibangun dan didanai oleh pihak ketiga atau warga masyarakat (sebagian lagi Masjid didanai dari bantuan pemerintah ataupun pihak luar negeri). Tulisan ini tidak melihat pada aliran atau sumber dana pembangunan Masjid, malainkan pada sistem yang diterapkan dalam menggunakan dana tersebut, yaitu; proses usulan pembangunan, proses pengumpulan dana, proses pelaporan atau pertanggungjawaban dana dan hasil yang dicapai (fisik).
Di Masjid kita mengenal adanya pengurus Masjid yang melakukan musyawarah untuk menentukan prioritas pembangunan (Masjid) dengan mengundang warga masyarakat. Dalam proses musyawarah inilah terjadi saling tawar dan adu argumen sampai terdapat kesepakatan pendapat mengenai prioritas pembangunan (Masjid) yang harus didahulukan. Manfaat dan kegunaan menjadi pertimbangan penting dalam menentukan prioritas utama pembangunan.
Proses pengumpulan dana dilakukan secara bertahap, kontiniyu dan memiliki batasan waktu. Secara bertahap, dalam artian disesuaikan dengan usulan pembangunan (Masjid) yang menjadi prioritas utama. Proses pengumpulan dana ini dilakukan setiap saat dan waktu (disesuaikan dengan moment dan kesempatan yang ada). Tidak jarang dalam proses ini dilakukan dalam setiap wirid, pengajian, peringatan Hari Besar Islam, shalat Jum’at bahkan pada saat I’dl (Fitri dan Adha). Penggalangan dana akan terus dilakukan sampai terpenuhinya seluruh kebutuhan pembangunan tersebut.
Dana yang terkumpul kemudian akan diumumkan kepada publik (masyarakat) baik dalam bentuk tulisan maupun pengumuman langsung melalui mikrofon (biasanya dilakukan sekali dalam seminggu sebelum shalat jum’at dilakukan atau sebelum shalat tarawih di bulan Ramadhan). Setiap pengeluaran yang berhubungan (pembangunan maupun tidak) akan diumumkan kepada masyarakat, tidak satupun dana tersebut terbuang atau tidak diumumkan kepada masyarakat. Bahkan biaya konsumsi untuk rapat pun diumumkan kepada publik.
Hasil yang dicapai, berupa fisik akan diperlihatkan kepada masyarakat. Mulai dari harga semen, pasir, kerikil, batu, sampai kepada kualitas bangunan pun dapat terlihat hasilnya dengan jelas. Jika masyarakat merasa ada kejanggalan, masyarakat berhak mempertanyakan kepada pengurus, mengapa bisa terjadi. Artiya, setiap proses yang dilakukan tersebut selalu dapat di up-grade perkembangannya oleh warga. Bahkan Bestek (model dan kualitas bangunan) juga ditampilkan secara transparan kepada masyarakat. Sangat wajar jika kemudian dalam setiap proses yang terdapat kecurigaan dan sak wasangka segera dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik.

Realitas APBD
Jika dihubungkan antara pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Riau dengan manajemen pengelolaan Masjid (berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas), identik tapi tidak sama. Pengelolaan APBD memakai hukum positif yang pasti dan kuat secara normatif dengan sanksi- sanksi yang juga bersifat pasti. Sedangkan pengelolaan anggaran Masjid memakai hukum kepercayaan atau trust sebagai ukuran kebenaran dan sanksinya bersifat relatif. Akan tetapi keduanya sama-sama bersifat mengikat setiap orang.
Pengelolaan anggaran APBD memakai proses Musyrenbang sebagai sarana utama untuk menentukan prioritas dan program pembangunan (SEB Mendagri-BAPPENAS Tahun 2005). Walaupun kualitas dan kuantitas pelaksanaannya masih menjadi tanda tanya besar. Mekanisme yang ditempuh sangat panjang dan lama dan berpeluang besar bagi gugurnya (hilang) usulan yang telah diteapkan dari bawah tersebut. Hal yang sama juga dilakukan dalam menentukan skala dan prioritas pembangunan yang akan dilakukan terhadap Masjid, dengan jalur dan struktur yang lebih ringkas.
Pengawasan pelaksanaan atau implementasi APBD dilakukan oleh badan atau instansi tertentu yang telah ditunjuk dan ditetapkan secara hukum. Instansi ini juga berhak untuk melaporkan jika terdapat penyimpangan-penyimpangan di lapangan. Walaupun demikian, peran pengawasan yang dilakukan oleh instansi tersebut juga masih menjadi tanda tanya besar. Beberapa temuan (bahkan kasat mata) ditemukan, akan tetapi laporan yang sampai kepada aparat penegak hukum justru sebaliknya. Berbeda dengan APBD, pengawasan yang dilakukan di tingkat Masjid dilakukan langsung oleh masyarakat tanpa ada batasan. Setiap saat dan setiap waktu, masyarakat yang memang menjadi subyek pembangunan tersebut langsung dapat menilai dan mengikuti progress pembangunan yang dilakukan.
Pada pertanggungjawaban, APBD yang telah dijalankan selama satu tahun, anggaran akan dilaporkan kepada lembaga tertentu yang telah ditentukan oleh negara (dahulu DPRD sekarang Mendagri dengan persetujuan DPRD). Persoalan kemudian timbul, ketika lembaga yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan masyarakat (penyalur aspirasi masyarakat) justru melakukan koalisi informal (namun pasti) dengan pemerintah. Tentu saja hal ini menyebabkan mulusnya laporan pertanggungjawaban yang dilakukan.
Begitu juga dengan kondisi fisik bangunan, secara eksplisit terlihat bagus dan mewah. Namun sangat jarang diketahui (umumnya) harga yang harus dikeluarkan untuk setiap bangunan fisik yang telah jadi tersebut. Bestek, yang berisikan tentang jumlah dana yang dikeluarkan bagi pembangunan, harga satuan bahan baku, model atau skematik serta jangka waktu pengerjaan menjadi barang yang langka dan sulit untuk didapatkan. Tidak demikian halnya dengan sistem yang diterapkan di Masjid, setiap saat dan setiap waktu, perkembangan pembangunan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat dan masyarakat dapat memperkirakan bahkan menjadi saksi akan daya tahan bangunan fisik tersebut.
Persoalan memilih prioritas pembangunan, proses pelaksanaan dan sistem pertanggungjawaban anggaran menjadi kendala utama dalam mewujudkan anggaran yang transparan dan terbuka. Dengan kekuatan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Modal yang dimiliki pemerintah, tidak sulit untuk menerapkan manajemen pengelolaan anggaran yang diterapkan oleh Masjid. Persoalannya adalah kemauan politik (political will) pemerintah dalam menerapkan sistem dan mekanisme transparansi dan akuntabilitas anggaran. Persoalan aturan hukum dan perundang-undangan sudah sangat layak dan beragam, persoalan institusi pengawasan juga sudah sangat representatif apalagi media yang digunakan untuk melakukan sosialisasi dan progress report pembangunan. Masyarakat tidak akan menuntut banyak jika arahan pembangunan, manfaat dan kegunaan pembangunan, serta mekanisme pengeluaran dan pemasukan jelas. Bukan sekedar formalitas belaka, tetapi riil dan aplikatif.
* Sekretaris Badan Pekerja (BP) FITRA Riau



baca selengkapnya..

