Google

Thursday, September 17, 2009

komunitas hukum indonesia, teori perkawinan

Bidang hukum Islam yang sangat dekat dan erat dengan perilaku masyarakat Islam Indonesia adalah bidang hukum sosial keluarga yang di dalamnya meliputi perkawinan, warisan dan wakaf. Sebab peristiwa yang berkenaan dengan aturan tata nilai sosial tersebut pasti akan dialami dan dijalani oleh setiap muslim dalam perjalanan hidupnya.
Dengan dekatnya hukum sosial kekeluargaan ini dengan masyarakat Islam membuat Yahya Harahap mengatakan bahwa telah terjadi transformasi kesadaran masyarakat Islam yang cendrung mengangkat nilai hukum dalam bidang sosial kekeluargaan Islam sebagai salah satu aspek “simbol” akidah (imam). Hal ini ditunjukan dengan betapa pun seseorang itu tidak melaksanakan ibadah shalat dan puasa, namun jika ia hendak melaksanakan pernikahan ia tidak berani melanggar dan melangkahi ketentuan rukun dan syarat-syarat nikah secara Islam.
Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian juga dengan perkawinan. Perkawinan merupakan aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka ada kemungkinan bahwa tujuan mereka tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan perkawinan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu kesatuan dalam pencapaian tujuan tersebut. Apakah sebenarnya tujuan perkawinan?.
Perkawinan mempunyai tujuan antara lain membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, maka sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, apakah sebenarnya yang ingin dicapai dalam perkawinan itu. Namun karena keluarga atau rumah tangga itu berasal dari dua individu yang berbeda, maka dari dua individu itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk itu perlu penyatuan tujuan perkawinan demi tercapainya keluarga yang sakinah.
Tanpa adanya kesatuan tujuan antara suami dan isteri dalam keluarga dan kesadaran bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama, maka dapat dibayangkan bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang merupakan sumber permasalahan besar dalam keluarga, akhirnya dapat menuju keretakan keluarga yang berakibat lebih jauh sampai kepada perceraian. Tujuan adalah merupakan titik tuju bersama yang akan diusahakan untuk dicapai secara bersama-sama pula. Kebahagian yang merupakan salah satu tujuan dari perkawinan adalah sesuatu hal yang relatif dan subyektif.
Relatif karena sesuatu hal yang pada suatu waktu dapat menimbulkan kebahagiaan, namun pada waktu yang lain mungkin tidak dapat menimbulkan lagi kebahagiaan. Subyektif oleh karena kebahagiaan bagi seseorang belum tentu kebahagiaan bagi orang lain.
Tujuan perkawinan akan terkait pada frame of reference dari individu yang bersangkutan. Dengan demikian maka timbul pertanyaan bagaimana keluarga bahagia itu?. Walalupun kebahagiaan itu relatif dan subyektif, tetapi adanya ukuran atau patokan umum yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa keluarga itu merupakan keluarga yang bahagia atau walfare.
Keluarga merupakan keluarga bahagia bila dalam keluarga itu tidak terjadi kegoncangan-kegoncangan atau pertengkaran-pertengkaran, sehingga keluarga itu berjalan dengan baik tanpa goncangan-goncangan atau pertengkaran-pertengkaran yang berarti (free from quarelling).
Tujuan perkawinan yang lain selain membentuk keluarga bahagia, juga bertujuan lain yaitu bersifat kekal. Dalam perkawinan perlu ditanamkan bahwa perkawinan itu berlangsung untuk waktu seumur hidup dan selama-lamanya kecuali dipisahkan karena kematian.
Tujuan perkawinan menurut Islam adalah menuruti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Hal ini senada dengan firman Allah: Q.s. ar-Rum [XXX]: 21 yang berbunyi:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia (Allah) menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu berfikir”.
Tujuan kedua dari perkawinan menurut Islam adalah menenangkan pandangan mata dan menjaga kehormatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi saw yang dirawayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi:
“Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasullulah SAW. Berkata: Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandang (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj. Dan barangsiapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur Undang-Undang tentang Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan.
Berkaitan perkawinan masih banyak persoalan yang perlu diteliti dan dilihat lebih jauh, persoalan yang ingin dituangkan penulis dalam penelitian ini adalah perkawinan yang sedang berlangsung tetapi salah satu pihak telah melakukan perbuatan murtad dan akibat hukumnya serta tata cara putusnya perkawinan akibat murtad.
Persoalan murtad ini diangkat penulis karena murtad merupakan sesuatu yang bersifat sensitif, dan masih sering terjadi di dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Murtad ini akan lebih mendekati perkawinan beda agama. Jika dikaitkan antara keduanya hampir saling berhubungan yaitu salah satu pihak beda agama.
Namun perbedaan keduanya adalah perkawinan beda agama adalah perkawinan beda agama merupakan keinginan melakukan perkawinan antara laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan lahir batin dengan tetap pada agama masing-masing yang berbeda, sedangkan persoalan murtad terjadi ketika perkawinan sudah berlangsung, dan salah satu pihaknya melakukan peralihan agama di dalam perkawinan tersebut.
Ada asumsi yang mengatakan bahwa banyaknya peceraian perkawinan yang diakibat oleh peralihan agama, dikarenakan tidak diaturnya dalam Undang-Undang Perkawinan tentang perkawinan beda agama, sehingga terjadi penyeludupan hukum dengan berpura-pura memeluk agama yang satu (Islam). Apakah benar asumsi yang demikian ?.
Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, telah dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam Agama Islam pihak yang akan menikah harus menganut agama yang sama atau wanita kitabiyah, jika kedua pihak belah pihak itu berlainan agama atau bukan wanita kitabiyah dalam Islam perkawinan tersebut dilarang. Sehingga berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dari Undang-Undang Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satu pihak harus ikut menganut agama Islam atau wanita kitabiyah. Mengenai wanita kitabiyah ulama masih berbeda pendapat tentang kebolehannya.
Contoh kasus tentang perkawinan yang diputuskan karena murtad antara lain:
Siti Maryam binti Abu Yahya, umur 27 tahun agama Islam menikah dengan Junaedi bin Manap umur 32 tahun beragama non-Islam, menikah secara Islam di KUA Kecamatan Kebayoran Baru, setelah dikaruniai lima orang anak, suami (Junaedi bin Manap) kembali ke agamanya semula non-Islam (murtad). Otomatis meraka harus diceraikan berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Barat No. 37/l/1985 tanggal 11 Mei 1985.
Leginingsih binti Legito Amir, umur 23 tahun beragama Islam menikah secara Islam di KUA Kecamtan Kebayoran Lama, dengan laki-laki non-Islam yang bernama Supartono bin Josowidagdo umur 37 tahun diputuskan cerai dengan penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanggal 27 Oktober 1983 No. 394/1983, setelah mendapat 4 (empat) orang anak dari suaminya yang semula beragama non-Islam tersebut karena suaminya kembali keagamanya semula non-Islam (murtad).
Ny. Susiawati binti Karyani, umur 20 tahun yang menikah secara Islam di KUA Tanah Abang dengan Suratno bin Tronowidjojo agama non-Islam, setelah dikaruniai 2 (dua) orang anak telah ditetapkan cerai oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 109/1984 tanggal 4 Oktober 1984, karena suaminya murtad yaitu kembali keagamanya semula non-Islam.
Banyaknya kasus yang terjadi peralihan agama setelah pernikahan secara Islami, membuat penulis berkeinginan meneliti lebih jauh apakah yang harus dilakukan terhadap persoalan ini dan akibat hukum apa saja yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut?.

Teori Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu aktivitas, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan aktivitas-aktivitas yang lain. Selain aktivitas itu mempunyai tujuan tertentu, aktivitas ini juga didorong oleh sesuatu yang menyebabkan terjadinya aktivitas tersebut; demikian juga dengan perkawinan. Selain perkawinan itu mempunyai tujuan tertentu, perkawinan juga mempunyai pendorong tertentu pula, sehingga seseorang melangkah ke jenjang perkawinan.
Berkaitan dengan “pendorong” ini, timbul suatu pertanyaan apakah yang mendorong ataupun melatarbelakangi terjadinya perkawinan itu?.
Manusia sebagai makhluk hidup yang lebih sempurna bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk hidup yang lain, khususnya dengan hewan. Dengan kelebihan yang ada pada manusia, maka sudah sewajarnya bahwa manusia dapat menggunakan kelebihan itu dengan baik, misalnya manusia dapat berpikir, manusia mempunyai kata hati.
Filsuf Yunani yaitu, Aritoteles mengemukakan bahwa manusia itu adalah zoon politikon, yaitu selalu mencari manusia yang lain untuk hidup bersama dan kemudian berorganisasi. Hidup bersama merupakan gejala yang biasa bagi seorang manusia, dan hanya manusia-manusia yang memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu hidup mengasingkan diri dari orang-orang yang lain.
Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan–kebutuhan seperti makhluk hidup yang lain, baik kebutuhan-kebutuhan untuk melang-sungkan eksistensinya sebagai makhluk, maupun kebutuhan-kebutuhan yang lain. Kebutuhan manusia tidak terbilang banyaknya, kiranya kurang mungkin untuk menginvetarisasi kebutuhan-kebutuhan seluruhnya. Karena itu pada umumnya kebutuhan itu diklasifikasi untuk lebih mudah melihat secara menyeluruh.
Menurut Gerungan yang dikutip dari buku Bimo Walgito bahwa ada tiga macam kelompok kebutuhan manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan theologis. Hal ini didasarkan atas pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk biologis, sosial dan relegi.
Selanjutnya menurut Maslow yang dikutip dari buku Bimo Walgito, bahwa ada beberapa kebutuhan yang ada pada manusia yang sifatnya hirarkhis. Sesuatu kebutuhan akan timbul bila kebutuhan yang lebih rendah telah terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia itu adalah:
The physiological needs, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisiologis, dan kebutuhan-kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling kuat di antara kebutuhan-kebutuhan lain.
The safety needs, yaitu merupakan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan hubungan rasa aman.
The belongingness and love needs, yaitu merupakan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan hubungan dengan orang lain, merupakan kebutuhan sosial.
The esteem needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan penghargaan, termasuk rasa harga diri, rasa dihargai.
The needs for self-actualization, yaitu kebutuhan untuk mengakutalisasikan diri, kebutuhan ikut berperan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia pada dasarnya yang dapat digolongkan menjadi :
Kebutuhan yang bersifat fisologis, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan kejasmanian, kebutuhan-kebutuhan yang diperlu-kan untuk mempertahankan eksistensinya sebagai makhluk hidup misalnya kebutuhan akan makan, minum, seksual, dan udara segar.
Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat psikologik, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan segi psikologis, misalnya kebutuhan akan rasa aman, rasa pasti, kasih sayang, harga diri dan aktualisasi diri.
Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sosial, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan interaksi sosial, kebutuhan akan berhubungan dengan orang lain, misalnya kebutuhan berteman dan kebutuhan bersaing.
Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat religi, yaitu kebutuhan-kebutuhan untuk berhubungan dengan kekuatan yang ada diluar diri manusia kebutuhan untuk berhubungan dengan sang pencipta.
Perlu dikemukakan di sini sekalipun adanya bermacam-macam golongan kebutuhan seperti yang dijelaskan di atas, namun tidak berarti kebutuhan-kebutuhan itu terpisah satu dengan lainnya.
Setiap kebutuhan-kebutuhan yang ada di atas memerlukan pemenuhan, karena itu manusia selalu berusaha untuk memenuhinya. Perkawinan sangat berkaitan dengan kebutuhan fisologis yaitu kebutuhan seksual, kebutuhan psikologis yang berkaitan dengan rasa kasih sayang, kebutuhan sosial kebutuhan untuk berteman dan bermasyarakat, dan kebutuhan religi yang didasari oleh kepercayaan sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh individu bersangkutan.
Demikian eratnya kebutuhan akan perkawinan dengan kehidupan manusia memberi arti penting tentang keberadaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dengan adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, diharapkan perkawinan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia dapat berjalan dengan baik dan benar.



baca selengkapnya..

komunitas hukum indonesia, KPK Periksa Gubernur Riau

Jakarta, (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu, memeriksa Gubernur Riau, Rusli Zainal terkait dugaan korupsi pemanfaatan hasil hutan di Siak, Riau.