politik kelembagaan syariat

A. Pendahuluan
Formalisasi syariat Islam merupakan isu yang selalu mengalami pasang-surut dalam konstelasi perpolitikan Indonesia. Tampaknya penerapan syariat Islam memang telah menjadi bagian dari perjalanan sejarah bangsa ini. Semenjak Islam masuk ke wilayah nusantara, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan syariat Islam di daerah kekuasaan mereka masing-masing. Setelah penjajahan Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam masih ada yang berusaha menegakkan syariat Islam walaupun secara berangsur-angsur hukum Barat ataupun hukum adat sudah diberlakukan. Namun setiap pergerakan nasional yang bersifat Islam acapkali menempatkan penegakan syariat Islam sebagai agenda dan cita-cita luhur yang mesti diperjuangkan.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, keinginan agar syariat Islam diberlakukan masih belum berhenti. Perjuangan penegakan syariat Islam pada masa ini tidak hanya dilakukan dengan pendekatan politik, tetapi juga dengan perjuangan bersenjata sebagaimana dilakukan DI/TII dan PRRI. Para wakil Islam di Majelis Konstituante (1956-1959) yang terdiri dari Partai Masyumi dan Partai NU juga memperjuangkan agar rumusan Piagam Jakarta dimasukkan kembali ke dalam pembukaan UUD 1945. Usulan ini mendapatkan perlawanan dari kelompok nasionalis, sehingga perdebatan yang digambarkan sangat sengit pun tidak dapat dielakkan. Upaya memasukkan Piagam Jakarta berbuntut pada pembubaran Majelis Konstituante melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah dua kutub yang berbeda pandangan tidak berhasil menemukan kesepakatan.
Memasuki paruh terakhir kekuasaan Soeharto, beberapa ketentuan syariat Islam mulai diakomodasi negara secara selektif. Namun demikian, hal ini masih belum memuaskan beberapa pihak terutama partai-partai yang berasas Islam dan sejumlah organisasi massa Islam di era reformasi. Tidak mengherankan, pada saat Soeharto berhasil dijatuhkan, mereka mendesakkan agar negara menerapkan syariat Islam.
Sejauh menyangkut perjuangan melalui politik formal, tuntutan penerapan syariat Islam mulai mencuat ketika pada Sidang Tahunan Majlis Permusyawaratan Rakyat (ST MPR) tahun 1999 mengagendakan amandemen UUD 1945, dan terus mengemuka dalam hingga pelaksanaan ST MPR tahun 2002. Tuntutan penerapan syariat Islam antara lain mengambil bentuk saat amandemen pasal 29 UUD 1945, dimotori sejumlah partai politik Islam. Tak terelakkan, muncul perdebatan di parlemen utamanya antara kelompok yang menolak dan mendukung amandemen pasal 29 UUD 1945.
Kelompok pertama pada prinsipnya menginginkan agar pasal 29 ayat (1) tidak diamandemen dan tetap pada rumusan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Alasan mereka, selama ini terbukti telah berhasil memberikan panduan pranata kehidupan beragama di Indonesia. Ini merupakan pandangan mayoritas yang berkembang di dalam MPR. Kelompok ini diwakili Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Utusan Golongan, Fraksi Utusan Daerah, Fraksi TNI/Polri, Fraksi KKI dan Fraksi PDKB.
Kelompok kedua, yang pendukung amandemen pasal 29 adalah partai-partai Islam atau berasas Islam, meski ini bukan merupakan sikap politik semua partai Islam. Namun menariknya, tidak ada kesatuan pandangan antara partai-partai Islam atau berasas Islam ini menyangkut bagaimana rumusan baru untuk pasal 29 tersebut. Pada satu kutub, Fraksi Reformasi yang terdiri dari PAN dan PK/PKS mengusulkan rumusan alternatif, yakni “negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya”. Usulan ini diidentifikasi sebagai rumusan “Piagam Madinah” mengingat semangat yang melatari rumusan tersebut adalah naskah Piagam Madinah yang dipraktikkan Nabi Muhammad ketika berada di Madinah.
Sementara dikutub lainnya, Fraksi PPP dan PBB mengusulkan rumusan Piagam Jakarta. Fraksi PPP dan Fraksi PBB, dua partai berasas Islam terbesar, mendesakkan agar tujuh kata yang dikenal sebagai rumusan Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Mereka mengusulkan agar rumusan berbunyi “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diakomodasi dalam pasal tersebut.
Menarik dicermati bahwa PPP, PBB dan PK/PKS merupakan tiga partai yang sama-sama menjadikan Islam sebagai asas perjuangan partai. Ketiga partai ini tampaknya tidak memperlihatkan kesatuan strategi dan argumentasi, meskipun ideologi partai mereka sama-sama menempatkan agenda Islamisasi melalui negara merupakan suatu panggilan hidup. Untuk itu, tulisan berikut akan membandingkan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PBB (Partai Bulan Bintang) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera, metamorfosa dari PK [Partai Keadilan, red.]) dalam mengkonseptualisakan ideologi partai dan bagaimana mereka mengartikulsikannya dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ST MPR) 1999-2002 terkait amandemen pasal 29 UU 1945 utamanya tuntutan penerapan syari’at Islam.