Juru Bicara KPK, Johan Budi ketika dikonfirmasi di Jakarta membenarkan Rusli telah datang memenuhi panggilan KPK.


"Yang bersangkutan dimintai keterangan saksi," kata Johan.

Berdasar informasi, Rusli menjalani pemeriksaan di gedung KPK sejak pukul 10.00 WIB. Sampai dengan pukul 15.00 WIB, Rusli masih diperiksa.

Belum ada keterangan resmi tentang materi pemeriksaan tersebut.

Sebelumnya, Rusli tidak memenuhi panggilan KPK, sehingga jadwal pemeriksaan harus ditunda.

Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Siak, Arwin AS sebagai tersangka kasus pemanfaatan hutan di Kabupaten Siak, Riau.

"AAS sudah ditetapkan sebagai tersangka beberapa waktu lalu," kata Juru Bicara KPK Johan Budi.

Johan mengatakan, Arwin diduga menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) kepada sejumlah perusahaan di Siak pada tahun 2001 sampai 2003.

"Pemberian izin itu diduga tidak sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Johan menambahkan.

Menurut Johan, pemberian izin itu mengakibatkan terganggunya perekonomian yang mangakibatkan kerugian negara. Namun, Johan belum bersedia merinci jumlah kerugian negara yang dimaksud.

Selain itu, Arwin juga diduga menerima sejumlah pemberian akibat penerbitan izin usaha itu.

Akibat perbuatan itu, KPK menjerat Arwin dengan pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 dan atau pasal 5 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Untuk mengembangkan kasus itu, KPK juga memeriksa Kepala Dinas Kehutanan Riau, Asral Rahman dan Direktur Utama PT SSL, Samuel Sungjadi.

Beberapa waktu lalu, tim penyidik KPK telah melakukan penggeledahan di sejumlah tempat di Siak. Selain menggeledah kantor Bupati Siak, KPK juga telah menggeledah sejumlah kantor perusahaan kayu.

Kasus itu adalah pengembangan kasus serupa yang menjerat Bupati Pelalawan, Riau, Tengku Azmun Jaafar. Azmun telah dinyatakan bersalah dalam kasus itu.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) Susanto Kurniawan mengatakan, sedikitnya ada lima izin perusahaan yang dikeluarkan Arwin pada periode tersebut yang diduga bermasalah.

Perusahaan yang menerima izin itu antara lain PT National Timber seluas 8.200 hektar, PT Balai Kayang Mandiri (21.450 hektar), PT Bina Daya Bintara (8.000 hektar), PT Rimba Mandau Lestari (6.400 hektar), PT Rimba Rokan Perkasa (21.500 hektar), dan PT Seraya Sumber Lestari (16.875 hektar).

"Apabila dirunut pemberian izin rencana kerja (RKT) untuk perusahaan yang bermasalah, maka kemungkinan besar kepala dinas kehutanan bisa terseret dalam kasus ini. Dalam penerbitan RKT yang merekomendasikan adalah Kepala Dinas Kehutanan Riau," katanya.

Sebelumnya Johan Budi juga mengatakan untuk mengembangkan kasus itu, KPK juga memeriksa mantan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Asral Rahman.(*)

baca selengkapnya..

komunitas hukum indonesia



Lihat Kartu Ucapan Lainnya
(KapanLagi.com)



baca selengkapnya..

Monday, September 14, 2009

KOMUNITAS HUKUM; MEMBANGUN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMERINTAHAN

Oleh
Muhammad Darwis

Kinerja pemerintah yang menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih sudah merupakan sesuatu yang direalisasikan. Hal ini penting untuk mendukung dan merealisasikan percepatan proses pembangunan yang merata dan berkeadilan. Segala persoalan yang timbul ditengah-tegah masyarakat yang kompleksitas harus mampu dicarikan segera solusi secara arif dan bijaksana. Untuk itu sebagai pelayan masyarakat (baca pemerintah) harus mampu meningkatkan performa, stamina dan kinerja yang mampu menjawab segala tuntutan yang kompleksitas tersebut. Karena jika tidak akan terjadi peningkatan nilai apatisme ditengah masyarakat sehingga akan menurunkan peran serta atau partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal yang harus dikhawatirkan juga adalah timbulnya gejolak dan gelombang anarkisme ditengah masyarakat. Karena secara sosial jika sebuah tuntutan dan harapan yang ada ditengah masyarakat akan menimbulkan keletihan dan kepanikan sosial yang berujung dengan tindakan-tindakan yang mengedapankan fisik dan emosional yang berdampak buruk kepada kelangsungan tatanan hidup bermasyarakat. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi, karena mencegah itu lebih baik daripada mengobati.

Pada konteks hak dan kewajiban antara masyarakat dan pemerintah maka tidak ada kewajiban bagi masyarakat untuk menuntut dilayani, karena pelayanan bagi masyarakat adalah merupakan hak. Artinya pemerintah dalam hal ini para birokrat memposisikan dirinya untuk melayani masyarakat itu sendiri. Untuk itu bagi sebagian masyarakat kita yang mengambil profesi sebagai birokrat harus memahami dan menyadari posisi tersebut. Hal ini penting karena masyarakat telah menunaikan kewajibannya ( kadang dengan terpaksa dan dipaksa) dalam bentuk berbagai macam ketentuan seperti membayar pajak, retribusi, dan lain sebagainya. Pajak, retribusi dan segala bentuk kewajiban tersebut itulah yang dituntut dalam bentuk-bentuk kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan pelayanan publik yang maksimal Seperti jaminan akan rasa aman, kebebasan berekspresi, fasilitas umum yang memadai, jaminan untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik, tepat dan murah jaminan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan publik secara jelas, benar dan langsung. Yang menjadi catatan penting adalah bahwa segala bentuk dan jenis tuntutan tersebut harus mampu disampaikan dengan baik dan benar pula. Komunikasi yang jujur, transparan, berimbang dan produktif harus dikedepankan. Dan menjadi catatan penting pula bagi pemerintah, pada mayoritas masyarakat nilai-nilai musyawarah, jujur, keikut sertaan atau partisipasi masih tertanam didalam keseharian mereka. Biasanya gejolak dan tindakan-tindakan yang diluar kebiasaan itu muncul karena komunikasi yang tersumbat, respon balik yang tidak ada terhadap persoalan-persoalan yang muncul.

Kenapa masyarakat menuntut haknya?. Selain dari tuntutan tentang segala yang berkaitan dengan jaminan baik dalam pendidikan, kesehatan, rasa aman dan lain sebagainya itu. Para pelayan masyarakat (baca: birokrat) harus mengakui dan memiliki kesadaran bahwa dari pungutan-pungutan dalam bentuk pajak, retribusi dan sumbangan lainnya tersebut yang dituangkan dalam bentuk anggaran pendapatan belanja daerah, disitu tercantum alokasi belanja aparatur. Alokasi yang memang diperuntukkan bagi mendukung dan mensupport segala bentuk tugas dan tanggung jawab para birokrat. Dan pada konteks riau yang setelah otonomi dilaksanakan alokasi anggaran bagi belanja aparatur selalu saja meningkat. Mulai dari gaji yang meningkat, honor yang meningkat, fasilitas yang baik, tunjangan kemahalan sampai ada yang disebut dengan gaji ketiga belas. Semua itu merupakan wujud kepedulian, keberpihakan yang jelas dan kepercayaan dari masyarakat pembayar pajak terhadap eksistensi dan masa depan para birokrat. Tapi sayang kenaikan dari anggaran belanja aparatur yang setiap tahun meningkat tidak mampu memberikan dampak positif terhadap moleknya performa kinerja birokrat terhadap peningkatan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran masyarakat pembayar pajak tersebut. Justru peningkatkan tersebut menimbulkan keresahan sosial ditengah masyarakat. Pembangunan hanya dicicipi oleh sebagaian golongan, marginalisasi pada masyarakat kota dan desa semakin lebar, kue pembangunan hanya di semai pada lokasi saja. Padahal jurang kemiskinan itu terdapat pada masyarakat pinggiran dan kampung-kampung. Belum lagi persoalan kebocoran anggaran yang hasilnya memang sangat-sangat dinikmati oleh segelintir orang saja. Kita memaklumi bahwa treatment untuk mencegah gerak korupsi salah satunya adalah peningkatan kesejahteraan bagi para birokrat yang berpenghasilan rendah. Walaupun tidak ada jaminan atas itu karena korupsi berkaitan dengan besar dan luasnya kekuasaan yang dimiliki dan moralitas yang terpatri didiri para birokrat itu sendiri. Karena justru korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan dan berpenghasilan relatif tinggi. Kita sepatutnya mengkhawatirkan masyarakat yang memiliki pandangan bahwa kemiskinan menyebabkan orang korupsi, yang sesungguhnya bahwa korupsi lah yang sebenarnya menyebabkan kemiskinan. Untuk itu bagi para birokrat harus segera merefleksikan diri bahwa peningkatan kesejahteraan berupa gaji dan bentuk lainnya bukan semata-mata untuk mencukupi kebutuhan individu semata tetapi jauh dari itu untuk memberikan pelayanan secara maksimal kepada publik.

Pada kondisi kekinian timbul sikap mental yang mengkhawatirkan dikalangan penyelenggara pemerintah berupa sikap ’memiliki’ dan ’menguasai’ atas apa yang merupakan amanat dari masyarakat pembayar pajak. Dimana pada pikiran mereka kebijakan dan penggunaan anggaran adalah merupakan milik mereka sehingga orientasi keberpihakan kepada masyarakat semakin lemah, justru keberpihakan itu dibangun untuk mengakomodir kepentingan dan kroni-kroni mereka saja. bahwa mereka (baca birokrat) memposisikan pada sebuah ruang dan masyarakat pembayar pajak pada sisi ruang yang lain. Sehingga

Fenomena hidup bermasyarakat dan bernegara seperti itu tentunya harus ditiadakan setidaknya harus diminimalisir. Agar cita-cita dari pendiri dan penggagas negeri ini bisa terwujud. Untuk itu ada beberapa catatan yang harus dilakukan bagi pemerintah saat untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih antara lain bagi setiap penyelenggara pemerintahan terutama pucuk pimpinan harus memiliki integritas yang tinggi. Integritas adalah sebuah sikap untuk menjaga dan mempertahankan martabat, marwah dari amanah yang diembah. Integritas memiliki sikap yang jujur, tegas, tegar, dan pantang menyerah. Hal ini penting dimiliki bagi para pucuk pimpinan disaat kondisi moral bangsa ini runtuh. Dengan pemimpin yang memiliki integritas tinggi diharapkan mampu memberi contoh, sikap, tindakan dan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat banyak ditengah-tengah tuntutan, desakan, intervensi dan tiupan kepentingan yang justru cenderung untuk mencari kepentingan sesaat. Dengan moralitas dan integritas yang tinggi diharapkan juga nantinya dapat diturunkan kepada level yang lebih rendah. Buah mangga yang memiliki aroma yang harum jika jatuh dari pohonnya tentulah tidak jauh jatuhnya dari batangnya. Begitu pula jika seorang pucuk pimpinan disetiap tingkatan dapat berlaku baik, jujur,tegas dan tegar, kita yakin penyakit kronik dari persoalan daerah dan bangsa ini dapat diobati.

Selain itu dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih tuntutan terhadap akuntabilitas merupakan sebuah keharus. Akuntabilitas ( pertanggungjawaban) dari setiap kebijakan yang dikeluarkan harus dijalankan. Tentunya disetiap tingkat memupuk integritas pertama: mendorong terciptanya pertanggungjawaban (akuntabilitas) pemerintahan.


baca selengkapnya..

KOMUNITAS HUKUM ; Mengugat Riau

oleh
muhammad Darwis
Kata menggugat pada pemaknaan kata benda mengandung arti sebagai bentuk rasa kekecewaan yang dialami oleh seseorang atau suatu pihak terhadap orang lain atau pihak lain. Kekecewaan seseorang atau pihak lain bisa saja berhubungan dengan semakin tidak sejalannya apa yang menjadi harapan dengan kenyataan. Seiring perjalanan waktu kekecewaan akan terakumulasi dalam bentuk pemuakan, tatkala rentang antara harapan dan kenyataan semakin melebar, dan tidak ada tanda-tanda akan kembali normal.