B. Tinjauan Singkat Atas Ideologi PPP, PBB dan PKS
Menjadikan Islam sebagai asas partai, PPP dibentuk pada 5 Januari 1973 dari hasil fusi dari empat partai Islam yang melibatkan NU, Parmusi, PSII dan Perti. AD/ART PPP menyebutkan partai ini bertujuan “membangun negara Republik Indonesia berdasarkan landasan Pancasila dan UUD 1945, menciptakan kemakmuran rakyat yang dirahmati Tuhan YME”. Namun, pada saat pemerintahan Orde Baru memberlakukan asas tunggal Pancasila awal 1984-an, PPP tidak memiliki pilihan kecuali mengganti asas perjuangan mereka dengan Pancasila. Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, PPP secara resmi kembali menggunakan asas Islam melalui Muktamar di Jakarta, 29 November sampai dengan 02 Desember 1998.
Berkebalikan dengan PPP yang muncul pada saat cengkraman politik Orde Baru terhadap peran-peran elit kepemimpinan politik Muslim sedang menggurita, PBB dan PK/PKS muncul saat suasana dimana kebebasan berekspresi dan berideologi mendapatkan tempat yang luas. PBB didirikan pada tanggal 17 Juli 1998, dengan tujuan “mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT”. Rumusan ini pada muktamar II PBB disempurnakan menjadi “mewujudkan masyarakat yang beriman, bertakwa, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.”
Adapun PK, dideklarasikan pada 20 Juli 1998, atau tiga hari lebih muda dari usia PBB. PK/PKS merupakan transformasi dari gerakan dakwah kampus yang telah berlangsung selama lebih dari seperempat abad terakhir. Berbeda dengan nasib PBB yang pada pemilu 1999 berhasil memenuhi batas minimal electoral treshold sebesar 2%, perolehan suara PK tidak dapat memenuhi batas minimal yang ditetapkan. Maka sesuai dengan UU No 12 Tahun 2003, “para pimpinan Partai Keadilan memutuskan untuk mendirikan sebuah partai baru yang akan menjadi wadah bagi kiprah politik dakwah warga Keadilan, yaitu Partai Keadilan Sejahtera” (PKS). Tujuannya jelas, agar partai ini dapat mengikuti pemilu 2004. Menurut Untung Wahono, kehadiran merupakan konsekuensi logis dari undang-undang partai politik tentang batas electoral treshold tersebut.
Pararel dengan PBB, PK/PKS muncul sebagai sebentuk respon atas konstelasi politik yang sedang merangkak menuju demokratisasi pasca kekuasaan Soeharto berhasil ditumbangkan. Di tengah situasi demikian, beberapa elit kepemimpinan Muslim terutama mereka yang terlibat dalam kelahiran partai ini memandang partai sebagai media perjuangan yang telah mempertimbangkan rasionalitas politik. Anggaran Dasar PK/PKS menyebut pendirian partai ini untuk “mewujudkan bangsa dan Negara Indonesia yang adil dan Makmur, yang diridlai Allah SWT” “dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila.”
Satu hal yang mempertautkan PPP, PBB dan PK/PKS adalah kenyataan bahwa partai ini menjadikan Islam sebagai asas perjuangan politik mereka. Ini tidak mengejutkan. Sebab, untuk sementara orang, Islam, sebagai instrumen ilâhiyyah untuk memahami dunia, seringkali dipandang lebih dari sekedar agama. Hampir tidak lagi diperdebatkan bahwa umat Islam mempercayai watak holistis dan kesempurnaan Islam. Beberapa kalangan menyatakan bahwa Islam itu dipandang sebagai kesatuan “agama dan negara”. Tampaknya kesimpulan seperti ini dilandasi pandangan yang sudah diterima luas bahwa Islam mencakup lebih dari sekedar sistem teologi dan moral.
Manifestasi pemikiran ini terlihat dalam kehadiran partai-partai politik Islam yang menjadikan Islam sebagai asas partai. Hingga penerapan kebijakan penerapan asas Tunggal Pancasila 1984-an oleh pemerintahan Orde Baru, hampir semua partai Islam dalam sejarah kepartaian di Indonesia menerapkan Islam sebagai asas partai. Partai Masyumi, PSII, Partai NU dan PPP untuk sekedar menyebutkan beberapa nama, merupakan partai politik Islam yang menerapkan Islam sebagai asas partai. Namun kebijakan depolitisasi Islam dan dipertegas dengan penerapan asas tunggal Pancasila; telah menyumbangkan andil besar terhadap memudarnya Islam politik dari panggung politik nasional.
Tidak mengherankan, ketika iklim demokrasi terbuka, dimana kebebasan mendirikan partai politik tanpa ada pembatasan corak ideologi partai, muncullah partai-partai Islam sebagaimana disaksikan lebih dari setengah dekede terahir. Bagi PPP, PBB dan PKS, penerapan Islam sebagai asas partai tidak dapat disanksikan tidak hanya memberikan pengaruh luas pada corak artikulasi politik mereka, melainkan pula panggung politik nasional. Betapapun, suatu yang penting dicatat, penerapan Islam sebagai asas partai tidak serta merta menjadikan partai ini sektarian, atau mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Singkatnya, dijadikannya Islam sebagai asas perjuangan partai oleh PPP, PBB dan PK atau PKS bertolak dari keyakinan bahwa Islam sebagai sistema kehidupan yang komperehensif sehingga perlu dihadirkan ke dalam medan politik. Penggunaan asas Islam ini menurut mereka tidak berarti mempertentangkan Islam dan Pancasila. Karena itu mereka menghindari orientasi mendirikan negara Islam. Betapapun tidak bermaksud merubah ideologi negara Pancasila, partai-partai berasas Islam selalu berusaha menghadirkan Islam Penggunaan asas Islam ini dalam komunitas politik; serta bertolak dari alasan untuk memuliakan dan mengaktualisasasikan Islam dalam semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebab itu, tidak mengherankan apabila saat momentum amandemen pasal 29 muncul, PPP, PBB dan PK/PKS memanfaatkan momentum ini untuk memperjuangkan visi politik mereka, meskipun sesungguhnya tidak ditemukan tafsir tunggal diantara mereka, utamanya terkait dengan bagaimana Islam ditempatkan dalam konteks kenegaraan. Setidaknya hal ini tergambar dari program politik-keagamaan PPP, PK/PKS dan PBB yang memperlihatkan aksentuasi sedikit berbeda. PPP misalnya, tidak menawarkan rumusan yang secara eksplisit menggunakan kata “Islam”. Kesimpulan hampir serupa didapatkan pula ketika mencermati program politik PK/PKS. Hal ini berbeda dengan PBB yang secara tegas menawarkan formulasi pelaksanaan “trias politika [lembaga legislatif, ekskutif dan yudikatif, red.] yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam”. Sayangnya, tidak ditemukan paparan lebih detail mengenai apa yang dimaksudkan sistem “trias politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam” sebagaimana diagendakan PBB tersebut.
Bahwa basis sosial pendukung PK/PKS adalah komunitas yang memperlihatkan aksentuasi terhadap terbentuknya tatanan “masyarakat Islami” tampaknya merupakan pandangan yang sudah diterima luas. Namun minat yang kuat ini, tidak selalu ekuivalen dengan penggambaran program politik mereka, terutama yang menyangkut agenda mewujudkan “masyarakat Islami”. Rumusan program politik PKS yang hemat penulis relatif lebih dekat dengan orientasi keislaman hanya terlihat pada agenda umum partai, yakni (1) “membangun watak bangsa (caracter building) sebagai modal dasar utama pembanguan nasional melalui kegiatan dakwah amar ma’ruf nahi munkar” dengan didasarkan pada penghayatan terhadap “nilai-nilai religius” dan, (2) gagasan “menempatkan ulama, cendikiawan dan aparat pemerintahan dalam sebuah sistem negara kesatuan yang kokoh”.
Rumusan program politik PKS yang longgar ini tampaknya tidak sulit dipahami. Menurut pengamat politik Indonesia, Greg Barton, PKS amat memahami perlunya pendekatan graduasi (bertahap) dalam mewujudkan tatanan “masyarakat Islami”. Karena itu, PK/PKS cukup berhati-hati dalam mentransformasikan agenda-agenda Islami ke dalam program politik-keagamaan mereka dengan menghindari penggunaan “idiom-idiom politik” yang memperlihatkan keinginan kuat untuk melakukan perubahan melalui pendekatan struktural secara frontal. Pilihan PKS untuk menghindari Islamisasi berdasarkan pendekatan struktural ini agaknya tidak dapat dipisahkan dari geneologi PKS sebagai gerakan dakwah yang banyak memanfaatkan pelajaran dari induk semangnya, gerakan Ikhwân al-Muslimîn di Mesir. Leonard Binder menyebut strategi Islamisasi yang dilakukan gerakan Ikhwan Muslimin sebagaimana direpresentasikan dalam pemikiran Sayyed Qutb, bertolak dari lingkaran individu, bukan negara melalui politik-formal. Ungkapan Mursyid ‘Am Ikhwan al-Muslimin kedua, Syeikh Hasan al-Hudaibi ketika menyatakan “kun dawlatan fî nafsika takun fi balâdika”, mengindikasikan kuatnya arus pendekatan individual dan kulural dalam strategi Islamisasi komunitas ini.
Agenda politik PKS yang menghindari Islamisasi dengan menggunakan pendekatan-pendekatan struktural secara menonjol, demikian Barton berpandangan, sekaligus membedakan corak pendekatan Islamisasi PKS, sebut saja misalnya, dengan PBB. PBB hemat saya lebih memperlihatkan pendekatan struktural dalam melakukan agenda-agenda Islamisasi. Pidato politik Yusril Ihza Mahendara yang disampaikan di hadapan Majelis Mujahidin Indonesia bahwa target politik PBB adalah “penerapan syari’at Islam secara total” memperlihatkan orientasi penggunaan pendekatan structural, cukup menonjol. Sahar L. Hasan beralasan, sikap PBB yang demikian ini merupakan konsekuensi logis dari eksistensi PBB yang merupakan partai politik. Mengingat PBB adalah partai politik, maka artikulasi politik merka dilakukan melalui proses legislasi ataupun melalui pendekatan kekuasaan. Sebanding dengan PBB, PPP tampaknya memperlihatkan kecenderungan serupa. Menurut Lukman Hakim Saefuddin, digunakannya pendekatan struktural dalam kadar dominan ini mengingat PPP adalah partai politik, bukan lembaga dakwah ataupun majlis taklim. Karena itu perjuangan politik PPP dilakukan melalui proses-proses politik atau pun pendekatan politik kekuasaan.
PBB memposisikan “syari’at sebagai sumber hukum tertinggi”, dan mengagendakan agar “al-Qur’an dan as-Sunnah” dapat dijadikan “sumber nilai dan norma dalam hukum nasional”. Betapapuan perlu dicatat, sikap PBB dalam menempatkan al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber nilai dan norma dilakukan dengan memberikan keluasaan “berijtihad menggali ajaran-ajaran Islam bagi memecahkan masalah-maslaah baru yang timbul setiap saat”. Karena itu, adaptasi hukum Islam ke dalam hukum nasional menurut PBB dilakukan dengan mempertimbangkan “keadaan dan tempat”. PBB sebagaimana dikatakan sahar L. Hasan, akan tetap berusaha memperjuangan hal ini dengan “di Parlemen dengan cara-cara demokratis”.
Sejauh menyangkut pendekatan dalam memperjuangkan agenda Islamisasi, tampaknya PPP memiliki kecenderungan serupa dengan PBB. PPP menyatakan “akan terus mendorong proses dan upaya reaktualisasi dan revitalisasi ajaran agama dalam proses transformasi sosial budaya” agar “perkembangan sosial budaya Indonesia diwarnai nilai-nilai agama”. PPP, dalam suatu kesempatan berbeda menyebutkan agenda politik mereka di bidang hukum tidak hanya “mempertahankan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama, khusunya Islam”, tetapi adalah “menyempurnakan dan memperbaiki peraturan yang akan mengatur perikehidupan” sehingga sesuai dengan “nilai-nilai ajaran Islam”.
Kecenderungan PBB dan PPP yang merancang “Islamisasi” hukum dengan menggunakan pendekatan struktural, sepintas memperlihatkan perbedaan strategi yang diterapkan PKS. PKS cenderung berhati-hati dan menghindari rumusan program hukum yang berorientasi Islam legal-formalistik dan memilih menggunakan rumusan-rumusan yang lebih bersifat umum. Ini setidaknya terlihat dalam program hukum PK/PKS. Meskipun rumusan program hukum PK/PKS menyatakan partai ini ingin “memperjuangkan secara struktural pemberlakuan hukum Islam yang masyarakat telah siap menerimanya” namun partai ini berhasil mengemas rumusan-rumusan demikian dalam bahwa yang lebih bersifat umum. Hal ini sesungguhnya memperlihatkan minat PKS untuk menggunakan pendekatan struktural secara bertahap dalam menerapkan hukum-hukum Islam.
Perbedaan aksentusi antara PPP, PBB dan PK/PKS sejauh menyangkut strategi bagaimana Islam ditempatkan dalam konteks kenegaraan antara lain terlihat dalam lanskap ketiga partai ini dalam ST MPR tahun 1999-2002. Di tengah derasnya arus penolakan terhadap mandemen pasal 29 UUD 1945, termasuk dari partai-partai Islam dan ormas-ormas Islam di negeri ini, PPP, PBB dan PKS memperlihatkan kegigihan mereka memperjuangkan syariat Islam. Betapapun, tidak ditemukan keseragaman diantara mereka menyangkut strategi mewujudkan agenda serupa.