Kata menggugat pada pemaknaan kata kerja mengandung arti sebagai suatu gerakan moral untuk menghambat/mencegah terus berlangsungnya bentuk-bentuk perilaku yang menimbulkan kekecewaan tersebut. Menggugat dengan demikian berupaya untuk mengingatkan kembali apa-apa saja sebenarnya yang menjadi perjuangan moral, yang dalam realisasinya sudah menyimpang begitu jauh dari cita-cita moral itu sendiri. Dengan demikian, menggugat dalam arti kata kerja mengandung gerakan moral yang mengkritisi dan mengingatkan kembali seseorang atau kelompok orang untuk kembali ke pangkal jalan, dan mengayunkan kembali langkah-langkah baru pada rute yang seharusnya dan semestinya.
Pemaknaan dalam kalimat menggugat Riau dengan demikian dapat ditafsirkan sebagai gerakan moral untuk mengingatkan para pemegang-pemegang Teraju di Riau (Eksekutif maupun Legislatif), tentang langkah-langkah selama satu dan beberapa tahun belakangan ini, yang dinilai oleh elemen masyarakat telah mengalami pergeseran dari perjuangan dan cita-cita moral yang semestinya. Dengan tatanan pemahaman demikian, maka menggugat bukanlah perwujudan caci-maki yang tidak rasional, melainkan suatu upaya untuk memperbaiki suatu kondisi sosial ke arah yang lebih baik.
Beberapa catatan yang menjadi landasan untuk menggugat Riau, pada prinsipnya berhubungan dengan dimensi politik, hukum dan HAM, ekonomi, sosial, dan budaya, yang dalam tatanannya masih berserakan. Hal ini menjadi paradok, tatkala tanpa disadari, waktu telah menghantarkan kita berjalan selama 5 tahun dalam ruang waktu menuju Riau 2020. Apa yang sudah kita dapatkan selama itu ? Dalam tatanan riil, kampanye pemberantasan korupsi oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono justru ditanggapi dingin di Riau. Berbagai kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat di daerah ini, dalam proses penanganan hukumnya terkesan sangat lamban sekali.
Program K2I sebagai suatu program yang diarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Riau, masih belum menampakkan dampaknya terhadap perubahan kesejahteraan masyarakat. Tingkat kemiskin tetap saja berada pada persentase yang tinggi. Anak-anak usia sekolah yang putus sekolah dan atau tidak melanjutkan pendidikannya tetap saja terjadi di berbagai belahan daerah di Riau. Konflik agraria antara masyarakat hukum adat dengan investor belum mendapatkan suatu model penyelesaian yang permanen.
Sebagian besar masyarakat di Riau sebenarnya berharap kiranya permasalahan dan aspirasi masyarakat di Riau bisa diperjuangkan oleh anggota DPR/DPD asal Riau di tingkat Pusat. Tapi harapan itu hanya tinggal harapan. Sejauh ini peran wakil rakyat asal Riau di Pusat belum menunjukkan peran yang optimal dalam memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi masyarakat Riau. Kondisi ini diperburuk lagi dengan lakon yang dipertontonkan oleh para wakil rakyat di DPRD Riau dalam konteks hubungan Eksekutif-Legislatif, dan dalam kontek hubungan antar pejabat daerah, seperti antara Gubernur dengan para Bupati/Walikota, antara Bupati/Walikota suatu daerah dengan Bupati/Walikota daerah lainnya, yang kental dengan egoisme daerah, yang semuanya telah melemahkan Riau.
Haruskan peristiwa/kejadian yang berlangsung di depan mata kita dan di dalam rumah kita ini dan sebenarnya merugikan Riau secara keseluruhan ini kita biarkan ? Tidak ! elemen masyarakat Riau berkewajiban untuk mengingatkan para pemegang teraju di dearah ini untuk kembali menata tatanan kehidupan di berbagai bidang, untuk merajut kembali benang-benang yang selama ini sudah kusut. Masyarakat berkewajiban untuk membangunkan dan menyadarkan berbagai komponen pemerintahan di daerah ini akan kekeliruan tentang kebijakan, prinsip dan persepsinya tentang Riau ke depan.
baca selengkapnya..

KOMUNITAS HUKUM; KEBERPIHAKAN APBD UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

oleh
muhammad


Salah satu dari agenda reformasi adalah pelaksanaan perwujudan demokratisasi dan otonomi daerah, yang diharapkan mampu memberi kesegaran dan pencerahan bagi penataan pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang baik merupakan terjemahan dari konsep good governance. Dalam konsep good governance dipapar tujuan, hak dan tanggung jawab yang harus diemban oleh Aparatur Pemerintahan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kalangan pengusaha (bussines) dan masyarakat untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik bagi sebesar-besar kesejahteraan kehidupan bersama.

Pelaksananan good governance secara tidak langsung dapat diterjemahkan dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD). APBD yang baik adalah APBD yang mampu menjawab dan memecahkan persoalan yang saat ini terjadi di masyarakat baik dari segi pemerintahan, ekonomi, sosial budya, maupun arah pembangunan ke depan. Saat ini menurut fraksi kami yang harus diadopsi dalam APBD adalah mampu memecahkan beberapa persoalan yaitu :

1. Mampu menerapkan konsep-konsep good governance dalam pemerintahan.
2. Mampu mengidentifikasi dan menangani masalah-masalah ekonomi dan sosial.
3. Mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan
4. Mampu meningkatkan derajad kesehatan masyarakat
5. Mampu meningkatkan dan mendorong peran usaha kecil dan menengah serta koperasi
6. Mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif
7. Mampu menentukan program pembangunan strategis.

1) Penerapan konsep good governance menjadi isu utama yang harus diterjemahkan dalam APBD, hal ini dilandasi dengan kesadaran akan pentingnya tata pemerintahan yang baik demi terwujudnya pelaksanaan pembangunan yang terarah dan tetap sasaran. Pemerintahan yang baik selain dilakukan melalui perubahan sistem seperti menerapkan sistem tranparansi, akuntabel, partisipatif masyarakat, keberpihakan kepada masyarakat, efektif dan efesien, serta bertanggung jawab, juga dapat dilakukan melalui program peningkatan kesejahteraan pegawai, peningkatan kinerja dan komitmen pegawai, peningkatan keahlian pegawai serta peningkatan kualitas pelayanan publik secara menyeluruh. Untuk itu secara terencana dan bertahap Pemerintah Kabupaten harus mengambil langkah penting untuk menata dan meningkatan kinerja elemen good governance secara optimal.

2) Peningkat pertumbuhan ekonomi masyarakat menjadi isu kedua setelah penerapan good governance. Sebagian masyarakat saat ini merupakan masyarakat pertanian dan perkebunan, serta masyarakat nelayan. APBD harus mampu memberikan kontribusi positif bagi peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat. Penanganan terhadap masyarakat pertanian dan perkebunan dengan masyarakat nelayan memiliki perbedaan dikarenakan situasi dan kondisi yang berbeda sehingga program yang dilaksanakan juga harus berbeda.

Masyarakat pertanian dan perkebunan memerlukan program yang terkait erat dengan pertanian dan perkebungan antara lain : sertifikasi pertanahan, distribusi pupuk subsidi, kondisi pasar yang layak dan terjangkau. Sedangkan masyarakat nelayan memerlukan program antara lain : peralatan nelayan, bahan bakar minyak Subdisi, perizinan kelautan, tempat pelelangan ikan (TPI), serta peningkatan keamanan.

3) Kualitas dan kuantitas pendidikan menjadi isu ketiga setelah pertumbuhan ekonomi. Pendidikan merupakan aset yang harus disalurkan kepada seluruh masyarakat. Peningkatan pendidikan melalui APBD dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan. Kondisi pendidikan saat ini masih pada tahap riskan, selain jauh dari informasi dan kelengkapan peralatan pendidikan seperti buku, dan alat perangga serta laboratorium. Selain itu peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan yang perlu diperhatikan lagi adalah tingkat kesejahteraan para guru.

4) Setelah tercukup kebutuhan pendidikan, kebutuhan lain yang diperlukan adalah tercukupinya aspek kesehatan. Kesehatan masyarakat merupakan hak azazi manusia, dalam APBD proyeksi peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan melalui memperbanyak dan meningkatkan kualitas puskesmas sebagai basis kesehatan masyarakat, pemberian kesehatan gratis kepada maysarakat miskin, dan membangun sistem pencegahan terhadap penyebaran suatu virus berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

5) Peningkatan kerjasama dan kebersamaan pemerintah dengan masyarakat dalam bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam bidang ekonomi adalah meningkatkan dan mendorong peran usaha kecil dan menengah dan koperasi, sebagai basis perekonomian masyarakat. Pemberdayaan usaha kecil dan menengah serta koperasi dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan dan manajemen koperasi, serta peningkatan jenis dan macam-macam usaha kecil dan menengah serta koperasi yang sesuai dengan kondisi daerah. Pergerakan usaha kecil dan menengah serta koperasi harus mendapat perhatian khusus karena saat ini usaha kecil dan menengah serta koperasi belum mendapatkan posisi yang tepat dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.

6) Mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, merupakan hal yang harus diciptakan melalui APDB antara lain membuka askes ke daerah-daerah pertanian, perkebunan dan kelautan seperti penambahan dan perbaikan jalan, peningkatan jaringan telekomunikasi dan informasi serta kelistrikan sebagai akses utama untuk sebuah industri. Pembukaan askes ke daerah-daerah terpencil bukan untuk kepentingan bisnis semata juga termasuk kepentingan masyarakat. Selain iklim usaha investor juga perlu dilakukan adalah menciptakan iklim usaha yang sehat dan bersaing antara sesama pengusaha lokal, dengan menerapkan sistem terbuka, yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepoteisme.
7) Penentukan program pembangunan Strategis adalah hal yang urgen dilakukan, pembangunan secara yang terencana, sestematis dan tepat guna serta ketatnya pengawasan baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen maupun DPRD sendiri, merupakan kunci utama keberhasilan pembangunan strategis.


baca selengkapnya..

PAKAR HUKUM; 2007 DAN GERAKAN HIDUP SEHAT TANPA KORUPSI oleh Nurcahyadi Tak berselang lama kita akan memasuki tahun 2007, setelah selama satu tahun

oleh
Nurcahyadi

Tak berselang lama kita akan memasuki tahun 2007, setelah selama satu tahun menjalani dinamika berbagai kehidupan ditahun 2006. dan akhir tahun selalu dijadikan momen untuk melakukan refleksi dan evaluasi atas apa yang telah dilakukan selama satu tahun kebelakang. Walaupun seharusnya refleksi atau evaluasi itu haruslah dilakukan setiap waktu, karena sedetik, sehari apalagi setahun, waktu yang telah terlewati tidak akan pernah bisa kembali. Dan Nabi Muhammad SAW bersabda; merugilah orang-orang yang menyia-nyiakan waktu. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Sungguh sebuah nasehat yang mengandung nilai yang amat dalam didalam menjalani kehidupan sehari-hari terlebih lagi didalam hidup berbangsa dan bernegara. Dalam konteks sebuah negara seluruh elemen masyarakat dari berbagai tingkatan sosial dan golongan tentunya harus mau dan mampu memberikan kontribusi positif dalam tiap derap langkah kehidupan bernegara yang saat ini masih dihadapi dan akan selalu menghadapi berbagai persoalan yang sangat kompleks kedepan. Yang solusi jawaban dari berbagai persoalan tersebut tergantung bagaimana kita mampu merumuskan, mengidentifikasi dan yang sangat penting adalah keseriusan dan komitmen didalam mencari jalan keluar yang terbaik dari berbagai persoalan.

Salah satu persoalan berat dan kritis yang dihadapi oleh bangsa dan daerah ini adalah menyebarnya penyakit yang bernama ’virus korupsi’, dan tak satu orangpun memungkiri dan membantahnya. Era reformasi yang telah berjalan delapan tahun lebih, belum mampu mengatasi menyebarnya virus korupsi yang justeru dari tahun ketahun semakin meluas menusuk keberbagai sendi dan tatanan kehidupan. Mulai dari lembaga eksekutif, legislatif sampai ke yudikatif. Yang merupakan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab didalam memberantas virus tersebut. Ternyata Sapu sebagai pembersih lantai yang kotor telah kotor lebih dahulu. Mulai dari dana buat program orang-orang yang miskin dan generasi muda yang bodoh, sampai dengan bantuan untuk pembangunan mesjid pun telah dirasuki oleh virus korupsi ini. Virus korupsi telah begitu endemik di negeri yang bernama Indonesia.