C. Strategi dan Argumentasi PPP, PBB dan PKS
Amandemen pasal 29 UUD 1945 agaknya merupakan topik paling krusial dalam konstelasi-politik amandemen UUD 1945 pada masa awal reformasi. Meskipun selama empat kali pelaksanaan ST MPR berlangsung, 1999-2002, tema penerapan syariat Islam selalu mencuat, namun perdebatan yang paling menonjol terjadi pada ST MPR tahun 2000 dan 2002. Pembahasan menyangkut strategi dan argumentasi PPP, PBB dan PKS utamanya akan difokuskan pada sikap dan argumentasi politik mereka berdasarkan risalah ST MPR di kedua tahun tersebut.
Seperti disebutkan dimuka, Fraksi PPP dan Fraksi PBB, dua partai berasas Islam terbesar, mendesakkan agar tujuh kata yang dikenal sebagai rumusan Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Mereka mengusulkan agar rumusan berbunyi “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diakomodasi dalam pasal tersebut. Tak pelak, usulan ini memantik reaksi partai-partai lain termasuk dari PKB yang note bone berbasis massa Muslim. Mereka pada prinsipnya menginginkan agar pasal 29 ayat (1) tidak diamandemen dan tetap pada rumusan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Alasan mereka, selama ini terbukti telah berhasil memberikan panduan pranata kehidupan beragama di Indonesia. Ini merupakan pandangan mayoritas yang berkembang di dalam MPR. Kelompok ini diwakili Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Utusan Golongan, Fraksi Utusan Daerah, Fraksi TNI/Polri, Fraksi KKI dan Fraksi PDKB. Sementara itu, pada ujung kutub lainnya, Fraksi Reformasi yang terdiri dari PAN dan PK/PKS mengusulkan rumusan alternatif, yakni “negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya”. Usulan ini diidentifikasi sebagai rumusan “Piagam Madinah” mengingat semangat yang melatari rumusan tersebut adalah naskah Piagam Madinah yang dipraktikkan Nabi Muhammad ketika berada di Madinah.
Menurut wakil dari Fraksi PPP, Zainudin Isman, perjuangan untuk menegakkan syariat Islam melalui undang-undang dilakukan mengingat beberapa alasan. Pertama, krisis moral yang melanda bangsa Indonesia telah mendekati titik terendah, yaitu krisis kepercayaan. Fraksi PPP menilai krisis tersebut hanya dapat diselesaikan apabila pelaksanaan syariat Islam yang sangat mengedepankan moral dan akhlak menjadi kewajiban dari negara. Kedua, sikap Fraksi PPP untuk menerapkan syariat Islam hendaknya tidak dilihat sebagai usaha untuk mendirikan negara theokrasi, tetapi dilihat sebagai usaha untuk memperkukuh nasionalisme. Ketiga, penerapan syariat Islam dalam pandangan PPP justru merupakan usaha untuk memperteguh nasionalisme Islam di tanah air sehingga mengindarkan sifat-sifat universal Islam yang seolah-olah tidak mengenal nasionalisme.
Lukman Hakim Saefuddin yang juga Juru Bicara Fraksi PPP, pada kesempatan lain menegaskan, usulan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta sedikitnya dilatari lima alasan. Pertama, sejak dua tahun terakhir (periode 2000-2002, red.) makin meningkat keinginan untuk memisahkan agama dari negara. Padahal sejalan dengan prinsip pasal 29 UUD 1945, “Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dengan negara walaupaun antara keduanya tetap dibedakan”.
Kedua, kehadiran era globalisasi yang mengakibatkan terjadinya internasionalisasi nilai-nilai dalam wilayah kehidupan bernegara, bermasyarakat maupun beragama jika tidak diantisipasi sejak dini “bukan mustahil akan melucuti nilai-nilai kemanusian” bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia dalam pandangan PPP sedang menghadapi bahaya pelucutan nilai-nilai religius mereka. Untuk itu umat beragama baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, maupun Budha “tidak boleh berdiam diri” dalam menghadapi gejala-gejala tersebut.
Ketiga, secara historis, tujuh kata Piagam Jakarta itu merupakan kompromi yang sebaik-baiknya antara golongan Islam dengan golongan kebangsaan. PPP sangat menyayangkan ketika kompromi tersebut secara tiba-tiba dimentahkan. “Untuk menghormati para pendiri Republik”, demikian Saifuddin beralasan, “Fraksi PPP terpanggil untuk mendudukkan kembali perjanjian luhur tersebut.” Keempat, konsideren dekrit 5 Juli 1959 yang menyatakan memberlakukan kembali UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” dan merupakan “rangkaian yang tak terpisahkan” dengan undang-undang tersebut. PPP menambahkan, setelah 41 tahun UUD 1945 berjalan tanpa jiwa, maka era reformasi merupakan momentum tepat untuk memberikan jiwa kepada konstitusi tersebut. Kelima, bagaimanapun usulan agar Piagam Jakarta dicantumkan tidak dapat dimaknai sebagai keinginan mengutak-atik pembukaan UUD 1945 yang sudah disepakati untuk tidak diamandemen.
PPP menepis pandangan masuknya tujuh kata tersebut berarti menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Tujuh kata Piagam Jakarta menurut Islam hanya mengandung makna bahwa hukum Islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk Islam sebagaimana pernah dipraktekkan dalam politik hukum Hindia Belanda sebelum tahun 1928. Tambahan tujuh kata dalam Pasal 29 UUD 1945 ayat (1) dalam pandangan PPP tidak dimaksudkan untuk menjadikan negara ini sebagai negara agama sebagaimana tidak untuk dijadikan negara sekuler melainkan semata-mata dimaksudkan untuk memberikan legitimasi yang tegas terhadap penciptaan public law (hukum publik) yang ditujukan kepada pemeluk Islam. PPP akan tetap mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dan dengan usulan tersebut “sama sekali tidak terbentuk Negara Islam”.
Selanjutnya, PPP juga menampik pandangan yang menilai pencantuman frase “kewajiban menjalankan syariat” sebagai bencana bagi bangsa Indonesia. Endin Soefihara melihat bencana bagi bangsa ini justru muncul karena adanya penafsiran-penafsiran yang “miring” terhadap makna Piagam Jakarta. Bagi Fraksi PPP, Piagam Jakarta dalam sejarah Indonesia “telah menduduki tempat yang luhur dari pada soal yuridis formal”. Rumusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dalam pandangan PPP mengandung makna yang “sangat mendalam” dan “menjiwai setiap pejuang Muslim”. Sebab itu, Fraksi PPP melihat perjuangan agar “setiap Muslim melaksanakan syariat Islam merupakan panggilan hidup”. Pencantuman kalimat tersebut menurut, Chozin Chumaidy, Juru bicara Fraksi PPP dalam ST MPR 2002, justru akan mendorong umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya secara kâffah (menyeluruh).
Palarel dengan Fraksi PPP, Fraksi PBB “mengusulkan agar negara mengatur ummat Islam dengan syariat Islam”. Hamdan Zoelva mengemukakan tiga alasan PBB mengusulkan perubahan pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dengan memasukkan ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta. Pertama, usulan pencantuman kembali Piagam Jakarta merupakan bentuk konsistensi dan wujud pelaksanaan amanah pendahulu negeri ini, ketika UUD 1945 diberlakukan kembali melalui dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Sebab, dalam diktum dekrit Presiden tersebut ditegaskan bahwa posisi Piagam Jakarta tidak hanya menjiwai tetapi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari UUD 1945. Karena itu, demikian Fraksi PBB beralasan, penambahan tujuh kata dalam pasal 29 ayat (1) bagi Fraksi PBB merupakan penjabaran dari maksud pemberlakuan UUD 1945 tersebut.
Kedua, ajaran Islam manapun dan khususnya syariat agama Islam mengajarkan dan memerintahkan kebaikan. Islam mengajarkan akhlak yang mulia, larangan berbuat kejahatan dan kerusakan di muka bumi, penghormatan kepada penganut agama dan bangsa lain (tasyâmuh) dan segala hal mengenai kebaikan. Untuk itu, bangsa Indonesia yang mayoritas (87 persen) penduduknya Muslim, akan lebih baik jika benar-benar memahami dan menjalankan ajaran agamanya. Jadi, penambahan tujuh kata tersebut, demikian Fraksi PBB berargumen, merupakan salah satu solusi untuk memecahkan dekadensi moral bangsa.
Ketiga, syariat Islam tidak akan diberlakukan kepada mereka yang tidak memeluk agama Islam. Karena pemberlakukan syariat Islam ini tidak dimaksudkan untuk menyingkirkan serta memarjinalkan ajaran dan penganut agama-agama lain. Namun sebaliknya, Fraksi PBB memberikan jaminan agar penganut agama lain dapat secara bebas menjalankan ajaran agama mereka masing-masing. Jaminan seperti ini menurut Fraksi PBB dikarenakan memang syariat Islam memberikan ruang kepada pemeluk agama lain untuk mengekspresikan pandangan-pandangan teologis mereka sendiri.
Zoelva dalam kesempatan lain menegaskan usulan mengembalikan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 diniatkan untuk memunculkan kembali wacana yang selama ini membeku. Sebangun dengan Fralsi PPP, Fraksi PBB menolak anggapan pemberlakuan Piagam Jakarta akan menimbulkan luka bagi penganut agama lain. Pemberlakukan syariat Islam, demikian Zoelva berusaha meyakinkan, tidak akan mengganggu kebebasan bagi agama lain karena Islam adalah rahmatan lil ‘âlamîn.
Paralel dengan Fraksi PPP, Fraksi PBB memandang penegakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya seharusnya mendapat perlindungan dari negara, sebab “memang ada dari bagian-bagian syariat Islam itu yang tidak dapat dilaksanakan secara pribadi melainkan dituntut peranan negara untuk melaksanakannya”. Seorang Muslim tidak hanya berkewajiban melaksanakan syariat Islam dalam hubungannya dengan ibadah dalam arti sempit semata, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan termasuk aspek hukum, baik pidana maupun perdata serta aspek muamalah lainnya, termasuk masalah hal dan haram dalam makanan, minuman maupun transaksi bisnis. Pemberlakuan syariat Islam melalui negara ini demikian Fraksi PBB beralasan, didasari pandangan adanya hubungan integratif antara agama dan negara.
Untuk itu Fraksi PBB meminta agar umat Islam secara proporsional mendapatkan kesempatan untuk mengatur hidup dan kehidupannya dengan ajaran agamanya tanpa merugikan pihak lain atau non-Muslim. Lebih dari 40 tahun umat Islam yang mayoritas di negeri ini dimarjinalkan. Sebab, apabila tuntutan penerapan syariat Islam dapat diakomodasi maka ketentraman, kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.
Pandangan-pandangan yang dikemukan Fraksi PPP dan Fraksi PBB di atas apabila diringkaskan menunjukkan alasan kedua partai ini untuk memperjuangkan kembali Piagam Jakarta adalah untuk mengokohkan nasionalisme, mengatasi krisis sosial, hanya diberlakukan untuk umat Islam, sesuai dengan Dekrit Presiden 1959, dan tidak bermaksud untuk mendirikan negara Islam. Pemberlakuan Piagam Jakarta dalam pandangan mereka tidak berbanding lurus dengan usaha untuk menggantikan ideologi negara ataupun mendirikan negara Islam. Sebaliknya, tuntutan pemberlakuan syariat Islam merupakan konsekuensi logis dari pemberlakuan Dekrit Presiden 1959 yang belum pernah terealisasikan. Menarik disimak, meskipun masih sulit diterima, PPP dan PBB juga menilai pemberlakukan syariat Islam berbanding lurus dengan kondisi kemanan dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Namun, sebagaimana telah dikatakan, gagasan formalisasi syariat Islam mendapat reaksi keras dari sebagian besar fraksi di MPR. Terlepas dari perbedaan rumusan argumen penolakan tersebut, fraksi-fraksi bersikap berseberangan dengan Fraksi PPP dan Fraksi PBB ini adalah Fraksi Golkar (182 kursi), Fraksi PDIP (185 kursi), Fraksi Utusan Golongan (73 kursi), Fraksi PKB (58 kursi), Fraksi TNI/Polri (38 kursi), Fraksi KKI (14 kursi), dan Frasi PDKB (5 kursi). Pada prinsipnya fraksi-fraksi tersebut mengusulkan agar pasal 29 UUD 1945 tidak diamandemen dan dibiarkan seperti naskah semula. Alasan penolakan mereka terhadap amandemen secara umum dapat diringkaskan mengingat rumusan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” selama ini dinilai telah terbukti berhasil mengakomodasi kepentingan agama-agama dan elemen-elemen masyarakat Indonesia.