Layaknya virus, semua orang pasti sangat mengkhawatirkan. Baik itu virus yang menerpa CPU yang ada di komputer atau lap top. Virus mematikan yang perkembang biakannya dari unggas yang disebut dengan virus flu burung (Avian Influenz). Virus HIV/AIDS yang menyerang kekebalan tubuh seseorang karena disebabkan kerap ’jajan’. Virus yang menyerang binatang ternak peliharaan yang disebut dengan antrax, dan banyak lagi virus mematikan lainnya. Dan terhadap virus ini telah menjadi sorotan dan perhatian serius bagi pemerintah didalam penanggulangannya. Terlebih akhir-akhir ini dengan semakin meluasnya penyebaran virus yang telah banyak memakan korban yaitu virus flu burung. Dan layaknya pemerintah segera melakukan rapat, koordinasi, sosialisasi dan kampanye. Baik itu dimedia cetak, elektronik, pemasangan spanduk, leaflet dan lain-lain. Memberikan ganti rugi sampai dengan penindakan dengan memberikan pengobatan gratis agar tidak jatuh korban nyawa. Untuk itu semua dialokasikan anggaran yang tidak sedikit dari uang rakyat pembayar pajak. Realistis memang jika bekerja dengan logika tanpa logistik tentunya para penyelenggara pemerintah tidak akan maksimal. Dan terakhir pemerintah menyampaikan himbauan di koran dan ditelevisi dengan jas dan dasi yang necis sambil berkata; kepada seluruh masyarakat agar selalu waspada dan selalu menjaga kebersihan lingkungan mulai dari keluarga sampai dengan lingkungan yang lebih luas. INGAT!!! bahwa kebersihan adalah sebahagian dari iman.

Lain halnya dengan virus korupsi, yang tidak kalah mematikan dengan membunuh secara perlahan ( killing the soflty) harapan jutaan orang-orang miskin yang memiliki hak yang sama untuk hidup lebih layak. Penanggulangan seakan dicuaikan dan terkesan dijadikan anak tiri dari persoalan bangsa. Mungkin rapat-rapat dan kordinasi didalam membahas penanggulangannya sangat intens, tetapi ketika saat sosialisasi, kampanye diberbagai media cetak sangat minim. Apa lagi untuk hal pencegahan dan penanggulannya. Sepertinya untuk virus yang satu ini kita ( baca: pemerintah ) kuat di modul tetapi lemah di modal. Dan realistis hal ini terjadi karena kebijakan konsep, action dan anggaran sangat minim. Dan lebih realistis lagi hal ini terjadi jika kita katakan bahwa virus korupsi tersebut menyebar dan mengakar ditubuh para mayoritas pejabat dan penyelenggara negara. Yang nota bene memiliki kekuasaan dan kewenangan penuh untuk membasmi atau bahkan menyemai virus korupsi itu sendiri. Tidak heran ketika memperingati hari AIDS sedunia, Hari anti narkoba di meriahkan dengan berbagai spanduk, dialog, kampanye sampai dengan gerak jalan santai. Namun ketika hari anti korupsi sedunia tiba, jangankan gerak jalan, spanduk dan himbauan pun dari pemerintah yang berkata; marilah kita waspadai penyebaran virus korupsi mulai dari kebersihan lingkungan keluarga yang terkecil sampai lingkungan yang lebih luas; INGAT!!! Kebersihan adalah sebahagian dari iman pun tak terdengar. Hanya sebahagian kecil dari masyarakat yang merayakan hari anti korupsi sedunia tersebut.

Jika ingin jujur sebenarnya dari berbagai virus yang kita hadapi saat ini, tidaklah terlalu sulit-sulit amat ( si amat aja ngak sulit ). Hanya metoda dan pendekatannya saja yang berbeda. Inti dari persoalan tersebut adalah bagaimana kita terutama pemerintah memiliki komitmen, kemauan, keinginan dan selalu istiqomah didalam memecahkan persoalan virus tersebut. Sama hal nya ketika Virus HIV dan flu burung menyerang negeri ini. Begitu sigap dan seriusnya para pucuk pimpinan negeri ini dan para pejabat senior bersikap dan bertindak. Seharusnya begitu juga sikap dan tindakan yang dilakukan oleh para pucuk pimpinan negeri ini dan para pejabat senior serta pegawai dibawahnya terhadap virus yang bernama korupsi. Toh dampak dari virus ini sama bahayanya, yaitu dapat menyebabkan kematian. Dan tidak ada perbedaan atas kematian dari virus tersebut. Apakah nyawa seorang manusia yang diakibatkan oleh virus korupsi tidak sama harganya dengan nyawa seorang manusia yang diakibatkan oleh virus flu burung atau virus lainnya?. Bahkan, bukankah virus korupsi ini merupakan penyebab lahirnya virus-virus lain?. Dana kesehatan yang dipotong, dana pendidikan yang disunat, dana program orang miskin yang disikat, dana pembuatan jalan umum yang dibabat, tentunya telah melahirkan berbagai macam virus.

2007 sebagai tahun yang akan menggantikan perjalanan satu tahun di 2006, hendaknya dimaknai bagi kita semua terutama bagi kalangan pemerintah sebagai pemangku kekuasaan dan pemegang amanat rakyat sebagai tahun untuk bersama-sama kita bergandeng tangan, menyisingkan lengan baju, sungguh-sungguh, serius dan berkomitmen untuk memberantas berkembang biaknya virus korupsi. Tahun 2007 kita jadikan tahun Gerakan Hidup Sehat Tanpa Korupsi. Ditahun 2007 Genderang perang kita tabuh untuk melawan dan membasmi korupsi. Para pucuk pimpinan dan para pejabat senior negeri ini harus ( mulai ) bertindak dan bersikap tegas didalam memberantas virus ini. Tunjukkan kinerja dengan komitmen dan kebijakan yang strategis, konseptual dan aplikatif didalam pemberantasan virus korupsi. Yakin bahwa rakyat akan selalu bersama para pemimpin yang memiiki komitmen tersebut. Karena virus korupsi yang dibungkus dengan baju suap, uang pelicin, uang rokok, pungutan ilegal, nyata-nyata menyebabkan kemiskinan dan kebodohan secara struktural yang merupakan persoalan besar yang dihadapi negeri ini. Virus Korupsi nyata-nyata telah merenggut ribuan bahkan jutaan harapan hidup generasi muda bangsa. Nyata-nyata korupsi telah mengakibatkan kecilnya gaji para pegawai rendahan dan polisi berpangkat kopral. Nyata-nyata korupsi telah meluluh lantakan hutan yang menyebabkan banjir, longsor dan putusnya sarana transportasi umum. Nyata-nyata korupsi telah mengakibatkan hengkangnya para investor yang ingin menanamkan modalnya dinegeri ini. Dan nyata-nyata virus korupsi telah menghancurkan tatanan kehidupan sosial di negeri ini. Mari kita jadikan virus korupsi merupakan musuh bersama (Common Enemy).

Rakyat ditahun 2007 harus melakukan konsolidasi dan sinergisitas didalam melakukan perlawanan terhadap virus korupsi. Sosialisasi dan kampanye yang konstruktif, berkesinambungan dan massif harus dilakukan. Generasi muda dinegeri ini harus diselamatkan dari virus korupsi dengan berbagai pendidikan, penyuluhan, pelatihan tentang bahaya laten virus korupsi. Disisi lain penegakan hukum didalam bidang korupsi harus terus ditegakkan. Para pelaku korupsi harus diberikan hukuman yang adil atas apa yang telah diperbuat sebagai wujud efek jera (Shock Therapy), sehingga virus korupsi dapat diminimalisir. Mari kita jadikan tahun 2007 sebagai Gerakan Hidup Sehat Tanpa Korupsi.



baca selengkapnya..

PAKAR HUKUM; Penguatan Masyarakat

oleh
muhammad darwis

Secara konseptual, penguatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh suatu masyarakat sehingga mereka dapat mengaktualisasikan jati dirinya, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat melepaskan diri dari perangkap kebodohan dan keterbelakangan. Dengan demikian penguatan adalah suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian baik bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik.


1. Penguatan di bidang sosial budaya, berarti menyangkut upaya peningkatan
kehidupan sosial budaya yang berakar pada nilai-nilai budaya yang
dimiliki oleh masyarakat setempat sehingga mereka tidak terserabut dari
akar budaya yag telah melingkupi kehidupan mereka selama ini.
2. Penguatan di bidang politik, berarti menyangkut upaya peningkatan
kemampuan dan pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk
mengambil keputusan sendiri mulai dari proses perencanaan sampai
dengan pemantauan dan evaluasi berbagai program pembangunan yang
mereka laksanakan.

Sasaran yang akan dicapai dari kegiatan ini adalah meningkatkan kegiatan pembangunan yang terencana dan partisipatif yang dikemas dengan muatan Penguatan Masyarakat. Karena itu dalam kegiatan ini menuntut untuk menempatkan masyarakat atau rakyat sebagi pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama dalam setiap tahapan kegiatan.

Skenario yang ada dalam program ini selalu diarahkan pada penciptaan kondisi dan lingkungan yang memungkinkan masyarakat dapat menikmati pembangunan yang sesuai dengan keinginan mereka serta memberi kesempatan yang lebih luas kepada mereka untuk melakukan pilihan-pilihan secara bebas dan mandiri sesuai dengan potensi dan karakteristik yang mereka miliki.

Dalam kegiatan ini, upaya memperkuat faktor pendidikan dilakukan dengan memberikan informasi, melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, menumbuhkan pola pikir yang rasional, mendorong kesadaran berpartisipasi dalam pembangunan, sehingga dapat tertanam benih-benih ”Modernisasi” dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian kegiatan ini akan menjadi wahana socio-cultural learning bagi masyarakat.

baca selengkapnya..

KOMUNITAS HUKUM; MENCIPTAKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

0leh
ferizal ahmad dan darwis
Pemerintah mempunyai peran sangat besar dalam pembuatan program pelayanan dan kebijakan publik. Berbagai regulasi dan peraturan yang menyangkut organisasi layanan publik sudah barang tentu mesti dirumuskan dengan mempertimbangkan kebutuhan publik. Tanggung jawab pemerintah tidak sekedar membuat dan menjalankan program yang bernilai ekonomis, tetapi yang lebih penting justru identifikasi apakah program dari kebijakan tersebut sudah sesuai dengan keinginan publik dan tidak malah membatasi ruang gerak masyarakat untuk bisa berkreasi secara produktif. Tingkat kehidupan masyarakat secara individual diharapkan bisa bertambah baik dan maju atas kebijakan pemerintah yang ditetapkan.