Demikian pula Fraksi Reformasi sendiri (48 kursi) yang terdiri dari unsur PK/PKS dan PAN, serta Fraksi Daulatul Ummah (9 kursi) juga tidak menampakkan minat untuk mendukung usulan Fraksi PPP dan Fraksi PBB. Namun demikian, hal ini tidak berarti Fraksi ini setuju dengan rumusan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana yang menjadi pandangan mayoritas fraksi di parlemen. Fraksi Reformasi justru mengusulkan opsi tersendiri sebagaimana telah dikemukakan di atas. Tentu saja penolakan mereka sangat menyulitkan PPP dan PBB untuk memuluskan agenda kedua partai ini mengingat total jumlah kursi yang dimiliki fraksi-fraksi tersebut jauh lebih besar dari kekuatan yang dimiliki fraksi PPP (69 kursi) dan PBB (14 kursi).
Ketua Fraksi Daulatul Ummah, Ahmad Satori dalam wawancaranya dengan Lili Romli menilai memperjuangkan kembali Piagam Jakarta sebagai suatu set back, langkah kemunduran. “Padahal”, demikian FDU menyatakan, “kita sudah sepakat bahwa Pancasila merupakan suatu dasar negara, di mana dalam Pancasila tersebut nilai-nilai Islam telah tercakup di dalamnya”. Namun menariknya, dalam ST MPR 2002 FDU tampaknya mendukung gagasan memasukkan tujuh kata tersebut. Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan sikap FDU yang menyesalkan penolakan mayoritas anggota MPR terhadap gagasan Fraksi PPP dan Fraksi PBB untuk memasukkan Piagam Jakarta ke dalam amandemen pasal 29 UUD 1945.
Penolakan Fraksi Reformasi, terutama PK/PKS untuk memperjuangkan agar tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan kembali ke dalam amandemen pasal 29 UUD 1945 menarik untuk dicermati. Tidak saja karena posisi PK/PKS sebagai partai yang menjadikan Islam sebagai asas perjuangan mereka lebih dari itu karena PK/PKS dinilai sebagai partai yang memperlihatkan orientasi keislaman amat menonjol. Berbeda dengan Fraksi PPP dan Fraksi PBB, PK/PKS justru lebih memilih untuk mengusulkan alternatif lain, seperti telah disebutkan. Alternatif ini dipandang sebagai “rumusan kompromis”, mengingat rumusan ini merupakan jalan tengah antara kelompok yang menolak amendemen, dengan kelompok yang menginginkan untuk memasukkan rumusan Piagam Jakarta dalam pasal 29 UUD 1945.
Pilihan PK/PKS untuk tidak mendukung Piagam Jakarta dan mengusulkan rumusan alternatif ini menurut Mutamimul Ula dilatari beberapa alasan. Pertama, PK/PKS lebih mengutamakan substansi dari perjuangan penegakan syariat Islam dari pada persoalan redaksional. PK/PKS memandang persoalan ini tidak sekadar masalah redaksi Piagam Jakarta an sich, lebih dari itu adalah “bagaimana negara dan masyarakat ini memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai Islam”. Kedua, mengingat yang diutamakan substansi penegakan syariat, maka redaksinya dapat diungkapkan secara bermacam-macam sesuai dengan ijtihad kebahasaan. Ketiga, jika yang diutamakan adalah substansi yaitu keseluruhan ajaran Islam maka gerakan untuk menegakkan syariat itu bisa dengan berbagai cara. Ula menambahkan, penerapan syariat Islam dapat dilakukan dengan beberapa pilihan strategis, yakni gerakan individual, gerakan sosial dan pendidikan, gerakan sosial politik, gerakan legislasi, dan gerakan konstitualisme.
Meskipun demikian, mengingat posisi PK/PKS sebagai partai yang menjadikan Islam sebagai asas perjuangan, pilihan untuk tidak mendukung gagasan Piagam Jakarta memetik tudingan bernada kurang simpatik terutama dari para pendukung syariat Islam. PK/PKS menerima kiriman surat kaleng, email, telepon maupun tabligh yang isinya menyayangkan sikap partai ini. Meresponi anggapan tersebut, DPP PK/PKS menyampaikan klarifikasi resmi (bayânat) alasan partai ini tidak mendukung pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam amandemen pasal 29 UUD 1945. Pertama, PK/PKS sebagai partai Islam sejak awal berdirinya berasaskan Islam tidak pernah merubah pendiriannya dalam memperjuangkan agenda-agenda yang berorientasi Islam. Dalam sejarah perjuangannya bersama partai Islam lainnya, PK/PKS merupakan partai yang memperjuangkan penghapusan asas tunggal Pancasila, memasukkan nilai-nilai agama dalam HAM, dan mengegolkan zakat sebagai komponen pajak. Kedua, pemahaman PK/PKS terhadap Piagam Jakarta merujuk kepada Piagam Madinah, suatu Piagam yang telah terbukti berhasil melaksanakan syarî'ah Islâmiyyah dalam masyarakat madani yang plural sekaligus memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak warga non-Muslim. Ketiga, ketika ST MPR berlangsung, dalam berbagai kesempatan Presiden PK/PKS kembali menegaskan tentang komitmennya terhadap penegakan syariat Islamiyah yang rahmatan lil ‘âlamîn melalui amandemen Pasal 29 UUD 1945. Keempat, PK/PKS mengajak semua pihak dalam menyikapi amandemen Pasal 29 UUD 1945 dengan merujuk pada kaidah Islamiyah dan nilai-nilai agama, menggunakan hati yang bersih, pikiran yang jernih sehingga tidak mudah melupakan perjalanan partai-partai dalam berkerjasama untuk kemashlahatan ummat Islam dan bangsa Indonesia, mengedepankan sikap tabayyûn serta menghindari penyebaran fitnah.
Pilihan politik demikian tetap dipertahankan PK/PKS dalam ST MPR 2002. Bersama PAN, partai ini kembali menegaskan pendirian politik mereka dalam mengegolkan rumusan “Piagam Madinah”. Dus, sebagaimana terjadi sebelumnya, pilihan demikian tentu saja memantik kritik dari pendukung gagasan Piagam Jakarta. Maka, dalam klarifikasi yang disampaikan secara resmi, mereka menjelasan kembali alasan mereka memperjuangkan rumusan “Piagam Madinah”. Pertama, PK/PKS melihat rumusan tersebut lebih memberikan rasa keadilan dan mengakomodir aspirasi semua agama. Dengan demikian diharapkan tidak menimbulkan terjadinya diskriminasi dan semangat disintegrasi sebagaimana dikhawatirkan sementara kalangan. Di satu pihak, rumusan ini akan melecut semangat keberagamaan, sementara di pihak lain tidak ada kelompok yang merasa dianak-tirikan. Kedua, rumusan tersebut dinilai mengakomodasi aspirasi yang terkandung dalam Piagam Jakarta dengan tetap memperhatikan fakta sejarah tentang Piagam Madinah sehingga diharapkan rumusan tersebut dapat diterjemahkan dalam konteks keindonesiaan. Rumusan ini dalam pandangan PK/PKS dinilai mampu memunculkan semangat masyarakat Madinah yang taat beragama, pluralis, berkeadilan dan integratif sebagaimana diperlihatkan sejarah sampai dengan terjadinya peperangan khandaq. Ketiga, gagasan untuk memperjuangkan Piagam Jakarta di parlemen bukan hanya tidak signifikan karena hanya didukung PPP dan PBB tetapi juga tidak mendapatkan dukungan dari dua organisasi Islam terbesar, yakni NU dan Muhammadiyah.
Piagam Madinah menurut Hidayat Nurwahid terbukti telah berhasil mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat yang rahmatan lil ‘âlamîn. PK/PKS sendiri, demikian Nurwahid melanjutkan, telah membuktikan secara langsung bagaimana partai ini bekerja-sama dengan bermacam-macam kelompok dalam Forum Indonesia Damai (FID) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya aksi balas-dendam sebagai akibat dari peristiwa pengeboman di gereja. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana kerja-sama itu dapat direalisaikan tanpa menggadaikan nilai-nilai agama, melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip al-birri wa al-taqwâ (kebaikan dan ketakwaan).
Sementara itu Untung Wahono, mengungkapkan sesungguhnya Piagam Jakarta tersebut bukan cermin dari “negara Islam” yang diimajinasikan PK. Piagam Jakarta menurut Wahono merupakan suatu bentuk kompromi, dimana ummat Islam mengalami kekalahan ketika hendak membentuk negara Islam. Karena itu Wahono melihat perjuangan untuk memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam konstitusi sudah tidak menemukan momentum. Pembahasan tentang hal-hal yang menyangkut hubungan antara syariat Islam dan konstitusi dalam pandangan PK/PKS bukan menjadi agenda pokok. “Konsolidasi kekuatan ummat”, demikian Wahono melanjutkan, “jauh lebih penting dibandingkan melemparkan sebuah isu yang tidak didukung oleh sebuah kekuatan yang signifikan di MPR”.
Terlepas dari motif-motif teologis di balik agenda penerapan Piagam Madinah, pertimbangan taktis yang dikemukakan Wahono bukan tanpa argumentasi rasional. Perjuangan untuk memasukkan teks-teks Islam ke dalam konstitusi membutuhkan dukungan secara signifikan dari anggota MPR, sementara kelompok pendukung Piagam Jakarta jumlahnya tidak lebih dari 20 persen. Pengalaman historis sebagaimana diperlihatkan dalam perdebatan antara para wakil Islam dengan wakil nasionalis dalam Konstituante menunjukkan wakil Islam yang berjumlah 43 persen mengalami kesulitan,—untuk menghindari mengatakan gagal— dalam untuk memperjuangkan memasukkan rumusan tersebut Islam ke dalam naskah konstitusi.
‘Kegagalan’ ini terulang kembali di era reformasi. Perdebatan antara kelompok yang menginginkan tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan dalam amandemen pasal 29 UUD 1945 dengan kelompok yang menolak amandemen ini berakhir dengan kesepakatan mayoritas anggota majelis tanpa melibatkan Fraksi PBB untuk mengembalikan rumusan pasal 29 UUD 1945 tetap sebagaimana naskah semula. Menyikapi realitas kegagalan ini, Fraksi PBB sebagaimana yang disampaikan Nadjih Ahjad mengungkapan sikapnya dalam bahasa yang cukup dramatis.
“Hari ini kami para anggota Fraksi PBB yang terdiri atas anggota partai Bulan Bintang dan Partai Sarikat Islam Indonesia merasakan beban yang berat, karena harus mengambil suatu sikap yang mungkin membuat para anggota majelis kurang nyaman. Kami mengambil sikap yang lekat dengan keyakinan kami. Pada dasarnya untuk pasal 29 ayat (1) kami tetap berketetapan untuk memilih opsi […] “negara berdasar atas Ketuhanan Yang maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kami tidak berniat sedikitpun untuk surut dari pendirian itu. Kalau sekarang beberapa fraksi atau kebanyakan fraksi menolak opsi itu […] maka ibarat orang yang berjuang menempuh jalan yang penuh dengan onak dan duri, pada saat ini kami berada di hadapan sebuah tembok besar yang tidak mungkin ditembus. […] kami tidak berniat untuk surut kebelakang, walaupun tidak kuasa melampaui tembok itu, kami hanya menunggu sampai saat tiba. Saatnya tiba kami meneruskan perjalanan. […] Kalau saudara-saudara tetap menolak usulan kami […], maka mohon dicatat secukupnya bahwa kami dari anggota-anggota FBB tidak ikut mengambil keputusan itu.”

]Berbeda dengan Fraksi PBB, pada detik-detik terakhir pengesahan rancangan putusan MPR hasil sidang tahunan MPR tahun 2002 Fraksi PPP “menyerahkan sepenuhnya kepada majelis untuk mengambil putusan terbaik sesuai dengan dinamika kehidupan politik dewasa ini”. Lukman Hakin Saifuddin menyatakan,

“PPP saat itu memang menghadapi tembok yang begitu besar. PPP kemudian menyadari dukungan terhadap Piagam Jakarta masih belum mencapai setengah. Sementara persyaratan untuk mengubah UUD itu minimal mendapat dukungan dari 2/3 anggota yang hadir. […] Kalau PPP memaksakan diri, kan harus divoting. Kalau voting, kita pasti kalah. Kalau kalah, maka generasi yang akan datang sudah tidak lagi bisa memperjuangkan hal ini [Piagam Jakarta, red] lagi […] sehingga upaya untuk mengangkat persoalan ini menjadi tertutup. Ini adalah bagian dari strategi kita dalam menghadapi tembok yang begitu besar. PPP tidak mungkin membenturkan kepalanya sendiri ke tembok. […] PPP berasumsi, suatu saat nanti, kita tidak tahu, generasi kita, anak-anak kita, entah tahun kapan, mereka masih punya peluang untuk memperjuangkan hal itu kembali.”