Beberapa negara berusaha memperbaiki kualitas pelayanan publik ini dalam rangka melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemerintah Inggris misalnya, di tahun 1998 berupaya merumuskan Public Service Agreements sebagai bentuk kesepakatan baru peningkatan pelayanan publik. Kesepakatan pelayanan publik ini dimaksudkan untuk menghimpun berbagai perbaikan khusus dalam pelayanan sebagaimana diharapkan masyarakat. Sementara di Australia, upaya memperbaiki kualitas pelayanan publik ini dilakukan dengan monitoring kinerja semua organisasi penyedia layanan publik secara berkelanjutan oleh Komisi Industri yang ditugaskan khusus pemerintah. Disinilah pemerintah mempunyai peran besar untuk mewujudkan ketercapaian perbaikan kualitas pelayanan publik dengan efektif.
Upaya memperbaiki kinerja organisasi layanan publik ini harus dilakukan secara terus menerus bila dilihat kemanfaatannya bagi masyarakat. Dengan demikan, para klien dan pengguna jasa organisasi publik tersebut dapat menerima layanan sesuai dengan kebutuhannya, lebih relevan dan efektif. Selain itu para wajib pajak menerima imbal balik yang sepadan dan efektif oleh karena mereka dapat menikmati pelayanan dari lembaga layanan publik dengan memuaskan.
Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan dengan memperbaki manajemen kualitas jasa yakni upaya meminimasi kesenjangan (gap) antara tingkatan layanan yang disediakan organisasi dengan harapan dan keinginan masyarakat pengguna (customer satisfaction). Dalam rangka memperbaiki kualitas layanan ini, organisasi layanan publik harus mampu meningkatkan teknik-teknik manajemen yang berorientasi pada kebutuhan customer/masyarakat pengguna. Pengukuran kinerja secara periodik sangat perlu dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat kesenjangan yang terjadi. Kinerja merupakan konsep yang multi dimensional dan banyak dipengaruhi berbagai macam faktor. Ukuran kinerja yang layak bagi organisasi layanan publik ini tidak sekedar bersifat finansial (input). Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome, karena outcome inilah variabel kinerja yang paling mewakili derivasi/penurunan dari misi organisasi sampai pada aktifitas operasional.
Outcome dapat dipergunakan untuk menilai aspek finansial dan non finansial, sekaligus tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan kontribusi ekonomi secara bersama-sama dapat diukur ketercapaiannya dengan mengidentifikasi outcome. Misalkan, keberhasilan sebuah Pemda Kota/Kabupaten bukan dilihat dari fasilitas-fasilitas yang dimilikinya (output) tetapi dari kemanfaatan langsung atas keberadaan fasilitas-fasilitas tersebut (outcome) bagi masyarakat. Sebagai contoh keberhasilan pembangunan sebuah gedung rumah sakit, bukan dilihat dari megahnya gedung tersebut, namun lebih jauh lagi adalah seberapa besar nilai strategis gedung tersebut bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Selanjutnya monitoring kinerja perlu dilakukan sebagai alat untuk mengevaluasi apakah pelayanan publik dan program-programnya ini sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Monitoring kinerja dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi apakah tingkat kualitas pelayanan publik sudah lebih baik dari pada sebelumnya. Dengan dilakukan monitoring kinerja secara berkelanjutan, sebenarnya akan membantu meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi layanan publik itu sendiri. Beberapa langkah penting, antara lain :
1. Menentukan indikator kinerja yang menggambarkan pencapaian tujuan organisasi sehingga ada kejelasan tentang apa yang sebenarnya hendak dicapai organisasi dan bagaimana cara mengukur pencapaian tujuan organisasi tersebut.
2. Memaparkan hasil pencapaian terhadap tujuan dan program berdasarkan indikator kinerja di atas.
3. Berdasarkan paparan hasil penilaian pencapaian tujuan dan programnya dapat diidentifikasi apakah organisasi sudah melakukan kegiatan secara efektif dan efisien sebagai dasar untuk perbaikan pelayanan pada masyarakat.
Pertanyaan mendasar dalam proses monitoring ini adalah, bagaimana sumber daya digunakan? dan apakah tindakan yang diperlukan untuk menjamin tercapainya pengelolaan sumber daya secara ekonomis, efisien dan efektif sudah dilakukan?. Jika organisasi layanan publik ini dimisalkan pemerintah/pemda, monitoring kinerja berarti menjawab pertanyaan tentang apakah pemerintah/pemda tersebut sudah mengelola sumber daya secara optimal dan menyediakan layanan terbaik untuk kepuasan masyarakat. Adanya perbaikan kualitas pelayanan dapat diidentifikasi dari menurunnya tingkat komplain dari masyarakat pengguna, kepuasan masyarakat dan meningkatnya jumlah kepercayaan masyarakat umum. Organisasi layanan publik harus berorientasi pada outcome dan bukan sekedar input dan output. Jadi indikator kinerja atas organisasi layanan publik bukan sekedar jumlah pengeluaran yang tidak melebihi anggaran tetapi yang lebih penting adalah tingkat kepuasan yang dirasakan oleh para masyarakat pengguna jasa tersebut karena harapan dan kebutuhannya dapat tercapai.
Jadi dapat disimpulkan bahwa buruknya kinerja organisasi layanan publik disebabkan karena organisasi layanan publik tersebut tidak berorientasi kepada masyarakat pengguna (apa yang dibutuhkan oleh masyarakat). Artinya, masyarakat pengguna bukan menjadi perhatian utama, dengan pertimbangan bahwa mereka pasti membutuhkan jasa atau layanan publik ini. Tanpa harus dengan pelayanan yang baikpun masyarakat pasti akan datang. Mindset seperti inilah yang seharusnya dirubah.
Kembali lagi kepada pemerintah, terutama pemda seharusnya berperan dan mengambil bagian sebagai otorisasi organisasi layanan publik agar memperbaiki kualitas layanan dengan penetapan regulasi dan kebijakan yang lebih aspiratif terhadap kebutuhan publik. Dalam kerangka ini, haruslah terjadi pergeseran fungsi birokrasi yakni yang hanya sebagai fasilitator, selayaknya birokrasi harus kembali ke hakikat fungsi yang sebenarnya yaitu sebagai public servant. Pemerintah yang desentralisasi dalam pelaksanaan otda saat ini, seharusnya menjadi lebih dekat dengan masyarakatnya serta lebih memahami aspirasi dan kebutuhannya. Hubungan pemerintah daerah dengan masyarakat seharusnya bukan berpola patron client, tetapi menempatkan masyarakat sebagai customer yang harus dilayani dengan baik. Pentingnya memperhatikan keinginan masyarakat inilah sebenarnya yang menjadi dasar dalam perbaikan kualitas layanan publik.



baca selengkapnya..

kOMUNITAS HUKUM; Pemberdayaan Perempuan

Kebijakan berbasis pengarus-utamaan (mainstreaming) gender pada era pasca reformasi tampak lebih mendapat perhatian lebih dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Pemerintah daerah propinsi Riau direncanakan akan mengalokasi anggaran pendanaan yang relatif lebih besar dari masa sebelumnya guna menyukseskan program berbasis pengarus-utamaan gender.
Persoalan perempuan di Riau antara lain terlihat dari masih tertatih-tatihnya perjuangan menuju kemandirian perempuan dan keterlibatan perempuan dalam keputusan-keputusan publik sangat dipengaruhi oleh kemandirian ekonomi. Hal ini dikarenakan posisi perempuan terutama di daerah pedesaan, masih belum otonom (mandiri) di hadapan suami atau laki-laki. Dengan kata lain, disaksikan pola ketergantungan perempuan terhadap kelangsungan hidup mereka pada laki-laki, yang akhirnya berimplikasi pada ketundukan yang merugikan dirinya.

Minimal terdapat dua cara pandang yang berbeda mengenai status ekonomi perempuan yang rendah. Pertama, rendahnya tingkat ekonomi perempuan dianggap sebagai penyebab status ekonomi perempuan di pedesaan rendah. Asumsinya: apabila perempuan-perempuan miskin ini mempunyai kesempatan untuk melakukan kerja yang produktif, penghasilan tersebut akan dapat menarik mereka keluar dari kemiskinan.
Kedua, menganggap status ekonomi perempuan yang rendah dianggap sebagai tidak masuk perempuan penuh sebagai "sumber daya manusia" dalam ekonomi. Penyebabnya adalah rendahnya pendidikan, manajemen waktu yang tidak mencukupi, dan kegiatan produktif dianggap tidak produktif yang efesien. Kegiatan subsistensi yang dianggap tidak produktif harus dihilangkan atau dimodernisir agar perempuan beroleh imbalan uang.
Selain itu, terdapat dua perspektif ketika melihat penyebab rendahnya status ekonomi perempuan pedesaan. Pertama, rendahnya tingkat ekonomi perempuan jangan dilihat sebagai perncerminan keterbelakangan, tetapi sebagai pencerminan subordinasi. Penyebaran sumber daya kerja dan pendapatan yang tidak berimbang di antara dua orang gender lebih dapat menerangkan rendahnya status ekonomi perempuan dalam ekonomi.
Kedua, pendayagunaan sumber daya yang tidak cukup dipakai oleh peempuan dalam rangka meningkatkan sumber daya dirinya. Hal ini disebabkan perempuan di pedesaan menghadapi ketertutupan akses sehingga mereka sulit untuk tampil di ruang publik.
Berbagai halangan baik secara kultural, stuktural maupun kombinasi keduanya, hanya dapat dihilangkan jika perempuan secara penuh mempunyai otonomi terhadap dirinya. Hal ini akan tercapai jika perempuan memiliki kemandirian dalam pemenuhan tuntutan ekonomi mereka dan keluarga masing-masing.
Agenda otonomisasi ekonomi perempuan menjadi signifikan lantaran pada dataran kultural disaksikan adanya konstruksi sosial di sekitar kita masih menempatkan perempuan pada posisi sub-ordinat, sementara laki-laki pada posisi super-ordinat. Laki-laki memiliki otoritas yang melebihi perempuan dan memiliki argumentasi berbasis kultural untuk selalu menempatkan perempuan pada posisi sub-ordinat dan mengalah. Kondisi ini membawa sangat sedikitnya peranan sosial perempuan yang dilembagakan. Kontribusi perempuan untuk menciptakan hubungan-hubungan ekstra-domestik dan memperoleh keuntungan darinya jarang diakui secara eksplisit.
Melihat realitas demikian, maka usaha agar perempuan di pedesaan untuk bekerja dan memiliki posisi ekonomi hendaknya menjadi faktor menentukan dalam meredefinisi hubungan mereka dengan laki-laki. Untuk itu kajian berikut akan memetakan akar persoalan yang melatari rendahnya posisi ekonomi perempuan di pedesaan Riau, sehingga pada gilirannya dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang sensitif terhadap kepentingan pemberdayaan ekonomi perempuan.


baca selengkapnya..

KOMUNITAS HUKUM “NEGARA IMPIAN”

Ketika berdiskusi dengan teman-teman tentang upaya yang harus dilakukan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, hal yang pertama terlontar adalah potong satu generasi dari umur 6 tahun ke atas, begitulah esktrimnya upaya untuk menciptakan negeri hayalan yang bernama Indonesia yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Diskusi kemudian berlanjut bagaimana mungkin anak umur 6 tahun ke bawah dapat hidup tanpa ada yang akan membimbing mereka, ketika seluruh genarasi dewasa telah tiada. Bingung semua peserta diskusi untuk menjawabnya.
Lalu upaya apa lagi yang kita harus diharapkan, melalui penegakan hukum masih jauh panggang dari api, kapan masaknya makanan jika jauh dari api, semua peserta tertawa. Sebegitu ironisnya peribahasa penegakan hukum terhadap korupsi, jika pejabat penegakan hukum masih terkontaminasi dengan virus korupsi. Melalui niat baik pemerintah (good will) kapan tumbuh adanya ?, meskipun saat ini sudah ada namun praktek KKN masih tetap merajalela. Kalau begitu harus masyarakat yang memulai untuk memberantas korupsi, bagaimana mungkin jika kondisi masyarakat saat ini masih sangat tergantung dari dana korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat untuk bertahan hidup. Lalu upaya apa dong ?