Sebanding dengan sikap Fraksi PPP, Fraksi Reformasi, tempat para wakil dari PK/PKS berada juga mengambil sikap serupa, yakni “menyadari realitas aspirasi politik yang berkembang di majelis ini wajib dihormati dankami tidak ingin menghambat penyelesaian keputusan secara elegan dan demokratis. […] Fraksi Reformasi […] menyerahkan keputusan kepada majelis untuk kembali kepada rumusan yang asli”. Meskipun tetap menginginkan agar gagasan syariat Islam dapat dimasukkan dalam amandemen UUD 1945, namun Fraksi Reformasi menghormati keputusan anggota majelis yang menolak gagasan tersebut.
Menariknya, meskipun sikap resmi fraksi reformasi “menyerahkan keputusan kepada majelis”, namun pada detik-detik terakhir pengambilan pengesahan keputusan, Mutamimul Ula mewakili semua anggota fraksi dari unsur PK menyatakan “tidak ikut dalam pengambilan keputusan pada pasal tersebut”. Menurut Mutammimul ‘Ula, alasan yang mendasari sikap PKS ini untuk menunjukkan bahwa “kita menyadari, belum punya dukungan, tetapi kita ingin tunjukkan bahwa kita serius memperjuangkan rumusan itu”.
Pilihan Fraksi PBB, PK/PKS dan beberapa anggota parleman yang mendukung gagasan syariat Islam untuk menyatakan abstain menggambarkan kesepakatan untuk kembali kepada rumusan semula tidak berlangsung mudah. Kesulitan muncul karena masing-masing kelompok bersikukuh dengan pendirian masing-masing. Di satu pihak —prinsip-prinsip demokrasi— meniscayakan para pendukung gagasan penerapan syariat menerima pandangan mayoritas anggota parlemen yang menolak amandemen, sementara di pihak lain sikap demikian bertentangan dengan pandangan-pandangan teologis mereka tentang syariat Islam. Kenyataan lebih dipersulit karena pengambilan keputusan dengan mekanisme voting juga tidak dapat diterima mayoritas anggota parlemen, terutama para pendukung gagasan syariat Islam. Menurut Kaban, penolakan PBB terhadap pengambilan keputusan secara voting,
“Karena memang kita melihat bahwa pada saat perumusan tujuh kata itu kan pada awalnya tidak dilaksanakan voting, dan penyelenggaraan penegakan syariat Islam di Indonesia itu menurut kita tidak layak apabila diputuskan secara voting. Karena itu menyangkut pelaksanaan hukum Allah. Pelaksanaan hukum Allah itu harus dilaksanakan dengan kesadaran, dengan penuh ketulusan yang sebelumnya harus melewati proses pendidikan kepada publik, sehingga mereka tahu persis apa yang akan mereka laksanakan. Karena itu kan sebagaimana dikatakan Allah, “walâ taqfu mâ laisa laka bihi ‘ilmun”. ‘Jangan memaksakan sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan di dalamnya’. (Qs. Al-Isrâ’, 17:36). Jangan sampai terkesan bahwa tidak berlakunya syariat Islam itu adalah karena faktor voting. Sebab, apabila diselenggarakan secara voting, maka nanti timbul pro dan kontra. Bagaimanapun mayoritas anggota parlemen di Indonesia ini adalah Muslim. Nah, kalau secara politik di parlemen di adakan voting, maka timbul kelompok yang setuju dan tidak setuju. Itu mempunyai implikasi sangat luas, dan kita tidak menginginkan implikasi itu menimbulkan gejolak, misalnya, orang-orang yang tidak setuju syariat Islam itu lalu dikafirkan, atau dianggap murtad. Padahal, proses tarbiyyah yang kita lakukan belum final. Ini juga menyangkut misalnya, keputusan-keputusan politik yang sifatnya sangat sesaat, karena bisa saja suatu saat, bila ada kesempatan, perjuangan kita akan diterima masyarakat.”

Walapun PPP dan PBB memperlihatkan orientasi serupa dalam memperjuangkan agenda penerapan syariat Islam, namun dua partai ini memperlihatkan respon berbeda dalam menyikapi realitas politik yang tidak mendukung gagasan mereka untuk memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam amandemen pasal 29 UUD 1945. PPP menyerahkan keputusan tersebut kepada Majelis dan mengikuti apapun hasil keputusan Majlis, sementara PBB mengatakan bahwa meskipun pada saat sekarang perjuangan mereka belum berhasil, mereka tetap mengagendakan perjuangan syariat Islam pada momentum lainnya.
Perbedaan sikap PPP dan PBB dalam menyikapi hal tersebut tampaknya dapat ditelusuri dengan memeriksa karakter teologi politik kedua partai ini setidaknya sebagaimana direpresentasikan pada figur Hamzah dan Yusril. Hamzah sebagaimana sudah dipaparkan di atas berasal dari unsur NU, sementara Yusril merupakan penerus garis teologi politik Masyumi. Sejauh menyangkut strategi perjuang politik, NU dikenal memiliki pemikiran politik yang elastis. Bahkan elastisitas ini acapkali memunculkan kesan oportunis bagi NU. Adagium umum yang berlaku di NU misalnya ungkapan “mâ la yudraku kulluhu la yutraku ba’duhu” atau “sesuatu yang tidak dapat didapatkan secara keseluruhan jangan ditinggalkan sebagiannya” dalam kadar tertentu dapat memahami sikap PPP yang pada masa kepemimpinan Haz didominasi NU. Sementara Yusril yang note bone memiliki geneologi politik dengan Masyumi. Masyumi dalam studi yang dilakukan Greg Fealy dikenal sebagai organisasi yang konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai tertentu, dan bahkan pada tahap tertentu dikesankan sebagai organisasi yang kaku dan statis. Bertolak dari perspektif ini dapat dimengerti apabila pada saat-saat terakhir pengesahan hasil-hasil sidang, PPP menyerahkan kepada keputusan Majlis, sementara PBB konsisten pada keputusannya, sementara PBB menegaskan akan tetap memperjuangkan syariat Islam dalam kesempatan lain meskipun realitas politik tidak mendukungnya.

D. Penutup
Bertolak dari pembahasan di atas, studi ini menemukan perbedaan dan persamaan terlihat pula dalam respon PPP, PBB dan PKS terhadap agenda fomalisasi syariat Islam melalui negara. Secara umum, PPP, PBB dan PKS memandang penegakan syariat melalui negara merupakan panggilan hidup bagi setiap Muslim. Meski begitu, PPP, PBB dan PKS berbeda pandangan terutama dalam menyangkut bagaimana strategi merealisasikan agenda-agenda Islamisasi melalui negera tersebut dilakukan. PPP dan PBB memperjuangkan dengan memasukkan rumusan Piagam Jakarta ke dalam batang tubuh UUD 1945; sementara PK/PKS (baca: bersama PAN) mengusulkan rumusan Piagam Madinah. Tatkala kedua usulan tersebut tidak mendapat respon positif dari mayoritas anggota parlemen, sikap politik PPP, PBB dan PK/PKS lagi-lagi saling bersilangan. PPP dapat memahami pandangan mayoritas anggota majelis dan menerima keputusan untuk tidak mengamandemen pasal 29 UUD 1945; sementara PBB dan PKS menyatakan abstain dari pengambilan keputusan.
Suatu hal yang dapat dipetik dari fenomena di atas adalah kenyataan sulitnya menyatukan pandangan dan strategi sejauh menyangkut bagaimana Islam ditempatkan dalam konteks kenegaraan. Tidak saja antara kelompok yang menolak positifikasi syariat Islam dalam konteks kenegaraan, perbedaan juga terjadi antara pendukungnya. Perbedaan tersebut tidak hanya terjadi menyangkut bagaimana strategi perjuangan itu dilakukan, melainkan pula terkait dengan syariat yang apa saja yang dapat dipositifikasikan. Tidak ada definisi tunggal tentang syariat Islam. Ini sesungguhnya problem klasik dalam diskursus agama (syariat) dan politik. Sebab, memang tidak tidak ada tafsir tunggal menyangkut ajaran Islam. Tafsir atas ajaran Islam tampkanya seluas dan sebanyak jumlah penganut Islam, karenanya, menjadikan suatu tafsir tentu sebagai paling otoritatif atas tafsir lainnya, terlebih dengan memposisikan negara sebagai eksekutor kebenaran tafsir tertentu; sesungguhnya merupakan problem terbesar yang selalu muncul dalam pelataran Islam dan demokrasi.[][]



DAFTAR PUSTAKA


I. Dokumentasi PPP, PBB dan PK/PKS
AD/ART PBB 1998, (Jakarta: DPP PBB, 1998)
AD/ART PBB PBB 2000 , (Jakarta: DPP PBB, 2000)
AD/ART PBB PPP 1973, (Jakarta: Sekretariat DPP PPP, 1973)
AD/ART PBB PPP 1977, (Jakarta: Sekretariat DPP PPP, 1977)
Bayanat Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PK, 2002)
CD Partai Keadilan Sejahtera, (Jakarta: DPP PKS, t.t.[2004?])
Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang, (Jakarta: DPP PBB, 1999)
Ketetapan-ketetapan Muktamar IV PPP, (Jakarta: DPP PPP, 1999)
Ketetapan-ketetapan Muktamar V, (Jakarta; Panitia Muktamar V PPP, 2003)
Memperjuangkan Syariat Islam: Kumpulan Pidato Fraksi Bulan Bintang Pada ST MPR RI Tahun 2000-2002, (Jakarta: DPP PBB, 2003)
Politik Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Perjuangan dan Sikap Fraksi PPP pada ST MPR RI Tahun 2000, (Jakarta: DPP PPP, 2000)
Politik Dakwah Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PK, 2000)
PPP 30 Tahun Bersama Ummat, (Jakarta: Panitia Muktamar V PPP, 2003)
Program Umum Perjuangan PBB (Jakarta: DPP PBB, 2001)
Risalah Rapat ST MPR 2000, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2000)
Risalah Rapat ST MPR 2002, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002)
Sekilas Partai Keadilan Sejahtera, (Jakarta: DPP PKS, 2003)
Sekilas Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PK, 1998)
Sikap Kami: Kumpulan Seruan, Pernyataan Politik, Bayanat dan Pidato Politik Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PK, 2001)
Tafsir Asas PBB, (Jakarta: DPP PBB, 2002)