Generasi saat ini, dari kecil hingga dewasa telah didik untuk bersipat licik, agar dapat memenuhi kebutuhannya, lihat dari dongeng kancil yang sering diminat anak-anak betapa liciknya kancil agar dapat memenuhi kebutuhannya dikala waktu mendesak atau tidak. Ambil satu cerita ketika dia (red. kancil) ingin menyeberangi sungai, apa yang dilakukan oleh kancil ? Kancil membodohi buaya agar berbaris sepanjang badan sungai agar dapat dihitung untuk diberikan makanan, ini dilakukkan kancil demi kepentingan pribadi untuk menyeberangi sungai.
Masih banyak contoh lain yang mengajarkan generasi muda untuk bersipat licik dan selalu menang dalam kegiatan apapun. Masih banyak pepatah, cerita yang mengajarkan pada anak-anak generasi muda agar dapat melakukan hal-hal licik untuk kepentingan pribadi, tanpa menjelaskan nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita dan pepatah tersebut. Bahkan orang tua hanya berpesan pada akhir cerita jadilah seperti kancil.
Inilah awal dari sikap yang diajarkan kepada generasi muda agar mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan masyarakat, sehingga Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, serta menang dalam hal mementingkan kepentingan pribadi seperti penerapan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Memerangi korupsi memerlukan proses yang cukup panjang tidak sekedar pewacanaan di tingkat grass root dan elite, pemberantasan korupsi harus dimulai sejak dini bagi generasi muda, dengan memberikan pemahaman moral yang baik yang diajakan di rumah, sekolah maupun lingkungan, dalam menghadapi hidup dan kehidupan ini. Pemahaman ini dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan moral yang mengarah kesatu tujuan yaitu nilai kejujuran serta ditambahkan dengan pengetahuan akan dampak kerusakan akibat keburukan moral bagi suatu bangsa.
Saat ini pemberantasan korupsi hanya bersipat konsep setelah terjadinya tindak pidana korupsi, seperti pendirian lembaga yang berwewenang untuk menangani kasus korupsi selain kepolisian, namun tidak memiliki konsep pencegahan yang baik dan dilaksanakan secara istigomah guna menciptakan generasi muda yang baik yang anti korupsi.
Pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh gerakan yang bersipat masif oleh semua element masyarakat baik legislatif, eksekutif, penegakkan hukum, media massa, partai politik, dunia bisnis, mahsiswa, NGO, tokoh masyarakat, badan pengawas dengan meningkatkan kesadaran akan penting Indonesia bebas dari virus korupsi menjadi negara impian bukan negara hayalan.
Untuk kota Pekanbaru, Pemerintah Pekanbaru telah berupaya untuk melaksanakan percepatan pemberantasan korupsi di lingkungan aparatur pemerintahan berkerjasama dengan KPK, program ini harus didukung oleh seluruh masyarakat, karena pada aparatur pemerintahan inilah harapan pengembangan kota Pekanbaru ke depan. Pekanbaru sebagai pilot project percepatan penerapan anti korupsi di seluruh Indonesia merupakan aspirasi masyarakat yang menginginkan daerah ini bebas dari korupsi.
What next ? Langkah apa selajutnya untuk menciptakan pemerintah kota dan aparatur pemerintah yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme ? pertanyaan ini bertujuan bahwa Pekanbaru sebagai pilot project tidak hanya sebatas slogan yang dilakukan sempena peringatan hari anti korupsi sedunia.
Langkah Percepatan Pemberantasan Korupsi
Percepatan pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan melaksanakan prinsip good govenance dan clean goverment serta dilakukan berbagai perbaikian dalam pelayanan publik. Dalam prinsip good governace hal yang terpenting adalah terciptanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam bentuk perlibatan masyarakat (partisipatif) dalam setiap kebijakan pemerintah melalui pengawasan. Langkah percepatan pemberantasan korupsi dapat dilakukan :
1. Perlibatan masyarakat dalam kebijakan pembangunan pemerintah. Masyarakat bukan hanya dianggap sebagai objek dalam melakukan pembangunan oleh pemerintahan namun lebih kepada mitra pemerintah dalam menciptakan kebijakan. Masyarakat sebagai sistem pengawasan yang akurat karena lebih dekat dengan kebijakan pembangunan yang dilaksanakan serta penerima manfaat sekaligus penerima dampak pembangunan serta masyarakat sebagai pelaksana wajib pajak. Hal inipun telah diatur di dalam Kepres 80/2003 pasal 48 ayat 5: “unit pengawasan intern pemerintah melakukan pengawasan proyek/pembangunan, menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat mengenai masalah dan penyimpangan ………..” dan ayat 6: “pengguna wajib memberikan tanggapan/informasi kepada peserta/masyarakat yg mengajukan pengaduan/yg memerlukan penjelasan” serta ayat 7: “masyarakat yg tidak puas dgn tanggapan atau informasi yg disampaikan dpt mengadukan kepada menteri/penglima tni/gubernur/bupati/walikota dll”
2. Sistem tranparansi dan akutabilitas. Transparansi kondisi dimana setiap orang mampu mengakses setiap keputusan dan pelaksanaan yang berkaitan dengan kebijakan publik. Transparansi dilakukan bertujuan agar setiap kebijakan publik yang ditetapkan dapat dikritisi, dianalisa sehingga mendorong lahirnya partisipasi aktif. Lebih jauh lagi akan menumbuhkan sikap trust dari masyarakat yang merupakan pemilik kedaulatan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar. Sedangkan akuntabilitas merupakan sikap tanggung jawab terhadap tugas dan wewenang yang dimiliki oleh masing-masing pilar. Akuntabilitas dapat dilakukan dengan menciptakan moralitas yang baik pada setiap individu baik melalui peranan agama maupun peranan sosial masyarakat dan pelatihan lainnya.
3. Pendidikan sejak dini tentang bahaya korupsi bagi generasi muda. Generasi muda adalah harapan bangsa sehingga perbaikian perilaku generasi muda agar tidak mudah terjangkit virus korupsi merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk menciptakannya. Pelatihan dan gerakan anti korupsi harus mampu masuk ke sekolah sebagaimana yang telah dicanangkan oleh komisi pemberantasan korupsi.

baca selengkapnya..

KOMUNITAS HUKUM; MEMBANGKIT OTONOMI LOKAL (kajian sejarah pergerakan pembentukan kabupaten Rokan Hilir)

Muhammad Ansor
Muhammad Darwis

Abtraksi
Mengangkat hasil penelitian menjadi sebuah buku yang utuh bisa menguntungkan, tetapi bisa pula memalukan. Bagaimanapun, buku yang berawal dari sebuah penelitian dengan fokus utama memeriksa sejarah pembentukan dan implementasi otonomi daerah di Kabupaten Rokan Hilir, harus kami hadirkan ke hadapan pembaca. Rangkaian topik yang akan kami hadirkan dalam bab-bab buku ini merupakan bagian dari interpretasi atas acuan penelitian, tidak hanya dalam mengoperasikan kerja-kerja di lapangan, melainkan pula dalam menarasikan fenomena sosial di Kabupaten Rokan Hilir setelah tujuh tahun menjadi kabupaten sendiri ke dalam sebuah tulisan. Penelitian ini dipersiapkan sebagai sebuah studi tentang gerakan pembentukan Kabupaten Rokan Hilir dan implikasi implementasi otonomi daerah terhadap konstuksi sosial masyarakat Kabupaten Rokan Hilir. Namun di lapangan muncul sederat godaan untuk melakukan modifikasi-modifikasi kecil terhadap mainstream penelitian ini, sehingga rangkaian isi buku ini tidak memperlihatkan kesetiaan tinggi terhadap kerangka metodologis yang telah kami rancang sendiri pada saat memulai kerja lapangan. Bagaimana pun hal seperti ini dilakukan setelah konteks sosial yang kami temui dilapangan ketika melakukan penelitian. Desakan fakta-fakta dan data-data yang kemi temui di lapanganlah kiranya yang menjadi figur penggoda sehingga akhirnya memaksa menghianati metodologi yang kami rancang sendiri. Bagian pertama buku ini berisi pendahuluan. Lalu dilanjutkan dengan perbincangan tentang proses dan pergerakan pembentukan Kabupaten Rokan Hilir yang kami letakkan pada bab ke dua. Pembentukan Kabupaten Rokan Hilir disadari telah menorehkan sebuah catatan historis tentang pergulatan dan aktivisme masyarakat daerah ini dalam mewujudkan cita-cita kolektif mereka menjadi satu daerah administratif sehingga lebih memiliki kemandirian menentukan masa depan daerah mereka sendiri. Tetapi, cita-cita sosial itu tidak muncul dalam rentang singkat dari saat gagasan ini diintrodusir menjadi sebuah aksi lapangan. Pemaparan pada bagian ini akan memperlihatkan deretan pengalaman kegagalan yang menyelimuti hamparan pergerakan pembentukan Kabupaten Rokan Hilir sampai akhirnya kegagalan menyingkapkan sayap pada era reformasi. Selain pemaparan tentang dinamika pergerakan pembentukan Kabupaten Rokan Hilir, pemaparan pada bagian ini memperlihatkan pula konteks sosial politik hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang kemudian mengakumulasi sebagai respon moderat berupa keinginan pemekaran wilayah administratif. Implementasi cita-cita sosial pembentukan Kabupaten Rokan Hilir merupakan bagian menarik dicermati. Dinamika perjalanan masyarakat Rokan Hilir pasca keberhasilan mereka membentuk daerah administratif tingkat dua faktanya tidak secara serta merta memuluskan mereka mengusir semua problem sosial kemasyarakatan yang dahulu menginspirasi gerakan pemekaran tersebut. Pembahasan pada bab tiga akan menguraikan dinamika implementasi otonomi daerah di Rokan Hilir dengan menekankan pada capaian dan hambatan implementasi politik dasentralisasi ini. Studi pengalaman implementasi otonomi daerah di Kabupaten Rokan Hilir kami hadirkan dalam perbincangan pada bab empat dan lima buku ini. Mengangkat kasus pengalaman pemilihan umum 2004 dan dinamika pluralisme sosial di Kabupaten Rokan Hilir sebagai studi kasus untuk menganalisa implementasi politik desentralisasi ini; memperlihatkan elastisitas kerangka metodologis yang kami gunakan dalam menginterpretasi praktik-praktik otonomi daerah di Kabupaten Rokan Hilir. Terlepas dari itu, perbincangan tentang proses nominasi calon anggota legislatif di Kabupaten Rokan Hilir akan kami hadirkan dalam perbincangan di bab empat. Tidak semua partai politik akan ditempatkan sebagai pusat perhatian, melainkan hanya lima partai dominan dalam hal perolehan suara pada pemilu 2004: yakni, Partai Golkar, PDIP, PPP, PBR dan PDK. Tiga partai yang disebutkan pertama merupakan kekuatan politik dominan di daerah ini, sementara dua partai politik yang disebutkan terakhir merupakan kekuatan politik baru pasca pemilu 2004. Selanjutnya perbincangan mengenai praktik pluralisme sosial masyarakat dalam Rokan Hilir akan dihadirkan pada bab lima. Bab ini minimal akan menghadirkan empat sub pembahasan guna menganalisa praktik pluralisme sosial di Kabupaten Rokan Hilir. Empat sub pembahasan tersebut yakni pada kasus relasi antara etnis Melayu dan Tionghoa, organisasi massa Islam dengan fokus utama dinamika Nahdlatul Ulama Kabupaten Rokan Hilir, gerakan mahasiswa dan topik tentang relasi antara politik dan etnisitas di daerah ini. Demikianlah buku ini kami hadirkan. Sebelum mengakhiri, kiranya perlu kami mengutarakan, mengingat disparitas yang begitu berjarak antara cita-cita sosial gerakan pembentukan kabupaten dengan fakta sosial yang kini kita saksikan pasca tujuh tahun usia daerah ini berada di bawah rezim kemandirian (baca: otonomi daerah), maka sekarang adalah saat di mana masyarakat daerah ini menginsyafi perlunya satu momen historis dalam bentuk penyelenggaraan pemerintahan dan dengan penggunaan kekuasaan yang dengan sungguh-sungguh diwujudkan secara konsisten dengan cita-cita sosial para pendahulu mereka saat menggelorakan gerakan pembentukan Kabupaten Rokan Hilir


baca selengkapnya..

Wednesday, September 9, 2009

komunitas hukum indonesia

mengucapkan SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA, SEMOGA IBADAH YANG DILAKUKAN MENDAPATKAN NILAI KESEMPURNAAN DARI ALLAH SWT. AMIN


baca selengkapnya..

Tuesday, September 8, 2009

TEORI KORUPSI

1. DEFENISI KORUPSI
Korupsi (bahasa Latin: corruptio atau corruptus, corruptio berasal dari kata corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok), dari bahasa latin inilah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption dan Belanda corruptie, korruptie. Dari bahasa belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi. Korupsi mengandung arti: kejahatan, kebusukan, tidak bermoral dan kebejatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi diartikan sebagai kata busuk, rusak, buruk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Dengan kata lain korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Dalam kamus ilmiah poluper dinyatakan arti korup adalah curang; busuk; dan mudah disuap sedangkan korupsi diartikan kecurangan; penyelewengan/ penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi; dan pemalsuan.
Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas untuk pertama kalinya pada pasal 1, Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi:
Yang disebut tindak pidana korupsi ialah:
a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara atau Daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat;
b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalah-gunakan jabatan dan kedudukan;
c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17 sampai pasal 21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sedangkan versi Undang-Undang yang pertama kali mencantumkan pengertian korupsi pada pasal 1, Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagian besar pengertian korupsi dalam UU tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP), yang berbunyi:
Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 K.U.H.P.;
d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu;
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419 dan 420 K.U.H.P. tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
f. Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.
Perubahan terakhir Undang-Undang tentang tindak pidana korupsi yatiu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 Pasal 2 menyebutkan bahwa korupsi adalah :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)


2. BENTUK DAN JENIS KORUPSI
Dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 terdapat 30 rumusan bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terpisah dan terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang dikenakan pidana korupsi. Namun pada dasarnya 30 bentuk/jenis korupsi itu dapat dikelompokan menjadi:
a. Kerugian keuangan negara
b. Suap menyuap
c. Pengelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan
g. Gratifikasi
Dalam buku Toward A General Theory Of Official Corruption karangan Gerald E Caiden bentuk umum korupsi yang dikenal antara lain:
a. Berkhianat, subversi, transaksi luar negeri ilegal, penyeludupan
b. Mengelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri
c. Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana
d. Menyalahgunakan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya
e. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya, memeras
f. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan secara tidak sah, menjebak
g. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu
h. Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, menerima komisi
i. Menjegal pemilihan umum, memalsukan surat suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul
j. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi, membuat laporan palsu
k. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang miliki pemerintah dan surat izin pemerintah
l. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang
m. Menghidari pajak, meraih laba berlebih-lebihan
n. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan
o. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya
p. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap
q. Perkoncoan, menutupi kejahatan
r. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos
s. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.
Dilihat dari jenisnya korupsi menurut Benveniste dalam bukunya bureaucracy (1991) membagi korupsi dalam 4 jenis yaitu :
a. Discretionary corruption,
b. Illegal corruption,
c. Mercenery corruption dan
d. Ideological corruption.
Sedangkan Piers Beirne dan James Messerschmidt dalam criminology (1995) membagi korupsi dalam 4 jenis yaitu :
a. Political bribery,
b. Political kickbacks,
c. Election froud dan
d. Corrupt campaign practice



3. DAMPAK DAN AKIBAT KORUPSI
Korupsi merupakan faktor penghambat bagi pengembangan demokrasi, menghambat pelaksanaan tugas lembaga-lembaga publik serta penyalahgunaan sumber daya yang dimiliki baik alam maupun manusia secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Korupsi memupuk perilaku merahasiakan segala sesuatu dan penindasan. Kerahasiaan terlihat dari banyaknya pelaksanaan program pembangunan yang memiliki permasalahannya masing-masing di mulai dari pengajuan anggaran yang diperbesar (mark up), penggunaan anggaran yang diperkecil (mark down), kegiatan fiktif maupun kondisi yang tidak layak guna. Penindasan dijelaskan dengan kondisi ketidakmampuan masyarakat untuk menikmati hasil yang telah dilakukan oleh sebuah proses pembangunan.
Pada tatanan realitas korupsi banyak sekali menimbulkan kerugian dalam bentuk dana yang cukup besar. Namun lebih dari itu kerugian yang terbesar dari pelaksanaan korupsi yang terus menerus adalah antara lain terciptanya kemiskinan struktural, penumpukan ilegal aset-aset pada segelintir orang, dan lebih parah lagi akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan dan rasa hormat kepada lembaga-lembaga administrasi dan tata kelola pemerintah sehingga menimbulkan kelemahan otoritas pemerintah terhadap rakyatnya.
Korupsi sering menghasilkan pilihan-pilihan yang keliru, antara menciptakan kesejahteraan pribadi dan kelompok dengan kesejateraan masyarakat. Apakah tidak mungkin dengan terwujudnya kesejahteraan masyarakat akan terwujud kesejahteraan pribadi dan kelompok ?. Jika kita lihat kondisi kekinian dalam upaya pemberantasan korupsi saat ini masih bersifat parsial. Pada tatanan penyelenggara pemerintahan upaya tersebut belum menunjukkan sinergisitas antara lembaga satu dengan lainnya. Bahkan tak kadang lembaga yang semestinya sebagai problem solving justru menjadi bagian masalah tersebut. Sedangkan pada tatanan masyarakat sipil juga belum terlahir sebuah perlawanan yang masif dan terstruktur untuk membangun koalisi dalam memberantas korupsi. Justru yang lebih kentara adalah sifat skeptis lebih cenderung merebak.
Korupsi telah menjadi persoalan bangsa yang menimbulkan krisis multidimensial. Hal ini harus menjadi perhatian seluruh komponen bangsa dengan membangun komitmen dan memainkan peranan masing-masing untuk mecegah korupsi terus berkembang. Menurut Direktur Bank Dunia mengatakan bahwa tingkat kebocoran keuangan di seluruh dunia yang diakibatkan perilaku korupsi mencapai $ 1000 Miliar dolar setiap tahunnya. Ternyata persoalan korupsi telah merasuk dan menyebar ke setiap negara dunia, yang membedakan adalah besaran korupsi yang terjadi dan cara penangannya
Indonesia saat ini lagi serius dan berkomitmen untuk selalu berupaya secara terus menerus agar korupsi dapat diminimalisir. Walaupun disadari apa yang dilakukan masih jauh dari harapan masyarakat banyak. Keraguan dan keengganan para investor untuk menanamkan ivestasinya di Indonesia yang disebabkan oleh perilaku korupsi dalam bentuk prosedur dan pungutan ilegal baik dari segi waktu dan biaya yang harus dibayar menjadi salah satu alasan yang kerap di ucapkan. Alhasil upaya yang dilakukan untuk menarik para investor datang ke Indonesia belum memberikan hasil yang memuaskan
Korupsi yang telah merasuk pada berbagai lini dan sektor kehidupan telah menempatkan negara pada krisis multi dimensional. Sumber daya alam dan seluruh pendapatan negara terutama dari rakyat pembayar pajak telah ’dibajak’ oleh segelintir orang untuk kepentingan golongan dan kelompok, dan dampak yang diberikan sangat merugikan masyarakat secara luas. Ketimpangan sosial, kemiskinan, kebodohan, investasi yang tersendat merupakan dampak nyata dari perilaku korupsi. Nyata-nyata bahwa korupsi telah merenggut hak-hak dan harapan rakyat untuk hidup yang lebih baik dan berkeadilan.
Peringkat Indonesia sebagai negara paling wahid negara terkorup di asia, dan termasuk juga negara dalam kategori terkorup di dunia berdampak buruk pada citra dan martabat bangsa di mata dunia. Indonesia sebagai sebuah negara yang berlandaskan hukum kenyataannya belum mampu menegakkan hukum untuk mencegah dan memberantas korupsi. Kasus-kasus korupsi masih menjadi antrian panjang untuk dituntaskan, bahkan antrian tersebut cenderung bertambah. Hal ini harus mampu menjadi catatan untuk bergerak, bersatu dan merapatkan barisan untuk menuntaskannya. Karena sangat disadari arena korupsi berada pada wilayah kekuasaan, yang semakin tinggi dan besar kekuasaan, kecendrungan dan potensi korupsi juga besar. Apalagi jika korupsi itu dilakukan secara bergotong royong. Tentunya tembok yang akan dihancurkan akan semakin sulit. Dan salah satu unsur penting untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi harus dengan kekuasaan dan kekuatan yang besar pula. Good and political will dari seluruh tingkatan kekuasaan harus dibangun, jika persoalan ini memang ingin dituntaskan.
Harapan masyarakat yang kerap kandas terhadap pemerintah di dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi telah melahirkan rasa apatis dan pesimis bagi penyelesaian persoalan ini. Namun demikian hal ini dapat saja menjadi sebuah kekuatan untuk membangkitkan ’kemarahan’ rakyat atas ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan amanah yang telah diemban. Perilaku konsumtif dan permisif yang cenderung meningkat, modal sosial yang ada di masyarakat untuk melakukan ’tekanan’ dan ‘kontrol” terhadap jalannya pemerintahan yang korup melemah. Bahkan kecenderungannya masyarakat pun melakukan perilaku-perilaku yang korup. Baik oleh dorongan sistem dan mekanisme pemerintah yang korup maupun atas kesadaran sendiri dengan pemikiran bahwa ’bahwa orang lain saja korup, kenapa saya tidak?. Toh orang-orang yang korup yang merugikan rakyat dan negara tidak juga dihukum dan ditindak. Ternyata ketidakpastian penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi telah membentuk watak dan perilaku masyarakat menjadi korup. Jika hal ini dibiarkan tentunya negara ini semakin terperosok ke dalam jurang kehancuran.
Tak ada kata lain bahwa korupsi harus dilawan dan diberantas, karena nyata-nyata korupsi telah merampas hak-hak orang miskin, membuat masyarakat bodoh dan memperburuk citra bangsa. Sinergisitas kekuatan dan kekuasaan yang ada pada tatanan masyarakat harus dilakukan. Karena korupsi adalah merupakan kejahatan luar biasa dan jika dilakukan secara bergotong royong serta telah mengakar dan sistemik maka satu-satunya upaya awal yang dapat dilakukan adalah membangun dan menggerakkan kekuatan semua pihak. Mari berkeyakinan masih ada segelintir birokrat, pejabat legislatif, yudikatif, tokoh masyarakat, akademisi, mahasiswa sampai dengan pedagang kaki lima yang ingin bergerak, bersatu di dalam memberantas korupsi.
Disela-sela keramaian menuju pilpres putaran II, pengungkapan kasus korupsi terus dilaksanakan di daerah-daerah. Berbagai media berlomba-lomba menayangkan pemberitaan terbaru terkait temuan korupsi oleh kejaksaan. Bak cendawan di musim hujan. Jumlah kasus-kasus korupsi yang di ungkap sungguh melewati nalar dan akal sehat bangsa kita. Dari segi jumlah nilainya. Jumlah anggota dewan yang terlibat. Jumlah kota maupun kabupaten tempat korupsi. Termasuk juga jumlah modusnya yang bermacam-macam. Sudah sedemikian hinakah bangsa kita. Sehingga, sampai-sampai, anggota dewan yang seharusnya menjadi panutan dan teladan masyarakat, justru tak dapat diguru dan ditiru akhlaknya.
Tidak semua pihak merasa gembira dengan maraknya upaya kejaksaan mengintai setiap gerak-gerik anggota dewan. Pengungkapan korupsi ini tentu saja menimbulkan berbagai perasaan dibenak masyarakat. Di satu sisi menciptakan rasa was-was. Bukan tidak mungkin masyarakat juga menyadari. Bahwa mereka sesungguhnya punya andil dalam melestarikan korupsi. Seperti pepatah, jika tidak ada yang menyuap tentu saja tidak akan ada yang menerima suap. Rasa was-was ini sangat berbahaya karena dapat memadamkan semangat memerangi korupsi.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejasaan Agung, Kemas Yahya Rahman, kasus dugaan korupsi anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota terjadi hampir di semua provinsi. Melibatkan lebih dari 300 anggota legislatif dengan kerugian negara ratusan miliar. Belum termasuk yang ditangani kepolisian. Dan Kemas menduga, anggota dewan yang terlibat kasus korupsi masih bisa bertambah jumlahnya. Selama enam bulan terakhir total korupsi yang dilakukan anggota DPRD tercatat lebih dari Rp 394 miliar, yakni di 59 DPRD. Nilai ini sebatas data yang dihimpun dari berbagai media massa nasional.
Sampai dengan saat ini kebanyakan masyarakat masih terpaku melihat fenomena pengungkapan kasus korupsi. Perkara ini memang sulit untuk dijelaskan. Belum ditemukan pemaparan para ahli dibidang sosial mengenai sakit yang melanda bangsa ini. Oleh karenanya, kita sebut saja gejala sakit masyarakat ini sebagai hyper corruptus. Yaitu suatu keadaan dimana korupsi sebagai bentuk penyimpangan moral telah melewati batas-batas nalar kemanusiaan kita sebagai bangsa beradab. Bangsa dengan lima sila yang agung. Yang selalu menyelaraskan kehendak berke-Tuhan-an sekaligus berkemanusiaan. Menjadikan hubungan antar individu dalam masyarakat dalam konteks interaksi yang diwarnai nilai-nilai persatuan dan keadilan.
Dampak korupsi telah menghancurkan sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa. Malang Corruption Watch (MCW), 2003, menjabarkan hal sebagai berikut. Ditinjau dari aspek politik dapat dilihat manakala proses politik itu didasarkan bukan membawa kepentingan masyarakat secara umum, tetapi lebih didasarkan atas kemauan dan kepentingan untuk maksud-maksud tertentu dengan membawa agenda pribadi yang dibungkus kepentingan masyarakat. Contohnya, pada bentuk-bentuk kolutif pemilihan walikota/bupati. Penyusuna/pembuatan perda. LPT/LPJ Bupati/walikota. Pemenangan tender proyek dan pada perijinan yang diskriminatif.Alih-alih terjadilah apa yang disebut lemahnya pelayanan terhadap kepentingan publik. Selain itu menimbulkan diskriminasi hukum dan kebijakan. Kemudian mengarah pada legalisasi produk kebijakan yang korup.
Ditinjau dari aspek ekonomi, korupsi selalu dilakukan dengan cara-cara tidak sah dalam mendapatkan sesuatu melalui pola dan modus yang memanfaatkan kedudukan. Dampaknya, terjadi pemusatan ekonomi pada elit kekuasaan. Yang dimaksud kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam arti pengambil kebijakan (DPRD dan Bupati/Walikota) dan kekuasaan modal (pengusaha) untuk melakukan aktifitas ekonomi. Disini MCW memberi catatan sebagai berikut, "Apabila aliran dana ekonomi berputar pada ketiga kelompok tersebut maka kelompok lain yaitu masyarakat yang tidak cukup punya modal dan kemampuan untuk menembus birokrasi pemerintahan akan tetap mengais rejeki dari sisa-sisa kelompok pemodal.
Dari segi aspek sosial-budaya lebih mengerikan lagi. Sebagai dampak adanya korupsi, maka akan membawa pemahaman baru bagi masyarakat tentang makna pemerintahan, aktifitas bermasayarakt atau proses bersosialisasi dengan sesama. Terkait dengan hal demikian, adalah bagaimana korupsi mampu merubah pandangan hidup masyarakat yang penuh semangat kekeuargaan menjadi masyarakat yang berberfaham kebendaan.Diamana masyarakat kita yang suka menolong berubah sedemikian rupa menjadi masyarakat yang pamrih setiap membantu yang lain.
Mempertanyakan kembali moralitas kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, mutlak dilakukan. Kita tidak perlu merasa rendah diri. Apalagi merasa malu untuk memperbaiki keadaan yang sudah sedemikian rusaknya. Sebaiknya, kita merasa kehilangan kehormatan. Ketika bangsa lain mengarahkan telunjuk dengan sinis kepada kita sebagai bangsa yang tidak mampu memperbaiki diri. Mereka akan bertanya dimana nilai-nilai dan pranata masyarakat kita sebagai bangsa yang diwarnai adat ketimuran.
Sekurang-kurangnya ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bekal untuk memperbaiki kondisi saat ini. Pertama, solusi eksternal, yang meliputi pembaruan sistem pendidikan di sekolah, mulai tingkat dasar sampai dengan tingkat lanjutan atas. Model penerapan penataran P-4 yang biasanya menjadi acuan untuk membentuk moral pelajar harus dikoreksi. Mulai dari metodenya hingga materi yang disampaikan. Pembentukan moral sejak awal ditegaskan untuk menjadikan anak sebagai manusia merdeka, bertanggungjawab dan berakhlak. Bukan untuk mencetak anak sesuai kehendak kekuasaan. Kemudian yang tidak bisa dijauhkan adalah pendidikan lingkungan keluarga. Peran agama dan keyakinan lebih mengena ketika disampaikan dalam wujud pengertian-pengertian orang tua kepada anak. Tetapi hal inipun menjadi kendala ketika orang tua kurang memperhatikan anak atau tidak dapat memberi keteladanan yang sebagaimanamestinya.