II. Buku-buku
Amir, Zaenal Abidin, Peta Politik Islam Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003)
Azra, Azyumardi, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat, (Jakarta: Kompas, 2002)
Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Pendudukan Jepang, Daniel Dhakikie (terj.), (Jakarta: Pustaka jaya, 1980)
Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesia: 1945-1972, (Jakarta: Grafiti Press, 1985)
Burhanuddin, Nandang, Penegakan Syariat Islam Menurut Partai Keadilan, (Jakarta: al-Jannah, 2004)
Damanik, Ali Said, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, cet. II (Jakarta: Teraju, 2003)
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998)
_______, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001)
Eickelman, Dale F. dan James Piscatori, Politik Muslim: Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat Muslim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998)
Fealy, Greg, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, penerjemah: Farid Wajidi dan Adelina Bachtar, (Yogyakarta: LkiS, 2003)
Furkon, Aay Muhammad, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Teraju, 2004)
Halim, Sudarnoto Abdul, The Partai Persatuan Pembangunan: The Political Journey of Islam Under Indonesia’s New Order (1973-1987), (Montreal: Tesis MA McGill University, 1993)
Haris, Syamsudin, PPP dan Politik Orde Baru, (Jakarta: Grasindo, 1991)
Hassan, Sahar L. (dkk), Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi, (Jakarta: Dema Insani Press, 1998)
Haz, Hamzah, Pidato Peringatan Harlah ke-26 PPP di Jakarta, 05/01/1999
Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Negara: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan Bagi Keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era 1970-an dan 1980-an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
Liddle, R. William, Islam, Politik, Modernisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997)
Lubis, Satria Hadi, Yang Nyata Dari PK Sejahtera, (Jakarta: Miskat Publication, 2003)
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985)
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masumi Indonesia dan Partai Jama’at Islami Pakistan, (Jakarta: Paramadina, 1999)
Mardjono, Hartono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Radi, Umaidi, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi Tentang Kekuatan Politik Islam Tingkat Nasional, (Jakarta: Integritas Press, 1984)
Salim, Arskal, Partai Islam dan Relasi Agama-Negara, (Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta, 1999)
Shihab, Habib Ridzieq, Dialog Piagam Jakarta: Kumpulan Jawaban, (Jakarta: Pustaka Ibnu Sidah, 2000)
Syamsuddin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2001)
Wahono, Untung, Penegakan Syariat Islam dan Koalisi Partai: Menjawab Tuduhan Terhadap PKS, (Jakarta: Pustaka Trabiyatuna, 2003)
Zada, Khamami, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002)

III. Artikel dan Makalah
Ali, Fachry dan Iqbal A. Saimina, “Merosotnya Aliran dalam Partai Persatuan Pembangunan”, dalam Prisma, Vol. X (12)
Azra, Azyumardi, “Islam Politik Pada Masa Pasca Soeharto”, dalam A.M. Fatwa, Satu Islam Multi Partai: Membangun Integritas Di Tengah Pluralitas, (Bandung: Mizan, 2000)
Effendy, Bahtiar, “Dari Gerakan Tarbiyah Menjadi Partai Politik: Diversifikasi Makna dan Dakwah Islam”, dalam Said Ali Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, cet. II (Jakarta: Teraju, 2003)
Fatah, Eep Saifullah, “Masa Depan Politik Islam: Dari Pusaran Menuju Arus Balik” dalam Abu Zahra (ed.), Politik demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Fatwa, A.M., “Satu Islam, Banyak Partai” dalam Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Kuntowijoyo, “Enam Alasan Untuk Tidak Mendirikan Partai Islam”, dalam Republika, 18/07/1998
Liddle, R. William, “Islam, Nasionalisme dan Empati” dalam Kompas, 22/07/2004
_______, “Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Massa Orde Baru”, dalam Mark Woodward (ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutaakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999)
Madjid, Nurcholis, “Partai Keadilan Nanti Muncul Sebagai Partai Penting”, dalam Hairus Salim (ed.), Tujuh Mesin Pendulang Suara: Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999, (Yogyakarta: LKiS, 1999)
Mahendra, Yusril Ihza, “Partai Alternatif Era Reformasi”, dalam Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi, Sahar L. Hasan et.al. (ed.), (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
_______, “Dengan Prinsip Ummatan Wasatan Kita Perjuangkan Sistem, Bukan Orang,” Sahar L. Hassan (ed.), Memilih Partai Islam: Visi Misi dan Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Mardjono, Hartono, “Memorandum Syari’at untuk anggota DPR/MPR, pemimpin Negara dan Tokoh Masyarakat,”, Risalah tidak diterbitkan.
Muzani, Saiful, “The Devaluation of Aliran Politics, View from the Third Congress of the PPP,” Studi Islamika, Vol. 1, No. 3, 1994
Noer, Deliar, “Mengapa Partai Islam”, dalam Hassan et.al., (ed.) Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Rais, Amin, “Dalam Istilah Politiknya Disebut Political Stand Still”, dalam Hairus Salim (ed.) dalam Tujuh Mesin Pendulang Suara: Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999, (Yogyakarta: LkiS, 1999)
Thaha, Idris, “Mendamaikan Islam dan Negara”, dalam Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat, (Jakarta: Kompas, 2002)
Tornquist, Olle, “Pemilu 2004: Kegagalan Gerakan Demokrasi”, dalam Kompas, 31/01/2004
Ula, Mutamimul, “Persoalannya Bukan Teks Piagam Jakarta an sich”, Suara Keadilan, Edisi 08/01/2000
_______, “Perspektif Penerapan Syariat Islam”, dalam Penerapan Syariat Islam di Indonesia Antara Peluang dan Tantangan, (Jakarta: Globalmedia, 2003)

IV. Media Massa
Buletin Bulan Bintang, Edisi 3 Tahun II 01/09/2000
Media Indonesia, 19/02/2004
Suara Keadilan, Vol. I, 09/09/2000

V. Thesis dan Disertasi
Romli, Lili, Partai Islam Era Reformasi dan Piagam Jakarta dalam Sidang Tahunan 2000, Tesis Master di Universitas Indonesia, Jakarta, 2001

VI. Wawancara
Badjeber, Zain, (Anggota Majelis Pertimbangan Partai DPP PPP/Anggota DPR RI) (Jakarta: Hotel Santika, 28/08/2004)
Chumaidy, Chozin, Wakil Sekretaris Umum/Anggota DPR RI, (Jakarta: DPP PPP, 11/08/2004)
Hasan, Sahar L., Wakil Ketua DPP PBB (Jakarta: Kantor DPP PBB, 19-20/08/2004)
Kaban, MS., Sekretaris Jenderal PBB/Anggota DPR RI, (Jakarta: DPR RI, 23/08/2004)
Matta, Anis, Sekretaris Jenderal DPP PKS/Anggota DPR RI, (Jakarta: Yayasan al-Manar, 20/08/2004)
Nurwahid, Hidayat, Ketua Umum DPP PKS/Anggota DPR RI, (Jakarta: DPP PKS, 11/08/2004)
Saefuddin, Lukman Hakim, Sekretaris DPP PPP/Anggota DPR RI (Jakarta: DPR RI, 12/08/2004)
Soefihara, Endin AJ., Ketua DPP PPP/Anggota DPR RI, (Jakarta: DPR RI, 13/08/2004)
Ula, Mutammimul, Ketua Departemen Hukum dan HAM DPP PKS/Anggota DPR RI, (Jakarta: Wisma DPR RI, 17/08/2004)
Wahono, Untung, Ketua Departemen Politik dan Hankam DPP PKS/Anggota DPR RI, (Jakarta: Kantor DPP PKS, 17/08/2004)




Tentang Penulis

Muhammad Ansor adalah mahasiswa pascasarjana (doktoral) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, program studi Pemikiran Islam. Lahir di Topang, Bengkalis pada 13 Juli 1976. Selain sebagai peneliti JSPDL dan The Riau Institute, aktif pula sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Majlis Sinergi Kalam (Masika) ICMI (2006-2011).
Karyanya antara lain Menakar Jiwa Suci: Perjalanan Sufistik Ibn Arabi, (penerjemah karya Ibn Arabi), (Jakarta: Hikmah, 2003); Catur Ilahi: Taktik dan Strategi Memenangkan Pergulatan Hidup, (penerjemah karya Ibn Arabi) (Jakarta: Hikmah, 2003); Rethingking Paradigma Kepemimpinan Riau, (co. editor), (Jakarta: KMPRJ, 2003), dan Politik Pelembagaan Syariat: Strategi dan Argumentasi PPP, PBB dan PKS di Sidang Tahunan MPR 1999-2000, dimuat dalam Jurnal Ulumuna, IAIN Mataram, Volume IX, Edisi 16, Juli-Desember 2005.



baca selengkapnya..