4. KEWENANGAN PENANGANAN KASUS KORUPSI
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, lebih jauh di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Namun kenyataan di lapangan saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap praktisi hukum (Hakim, jaksa, dan advocat) sedang mengalami dekadensi yang hebat, hal ini tercermin dari pola penyelesaian masalah yang dilakukan masyarakat yang cendrung main hakim sendiri, tambahan lagi belum lama ini seorang jaksa yang menangani kasus BLBI tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus penyuapan.
Pola penyelesaian masalah dengan kekerasan menjadi pilihan utama di tengah ketidakpercayaan terhadap aparatur penegak hukum. Pola penyelesaian tersebut sangatlah dipengaruhi oleh pandangan bahwa penyelesaian melalui mekanisme peradilan penuh dengan permainan, ketidakadilan dan ketidakpastian yang bertameng kepastian hukum. Oleh karenanya raut wajah penegakan hukum (law enforcement) yang kian suram ini harus segera dicerahkan dengan melakukan pengawasan yang efektif baik intenal maupun eksternal. Para penegak hukum itu antara lain:
a. Kejaksaan Dan Kepolisian
Salah satu element penegakan hukum adalah lembaga Kejaksaan dan kepolisian yang bergerak dalam bidang penyelidikan dan penyidikan sebuah tindak pidana yang telah terjadi. Selanjutnya hasil penyelidikan dan penyidikan dijadikan alat untuk dan segera diajukan dimuka pengadilan untuk memutuskan sebuah perkara tindak pidana. Berikut uraian singkat tentang kedua lembaga tersebut
1. Kejaksaan
Kejaksaan Repubik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang dipilih oleh Presiden. Pada pasal 8 ayat (1) UU No. 5 tahun 1991, dinyatakan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Pengertian jabatan fungsional adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaaan yang fungsinya memungkikan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Mengingat jaksa mempunyai kualifikasi sebagai pejabat fungsional, maka bagi seorang yang diangkat sebagai jaksa harus memenuhi syarat yang lebih dari sebagai pegawai negeri. Jaksa Agung disela penerimaan anugerah MURI untuk Penyelengggaraan Kantin Jujur beberapa waktu yang lalu, menyatakan bahwa beliau telah mememerintahkan Kajari untuk takut berbuat korupsi serta jadi teladan bagi penegakan hukum dan menanamkan budaya malu untuk berbuat salah.
Sebagai pejabat fungsional, maka seorang Jaksa dituntut mampu menunjukkan kualitas yang lebih baik dari seorang pegawai negeri pada umumnya. Bila mana tampilan kualitas yang lebih baik tidak mampu ditunjukkan, maka seorang jaksa dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana ditetapkan dalam pasal 12 huruf d jo pasal 13 huruf b UU No. 5 tahun 1991. Pemberhentian ini dilakukan oleh Jaksa Agung, yaitu dengan cara:
Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatan fungsional Jaksa karena ternyata ia tidak cakap menjalankan tugasnya, misalnya karena ia banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya. Jaksa diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan fungsional jaksa, apa bila ia terus-menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan tugasnya, yaitu apabila ia dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, tidak menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa suatu alasan yang sah. Jaksa Agung telah tertanggal 3 Juni 2008 telah melakukan pecopotan 25 Kajari dari 365 Kajari se Indonesia disebabkan tidak mencapai target program 5-3-1 dalam penanganan kasus korupsi. 5 kasus untuk Kajati, 3 kasus untuk Kajari dan 1 untuk cabang Kajari.
Dalam kerangka pengawasan di lingkup kejaksaan, prihal lembaga yang mengawasi diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 86 tahun 1999 tentang susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan RI, dalam Keppres tersebut disebutkan tentang Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 23 Keppres 86 tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut : ”Jaksa Agung Muda Pegawasan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.”
Tugas dan wewenang Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan dinyatakan dalam pasal 24 Keppres 86 tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut : Dalam melaksanakan tugas serta wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, Jaksa Agung Muda Pengawasan menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan kebijakan teknis pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
b. Perencanaan, pelaksanaan, dari pengendalian pengamatan, penelitian, pengujian, penilaian, pemberian bimbingan, penertiban atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan terutama mengenai administrasi umum, administrasi di bidang kepegawaian, keuangan, perlengkapan, proyek pembangunan, intelijen, tindak pidana umum, tindak pidana khusus, perdata, dan tata usaha negara dilingkungan Kejaksaan serta Pengadministrasiannya;
c. Pelaksanaan pengusutan, pemeriksaan atas laporan, pengaduan, penyimpangan, penyalagunaan jabatan atau wewenang dan mengusulkan penindakan terhadap pegawai Kejaksanaan yang terbukti melakukan perbuatan tercela atau terbukti melakukan tindak pidana;
d. Pemantauan dalam rangka tindak lanjut pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
e. Pembinaan dan peningkatan kemampuan, keterampilan serta integritas kepribadian aparat pengawasan dilingkungan Kejaksaan;
f. Pembinaan kerja sama dan pelaksanaan koordinasi dengan aparat pengawasan fungsional instansi lain mengenai pelksanaan pengawasan pada umumnya;
g. Pengawasan teknis atas pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang Kejaksaan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;
h. Pemberian saran pertimbangan kepada Jaksa Agung dan pelaksanaan tugas-tugas lain sesuai denga petunjuk Jaksa Agung.
Pelaksanaan fungsi penuntutan yang dijalankan oleh lembaga kejaksaan memengang peranan yang penting dalam menyelesaikan perkara. Dalam hal ini, Jaksa menjadi pihak yang menentukan dalam membawa alur perkara yang masuk ke pengadilan dimana pengajuan dakwaaan, terdakwa dan barang bukti serta alat bukti berada ditangan kejaksaan. Kejaksaan memiliki peran yang besar dalam mencipta alur perkara ke arah pembuktian yang kuat atau lemah dan bermuara pada tingkat kesalahan serta pemidanaan seorang terdakwa.
Pembuatan surat dakwaan memang telah ditetapkan dalam Surat Edaran Jaksa Agung No: SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, sedangkan untuk pembuatan surat tuntutan telah digariskan dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE.001/J.A/4/1995 tentang pedoman Tuntutan Pidana. Apabila merujuk pada SE tersebut diatas selayaknya produk penuntutan yang dihasilkan adalah produk yang sudah melalui proses yang baik. Namun pada faktanya masih banyak surat dakwaan yang lemah dan bolongnya, yang mengakibatkan tersangka akhirnya bebas demi hukum.
Guna mewujudkan lembaga kejaksaan yang akuntabel dan berintegritas tinggi melalui kapasitas kemampuan dalam menghasilkan produk penuntutan agar pelaksanaan fungsi penuntutan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan hukum (legal justice) dan keadilan masyarakat (sosial justice) dalam pelaksanaannya, selain mekanisme pengantian personel kejaksaan tinggi negeri, kejaksaan negeri dan kejaksaan negeri pembantu perlu dilakukan perbaikan sistem pengawasan yang melibatkan masyarakat sehingga masyarakat mengetahui kinerja garda terdepan penegakan hukum di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya.

2. Kepolisian
Status kepolisian sebagai komponen penyelidikan dan penyidikan telah diatur jelas dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang No. 28 tahun 1997 jo UU No. 22 tahun 2002 tentang Kepolisian.
Setelah terpisah dari lingkungan ABRI lembaga kepolisian lebih dapat mandiri serta lebih terintegral dengan kesatuan sistem dengan aparat penegak hukum lainnya. Serta dalam penyelidikan dan penyidikan tidak ada lagi ada kata keseganan untuk melakukan hal yang sama kepada kesatuan lamanya yaitu ABRI. Kekuasaan kepolisian sebagai lembaga penyelidikan dan penyidikan diharapkan mampu memberikan hal yang terbaik bagi penegakan hukum di Indonesia.
Dalam sisi lain kepolisian disebutkan sebagai alat negara penegak hukum yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 13/1961 dan pasal 30 (4) UU No. 20/1982 serta pasal 13 sub a UU No. 28 tahun 1997.

b. Komisi Pemberantasan Korupsi
KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Tugas, Wewenang, dan Kewajiban dalam (Pasal 6)
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK);
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Koordinasi (Pasal 7)
1. Koordinasi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan TPK;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan TPK;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan TPK kepada instansi terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan TPK.
Supervisi (Pasal 8 Ayat 1) KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya di bidang pemberantasan TPK, serta instansi yang melaksanakan pelayanan publik.
Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan (Pasal 11 dan 12) KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan TPK yang:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara (PN), dan orang lain yang ada kaitannya dengan TPK yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau PN;
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ini, KPK berwenang:
1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
2. Memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait;
7. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan TPK yang sedang diperiksa;
8. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
9. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara TPK yang sedang ditangani.
Pencegahan (Pasal 13) Wewenang KPK dalam langkah atau upaya pencegahan TPK:
1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan PN (LHKPN);
2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
3. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
4. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan TPK;
5. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan TPK.
Monitor (Pasal 14) Dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas serta mencegah terjadinya TPK di lembaga Negara dan pemerintahan, KPK diberi amanat oleh undangundang untuk melaksanakan tugas monitor, dengan kewenangan:
1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; Memberikan saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;
2. Melaporkan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.



baca selengkapnya..